Anda Pengunjung ke:     

Cari di PIO Cari di Internet
SEJARAH SINGKAT PERMESTA
DISUSUN SECARA KRONOLOGIS

Webmaster baru-baru ini membagi masa sejarah dalam bentuk kronologi ini kedalam 8 masa, yaitu:
  1. Masa Pra-Permesta (Latar Belakang): sebelum 2 Maret 1957
  2. Masa Awal Permesta (Pembangunan I): 2 Maret 1957 - 7 Juni 1957
  3. Masa Awal Pergolakan Permesta (Pembangunan II): 8 Juni 1957 - 16 Februari 1958
  4. Masa Pergolakan Permesta I (Pemberontakan PRRI): 17 Februari 1958 - 7 Februari 1960
  5. Masa Pergolakan Permesta II (Pemberontakan Republik Persatuan Indonesia) : 8 Februari 1960 - Nov 1960
  6. Masa anti-Klimaks Permesta (Likuidasi Permesta/kembali ke Permesta) : November 1960 - September 1961
  7. Masa Post-Permesta (Rehabilitasi Permesta): September 1961 - 1984
  8. Masa Neo-Permesta (Reuni Permesta): 1984 sampai sekarang


INDEKS KRONOLOGI: (klik bila perlu)
* Masa pra-Permesta
* Masa awal Permesta (Pembangunan I)
Proklamasi Permesta 2 Maret 1957
* Masa Awal Pergolakan Permesta (Pembangunan II)
Pembubaran TT-VII/Wirabuana
Munas 1957
Soekarno berkunjung di Minahasa
* Masa Pergolakan Permesta I (Pemberontakan PRRI)
Peristiwa pesawat Allan Pope
Pendaratan besar�an Tentara Pusat di Minahasa
Tomohon diduduki/Mayor Eddy Mongdong membelot
Operasi Jakarta Spesial I (Serangan Umum Permesta)
Kotamobagu diduduki TNI
* Masa Pergolakan Permesta II (Pemberontakan Republik Persatuan Indonesia)
Peristiwa penembakan pilot Maukar
Joop Warouw dibunuh
* Masa anti-Klimaks Permesta (Likuidasi Permesta/kembali ke Permesta)
Perdamaian Permesta dan TNI (kembali ke pangkuan ibu pertiwi)
* Masa Post-Permesta (Rehabilitasi Permesta)
* Masa neo-Permesta (Reuni eks-Permesta)
Deklarasi Front Permesta
Kongres Minahasa Raya I
HUT ke-45 Proklamasi Permesta





Halaman 1 | Halaman 2 | Halaman 3

Masa pra-Permesta

Maret 1950 Ny. A.M. Waworuntu menjadi Waikota Manado untuk tahun 1950-1951. Pada pemilihan umum di kota Manado pada akhir tahun 1949, Ny. A.M. Waworuntu terpilih menjadi Walikota Manado, dan baru disahkan pada bulan Maret 1950. Dengan demikian Ny. Waworuntu adalah walikota wanita pertama di Indonesia.

Sejarah kota Manado dimulai tahun 1919 dengan membentuk Dewan Kota (gemeente-raad). Pada awalnya, Asisten-Residen afdeling Manado merangkap Kepala Kota Manado. Nanti pada tahun 1928 barulah kota Manado memiliki seorang Walikota. pada tahun 1947 Manado dijadikan kotapraja tak sejati (neo-stadsgemeente) dan merupakan bagian dari Daerah Minahasa. Pada tahun 1954 barulah Manado dijadikan Kota-Besar setingkat Daerah Swatantra Tongkat II (DATI II) - Kota Madya Manado (Kodya Manado), dan memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kemudian pada Masa Orde Reformasi, Kota Madya Manado berubah menjadi Kota Manado, dengan memiliki Dewan Kota (sebelumnya DPRD).
20 Juni 1950 Wilayah Komando Tentara & Territorium VII - Indonesia Timur (TT-VII/TTIT) didirikan.
Wilayah ini meliputi daerah 4 provinsi, yaitu provinsi Sulawesi, provinsi Sunda Kecil (Nusatenggara), provinsi Maluku, provinsi Irian Barat (yang masih dikuasai Belanda).
Pada tahun 1951, Letkol Alex Kawilarang menjadi Panglima Komando TT-VII/TTIT selama beberapa bulan lamanya sampai bulan November, ketika tanggal 10 November ia secara resmi menjadi Panglima Komando TT-III/Siliwangi dengan pangkat Kolonel.
7 Agustus 1950 kawilarang_03a Langkah Kolonel Alex Kawilarang yang sulit dilupakan masyarakat politik pada tahun limapuluhan ialah ketika ia menempeleng Letkol Soeharto di Makassar saat sedang menumpas pemberontakan RMS dan pasukan KNIL/KL (KNIL=Koninklijke Nederlands Indisch Leger /Tentara Hindia Belanda, KL=Koninlijk Leger /Tentara Kerajaan Belanda). Kolonel Alex Kawilarang marah karena selaku Panglima TT-VII/TTIT ia baru melaporkan kepada Presiden Soekarno (tanggal 4-5 Agustus) bahwa keadaan di Makassar sudah aman.
Tetapi Soekarno menyodorkan radiogram yang baru diterimanya bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar hari Jumat, tanggal 5 Agustus. Ternyata pasukan yang harus mempertahankan kota Makassar yaitu Brigade Garuda Mataram telah melarikan diri ke Lapangan Udara Mandai. Maka tidaklah mengherankan bahwa Kolonel Alex Kawilarang menjadi marah dan hari Senin ini buru� kembali ke Makassar. Setibanya di lapangan udara Mandai ia langsung memarahi komandan Brigade Garuda Mataram Letkol Soeharto: "sirkus apa�an nih?" kata Kolonel Alex Kawilarang sambil menempeleng pipi Letkol Soeharto.
Maka dapatlah dimengerti, akibat peristiwa tersebut, hingga saat Alex Kawilarang meninggal, Presiden Soeharto tidak pernah berbicara dengan bekas atasannya itu. Penghargaan kepada A.E. Kawilarang secara resmi baru diberikan pada 1999 yang lalu, sewaktu Presiden B.J. Habibie berkuasa.
6 September 1950 Pembentukan Kabinet Natsir, kabinet pertama setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dari Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Kabinet ini merupakan Zaken Kabinet, dan intinya adalah Masyumi. Kabinet ini menyerahkan mandatnya pada tanggal 21 Maret 1951.
10 November 1950 Serah terima jabatan Panglima Komando Tentara & Territorium III/Siliwangi dari Kolonel Sadikin kepada Kolonel Alex E. Kawilarang di Bandung. Upacara tersebut dihadiri oleh KSAD Kolonel A.H. Nasution, Menteri Sewaka, Menteri Suwiryo, Menteri Arnold Mononutu, Kapolri Sukanto, Jaksa Agung Suprapto dan Letkol Sutoko.
kawilarang_siliwangi1a
Serah terima jabatan Panglima TT-IIII/Siliwangi
kepada Kol. A.E. Kawilarang
27 April 1951 Kabinet Soekiman terbentuk di bawah Perdana Menteri Soekiman. Kabinet ini adalah suatu kabinet koalisi antara kedua partai terbesar waktu itu, yakni Masyumi dan PNI.
Kabinet ini jatuh pula dan menjadi kabinet demisioner sejak tanggal 23 Februari 1952 sampai terbentuknya kabinet baru.
3 April 1952 Kabinet Wilopo terbentuk dibawah Perdana Menteri Wilopo (PNI), yang juga merupakan koalisi kedua partai terbesar, yaitu Masyumi dan PNI. Kabinet ini jatuh pada tanggal 3 Juni 1953, dan menjadi kabinet demisioner sejak saat itu.
15 April 1952 Kolonel Alex E. