Home | Artikel

Antara Negara dan Gereja

Ada hukum yang tidak adil, sebagaimana ada manusia yang tidak adil. – Mahatma Gandhi

Almarhum ibu saya pernah berkomentar dengan bangga, "Kami di sini ini Pancasila, kok. Ada Alquran, ada Injil, ada Tripitaka. Mau apa saja, silakan."

Orang tua saya adalah orang Jawa yang berpandangan bahwa agama adalah ageming aji (baju kehormatan diri). Mereka membebaskan anak-anak memilih sendiri agama masing-masing. Dan sejauh ini, seingat saya, perbedaan agama tidak pernah menjadi sumber konflik dalam hubungan persaudaraan kami.

Saya tidak tahu bagaimana komentar ibu kalau beliau melihat kondisi Indonesia saat ini.

***

Belum reda gelombang kontroversi RUU Sisdiknas, sudah beredar bisik-bisik tentang hendak digulirkannya RUU Kerukunan Umat Beragama. Ternyata, hal itu sudah bukan bisik-bisik lagi. Menurut sejumlah situs berita di internet, DPR telah mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan majelis-majelis agama di Indonesia untuk membahasnya.

Pertanyaan pokok yang perlu dijawab dalam persoalan ini adalah: Bagaimana sebenarnya hubungan antara negara dan lembaga keagamaan? Sejauh mana negara bisa mencampuri urusan keagamaan? Tulisan ini mencoba memberi masukan dengan mengupas hubungan antara negara dan gereja dalam perspektif Alkitab dan sejarah.

***

Dalam Alkitab, negara dan gereja adalah dua institusi yang terpisah dengan fungsi dan yuridiksinya masing-masing. Pemisahan ini digambarkan dengan metafora. Otoritas negara dilambangkan dengan pedang (Roma 13:4), adapun otoritas gereja dilambangkan dengan kunci (Matius 16:19). Namun, dalam menjalankan otoritasnya, kedua institusi ini mesti bergerak menurut hukum-hukum Tuhan, sebagai otoritas tertinggi.

Tuhan menetapkan gereja untuk melaksanakan Amanat Agung: memuridkan, membaptis dan mengajar bangsa-bangsa (Matius 28:18-20). Gereja dipanggil untuk menjalankan pelayanan kasih karunia (2 Korintus 5:20). Adapun negara bertugas untuk menegakkan keadilan, yaitu menghukum mereka yang melanggar hukum dan melindungi mereka yang patuh (Roma 13:4; 1 Timotius 2:1-2; 1 Petrus 2:13-14).

Sesuai dengan peran dan fungsinya, gereja berhadapan dengan dosa. Gereja memegang otoritas untuk menutup pintu Kerajaan Allah bagi orang-orang yang tidak mau bertobat dan membuka jalan keselamatan bagi orang-orang berdosa yang mau bertobat. Gereja dapat memenuhi tugas ini dengan pedang roh, yaitu melalui pemberitaan Injil Yesus Kristus.

Di sisi lain, negaralah yang mesti berhadapan dengan kriminalitas. Pedang yang disandangnya bukan untuk memaksa hati nurani orang, melainkan untuk menghukum tindakan lahiriah yang digolongkan sebagai kejahatan. Namun, tentu saja, definisi kejahatan ini harus sesuai dengan firman Tuhan.

Dengan demikian, kalau hukum negara memaksa kita untuk berbuat dosa, kita justru wajib untuk menolaknya. Sebaliknya, kalau hukum negara membatasi atau malah melarang kita dalam menjalankan hukum-hukum Tuhan, tidaklah berdosa kalau kita melanggarnya, meskipun tak ayal kita akan dicap sebagai kriminal. Dalam hal ini, pertaruhannya adalah: siapa yang lebih kita takuti, Kristus atau Kaisar.

Contoh-contoh dalam sejarah kiranya dapat memberikan ilustrasi penjelas.

***

Sepanjang sejarah, kita dapat melihat paling tidak empat bentuk hubungan antara negara dan gereja.

