EDISI>>01-02-03-04-05-06-07-08-09-10-11-12-13-14-15-16-17-18-19-20-21-22-23-24-25-26-27-28-29- 30-31>>

::LIPUTAN::

::BACAAN PALING EKSOTIS::

::ARTIKEL::

CURHAT#13

=> Isu Exo
=> Close Up
=> Intim
=> Gaya
=> Curhat
=> Potret
=> Jelajah
=> Bollystar
=> Exobolly
=> Terawang
=> Modus
=> Blitz
=> Gemar
=> Rona
Aturan
Langganan
Pesan CD
Pesan Bundel
Crew Redaksi
Saran Anda
Tarif Iklan

PENGAKUAN PRIMADONA PENEBAR DOSA

Semasa SMU aku sang primadona. Kedekatanku dengan kepala sekolah mendongkrak nilai ijazah. Saat kuliah, keintimanku dengan dosen, mengubah nilaiku. Kebebasanku dengan teman kuliah mengubahku jadi pembunuh tiga calon bayi yang tak sempat menghirup udara. ‘Madu’ itu kini jadi petaka.

Tahun 1993 usiaku baru 17 tahun. Namun, aku sudah mengenal seks dan sudah akrab dengan alkohol dan narkoba. Semua itu membuka jalan pergaulanku. Jika tidak dengan cara ‘bebas’, sulit bagiku mengimbangi gaya hidup teman sekolah yang kebetulan hidup beruntung, sementara aku hanya putri bungsu dari seorang janda yang mengandalkan hidup dari order jahitan tetangga.

Dua kakak lelakiku terpaksa putus sekolah. Mereka harus puas hanya lulus SLTP, kemudian bekerja dan menikah. Seharusnya, aku ikut jejak mereka lantaran ibuku sudah angkat tangan tidak sanggup lagi bayar SPP dan keperluan sekolah. Lantaran aku sang primadona, uang SPP-ku ‘ditanggung’ Pak Anwar, sang kepala sekolah. Sementara untuk ongkos dan jajan, banyak teman pria rela jadi ‘donatur’.

Aku memang 'bunga’ di sebuah SMU di kawasan Jakarta Selatan itu. Tubuhku ideal dengan buah pantat dan payudara aduhai. Kulitku kuning langsat, mataku bulat, dan bibirku sensual. Apa yang aku miliki sudah pasti membuat iri teman wanita di sekitarku. Apa yang aku miliki menjadi pemicu ‘kumbang jantan’ ingin menghisap maduku. “Ini kesempatan,” teriakku dalam hati.

Kesempatan itu sudah aku manfaatkan. Tetapi, kesempatanku ternyata digunakan sebagai peluang para ‘kumbang’. Sebagai imbalan, kepala sekolahku minta  ‘balas budi’nya. “Ana, sebentar lagi ujian akhir. Saya mau ajak kamu jalan-jalan,” ujar Pak Anwar yang sudah berumur dan punya cucu tetapi masih gagah. Sepintas, dia mirip bintang film drg.Fadly.

Di balik ajakannya itu tersimpan harapan dan ancaman. Dia berharap mendapat sesuatu dariku, dia juga mengancam nasibku jika ajakannya ditolak. Belum sempat aku jawab, pria berwibawa itu sudah bicara lagi, “Besok saya tunggu di Bakso Karmin”.

Pak Anwar sudah sering melumat bibirku. Dia juga kerap meremas payudara atau mengobok-obok organ kewanitaanku. Kedai Bakso Karmin paling sering menjadi ajang kencan kami. Selain enak, meja kursinya yang dibatasi sekat kayu menjadi arena kencan mengasyikkan.

Hanya itu yang Pak Anwar lakukan padaku. Dan sebatas itu yang aku bisa berikan pada penyuka ‘daun muda’ itu, termasuk kepada Irvan, Faisal, dan Toriq, sederet pria yang ikut andil ‘menyokong’ sekolahku hingga menjelang ujian akhir.

Menjelang ujian akhir menjadi penentu. Aku dihadapkan pada dua pilihan, selesaikan sekolah dengan taruhan mahkota berperisai darah perawan, atau pertahankan kesucian, namun tidak lulus sekolah. Kepalang basah, aku adalah wanita yang punya prinsip ijazah lebih berharga ketimbang kegadisan.

TIGA JAM--Ibuku sudah lama tidak perduli dengan sikap dan gaya hidupku. Dia tidak mungkin mengekang putri tunggalnya ini selama setiap minggu aku bisa ‘bantu’ membeli kebutuhan dapur. Dan uniknya, dia tidak mau tahu dari mana uang itu aku dapat. “Bu, mau survey vila di Puncak untuk acara perpisahan,” dengan alasan itu hari Sabtu siang aku sudah di kamar sebuah penginapan di Cisarua, Bogor bersama Pak Anwar.

Pria yang sering aku elus-elus ‘perkutut’nya yang sembunyi di balik celana itu menyuruhku mengenakan celana dalam dan bra yang dia belikan. Begitu aku kenakan, rasanya seperti bugil saja. Celana dalam g-string warna merah hanya mampu menutupi bulu pubisku saja, sementara bra-nya hanya membungkus ujung payudaraku yang menantang dan ranum.

Begitu keluar dari kamar mandi, lelaki tua itu sudah menerkam tubuhku. Lidahnya langsung menyapu tengkuk dan daun telingaku. Darahku langsung berdesir ketika giginya mulai menggigit lunak daun telingaku. Aku semakin hilang kesadaran saat tangan kekarnya menari-nari disetiap jengkal kulit tubuhku.

Hampir lima belas menit dia ‘mempermainkan’ hasrat kewanitaanku. Hingga tanpa sadar aku yang memohon dan merintih-rintih untuk segera dituntaskan. Pria yang menjadi panutan di sekolah dan disegani itu sengaja membuatku merengek-rengek seperti bocah kecil yang minta digaruk lantaran gatal. Dahsyatnya rangsangan itu membuat tanganku membimbing Mr.P-nya menembus tubuhku. Hampir tiga jam kami mereguk madu perzinahan. Tidak ada rasa sakit meskipun darah pagar ayu milikku tumpah.

Kami kemudian mandi air hangat bareng. Karena lelah, aku tertidur pulas. Aku baru terjaga ketika bibirku terasa hangat dan basah. Pak Anwar sudah menagih ‘sarapan pagi’. Setelah dua kali orgasme, aku disuruh berdiri di dekat jendela. Kami melakukan bersetubuhan sambil memandangi hamparan kebun teh. Kaca jendela tepat di depan wajahku menjadi buram lantaran hembusan napasku yang berpacu dengan hentakan-hentakan yang menggelitik dan menerbangkan diriku ke awan  biru.

Ketukan pintu kamar seorang room boy tidak kami hiraukan. Hingga kami terlempar ke lembah yang sangat dalam dan terkapar diatas marmer dingin lantai kamar. Air hangat dari shower akhirnya mengembalikan kesegaran kami sebelum kembali ke Jakarta menjelang sore di hari Minggu yang gerimis itu. Kami berpisah di Kedai Bakso Karmin dengan kecupan hangat Pak Anwar di keningku.

Sejak kejadian itu, aku jadi ingin mengulang-dan mengulang lagi, hingga Pak Anwar  kewalahan harus mengatur jadwal dan membuat alasan kepada istrinya agar bisa pulang telat demi memenuhi hasratnya bersama diriku yang jadi sering pusing jika satu minggu tidak tidur bersamanya.

Pernah suatu ketika –kira-kira dua minggu sebelum ujian akhir--,  di saat jam pelajaran berlangsung aku pamit ke kamar mandi. Ketika melalui ruang kepala sekolah, Pak Anwar menyuruhku masuk. Dia mengunci pintu dan ‘memperkosa’ku.  Dalam posisi berdiri dan hanya mencopot celana dalamku, pria perkasa itu bisa ejakulasi, sementara aku baru separuh jalan. Pulang sekolah, kami bertemu di Bakso Karmi.

“Kamu sudah memuaskan saya, sekarang giliran kamu,” ujar Pak Anwar yang pada siang itu memuaskan diriku dengan permainan jemari tangannya. Untung saja kedai bakso itu sedang sepi, sehingga aku bebas merintih dan menggelinjang ketika tangannya menyelusup di balik rok abu-abu.

TIGA PRIA--Karena rapi menyimpan semua affair itu, selama hampir setahun, selain  Pak Anwar aku bisa menjalin hubungan intim dengan tiga pria,  Irvan, ketua kelas yang gampang ‘muntah’ jika Mr. P-nya diremas-remas, Faisal yang naik sedan kalau sekolah, dan Iqbal, teman Irvan yang pernah menjebakku dengan VCD porno agar aku mau tidur dengannya.

Iqbal pernah mengajakku main ke rumahnya yang sedang kosong lantaran orang tua dan dua adiknya sedang pergi ke rumah pamannya. Sementara pembantunya diberi uang lima ribu dan disuruh ngerumpi dengan pembantu tetangga. Kami sudah nyaris bugil, namun keperkasaannya sudah aku lumpuhkan. Setelah puas aku mastrubasi, dia tidak mampu lagi ‘perang’ hingga pembantunya pulang lantaran capek ngerumpi.

Ketika acara perpisahan, Irvan dapat ijin menempati vila milik pamannya di Anyer.  Tidak semua teman kelasku ikut acara itu. Aku ikut di mobil Faisal bersama Irvan dan Iqbal. Kami sempat mampir ke supermarket membeli sebotol Jack Daniel dan beberapa botol kecil whisky merek Mansion House. “Nanti kamu tidur di kamar kita aja,” bujuk Irvan. “Tenang, gak bakalan di apa-apain kok,” timpal Iqbal.

“Di apa-apain juga gak apa-apa,” tantangku yang membuat ketiga pria itu tertawa lepas. Sampai detik itu, mereka tidak tahu bahwa mereka ‘bersaing’ memperebutkan diriku. Setelah acara perpisahan yang ditutup dengan doa bersama, kami semua sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Apalagi alkohol telah mempengaruhi otak kami saat itu.

Menjelang subuh, aku sudah tidak bisa mnegontrol diri lantaran mabuk. “Kalau gak kuat, kamu muntahin aja, biar enteng,” bujuk Irvan yang kemudian membimbingku menuju kamar mandi di belakang vila. Setelah muntah dan kumur-kumur, Irvan mulai melumat bibirku. Pemuda itu sepertinya sudah tidak tahan lagi. Dia membungkukkan tubuhku. Kedua tanganku memegang gagang pintu, sementara Irvan menyetubuhi dari belakang. Tidak sampi lima menit dia sudah ejakulasi.

Aku baru sadar  ketika tubuh lemasku dihempaskan ke atas kasur. Samar-samar aku lihat Iqbal dan Faisal sedang mencopot pakaian mereka. Dalam hitungan detik, mereka ‘mengeroyok’ku yang sudah setengah bugil. Diantara deru napas mereka yang memburu, aku sempat melihat Irvan tidur di lantai lantaran mabuk berat dan kelelahan setelah menyetubuhiku di kamar mandi.

Malam itu aku nyaris tidak merasakan apa-apa. Pagi harinya, mereka minta aku melayani mereka sekaligus sebagai kenang-kenangan masa SMU. Rupanya semalam mereka sempat saling curhat dan sama-sama ‘tertipu’ oleh Ana sang primadona yang bisa berakting seolah-olah tidak memiliki hubungan dengan mereka.

Aku tidak bisa menolak kemauan mereka. Selain sebagai ‘penebus dosa’ lantaran sandiwara cinta itu, dalam hati kecil, aku juga ingin merasakan sensasi lain melakukan hubungan seks dengan tiga pria sekaligus.

Sebelum pesta sesat itu kami lakukan, Irvan mengeluarkan sisa minuman dan beberapa linting ganja. Aku menolak minum dan menghisap daun surga itu. Bukannya tidak suka, tetapi aku ingin merasakan sensasi itu dalam kondisi sadar tanpa pengaruh alkohol dan narkoba.*(bersambung)

=> Rilexo
=> Cerbung
=> Nojii
=> Cinexo
=> Etalase
=> Gaul
=> Kelambu
=> Exolusi
=> Amor
=> Mbak Dona
=> Horoskop
=> Poster
=>
Bintang Exo
Free Web Site Counter

hubungi redaksi - webmaster - pasang iklan
Copyright 2004 exotica (pt angkasa media utama) All Rights Reserved

Hosted by www.Geocities.ws

1