Home | Artikel

Aku Cinta Rupiah

Sebuah Perspektif Alkitabiah

Pengantar Redaksi: Menghadapi krisis moneter yang belum kunjung mereda ini, banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, salah satunya dengan pencanangan Getar (Gerakan Cinta Rupiah). Artikel ini berusaha memberikan suatu perspektif Alkitabiah demi mendukung suksesnya gerakan ini. Sebagai sumber utama digunakan buku Gary DeMaar, God and Government, Vol. 2 (Atlanta: American Vision Press, 1984), ditambah dengan beberapa sumber lain. Untuk bagian latar belakang terjadiknya krisis moneter, bahan dan masukan diperoleh atas bantuan Bapak Adi Sasmita, S.E -- Redaksi.

Getar alias Gerakan Cinta Rupiah dipelopori oleh Mbak Tutut pertengahan Januari lalu dengan menukarkan US$ 50.000,oo ke dalam rupiah. Imbauan puteri presiden ini segera diikuti oleh berbagai kalangan, mulai dari para pejabat tinggi, artis hingga pelajar. Berbagai hotel juga marak dengan tawaran paket "Cinta Rupiah". Meskipun belum menampakkan hasil yang nyata, ada sisi yang patut digali lebih jauh dari Getar, yang dapat menunjang keberhasilan gerakan simpatik ini.

Getar dicanangkan di tengah kepanikan masyarakat, khususnya kalangan yang berduit, akibat kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap berbagai valuta utama dunia. Banyak pihak yang berusaha mengamankan asetnya dengan mengkonversikannya ke dalam dolar. Tindakan spekulatif yang dilakukan secara massal ini justru membuat rupiah makin terpuruk. Lebih gawat lagi, dana-dana valas tersebut - yang berjumlah cukup besar - dilarikan dan diparkir di luar negeri, terutama ke Singapura dan Hongkong. Sebelum Getar dicanangkan, para investor telah diimbau untuk menarik dana-dana parkir ini.

Ketidakseimbangan Devisa

Beberapa tahun terakhir kepercayaan masyarakat akan stabilitas nilai rupiah cukup baik karena rupiah telah terdepresiasi secara berkala sejak devaluasi terakhir tahun 1986. Rasa optimis masyarakat disertai dorongan pemerintah untuk meningkatkan peran sektor swasta dalam menunjang pertumbuhan ekonomi telah memberikan keberanian kepada dunia usaha untuk mengambil pinjaman valuta asing yang berbunga murah dari pihak perbankan.

Di sisi lain arus modal asing yang masuk cukup besar sebagai akibat dari daya tarik bunga rupiah maupun valuta asing yang tinggi di Indonesia. Bursa saham yang berkembang dengan harga-harga saham yang cenderung menguat juga telah menarik investor asing untuk membeli saham di Indonesia. Namun sayang, devisa hasil ekspor tidak mengalami lonjakan yang berarti. Devisa yang masuk ke Indonesia selama itu juga telah keluar kembali untuk membiayai impor barang-barang modal maupun konsumsi dan juga untuk pembayaran jasa-jasa.

Yang menjadi masalah, dana-dana pinjaman jangka pendek tersebut banyak digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang memiliki periode pengembalian yang lebih lama dibandingkan periode pinjaman. Risiko pun meningkat, jika peminjam hanya berbasis penghasilan dalam bentuk rupiah. Akibatnya dapat diramalkan, yaitu terjadinya ketidaktepatan waktu antara pembayaran pinjaman yang telah jatuh tempo, sementara proyek-proyek yang telah dibiayai dengan valuta asing belum mencapai tingkat pengembalian modal sesuai dengan waktu yang diperkirakan (payback period). Kondisi ini mengakibatkan devisa nasional yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta tidaklah mencukupi untuk membayar hutang valas yang jatuh tempo.

Membaca kemampuan Indonesia dan negara tetangga lainnya yang demikian, spekulan valas bergerak masuk. Dengan picuan dari spekulan valas yang menarik dolarnya keluar dari Indonesia yang serempak diikuti investor asing yang menarik kembali investasi mereka dalam saham dan deposito di Indonesia menyebabkan kebutuhan devisa/dolar meningkat tajam.

Akumulasi peristiwa di atas telah mengakibatkan harga dolar dan devisa lainnya melonjak. Ketidakseimbangan persediaan devisa dibandingkan dengan permintaan pasar lebih diperkuat lagi dengan kepanikan masyarakat untuk ikut-ikutan membeli dolar. Kondisi inilah yang hendak diredakan melalui pencanangan Getar.

Perekonomian yang Adil

Sejak awalnya, Alkitab telah memperlihatkan adanya peperangan rohani yang dimulai dengan pemberontakan Lucifer terhadap Tuhan. Lucifer yang tadinya adalah malaikat Allah yang mulia berubah menjadi Satan, yang berarti musuh. Dengan demikian, peperangan yang dimulai dari surga dan meluas ke bumi ini menyeret manusia ke dalamnya dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan, termasuk perekonomian.

