Home | Artikel

Dampak Kekristenan

Hak Asasi Manusia

Vitruvian Man, Leonardo Da VinciBahasan tentang hak asasi manusia -- penghargaan terhadap derajat dan martabat manusia - mestinya dimulai dengan pertanyaan: Siapakah manusia? Seperti disampaikan Winkie Pratney, ada tiga pandangan mendasar yang dapat dipertimbangkan untuk menjawab pertanyaan: Siapakah manusia?

Pertama adalah pandangan humanisme sekuler. Filsafat Barat yang rasionalistik ini memandang manusia hanya sebagai unsur-unsur kimiawi. Dalam dongeng, seekor katak dicium seorang putri dan menjelma jadi pangeran tampan. Dalam paham evolusi, putri itu adalah bentangan waktu, kebetulan serba tak terduga, kombinasi acak dan mutasi yang menguntungkan. Maka, jadilah manusia -- entah untuk apa, dan entah mau ke mana.

Kedua, pandangan filsafat-filsafat Timur. Menurut pandangan ini, manusia - dan seluruh alam semesta -- adalah bagian dari yang Ilahi. Untuk mencapai kesatuan dengan yang Ilahi tersebut, manusia hanya perlu melenyapkan kesadaran individualitasnya, ibarat setetes air yang lenyap ditelan lautan - simbol keseluruhan realitas. Dan kehidupan ini adalah jantera daur ulang tak berkesudahan menuju puncak realitas: nirwana, nothingness, ketiadaan.

Pandangan ketiga disodorkan oleh Alkitab. Salah seorang penulis Alkitab berdendang tentang Sang Pencipta yang "menentukan jumlah bintang-bintang dan menyebut nama-nama semuanya. Besarlah Tuhan kita dan berlimpah kekuatan, kebijaksanaan-Nya tak terhingga." Sang Pencipta ini sanggup mengukur seluruh alam semesta hanya dengan jengkal tangan-Nya!

Bagaimana Alkitab memandang manusia? Bila kita mencermati halaman-halamannya, kita akan menemukan bahwa bumi dan alam semesta ini dirancang sedemikian rupa dengan umat manusia sebagai makota ciptaan yang sangat istimewa. Manusia adalah imago Dei (citra Allah). Ia adalah ciptaan Allah, namun juga diberi mandat untuk berkuasa atas ciptaan lainnya. Manusia hadir sebagai individu yang unik, lengkap dengan sense of destiny-nya, kesadaran bahwa hidup ini bermakna dan bertujuan.

Kenyataan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah biasanya dimengerti bahwa kita ini seperti Allah. R.C. Sproul menerangkan, "Meskipun Dia adalah Pencipta dan kita adalah ciptaan-Nya, dan meskipun Allah melampaui kita dalam hal keberadaan, kuasa dan kemuliaan, tapi dalam batas tertentu kita memang seperti Dia. Ada beberapa analogi antara Allah dan kita. Allah merupakan keberadaan yang berakal budi dan bermoral. Kita juga merupakan makhluk yang bermoral yang diperlengkapi dengan akal, hati dan kehendak. Unsur-unsur ini memampukan kita untuk mencerminkan kekudusan Allah, yang merupakan tugas kita yang semula."

Cara pandang kita terhadap manusia tak ayal akan mempengaruhi sikap dan gaya hidup kita. Berangkat dari cara pandang inilah umat Kristen menentang aborsi, mengembangkan penghargaan terhadap anak-anak, kaum wanita dan kaum lanjut usia, menentang perbudakan dan kanibalisme, serta menjunjung tinggi kesucian hidup manusia. Di sinilah hak asasi manusia mendapatkan tempat yang semestinya.

Jika seseorang menempatkan sebuah peta geografis dan politik wilayah-wilayah yang dipengaruhi oleh Alkitab, apakah yang akan dinyatakannya tentang pengaruh Alkitab terhadap hak asasi manusia, kesempatan dan kemerdekaan? Peta tersebut akan mengungkapkan bahwa negara-negara yang menghargai hak-hak kaum wanita dan anak-anak, pemerintahan melaksanakan keadilan sosial, kemerdekaan sipil dan pribadi dapat dinikmati, adalah wilayah geografis dan politik yang telah dipengaruhi oleh iman Alkitab.

Ujian ini ditegaskan oleh keputusan dalam kasus Updegraph v.Commonwealth, 1826, dengan pendapat pengadilan yang menyatakan: "Tidak ada pemerintahan merdeka yang sekarang ada kecuali pemerintahan yang mengakui Kekristenan." Sejarah gagal menyangkal tantangan cendekiawan terkenal, Dr. A.H. Strong yang dalam karyanya Systematic Theology, tahun 1906, mengatakan, "Bila orang skeptis meneliti sampai sekecil-kecilnya, memburu langit dan mengukur kedalaman laut untuk menyangkal keberadaan Sang Pencipta, dan mengarahkan perhatiannya kepada kehidupan masyarakat dan menemukan di planet ini sebuah tempat seluas sepuluh mil persegi tempat orang beradab dapat hidup secara layak, dalam kenyamanan dan keamanan, mendukung dan mendidik anak-anaknya, tidak manja dan tidak tercemar; sebuah tempat di mana kaum lanjut usia dihormati, anak kecil dilindungi, kaum pria dihargai, kaum wanita dihormati dan kehidupan manusia dijaga dan dipertahankan -- bila orang-orang skeptis dapat menemukan tempat seperti itu di muka bumi ini, di mana Injil Kristus belum masuk dan membersihkan jalan, meletakkan dasar, dan memungkinkan berlangsungnya ketertiban dan keamanan, maka sepatutnyalah orang-orang skeptis yang terpelajar berpindah ke tempat itu dan melontarkan pandangan mereka."

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1