Ayam kampung Batu Raden
PANTANG ‘MAIN’ DI TEMPAT
Oleh : Rayu
Meski
berada di tengah pemukiman penduduk, lokalisasi Gang Sadar I dan II,
Batu Raden, Purwokerto, Jawa Tengah tetap eksis. Mereka tidak pernah
diusik warga apalagi aparat keamanan. Tak jelas, apakah karena
‘upeti’nya yang besar atau karena dijaga oleh para ‘centeng’
berkepala plontos. ‘Selimut hidup’nya bisa dipesan dari penginapan
atau langsung ‘hunting’ di markasnya..
Tidak sulit mencapai lokalisasi Gang Sadar I, karena masyarakat
Purwokerto sangat mengenal lokasi jajan seks para pria hidung belang
ini. Dari pintu gerbang Lokasi Wisata Batu Raden, jarak yang harus
ditempuh hanya sekitar sepuluh kilo meter dengan pemandangan
pohon-pohon besar dan rumah penduduk di sisi kiri dan kanan jalan.
Sekitar 300 meter sebelum terminal angkot terdapat sebuah gang ke
arah kiri yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Suasana di
mulut gang tidak menunjukkan bahwa di dalam gang ada rumah-rumah
yang menyediakan wanita-wanita pemuas birahi. Dua meter dari mulut
gang terdapat pos keamanan dijaga beberapa orang pria botak.
Ada kesan, mereka ingin ‘mengancam’ agar pengunjung diwajibkan
bersikap sesuai dengan peraturan tak tertulis yang mereka terapkan.
Kesan itu terlihat dari sikap dan pandangan mereka yang penuh curiga
terhadap semua pengunjung, terlebih pendatang baru. Namun kepada
pelanggan, centeng-centeng yang sengaja tampil seperti aparat
keamanan ini bersikap lebih lunak.
Setelah pos keamanan, di sisi kiri dan kanan gang terdapat
rumah-rumah permanen yang jumlahnya sekitar 40 rumah. Setiap rumah
dipasang semacam kaca bening beukuran lebar untuk meunjukkan kepada
pengunjung bahwa di dalamnya tersedia pelacur-pelacur muda.
Di
setiap rumah umumnya tersedia sofa tempat konkow para pelacur sambil
menunggu ‘order’. Di ruang tamu tersebut disediakan satu pesawat
televisi agar mereka tidak jenuh menunggu para hidung belang. Di
dalam sebuah rumah bordil yang dikelola seorang germo itu tersedia 7
kamar yang berfungsi sebagai tempat kos para pelacur yang berusia
sekitar 20 sampai 27 tahun.
Sekilas ada kesan, kamar-kamar berukuran 3 x 4 meter itu adalah
tempat ‘bertarung’ para pelacur dan hidung belang yang tertarik
menikmati tubuh mereka. Pada kenyataannya mereka tidak melayani tamu
di tempat, tetapi harus dibawa keluar rumah. “Biasanya kalau mau,
mereka harus dibawa dari rumah ini, Mas. Bukan main di sini. Di sini
cuma tempat tinggal,” urai ‘guide’ yang kebetulan bertugas
mendampingi tamu hotel bila ada ‘peminat’ ingin berwisata seks.
Guide ini, biasanya pegawai hotel, penginapan, losmen, atau vila
yang bertebaran di sekitar kawasan wisata Batu Raden. Bahkan banyak
pula di antara mereka yang hanya bekerja freelance yang akan
melakukan tugasnya bila ada tamu yang ingin mendapat ‘kehangatan’
sesaat. Tamu hotel hanya menunggu di kamar dan dalam waktu lima
belas menit delivery menu gadis bergincu segera datang.
Tidak ada tawar menawar, karena germo-germo di sana sudah mematok
tarif Rp. 70 ribu untuk short time. Harga tersebut tidak termasuk
sewa kamar, karena pengunjung harus membawa mereka ke penginapan.
Nilai transaksi itu tidak dibagi dua antara pelacur dan germonya.
Menurut seorang germo, sebut saja Ati (39), jatah untuk dirinya
di’pecah’ lagi untuk membayar keamanan, sewa kamar, dan tes
kesehatan yang biasanya dilakukan sekali seminggu.
Tes
kesehatan ini merupakan kegiatan rutin yang wajib dilakukan seluruh
pelacur di sana. Sementara untuk makan sehari-hari mereka harus
merogoh kocek pribadi. Artinya, untuk sekali kencan, para pelayan
seks ini hanya mendapat Rp. 35 ribu. Namun, dalam satu hari mereka
mereka bisa mendapat tamu 3 sampai 5 orang.
Situasi di Gang Sadar II di sebelah kanan terminal angkot tidak jauh
beda. Di sana terdapat sekitar 50 rumah bordil. Perbedaan yang
menonjol, para pekerja seksnya lebih muda dan cantik-cantik
dibanding pelacur Gang Sadar I.
Usia mereka paling mentok 20 tahun. Namun demikian, tarif yang
dipatok sama. Tampaknya, persaingan antar-germo di kedua lokalisasi
ini demikian ketat dengan segala kekurangan dan kelebihan yang
dimiliki. Namun demikian seluruh ayam dan germo di kedua gang
tersebut memiliki paguyuban para wanita pekerja seks yang berguna
sebagai sarana diskusi dan ajang bertukar pikiran.*
|