PENGAKUAN PRIMADONA PENEBAR DOSA
Semasa SMU aku sang primadona. Kedekatanku dengan kepala
sekolah mendongkrak nilai ijazah. Saat kuliah, keintimanku dengan
dosen, mengubah nilaiku. Kebebasanku dengan teman kuliah mengubahku
jadi pembunuh tiga calon bayi yang tak sempat menghirup udara.
‘Madu’ itu kini jadi petaka.
Tahun 1993 usiaku baru 17 tahun. Namun, aku sudah mengenal seks dan
sudah akrab dengan alkohol dan narkoba. Semua itu membuka jalan
pergaulanku. Jika tidak dengan cara ‘bebas’, sulit bagiku
mengimbangi gaya hidup teman sekolah yang kebetulan hidup beruntung,
sementara aku hanya putri bungsu dari seorang janda yang
mengandalkan hidup dari order jahitan tetangga.
Dua kakak lelakiku terpaksa putus sekolah. Mereka harus puas hanya lulus
SLTP, kemudian bekerja dan menikah. Seharusnya, aku ikut jejak
mereka lantaran ibuku sudah angkat tangan tidak sanggup lagi bayar
SPP dan keperluan sekolah. Lantaran aku sang primadona, uang SPP-ku
‘ditanggung’ Pak Anwar, sang kepala sekolah. Sementara untuk ongkos
dan jajan, banyak teman pria rela jadi ‘donatur’.
Aku memang 'bunga’ di sebuah SMU di kawasan Jakarta Selatan itu. Tubuhku
ideal dengan buah pantat dan payudara aduhai. Kulitku kuning langsat,
mataku bulat, dan bibirku sensual. Apa yang aku miliki sudah pasti
membuat iri teman wanita di sekitarku. Apa yang aku miliki menjadi
pemicu ‘kumbang jantan’ ingin menghisap maduku. “Ini kesempatan,”
teriakku dalam hati.
Kesempatan itu sudah aku manfaatkan. Tetapi, kesempatanku ternyata
digunakan sebagai peluang para ‘kumbang’. Sebagai imbalan, kepala
sekolahku minta ‘balas budi’nya. “Ana, sebentar lagi ujian akhir.
Saya mau ajak kamu jalan-jalan,” ujar Pak Anwar yang sudah berumur
dan punya cucu tetapi masih gagah. Sepintas, dia mirip bintang film
drg.Fadly.
Di balik ajakannya itu
tersimpan harapan dan ancaman. Dia berharap mendapat sesuatu dariku,
dia juga mengancam nasibku jika ajakannya ditolak. Belum sempat aku
jawab, pria berwibawa itu sudah bicara lagi, “Besok saya tunggu di
Bakso Karmin”.
Pak Anwar sudah sering
melumat bibirku. Dia juga kerap meremas payudara atau mengobok-obok
organ kewanitaanku. Kedai Bakso Karmin paling sering menjadi ajang
kencan kami. Selain enak, meja kursinya yang dibatasi sekat kayu
menjadi arena kencan mengasyikkan.
Hanya itu yang Pak Anwar
lakukan padaku. Dan sebatas itu yang aku bisa berikan pada penyuka
‘daun muda’ itu, termasuk kepada Irvan, Faisal, dan Toriq, sederet
pria yang ikut andil ‘menyokong’ sekolahku hingga menjelang ujian
akhir.
Menjelang ujian akhir
menjadi penentu. Aku dihadapkan pada dua pilihan, selesaikan sekolah
dengan taruhan mahkota berperisai darah perawan, atau pertahankan
kesucian, namun tidak lulus sekolah. Kepalang basah, aku adalah
wanita yang punya prinsip ijazah lebih berharga ketimbang kegadisan.