Allah menghendaki manusia berhasil dan makmur. Untuk itu, Ia memberikan sistem ekonomi yang dapat membantu kelangsungan hidup manusia di negeri yang diberikan-Nya. Sebaliknya, musuh "datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan" (Yoh. 10:10a).

Ketika membawa Israel keluar dari Mesir, Allah memberi mereka dasar-dasar hukum untuk membentuk sistem ekonomi yang menjamin hak, nyawa, harta, moral dan kesejahteraan manusia. Sebuah sistem ekonomi yang adil.

Keadilan dalam perekonomian antara lain berarti kepastian akan timbangan dan ukuran yang benar. "Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan, mengenai ukuran, timbangan dan sukatan. Neraca yang betul, batu timbangan yang betul, efa yang betul dan hin yang betul haruslah kamu pakai; Akulah Tuhan, Allahmu...." (Im. 19:36). Allah melarang "mengecilkan efa, membesarkan syikal" (Amos 8:5b). Di bagian lain, firman Tuhan memperingatkan, "Janganlah ada di dalam pundi-pundimu dua macam batu timbangan yang utuh dan tepat - supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan kepadamu oleh Tuhan Allahmu" (Ulangan 25:13-15). Suatu peringatan, namun di sisi lain juga mengandung janji dan berkat bila kita menaatinya.

Yehezkiel mencela timbangan yang palsu sebagai perampasan, "Cukuplah itu hai raja-raja Israel, jauhkanlah kekerasan dan aniaya, tetapi lakukanlah keadilan dan kebenaran; hentikanlah kekerasanmu yang mengusir umatku dari tanah miliknya, demikianlah firman Tuhan Allah. Neraca yang betul, efa yang betul dan bat yang betul patutlah ada padamu" (Yeh. 45:9-10). Perampasan atau pencurian merupakan masalah yang serius. Salah satu dari sepuluh perintah Allah mengatakan, "Jangan mencuri" (Kel. 20:15), dan pencurian dihukum dengan restitusi dua dan lima kali lipat (Kel 22:1-4).

Ketika Yesus memperingatkan, "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya" (Mat. 7:19), antara lain diimplikasikan, di mana ada harta di situ ada pencuri yang mengincar harta tersebut.

Dalam krisis moneter yang kita alami, berbagai pengorbanan, pekerjaan dan jerih payah bangsa kita selama era pembangunan ini telah dicuri oleh para spekulan yang memanfaatkan kerentanan pasar uang yang dikembangkan oleh manusia. Allah menghendaki kita produktif ("mengumpulkan"), namun juga menghendaki kita menjaga harta kita dari pencurian melalui prinsip-prinsip yang diberikan-Nya. Untuk itu, kita perlu mencermati kembali prinsip-prinsip tersebut.

Standar Emas

Salah satu sistem yang lahir dari prinsip-prinsip Allah tersebut adalah penggunaan standar emas. Dalam Alkitab, mata uang yang selalu digunakan adalah emas dan perak. Di taman Eden, emas menempati posisi istimewa yang ditetapkan oleh Allah, "Dan emas dari negeri itu baik ..." (Kej. 1:12a). Gary North, seorang pakar ekonomi Kristen, berkomentar, "Allah menyediakan emas berkualitas tinggi bagi Adam, dan Adam beserta keturunannya dahulu (dan sekarang) diharapkan mengenali kemurahan Allah dalam hal ini. Emas merupakan pemberian yang sangat berharga. Sampai saat ini."

Standar emas menjadikan emas sebagai standar nilai mata uang suatu negara. Uang kertas yang beredar, dengan demikian, hanya mewakili emas yang dimiliki negara tersebut. Amerika Serikat semula, sesuai yang termuat dalam konstitusinya, menggunakan standar ini.

Noah Webster menguraikan sejumlah alasan praktisnya. Emas dalam ukuran yang kecil - sehingga mudah dibawa-bawa - mengandung nilai yang tinggi. Logam ini tahan lama dan kecil kemungkinannya susut karena penggunaan. Dengan demikian, emas sangat tepat untuk dijadikan mata uang, sebagai wakil aneka komoditi dari berbagai negara dan segala hal yang dapat dipertukarkan dalam perdagangan. Selain itu, emas juga merupakan komoditi yang terbatas, sulit dipalsukan dan dapat ditakar untuk menguji emasnya.