Pertama, negara menyatroni gereja. Tidak usah jauh-jauh, kita dapat melihat contohnya dalam abad ini juga. Di RRC, gereja yang tidak mau berkompromi dengan peraturan pemerintah harus bergerak di bawah tanah. Di Korea Utara, hanya ada satu agama yang diizinkan: penyembahan terhadap diktator almarhum Kim Sung Il dan anak serta penerusnya, Kim Jong Il. Warga Korea diwajibkan sujud menyembah patung keduanya. Praktik keagamaan lainnya, termasuk pergi ke gereja, dikenai hukuman berat.

Kedua, gereja yang mengangkangi negara. Contohnya adalah Eropa pada Abad Pertengahan. Pemimpin gereja pada saat itu bukan hanya berperan sebagai pemimpin rohani, namun juga berdiri sebagai panglima perang. Dengan Inkuisisi, gereja menafikan daya kekuatan pedang roh, dan mengangkat pedang besi untuk menghadapi orang-orang yang dianggap bidah.

Reaksi terhadap penyimpangan gereja ini terbelah dua.

Renaissance, disusul dengan ide-ide Pencerahan, membuka gerbang menuju sekularisasi. Negara akhirnya bukan hanya menganggap sepi gereja, namun juga menepiskan Tuhan. Perancis adalah contoh paling mencolok. Baru-baru ini Perancis menentang keras penyebutan pengaruh historis Kekristenan dalam bagian penjelasan RUU Uni-Eropa. Di negara-negara yang menyatroni gereja, Kekristenan biasanya tetap bertumbuh; sebaliknya, di negara-negara sekuler, gereja-gereja cenderung menjadi kosong dan mati.

Berseberangan dengan Pencerahan, Reformasi mengajak gereja dan negara kembali ke Alkitab. Ide-ide Reformasi inilah yang melandasi pendirian Amerika Serikat. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, negara ini berkembang menjadi negara paling demokratis dan paling toleran. Benjamin Franklin mewakili sikap ini ketika membangun sebuah gedung di Philadelphia, yang dapat "digunakan oleh pemuka agama mana saja yang ingin menyiarkan ajarannya."

Kendati digempur pula oleh sekularisasi, saat ini kehidupan keagamaan di AS tetap marak. Alexis de Tocqueville, seorang negarawan Perancis, menunjukkan kunci daya tahan Kekristenan di Amerika. Dalam kunjungannya ke AS pada 1831, ia antara lain mengamati bahwa "kehidupan beragama yang tenang di negeri mereka terutama karena mereka menerapkan sepenuhnya pemisahan antara gereja dan negara."

Pertanyaannya sekarang: RUU Kerukunan Umat Beragama (sebuah nama yang amat ironis, dan berbau eufimisme Orde Baru) akan membawa kita ke arah mana?

***

Baru-baru ini saya menonton Gandhi, film epik yang menyentuh, namun sekaligus tragis. Aksi tanpa kekerasan sang mahatma berhasil mendepak kekuasaan kolonial Inggris, namun ia gagal merangkul anak negeri sendiri. Sampai saat ini India masih membara dengan konflik antaragama.

Dengan perbandingan ini, kerendahan hati dan kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia untuk mengesampingkan kata-kata sensitif dari Piagam Jakarta dalam rumusan sila pertama Pancasila sungguh sebuah mukjizat.

Karenanya, betapa menyesakkan dada ketika ternyata ada pihak-pihak yang menganggap mukjizat itu sebagai aib, sebagai musibah. Keragaman agama dipandang sebagai "kuda liar" yang perlu ditertibkan dengan hukum yang bersifat memaksa.

Saya tidak yakin ini akan efektif meredam konflik. Saya malah miris, jangan-jangan kita akan tersungkur lebih buruk daripada India. India, dengan tokoh sekaliber Gandhi, harus mengelus dada – dan kita hendak mencobanya dengan sebuah undang-undang? ***

Dimuat: Bahana, September 2003

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1