Kaum homoseks makin menggeliat
PRO KONTRA PERKAWINAN SEJENIS
Oleh : Bud/Bar/Don/Ray
Persamaan
hak menjadi harapan kaum homoseks di Indonesia. Caranya beragam,
termasuk ‘menikah’ di negara lain yang sudah melegalkan pernikahan
sejenis. Ironisnya, banyak yang menentang termasuk dari kaum mereka
sendiri.
Belakangan, Kota
Gudeg mendapat sorotan lantaran ulah ‘nyeleneh’ pasangan homoseks,
Philip Iswardono (37) dan William Johanes (59) yang menggelar
resepsi pernikahan di Planet Pyramid, restoran mewah di Jalan Parangtritis,
Yogyakarta pada Sabtu (06/09) lalu. Sebelumnya --Rabu 23/07--
pasangan beda negara itu sudah melegalkan ‘pernikahan’ mereka di
Gereja Katolik Roma Santo Yosep, Lausden, Belanda. Dalam resepsi
unik itu hadir sekitar 400 undangan.
Saat ditemui Exo di kediamannya di Desa Jadigan, Kecamatan Sewon, Bantul,
Yogyakarta pasangan ‘pengantin’ itu terlihat bahagia. Dengan lemah
lembut, pria beranting di telinga kanan itu mengisahkan kisah
cintanya yang berliku dengan William hingga menjadi ‘suami istri’.
“Saya sengaja mengumumkan perkawinan ini dan mengundang media cetak
cukup berpengaruh,” jelasnya.
Alasan utamanya, mereka ingin mendapat pengakuan masyarakat. Philip
meminta seorang untuk mengangkat potret kaum homoseks secara
keseluruhan. Buntut dari pemberitaan tersebut bukan malah pandangan
sinis kepada mereka.
Tidak hanya itu, kaum mereka pun turut ‘diobok-obok’. Beberapa media
cetak dan elektronik datang ke kediamannya yang asri. Mereka meminta
wawancara eksklusif. Kenyataan itu membuat Wim agak berang. “Saya
tidak ingin perkawinan ini menjadi sorotan publik. Kalau masyarakat
bisa menerima, tidak masalah. Bagaimana dengan yang tidak suka,”
ujar Wim yang membuat Philip mengalah.
Publikasi agar bisa mendapat pengakuan tersebut melenceng dari
harapan Philip. Mereka menjadi gunjingan nasional yang menarik.
“Sebenarnya satu publikasi saja cukup menampung harapan kami, yaitu
pengakuan. Kami tidak ingin memancing pro dan kontra. Warga Desa
Jadigan sudah menerima keberadaan kami sebagai suami istri,” ujar
Philip.
Saat ini, Philip khawatir dengan sistem hukum kita yang tidak
bersedia mengakomodasi kepentingan kaumnya. Philip mengatakan,
mereka hanya berharap, pemerintah tidak mempermasalahkan hubungan
mereka. Meski tidak mendapat legalitas hukum, minimal legalitas
kewarganegaraannya tidak dicabut. “Asal bisa hidup di tengah
masyarakat, itu sudah cukup bagi kami,” harapnya.
Di
tengah keharmonisan rumah tangga yang baru seumur jagung itu, Wim
sedang berusaha mengurus ijin tinggal tetapnya di Indonesia. Setelah
menyibukkan diri dengan aktivitas rutin di siang hari, bila malam
tiba, mereka bercengkerama di depan televisi sebelum kemudian
beranjak ke kamar tidur di rumah type 21 itu. “I love this country
and I love him too,” ujar Wim sambil melirik Philip mesra.
IKUTI JEJAK--Langkah
Wim-Philip tampaknya akan diikuti pasangan Hendy M. Sahertian (30)
dan Mamoto Gultom yang sudah mempersiapkan rencana ‘pernikahan’nya
di Belanda. Ketika sedang berada di Manado, Mamoto ayng diwawancarai
Exo melalui telepon genggamnya pada Senin (20/10) mengaku punya
banyak relasi di Belanda. “Saya yakin, bisa berjalan lancar,”
katanya optimis.