Seperti Kecanduan Narkotika

Sayangnya, sistem perekonomian dunia sekarang telah menghapuskan standar emas ini. Tahun 1930-an dunia mulai meninggalkan standar emas internasional. Gary Demaar menjelaskan, menghapuskan standar emas dan menggantikannya dengan uang kertas memang akan memudahkan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya, namun akibatnya sangat merugikan. Pemerintah hanya perlu mencetak lebih banyak "uang" untuk mendanai program-programnya. Akan tetapi, selang beberapa waktu, daya beli mata uang tersebut akan menurun karena terjadi peningkatan cadangan uang secara abnormal yang tidak dibarengi dengan peningkatan cadangan barang yang setara. Inflasi pun tak terelakkan karena nilai dan sirkulasi mata uang gampang dipermainkan.

Inflasi itu sendiri menggambarkan ketamakan dan keserakahan manusia. Manusia ingin mendapatkan sesuatu tanpa mengeluarkan biaya, atau menekan biaya itu serendah-rendahnya. Ia menginginkan kekayaan tanpa mengikuti perintah-perintah Allah. Bila dalam sistem perekonomian Allah setiap pihak diuntungkan, dalam sistem perekonomian dunia ada pihak yang diuntungkan dan ada yang dirugikan.

Amerika Sendiri pernah menelan pil pahit gara-gara penghapusan standar emas. Peredaran mata uang kertas di daerah koloni Massachusetts tahun 1690 meningkatkan daya beli pemerintah dan sekaligus meningkatkan cadangan uang. Saat itu, harga-harga di sejumlah daerah koloni Amerika melonjak sampai tiga puluh kali lipat. Inflasi terburuk disebabkan oleh mata uang kertas yang diedarkan oleh Kongres Kontinental untuk membantu membiayai Revolusi Amerika. Tahun 1781, diperlukan 1000 "kontinental" untuk membeli sesuatu yang enam tahun sebelumnya dapat dibeli dengan satu "kontinental". Nasib buruk akibat penyalahgunaan mata uang kertas ini juga pernah menimpa mark Jerman, lira Italia, franc Perancis dan berbagai mata uang Eropa lain pasca-Perang Dunia I.

Namun tampaknya dunia tidak juga belajar dari sejarah. Encyclopedia Americana (edisi 1977) mencatat, "Dalam penggunaan uang kertas, kejahatan inflasi mesti diperangi terus-menerus. Begitu menggoda dan sangat mudah untuk mencetak uang 'kertas' tanpa jaminan yang memadai serta mengedarkannya dalam jumlah yang berlebihan, sehingga tak ayal terjadilah depresiasi tajam dan bahkan kehancuran nilai mata uang. Inflasi mata uang... akan mudah dikenali oleh mereka yang cukup jujur dalam menghadapi fakta ini, dan penyembuhnya pun diketahui. Namun, keadaannya seperti kecanduan narkotika: mereka yang harus menghentikan inflasi telah kehilangan hasrat untuk melakukannya."

Pemulihan Kepercayaan

Berbeda halnya bila emas yang dijadikan sebagai standar nilai. Uang kertas yang beredar hanya mewakili emas yang dimiliki pemegangnya. Dengan demikian, satu-satunya cara yang sah untuk melakukan inflasi adalah dengan mengedarkan lebih banyak emas ke tengah pasar. Karena emas merupakan komiditi yang terbatas dan tidak bisa dibuat, inflasi seburuk-buruknya hanya akan berlangsung secara bertahap. Selain itu, peningkatan cadangan emas akan dapat dikompensasi dengan peningkatan jumlah barang.

Dengan sejumlah keunggulannya, penggunaan kedua logam itu sebagai standar nilai mata uang akan jauh mengurangi godaan untuk melakukan inflasi. Kurs mata uang juga tidak gampang dijadikan bahan permainan para spekulan. Inflasi atau penurunan nilai mata uang ini tidak lain daripada merusakkan standar timbangan dan ukuran yang telah ditetapkan Allah untuk memungkinkan berlangsungnya perdagangan yang jujur.

Dalam hal ini, pemerintah perlu menegaskan pada rakyat, bahwa mata uang mereka di-back up oleh mata uang "keras", yaitu emas, yang memadai nilainya. Dengan demikian, mata uang tersebut menjadi "uang yang jujur". Selain itu, pemerintah negara sebagai "hamba Allah untuk kebaikan" (Roma 13:4) sekaligus menjamin harta bangsanya dari pencuri-pencuri.

Bila dikaitkan dengan pewujudan Getar, kita memerlukan lebih dari sekadar menukarkan dolar ke dalam rupiah atau memasang spanduk "Kami tidak menerima dolar" di depan toko. Cinta rupiah tidak lain merupakan upaya penyelamatan rupiah, memulihkan kembali kepercayaan terhadap rupiah. Itulah sebabnya perlu diterapkan standar emas. Dengan langkah tersebut, kita bukan hanya menyehatkan rupiah kita, namun juga menjamin, bahwa rupiah kita ditopang oleh emas yang memadai sebagai back up-nya. *** (Ditulis bersama Eriel Siregar)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1