Home | Artikel

Dampak Kekristenan

Transformasi Masyarakat

Sekitar tahun 1990-an, Peter L. Berger, sosiolog dari Universitas Boston, AS, mengadakan penelitian di Amerika Latin. Salah satu kesimpulan yang diperolehnya menunjukkan bahwa "agama Kristen Pentakosta bisa mengubah masyarakat. Akibat kehadiran agama itu masyarakat tidak lagi berpesta-pesta, tidak mabuk-mabukan, rajin menabung dan menjadi pekerja keras. Semua itu menghasilkan kemajuan ekonomi yang sangat berarti."

Begitulah, Kekristenan bukanlah sekadar sebuah kepercayaan pribadi. Bila diterapkan, nilai-nilai kebenaran firman Tuhan juga akan membawa perubahan positif di dalam masyarakat. Istilah kerennya, Kekristenan bukan hanya menawarkan transformasi pribadi, namun juga transformasi sosial.

Transformasi pribadi menggambarkan proses perubahan kehidupan seseorang: ia secara progresif semakin sepadan dengan standar etis yang digariskan dalam Alkitab. Dengan kata lain, menjadi semakin serupa dengan Kristus.

Lalu, apakah transformasi sosial itu? Konsep ini sejajar dengan transformasi pribadi. Orang-orang yang mengalami transformasi pribadi akan memengaruhi budaya sekitar mereka seperti ragi pada adonan roti. Semakin banyak orang yang mengubah kehidupannya menurut standar Alkitab, masyarakat pun secara progresif akan mengalami transformasi ke arah kebaikan. Berikut ini sejumlah contoh riil transformasi masyarakat yang terjadi di bawah pengaruh Kekristenan.

Revolusi Damai di Inggris

Sekitar tahun 1760-an, Revolusi Industri mulai marak di Inggris. Sayangnya, infrastruktur yang ada belum memadai sehingga menimbulkan sejumlah masalah sosial. Kawasan kumuh bermunculan di London dan kota-kota industri lainnya. Selain itu, terjadi pula eksploitasi atas wanita dan anak-anak, serta kesenjangan mencolok antara golongan kaya raya dan sekian banyak rakyat jelata yang sengsara. Jam kerja para buruh mencapai dua belas hingga enam belas jam per hari.

Seiring dengan itu, semangat demokrasi bertiup kian kencang. Perubahan populasi akibat arus urbanisasi antara lain mendorong dilakukannya reformasi dalam sistem perwakilan parlemen.

Negara tetangga mereka, Perancis, juga tengah bergolak oleh revolusi yang memperjuangkan kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan. Bertujuan mulia, namun dilandasi oleh humanisme sekuler, revolusi ini berujung pada Reign of Terror dan pembunuhan massal dengan guillotine.

Mengingat kondisi saat itu, banyak orang mengira, revolusi berdarah ini akan menyebar ke Inggris. Nyatanya tidak. Inggris justru menuai kebangunan rohani melalui pelayanan George Whitefield dan John Wesley.

Kedua hamba Tuhan ini menantang orang-orang untuk bertobat, dan ribuan orang diselamatkan. Selain itu, mereka juga menekankan pentingnya reformasi politik, pendidikan dan ekonomi.

Pakar sejarah dari Cambridge, J.H. Plumb, menunjukkan bahwa pengaruh kebangunan rohani di kalangan akar rumput telah menyelamatkan Inggris dari banjir darah.

John Wesley melayani para pekerja tambang Kingswood. Ia menyentuh golongan yang menjadi korban paling parah dalam industrialisasi. Dan, apa yang dilakukannya sangatlah fenomenal.

John WesleyWesley bekerja tanpa kenal lelah untuk kesejahteraan rohani dan kesejahteraan materiil mereka. Ia antara lain membuka klinik gratis, mendirikan semacam koperasi simpan-pinjam serta membangun sekolah dan panti asuhan. Pelayanannya meluas hingga menjangkau para pekerja tambang timbal, pelebur besi, perajin kuningan dan tembaga, pekerja galangan kapal, buruh tani, tahanan dan wanita buruh pabrik.

Bagi orang-orang ini Wesley menawarkan kabar baik Yesus Kristus. Namun, lebih dari itu, Wesley juga membina mereka melalui suatu persekutuan yang erat. Di situ, mereka digembalakan dan diberi pelatihan kepemimpinan.