Lebih jauh, pria kelahiran Sumatera Utara ini mengatakan, bagi pasangan
gay yang akan menikah di Belanda, syaratnya salah seorang di
antaranya harus warga negara Belanda, atau jika keduanya bukan warga
negara Belanda, salah seorang di antaranya sudah pernah menetap
minimal satu tahun di negara Kincir Angin itu.
Meski kedua syarat itu tidak ada, pasangan ini sudah membeli cincin
kawin, busana pernikahan, serta menyiapkan visa dan paspor. Mereka
mengandalkan rekan-rekannya yang di Belanda untuk meminta dispensasi
dan mencari gereja tempat prosesi pernikahan. ”Kami sudah dapat
dispensasi. Bulan Desember nanti kami menikah,” ungkap Mamoto.
Mamoto berkisah, keputusannya menikahi Hendy sudah bulat. Karena
sejak pertunangan mereka pada Desember tahun lalu, mereka sudah
tinggal bersama di Perumahan Jati Bening Estate, Pondok Gede, Bekasi.
Di rumah sederhana itu mereka hidup layaknya ‘suami-istri’ sekaligus
mengurus Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) yang juga berkantor
di sana.
Pasangan Philip-William
dan Mamoto-Hendy adalah dua pasangan homoseks yang percaya, apa
yang mereka lakukan adalah langkah terbaik bagi hidup mereka. Namun,
pada kenyataannya, banyak kaumnya tidak bersedia menempuh jalur itu
dengan alasan masih merasa sebagai orang Indonesia yang dibentengi
adat ketimuran dan agama.
HIDUP SENDIRI--Seorang
gay –sebut saja Yudi- berpendapat, bila masyarakat masih sensitif
dengan yang terjadi di sekelilingnya, bagaimana mungkin kaumnya bisa
menunjukkan jati diri. “Jangankan pernikahan sejenis, pernikahan
beda agama saja jadi gunjingan. Biar pun saya gay, saya nggak
mungkin mengambil langkah seperti yang mereka lakukan. Saya nggak
setuju dengan cara ‘gila’ itu,” ujar pria bertubuh kekar ini.
Pendapat senada datang dari Dedi (33), pengurus Ikatan Persaudaraan
Orang-Orang Sehati (IPOOS). Gay yang tahun depan akan menikahi
seorang wanita ini menentang perkawinan Philip -William. “Saya tidak
setuju. Alasannya, adat ketimuran masih sangat melekat di hati saya.
Meski pun dilahirkan sebagai gay, saya tidak akan menempuh cara itu.
Tentang persamaan hak, rasanya itu nggak mungkin,” tegas pria
berkaca mata ini.
Menurut Dedy, umumnya anggota IPOOS adalah gay yang memilih hidup
berkeluarga secara normal dengan wanita. Bahkan banyak yang sudah
mempunyai keturunan. “Cuma, biar udah punya anak, mereka tidak bisa
meninggalkan dunia gay. Karena sejak lahir, mereka sudah memiliki
kelainan. ‘Sakit’, istilahnya,” papar Dedi.
Pilihan itu, kata Dedi adalah untuk masa depan. Memiliki pasangan
yang direstui keluarga, masyarakat, dan agama, juga agar bisa
memperoleh keturunan. Beberapa anggota IPOOS menurutnya, memilih
hidup sendiri sampai mati.
Pendapat lain diungkapkan Alvin, gay yang kebetulan berprofesi sebagai
dosen di sebuah PTS di Jakarta Selatan. Menurutnya, Indonesia sudah
terlanjur menjadi negara hukum. Kalau seandainya dulu menjadi negara
agama, sudah pasti undang-undang pernikahan sejenis itu akan ditolak.
“Saya optimis suatu saat kita bisa seperti Belanda,” terangnya.
Pria ini mengakui, pendapatnya bukan karena dia seorang gay,
melainkan karena kondisi bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
“Segala sesuatu yang akan diputuskan berdasarkan pertimbangan hukum.
Arahnya pasti akan menuju kesana, nantinya. Mau tidak mau yang
berhubungan dengan religion akan ada bentrok dan akhirnya akan
dipikirkan untuk membuat undang-undang,” ujar pria yang sudah
delapan tahun menjadi dosen ini.
