Mangkal disekitar masjid
GELIAT PEREK ‘KEPALA TIGA’ BANDUNG
Oleh : Noer
Prostitusi tak akan pernah
mati, demikian sepertinya ‘komitmen; yang kini terjadi. Paling tidak
hal itu yang terjadi di areal pelacuran Alun-alun kota Bandung.
Meski ‘lahan’ mereka dipersempit, dengan diperluasnya Masjid Agung
Bandung, toh faktanya aksi mereka tetap langgeng.
Bandung,
Senin malam akhir Oktober silam baru saja diguyur hujan. Suasana
sekitar Alun-alun Bandung lumayan ramai. Jalanan macet. Antrian
panjang kendaraan, dan deru klakson mobil yang bersahut-sahutan,
makin membuat suasana marak.
Di sisi
badan jalan yang mengitari alun-alun kota Bandung, ada ‘warna’
tersendiri yang tak kalah menarik. Wanita-wanita dengan dandanan
seksi, tersaput polesan gincu menor, asyik mejeng.
Rata-rata berwajah cantik, meskipun usia mereka bukan ABG lagi alias angkatan
setengah tua (STW-red). Dengan kulit putih bersih, terkena sorotan
lampu mobil, makin membuat mereka terlihat bersih dan memiliki daya
tarik tersendiri.
Usut punya
usut, ternyata mereka adalah para pelacur yang kesehariannya memang
mengais rejeki dengan menjajakan diri di kawasan tersebut. Bahkan
sumber Exo di kota kembang menyebut bahwa kiprah mereka sudah sejak
sekitar delapan tahun silam.
Hanya saja,
dulu biasanya pramunikmat ini mengobral diri di taman-taman dalam
lingkup alun-alun kota Bandung. Belakangan, lantaran ada perluasan
pembangunan Masjid Agung, lahan bisnis mereka sedikit tergeser.
Taman yang
biasanya dijadikan tempat praktik mereka dalam memburu mangsa,
dibangun untuk pelataran masjid. Meskipun demikian, para pelacur ini
tak mau enyah alias tetap beroperasi mengitari masjid yang kini
sedang dalam tahap renovasi.
“Habis kalau tidak disini, mau kemana lagi atuh. Di sini mah saya sudah
punya pelanggan,” tutur Encih (35), yang mengaku sudah hampir dua
tahun lalu mangkal di kawasan tersebut.
Lantas
siapa pelanggan dimaksud? Ternyata, meskipun ‘berdagang daging
mentah’ di pinggir jalan, para pelanggan Encih bukan lantas sekedar
lelaki kelas bawah saja. Para hidung belang bermobil yang kebetulan
melintas, yang notabene dari klas atas ternyata turut memburunya.
Ada faktor
kelebihan yang dimiliki rata-rata pelacur alun-alun Bandung. Selain
nilai lebih dari wajahnya, dimana rata-rata khas orang Sunda,
menyoal tarif yang dipatok lumayan murah. Cukup merogoh kocek tak
lebih dari Rp. 150 ribu, para wanita STW itu sudah bisa diajak naik
ranjang. Bahkan dari harga itupun kadang masih bisa dinego. Paling
tidak, hal itu seperti dijalani Encih.
“Rejeki mah tak bisa kemana. Kalau memang rejekinya cuma segitu ya tidak
apa-apa,” terangnya ketika Exo mencoba menawar dibawah tarif umum
yang dipatok rata-rata pelacur di sana.
Juleha
(33), kawan karib Encih yang turut menggantungkan hidup berdagang
daging mentah disekitar alun-alun Bandung, mengatakan hal serupa.
Menurutnya, pasar konsumen disana lagi sepi. “Sekarang lagi sepi
tamu ‘A. Tidak seperti dulu,” ungkap wanita asal Cicaheum yang
mengaku pernah lima kali balik hotel menservis tamunya. Sementara
kini, diakui satu kali dapat order saja sudah lumayan. Itupun
menurutnya melalui tawar menawar berbelit.
BERBAUR PENUMPANG--Lalu,
kemana mereka melayani pelanggannya. Tidak terlalu sulit, Banyak
hotel melati di sekitar alun-alun. Namun yang dikenal paling
diminati adalah Hotel DS, yang letaknya persis disamping sebuah
pusat perbelanjaan besar di pojok alun-alun Bandung.
Selain itu,
hanya sekitar 1 km dari lokasi tempat mereka mangkal juga terdapat
kawasan hiburan Astana Anyar, berikut losmen-losmen sederhana yang
berdiri berderet-deret. Dengan demikian, praktis ajang prostitusi
alun-alun Bandung makin langgeng saja.
Umumnya
para parmunikmat yang mangkal di kawasan bebas pajak dan bebas germo
itu hanya berasal dari daerah disekitar Bandung. Mereka beropearasi
dialun-alun mulai pukul tjuh malam. Hal itu tak lain untuk
antisipasi sekaligus ‘menghormati’, orang yang hendak beribadah di
masjid. Namun seorang pedagang rokok yang ditemui Exo membantah hal
itu.
"Pengurus masjid suka marah dengan keberadaan mereka (pelacur-red). Meskipun
sudah dilarang beroperasi disekitar masjid, namun para pelacur itu
pada bandel. Mungkin seketika mereka pergi, namun hanya sementara.
Selebihnya balik kembali,” ungkap lelaki setengah baya itu.
Ditambahkan bahwa para pelacur yang jumlahnya puluhan itu sangat
pintar memanfaatkan situasi. Tak jarang mereka sengaja berbaur
dengan penumpang yang sedang menunggu angkutan umum.
Bahkan
sebenarnya mereka sudah ada disekitar alun-alun sejak pukul enam
sore. Tentu saja, lantaran masih terang benderang, tidak mungkin
mereka beroperasi di sore hari. Yang dijalani adalah mangkal di
sekitar gedung bioskop yang berada di lantai tiga, pusat
perbelanjaan Palaguna, persis di seberang masjid Agung Bandung.
Meski
demikian, strategi yang dijalani sama halnya saat mereka beroperasi
di jalanan, yakni membaur ditengah kerumunan banyak orang. Gawatnya,
di tempat itu pula, terkadang mereka sengaja memasang jala untuk
memburu mangsanya.*
|