Home | Artikel

Dampak Kekristenan

Politik dan Pemerintahan

Ajaran Alkitab memberikan kesempatan kepada manusia untuk menikmati kemerdekaan yang seluas-luasnya, tanpa disertai oleh chaos (anarki, kekacauan). Prinsip-prinsip yang memungkinkan adanya kemerdekaan tanpa chaos ini antara lain adalah: 1) Allah adalah sumber dari segala wewenang dan kekuasaan politis, 2) semua orang (termasuk penguasa) bertanggung jawab di hadapan Allah, 3) kekuasaan negara tidak tak terbatas, 4) pemisahan dan pembagian kekuasaan (trias politika) demi menjaga check and balance dalam pemerintahan, 5) pembedaan antara kehidupan keagamaan dan kehidupan politik.

Samuel RutherfordKonsep kemerdekaan tanpa chaos ini dipaparkan oleh Samuel Rutherford (1600-1661) dalam bukunya Lex Rex "Hukum adalah Raja". Kemerdekaan tanpa chaos dimungkinkan bila pemerintahan berdasarkan pada hukum, bukan pada keputusan sewenang-wenang manusia (baca: raja), dengan Alkitab sebagai otoritas tertinggi. Karya Rutherford ini nantinya sangat berpengaruh pada Konstitusi Amerika Serikat.

Pengaruh Rutherford juga terlihat jelas pada John Locke (1632-1704). Hanya saja Locke melakukan sekularisasi atas ide-ide Rutherford, dengan mengabaikan dasar Alkitabiah konsep kemerdekaan tanpa chaos tersebut. Ia menekankan soal hak-hak yang tidak dapat dilanggar, pemerintahan berdasarkan kesepakatan, pemisahan kekuasaan, dan hak-hak untuk be-revolusi. Namun, dengan mengabaikan dasar Alkitabiahnya, ia seperti mendirikan gedung tanpa pondasi yang kokoh. Pandangan Locke inilah yang nantinya berperan dalam menyulut Revolusi Perancis.

Dalam aspek politik dan pemerintahan ini, sepanjang sejarah, kita dapat melihat paling tidak empat bentuk hubungan antara negara dan gereja.

Pertama, negara menyatroni gereja. Tidak usah jauh-jauh, kita dapat melihat contohnya dalam abad ini juga. Di RRC, gereja yang tidak mau berkompromi dengan peraturan pemerintah harus bergerak di bawah tanah. Di Korea Utara, hanya ada satu agama yang diizinkan: penyembahan terhadap diktator almarhum Kim Sung Il dan anak serta penerusnya, Kim Jong Il. Warga Korea diwajibkan sujud menyembah patung keduanya. Praktik keagamaan lainnya, termasuk pergi ke gereja, dikenai hukuman berat.

Kedua, gereja yang mengangkangi negara. Contohnya adalah Eropa pada Abad Pertengahan. Pemimpin gereja pada saat itu bukan hanya berperan sebagai pemimpin rohani, namun juga berdiri sebagai panglima perang. Dengan Inkuisisi, gereja menafikan daya kekuatan pedang roh, dan mengangkat pedang besi untuk menghadapi orang-orang yang dianggap bidah.

Reaksi terhadap penyimpangan gereja ini terbelah dua.

Renaissance, disusul dengan ide-ide Pencerahan, membuka gerbang menuju sekularisasi. Negara akhirnya bukan hanya menganggap sepi gereja, namun juga menepiskan Tuhan. Perancis adalah contoh paling mencolok. Baru-baru ini Perancis menentang keras penyebutan pengaruh historis Kekristenan dalam bagian penjelasan RUU Uni-Eropa. Di negara-negara yang menyatroni gereja, Kekristenan biasanya tetap bertumbuh; sebaliknya, di negara-negara sekuler, gereja-gereja cenderung menjadi kosong dan mati.

Berseberangan dengan Pencerahan, Reformasi mengajak gereja dan negara kembali ke Alkitab. Ide-ide Reformasi inilah yang melandasi pendirian Amerika Serikat. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, negara ini berkembang menjadi negara paling demokratis dan paling toleran. Benjamin Franklin mewakili sikap ini ketika membangun sebuah gedung di Philadelphia, yang dapat "digunakan oleh pemuka agama mana saja yang ingin menyiarkan ajarannya."

Kendati digempur pula oleh sekularisasi, saat ini kehidupan keagamaan di AS tetap marak. Alexis de Tocqueville, seorang negarawan Perancis, menunjukkan kunci daya tahan Kekristenan di Amerika. Dalam kunjungannya ke AS pada 1831, ia antara lain mengamati bahwa "kehidupan beragama yang tenang di negeri mereka terutama karena mereka menerapkan sepenuhnya pemisahan antara gereja dan negara."

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1