CALON MERTUAKU PELANGGANKU
Keperawanan
adalah mahkota yang paling berharga bagi wanita. Siapa pun pasti
akan menjaganya, begitu pun aku. Namun, karena termakan janji,
mustika yang seharusnya kuserahkan pada malam pertama kepada suamiku,
direnggut pria yang kucintai. Setelah itu, tanpa mengenal kasihan,
dia meninggalkan aku begitu saja.
Hidupku lebih berwarna ketika bertemu dengan Jaka, pria asal
Tapanuli akhir tahun 1999 lalu. Dia adalah senior di tempatku kuliah,
tepatnya di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Bandung.
Yang membuat aku begitu bangga adalah karena mendapat tempat di hati
Jaka yang secara fisik sangat tampan. Dia termasuk primadona di
kampusku. Bagaimana tidak bangga, hampir semua wanita yang belum
memiliki kekasih mencoba menjerat hatinya. Namun Jaka justru
menjatuhkan pilihannya kepadaku yang sudah sejak lama juga menaruh
hati padanya.
Singkat cerita, kami pun menjalani hari-hari penuh warna. Setiap
berada di sisinya aku merasakan kedamaian yang belum pernah aku
dapatkan dari kekasih-kekasihku terdahulu. Namun semuanya justru tak
berjalan mulus, karena perbedaan agama. Tapi Jaka tetap memberi
keyakinan bahwa semuanya bisa teratasi. Karena sikap percaya diri
Jaka yang begitu besar membuat aku begitu menyayanginya.
Begitu
sayang dan percayanya aku, hingga rela menyerahkan segalanya pada
Jaka, termasuk kegadisanku. Namun janji Jaka yang akan
mempertanggung-jawabkan semua perbuatan yang sudah kami lakukan
membuat aku sedikit merasa tenang. Selanjutnya, tanpa lagi ingat
dengan dosa, setiap ada kesempatan kami selalu bercinta. Karena
kuakui setelah peristiwa pertama, aku merasakan libidoku selalu
meledak-ledak saat berada di sisi lelaki yang berpostur atletis itu.
Bahkan petuah dari orangtua yang selalu berpesan agar aku bisa
menjaga diri dan kehormatan tak lagi kugubris. Hingga akhirnya,
setelah hubungan kami berjalan satu tahun, semuanya berubah duka,
ketika mengetahui Jaka akan menikah dengan pariban-nya (sepupu yang
bisa dinikahi).
Begitu hancur perasaanku, ketika Jaka juga menuruti semua keinginan
orangtuanya untuk segera menikah dengan pariban-nya. Yang lebih
menyakitkan lagi adalah, dia meninggalkan aku begitu saja untuk
pulang ke Medan yang aku sendiri tak tahu alamat lengkapnya. Dari
situ aku tak pernah lagi mendapat kabar berita dari Jaka.
Perlakuannya itu membuat aku begitu membenci Jaka. Begitu bencinya,
hingga aku menyamaratakan semua lelaki. Aku bahkan memutuskan untuk
menutup pintu hati terhadap yang namanya lelaki. Satu tahun kulalui
dengan perasaan benci. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membalas
dendam pada semua lelaki, dengan caraku sendiri.
WANITA LIAR--Aku
menjadi sosok wanita pemburu lelaki untuk sekedar memenuhi hasrat
birahiku yang selalu meledak-ledak. Aku menjadi liar, dengan terus
memburu setiap lelaki yang mau diajak kencan, karena harus kuakui
bahwa aku mulai terbiasa dengan sentuhan lelaki yang bisa memenuhi
hasrat birahi yang begitu tinggi. Dalam sehari aku bisa menggaet
lebih dari 5 lelaki. Namun tetap dengan tujuan utamanya agar sang
lelaki bertekuk lutut di hadapanku yang kemudian aku tinggalkan
begitu saja.
Karena secara wajah, aku adalah wanita yang tergolong sangat cantik,
hingga banyak lelaki yang begitu terpesona jika melihatku. Terlebih
bila aku sudah berdandan. Hampir tiap hari aku nongkrong di
kafe-kafe dan tempat-tempat hiburan malam yang ada di Bandung.
Tujuannya hanya satu, mencari korban-korban pelampiasanku. Dari
sekian banyak lelaki, justru yang membuatku merasa enjoy
ketika bermain seks dengan lelaki yang umurnya lebih tua. Karena
dari lelaki yang berusia tua itu aku bisa menemukan berbagai gaya
baru dalam bermain seks. Dan semua itu memberikan kepuasan
tersendiri bagiku.
Keliaranku makin menjadi ketika aku bertemu dengan Doni yang
mengajak aku untuk pergi ke Jakarta dan mengenalkan aku pada seorang
germo di salah satu diskotek di bilangan Jakarta Pusat. Awalnya Doni
adalah salah satu lelaki yang akan aku jadikan korban. Tapi
belakangan aku mulai menyukai lelaki yang begitu hebat permainan
seksnya ini. Hingga ketika dia hendak menjadikan aku sebagai wanita
penjaja cinta, aku menurut saja.
Sejak itu aku mulai menjadi sosok pramunikmat bagi lelaki hidung
belang yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku. Sebagai
wanita bayaran, hampir tiap malam aku bertemu lelaki dengan berbagai
type dan berbagai kalangan. Tidak sedikit dari para lelaki hidung
belang itu yang menjadi pelanggan tetap karena merasa puas dengan
servis yang kuberikan.