TIGA
JAM--Ibuku
sudah lama tidak perduli dengan sikap dan gaya hidupku. Dia tidak
mungkin mengekang putri tunggalnya ini selama setiap minggu aku bisa
‘bantu’ membeli kebutuhan dapur. Dan uniknya, dia tidak mau tahu
dari mana uang itu aku dapat. “Bu, mau survey vila di Puncak untuk
acara perpisahan,” dengan alasan itu hari Sabtu siang aku sudah di
kamar sebuah penginapan di Cisarua, Bogor bersama Pak Anwar.
Pria yang sering aku elus-elus ‘perkutut’nya yang sembunyi di balik
celana itu menyuruhku mengenakan celana dalam dan bra yang dia
belikan. Begitu aku kenakan, rasanya seperti bugil saja. Celana
dalam g-string warna merah hanya mampu menutupi bulu pubisku saja,
sementara bra-nya hanya membungkus ujung payudaraku yang menantang
dan ranum.
Begitu keluar dari kamar mandi, lelaki tua itu sudah menerkam tubuhku.
Lidahnya langsung menyapu tengkuk dan daun telingaku. Darahku
langsung berdesir ketika giginya mulai menggigit lunak daun
telingaku. Aku semakin hilang kesadaran saat tangan kekarnya
menari-nari disetiap jengkal kulit tubuhku.
Hampir lima belas menit dia ‘mempermainkan’ hasrat kewanitaanku. Hingga
tanpa sadar aku yang memohon dan merintih-rintih untuk segera
dituntaskan. Pria yang menjadi panutan di sekolah dan disegani itu
sengaja membuatku merengek-rengek seperti bocah kecil yang minta
digaruk lantaran gatal. Dahsyatnya rangsangan itu membuat tanganku
membimbing Mr.P-nya menembus tubuhku. Hampir tiga jam kami mereguk
madu perzinahan. Tidak ada rasa sakit meskipun darah pagar ayu
milikku tumpah.
Kami kemudian mandi air hangat bareng. Karena lelah, aku tertidur pulas.
Aku baru terjaga ketika bibirku terasa hangat dan basah. Pak Anwar
sudah menagih ‘sarapan pagi’. Setelah dua kali orgasme, aku disuruh
berdiri di dekat jendela. Kami melakukan bersetubuhan sambil
memandangi hamparan kebun teh. Kaca jendela tepat di depan wajahku
menjadi buram lantaran hembusan napasku yang berpacu dengan
hentakan-hentakan yang menggelitik dan menerbangkan diriku ke awan
biru.
Ketukan pintu kamar seorang room boy tidak kami hiraukan. Hingga kami
terlempar ke lembah yang sangat dalam dan terkapar diatas marmer
dingin lantai kamar. Air hangat dari shower akhirnya mengembalikan
kesegaran kami sebelum kembali ke Jakarta menjelang sore di hari
Minggu yang gerimis itu. Kami berpisah di Kedai Bakso Karmin dengan
kecupan hangat Pak Anwar di keningku.
Sejak kejadian itu, aku jadi ingin mengulang-dan mengulang lagi, hingga
Pak Anwar kewalahan harus mengatur jadwal dan membuat alasan kepada
istrinya agar bisa pulang telat demi memenuhi hasratnya bersama
diriku yang jadi sering pusing jika satu minggu tidak tidur
bersamanya.
Pernah suatu ketika –kira-kira dua minggu sebelum ujian akhir--, di
saat jam pelajaran berlangsung aku pamit ke kamar mandi. Ketika
melalui ruang kepala sekolah, Pak Anwar menyuruhku masuk. Dia
mengunci pintu dan ‘memperkosa’ku. Dalam posisi berdiri dan hanya
mencopot celana dalamku, pria perkasa itu bisa ejakulasi, sementara
aku baru separuh jalan. Pulang sekolah, kami bertemu di Bakso Karmi.
“Kamu sudah memuaskan saya, sekarang giliran kamu,” ujar Pak Anwar yang
pada siang itu memuaskan diriku dengan permainan jemari tangannya.
Untung saja kedai bakso itu sedang sepi, sehingga aku bebas merintih
dan menggelinjang ketika tangannya menyelusup di balik rok abu-abu.
TIGA
PRIA--Karena
rapi menyimpan semua affair itu, selama hampir setahun, selain Pak
Anwar aku bisa menjalin hubungan intim dengan tiga pria, Irvan,
ketua kelas yang gampang ‘muntah’ jika Mr. P-nya diremas-remas,
Faisal yang naik sedan kalau sekolah, dan Iqbal, teman Irvan yang
pernah menjebakku dengan VCD porno agar aku mau tidur dengannya.
Iqbal pernah mengajakku main ke rumahnya yang sedang kosong lantaran
orang tua dan dua adiknya sedang pergi ke rumah pamannya. Sementara
pembantunya diberi uang lima ribu dan disuruh ngerumpi dengan
pembantu tetangga. Kami sudah nyaris bugil, namun keperkasaannya
sudah aku lumpuhkan. Setelah puas aku mastrubasi, dia tidak mampu
lagi ‘perang’ hingga pembantunya pulang lantaran capek ngerumpi.
Ketika acara perpisahan, Irvan dapat ijin menempati vila milik pamannya
di Anyer. Tidak semua teman kelasku ikut acara itu. Aku ikut di
mobil Faisal bersama Irvan dan Iqbal. Kami sempat mampir ke
supermarket membeli sebotol Jack Daniel dan beberapa botol kecil
whisky merek Mansion House. “Nanti kamu tidur di kamar kita aja,”
bujuk Irvan. “Tenang, gak bakalan di apa-apain kok,” timpal Iqbal.
“Di apa-apain juga gak apa-apa,” tantangku yang membuat ketiga pria itu
tertawa lepas. Sampai detik itu, mereka tidak tahu bahwa mereka
‘bersaing’ memperebutkan diriku. Setelah acara perpisahan yang
ditutup dengan doa bersama, kami semua sibuk dengan urusan
sendiri-sendiri. Apalagi alkohol telah mempengaruhi otak kami saat
itu.
Menjelang subuh, aku sudah tidak bisa mnegontrol diri lantaran mabuk.
“Kalau gak kuat, kamu muntahin aja, biar enteng,” bujuk Irvan yang
kemudian membimbingku menuju kamar mandi di belakang vila. Setelah
muntah dan kumur-kumur, Irvan mulai melumat bibirku. Pemuda itu
sepertinya sudah tidak tahan lagi. Dia membungkukkan tubuhku. Kedua
tanganku memegang gagang pintu, sementara Irvan menyetubuhi dari
belakang. Tidak sampi lima menit dia sudah ejakulasi.
Aku baru sadar ketika tubuh lemasku dihempaskan ke atas kasur.
Samar-samar aku lihat Iqbal dan Faisal sedang mencopot pakaian
mereka. Dalam hitungan detik, mereka ‘mengeroyok’ku yang sudah
setengah bugil. Diantara deru napas mereka yang memburu, aku sempat
melihat Irvan tidur di lantai lantaran mabuk berat dan kelelahan
setelah menyetubuhiku di kamar mandi.
Malam itu aku nyaris tidak merasakan apa-apa. Pagi harinya, mereka minta
aku melayani mereka sekaligus sebagai kenang-kenangan masa SMU.
Rupanya semalam mereka sempat saling curhat dan sama-sama ‘tertipu’
oleh Ana sang primadona yang bisa berakting seolah-olah tidak
memiliki hubungan dengan mereka.
Aku tidak bisa menolak kemauan mereka. Selain sebagai ‘penebus dosa’
lantaran sandiwara cinta itu, dalam hati kecil, aku juga ingin
merasakan sensasi lain melakukan hubungan seks dengan tiga pria
sekaligus.
Sebelum pesta sesat itu kami lakukan, Irvan mengeluarkan sisa minuman
dan beberapa linting ganja. Aku menolak minum dan menghisap daun
surga itu. Bukannya tidak suka, tetapi aku ingin merasakan sensasi
itu dalam kondisi sadar tanpa pengaruh alkohol dan narkoba.*(bersambung)
|