Ia juga menyampaikan pandangannya melalui tulisan-tulisan yang tajam dan tersebar luas. Menurutnya, "Secara terbuka berdiri menentang segala kefasikan dan ketidakadilan yang melanda negeri kita seperti banjir adalah salah satu cara yang paling mulia untuk mengakui Kristus di hadapan musuh-musuh-Nya."

Tokoh Metodis ini menegaskan, kehidupan Kristen harus dijalani dengan iman yang sungguh-sungguh dan mendalam. Hal ini akan terekspresi dalam kehidupan yang kudus dan pada gilirannya akan membawa perbaikan sosial yang mendasar.

Setelah Mutiny on the Bounty

Film Mutiny on the Bounty yang dibintangi oleh Clark Gable berakhir dengan para pemberontak mendarat di Pulau Pitcairn pada tahun 1790. Namun, dalam peristiwa sebenarnya, sebuah kisah yang tak kalah menarik justru baru dimulai.

Begitu menadarat seorang pelaut segera saja mulai membuat alkohol, dan koloni kecil itu pun terseret ke dalam tindak asusila. Dua belas tahun kemudian, tinggal satu pria kulit putih yang masih bertahan hidup, dikelilingi oleh para wanita pribumi dan anak-anak peranakan.

Di sebuah peti tua dari kapal Bounty, pelaut ini menemukan sebuah Alkitab. Ia mulai membacanya, lalu mengajarkannya kepada yang lain. Hasilnya, kehidupannya - dan akhirnya kehidupan semua orang di koloni itu - mengalami perubahan. Sewaktu ditemukan oleh USS Topas pada tahun 1808, Pitcairn sudah menjadi komunitas yang makmur. Tidak ada penjara, tidak ada wiski dan tidak ada kejahatan di sana.

Lompatan Besar Korea Selatan

Seabad yang lalu, Robert J. Thomas, seorang Wales yang bekerja di Lembaga Alkitab Skotlandia, rindu untuk membawa Alkitab ke Korea. Pengetahuan bahasanya mengajarkan bahwa bahasa Korea berdasarkan bahasa Cina, dan bahwa orang Korea yang terpelajar dapat membaca bahasa Cina.

Ia pun naik sebuah kapal Amerika. Namun, pasukan pengawal pantai Korea menyerang kapal itu dan menghancurkannya.

Thomas berjuang untuk keluar dari laut sambil membawa Alkitab. Ia berhasil mendarat ke pantai, namun akhirnya tewas dipukuli orang Korea. Darahnya ternyata menjadi benih pertumbuhan gereja di negeri ginseng.

Saat itu, orang Kristen di Korea baru beberapa gelintir. Bangsa itu menjadi korban perang antara Rusia, Jepang dan Cina. Selama 40 tahun, Korea diduduki Jepang. Lalu dari 1950-1953, Perang Korea menghancurluluhkan negeri itu.

Namun, di tengah reruntuhan tersebut, Injil Yesus Kristus diberitakan. Orang-orang pun mulai mencari Kerajaan Allah. Saat ini, sekitar 40% penduduk Korea Selatan adalah orang Kristen. Dan, 10 dari 20 gereja terbesar di dunia ada di ibukota Korea Selatan, Seoul.

Korea Selatan bertumbuh dari negara yang tidak ada apa-apanya menjadi salah satu kekuatan ekonomi penting di dunia. Sempat terimbas krisis ekonomi, negeri ini mengalami pemulihan lumayan cepat. Dan publik internasional, pecandu sepakbola khususnya, tentu belum lupa kesuksesan Korea Selatan dalam Piala Dunia 2002.

Rekonsiliasi Afrika Selatan

Nelson MandelaNelson Mandela, presiden pertama Afrika Selatan yang terpilih melalui pemilu demokratis tahun 1994, mengajarkan pengampunan kepada dunia. Negeri itu sebelumnya koyak-moyak oleh apartheid, dan ia sendiri mesti meringkuk di penjara selama 27 tahun akibat politik rasial itu. Kini ia bertekad untuk membangun Afrika Selatan yang baru. Ia mengawalinya dengan cara yang amat khas: ia meminta sipir penjaranya ikut naik ke panggung pada saat pelantikannya.

Selama memimpin negeri itu, ia antara lain membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC), dengan ketua Uskup Agung Desmond Tutu. Berangkat dari nilai-nilai Kristiani yang mereka anut, mereka berusaha mengelakkan pola balas dendam yang dilihatnya di sekian banyak negara, yang terjadi sewaktu ras atau suku yang semula tertindas mengambil alih pemerintahan.

Selama dua setengah tahun berikutnya, penduduk Afrika Selatan menyimak berbagai laporan kekejaman melalui pemeriksaan TRC. Peraturannya sederhana: bila seorang polisi atau perwira kulit putih secara sukarela menemui pendakwanya, mengakui kejahatannya, dan mengakui sepenuhnya kesalahannya, ia tidak akan diadili dan dihukum untuk kejahatan tersebut. Penganut garis keras mencela pendekatan ini dan menganggapnya tidak adil karena melepaskan si penjahat begitu saja. Namun, Mandela bersikukuh bahwa negeri itu jauh lebih memerlukan kesembuhan daripada keadilan.

Sebuah kisah mengharukan dituturkan Philip Yancey dalam buku Rumours of Another World (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003). Pada sebuah pemeriksaan, seorang polisi bernama van der Broek mengakui perilaku kejinya. Ia dan beberapa perwira lain menembak seorang anak laki-laki delapan tahun dan membakar tubuh anak itu seperti sate untuk menghilangkan bukti. Delapan tahun kemudian van de Broek kembali ke rumah yang sama dan menangkap ayah si anak. Isterinya dipaksa menyaksikan para polisi mengikat suaminya pada tumpukan kayu, mengguyurkan bensin ke tubuhnya, dan menyalakannya.

Ruang pemeriksaan menjadi hening saat seorang perempuan lansia, yang telah kehilangan anak dan kemudian suaminya, diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan. "Apa yang Anda inginkan dari Tn. van de Broek?" tanya hakim. Ibu itu menjawab, ia ingin van der Broek pergi ke tempat mereka dulu membakar tubuh suaminya dan mengumpulkan abunya, agar ia dapat melakukan pemakaman yang layak. Dengan kepala tertunduk, polisi itu mengangguk.

Kemudian ibu itu mengajukan permintaan tambahan, "Tn. van der Broek telah mengambil seluruh keluarga saya, dan saya masih memiliki banyak kasih yang ingin saya bagikan. Dua kali sebulan, saya ingin dia datang ke kampung saya dan menghabiskan waktu satu hari bersama saya, agar saya dapat menjadi ibu baginya. Dan saya ingin Tn. van der Broek tahu bahwa ia telah diampuni oleh Tuhan, dan bahwa saya juga mengampuninya. Saya ingin memeluknya, sehingga ia dapat mengetahui bahwa pengampunan saya ini sungguh-sungguh."

Secara spontan, beberapa orang di ruang itu mulai menyanyikan Amazing Grace saat perempuan lansia itu melangkah menuju tempat saksi, namun van der Broek tidak mendengarkan nyanyian itu. Ia terjatuh tak sadarkan diri.

Nelson Mandela dan Desmond Tutu menyadari bahwa sewaktu kejahatan terjadi, hanya satu tanggapan yang dapat mengalahkannya. "Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" kata Paulus (Roma 12:21). Pembalasan dendam hanya akan melanggengkan kejahatan itu. Keadilan hanya akan menghukumnya. Kejahatan hanya akan dikalahkan oleh kebaikan bila pihak yang disakiti bersedia menyerapnya, mengampuninya, dan menolak untuk membiarkannya menyebar lebih jauh. Semacam itulah pola anugerah yang diperlihatkan oleh Yesus melalui kehidupan dan kematian-Nya. ***

Sumber acuan:

Christianity Today, www.christianitytoday.com
Kennedy, D. James & Jerry Newcombe. Alih bahasa: Wim Salampessy. Bagaimana Jika Alkitab Tidak Pernah Ditulis? Batam: Interaksara, 1999.
______________. Bagaimana Jika Yesus Tidak Pernah Lahir? Batam: Interaksara, 1999.
Saptaji, Arie. "Antara Negara dan Gereja", Bahana, September 2003.
______________. Diciptakan dalam Sebuah Tarian. Yogyakarta: PBMR ANDI, 2004.
Scaeffer, Francis A. How Should We Then Live: The Rise and Decline of Western Thought and Culture. Westchester, Illinois: Crossway Books, 1983.
Siregar, Eriel & Arie Saptaji. "Aku Cinta Rupiah: Sebuah Perspektif Alkitabiah". Sangkakala, 15 Maret 1998.
Witty, Robert Gee. Alih bahasa: Arie Saptaji. Alkitab: Fakta atau Fiksi? Surabaya: YAKIN, 2002.

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1