LEBIH DIKUCILKAN--Waria
biasanya lebih dikucilkan kehadirannya di tengah masyarakat
dibanding gay dan lesbian. Bukan hanya karena kelainan seksualnya,
melainkan juga karena keinginan besarnya menjadi wanita. Dengan
segala kekurangan dan kelebihannya, mereka berusaha mengubah tampil
seperti wanita termasuk operasi kelamin dengan risiko dan biaya
tinggi.
Beberapa waria yang dijumpai Exo tidak setuju dengan penikahan yang
dilakukan Philip – William. Seperti ungkapan Wanda (29) yang tinggal
di Cipinang Besar Utara, Jakarta Timur. Waria ini mengaku ingin
menikah dengan wanita, mempunyai keturunan. “Siapa sih yang mau
hidup susah seperti ini yang segala sesuatunya nggak jelas,”
imbuhnya kepada Exo pada Sabtu sore (18/10) lalu.
Namun demikian, bila memang nantinya di Indonesia ada UU yang
mengatur tentang perkawinan sejenis, bukan tidak mungkin dia juga
akan bisa mengikuti jejak pendahulunya. Menurutnya, nasib itu ibarat
roda yang berputar. Walau saat ini posisi dirinya masih berada jauh
di bawah, tapi dia yakin suatu saat akan dapat memenuhi semua
impiannya. “Syukur kalau bisa nikah sejenis,” ujar waria yang ogah
ganti kelamin ini.
Menyadari bahwa mereka adalah kaum minoritas, mereka bersatu membuat
wadah khusus, seperti IPOOS (Ikatan Persudaraan Orang-orang Sehati)
yang juga dikenal dengan nama Gaya Betawi. Selain itu juga ada Gaya
Nusantara yang dimotori Dr. Dede Oetomo, dosen di Surabaya, Jawa
Timur.
Komunitas
lain, Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) pimpinan Mamoto dan
Hendy, Blue Angel, kumpulan kaum waria, Persudaraan Gay Yogyakarta (PGY),
Gaya Dewata, Bali, Gaya Siak, Pekanbaru, Batam Gay Society, Gaya
Angso Duo, Jambi, Gaya Priangan, Bandung, Gaya Semarangan, Semarang,
Gayeng Salatiga, Salatiga, dan lain-lain.
Hampir seluruh perkumpulan ini menentang aggotanya yang melacurkan
diri. Tujuannya tidak lain untuk menghindari penyakit kelamin yang
rawan hinggap. Sebagai gantinya, mereka merancang beragam kegiatan
positif seperti menyelenggarakan seminar-seminar AIDS, merancang
acara-acara kesenian, dan beberapa kegiatan lain.
Sejauh pantauan Exo, sudah banyak tempat hiburan malam di Jakarta yang
mengakomodir kebutuhan kaum mereka seperti pertunjukan-pertunjukan
yang dirancang khusus. Kaum homoseks biasa datang ke Moon Light yang
berlokasi di Jalan Pangeran Jayakarta, Cafe Jalan Jalan di Jalan
HR. Rasuna Said, H2O di Jalan Panglima Polim, Blue Sky di Jalan
Thamrin, dan beberapa hiburan lain. Di Yogyakarta mereka mangkal di
Diskotek Papillon dan Mall Malioboro.
Seorang pengelola tempat hiburan malam yang membuka untuk komunitas
gay mengatakan, pihaknya hanya menyediakan tempat. Bila pada
akhirnya tempat tersebut dijadikan ajang bersenang-senang atau
kencan, pihaknya tidak mempersoalnya. “Di tempat hiburan malam mana
pun pasti ada kegiatan negatif, seperti narkoba atau prostitusi. Dan
itu sudah biasa terjadi,” ujarnya.
New
Stardust, tempat hiburan yang juga pernah merancang acara khusus
kaum waria dan menyediakan tempat untuk seluruh gender. “Sejauh
mereka tidak membuat masalah, mengapa tidak,” ujar Ilham Kurniawan,
Konsultan & Humas New Stardust. *
>>>Lanjutan:
BELANDA NEGARA HOMOSEKS.....
|