Bahkan tidak jarang mereka minta dilayani hingga satu minggu. Baik
untuk menemani pergi ke luar kota untuk urusan bisnis atau yang
sengaja berlibur untuk menuntaskan urusan bawah perutnya. Semua uang
yang kuhasilkan dari bisnis lendir tersebut telah berbuah rumah dan
kendaraan pribadi. Untuk mengelabui orangtuaku, aku mengaku bekerja
di sebuah perusahaan advertising di Jakarta. Karena memang, awal aku
berangkat ke Jakarta bersama Doni, aku mengaku akan bekerja di
perusahaan tersebut, hingga mereka merestui kepergianku.
Aku tidak mengerti, mungkin apa yang menjadi keputusanku saat terjun
ke dunia kelam itu karena rasa dendam yang belum juga hilang. Namun
yang jelas, aku juga menikmati setiap hubungan yang kujalin dengan
banyak pria. Aku tidak bisa membayangkan bila seandainya ada
keluargaku yang tahu apa pekerjaanku sebenarnya. Bisa jadi ibuku
akan langsung jatuh pingsan dengan penyakit darah tinggi yang
diidapnya atau ayahku langsung melempar tubuhku ke jalanan setelah
mendapat deraan tangannya.
CALON MERTUA--Namun
semua aktivitas rutin itu membuat aku jenuh juga. Bagaimana pun,
sebagai seorang wanita, aku masih memimpikan tentang masa depan.
Berkeluarga dan mempunyai anak, mengingat usiaku hampir menginjak
kepala tiga. Hingga suatu hari, tepatnya akhir Agustus 2002 aku
bertemu dengan Hendy di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. Meski
usianya baru 28 tahun, Hendy tergolong pria dewasa. Dia mampu
menunjukan sikap arif yang membuat aku merasa tenang saat berada di
sisinya.
Saat itu, Hendy tidak tahu profesiku sesungguhnya. Untuk menutupinya,
aku akhirnya memutuskan untuk berhenti sebagai wanita penghangat
ranjang para pria hidung belang. Karena kuakui, aku begitu jatuh
cinta pada Hendy dan sangat takut jika dia tahu siapa aku yang
sesungguhnya. Dan aku yakin, dia pasti akan meninggalkanku.
Selama lima bulan perjalanan cinta kami, Hendy berniat melamarku.
Mendengar niat baiknya itu tentu saja aku sangat gembira. Dan kabar
itu segera kusampaikan kepada kedua orang-tuaku di Bandung. Mereka
pun turut berbahagia mengingat usiaku yang sudah cukup matang. Dan
lagi, impian ibuku untuk segera bisa menimang cucu bisa segera
terkabul. “Kalau dia sudah menjadi pilihanmu, ibu tidak melarang.
Tapi ibu berharap, setelah menikah, segeralah punya anak. Ingat
usiamu,” nesehat ibuku kala itu.
Sebelum benar-benar melaksanakan niatnya, Hendy mengundangku ke
rumahnya untuk dikenalkan pada kedua orangtuanya. Dengan perasaan
sedikit grogi, aku datang pada jamuan makan malam di kediaman Hendy.
Namun betapa kagetnya aku, ketika sesampainya di rumah Hendy aku
melihat sosok lelaki yang pernah menjadi pelanggan setiaku. Lebih
mengejutkan lagi, ketika berjabat tangan saat diperkenalkan Hendy,
ternyata lelaki itu adalah ayah Hendy.
Dengan perasaan hambar aku mengikuti acara jamuan makan malam itu.
Begitu juga dengan ayahnya yang terlihat kaku. Selesai makan, aku
langsung berpamitan dan Hendy mengantarku pulang. Besoknya
ketakutanku akan terbongkarnya statusku yang sudah kutinggalkan itu
akhirnya terbukti. Setelah mendapat keterangan dari sang ayah,
dengan emosi yang tinggi Hendy mendatangiku.
Dia mendampratku sambil mengatakan bahwa selama ini dia sudah
dibohongi. Dengan tangis tertahan aku hanya mendengar segala
amarahnya. Air mata tak sanggup lagu kubendung ketika pengakuan itu
keluar juga. Aku terjerumus ke lembah nista adalah juga karena
penghianatan seorang pria. Seperti berkhianatnya ayah Hendy terhadap
ibunya saat berpacu birahi denganku di atas ranjang. “Semua ini
karena perbuatan laki-laki. Laki-laki yang tanpa mengenal belas
kasihan, mencampakkan wanita yang sudah dinodainya. Salahkah bila
aku ingin membalas dendam dan salahkah aku bila kemudian aku kembali
mengerti arti cinta setelah bertemu denganmu,” ujarku berurai air
mata.
Melihatku yang tidak bisa menahan perasaan, Hendy segera memeluk
tubuhku. Secercah harapan timbul, namun ternyata Hendy adalah
seorang anak penurut. Sebelum meninggalkan aku yang masih berurai
air mata, Hendy masih sempat menyelipkan nasehat-nasehat yang
membuat bulu romaku berdiri. Bahwa sebaiknya aku harus segera
mendekatkan diri kepada Tuhan. Bahwa apa yang kulakukan selama ini
adalah sebuah dosa besar yang hanya bisa dihapus dengan cara
bertobat. Namun, tahukah Hendy bahwa mencintainya juga adalah salah
satu bentuk pertobatanku. Terbukti, aku sudah meninggalkan dunia
penuh coreng moreng itu sejak menjadi kekasihnya.
Dengan hati hancur aku meratapi semua peristiwa itu. Dan tanpa sadar
aku juga meratapi nasehat-nasehat Hendy tentang dosa. Sambil
bersujud dan berurai air mata, aku memanjatkan doa kepada Sang
Pencipta. “Tuhan, salahkah hambamu yang ingin bertobat ini. Mengapa
begitu berat cobaan yang engkau berikan kepadaku. Sampai kapan aku
harus menanggung beban ini,” rintihku dalam doa. Hal yang sudah
sangat lama kutinggalkan. *diceritakan Rina di Pondok Indah
kepada Budi
|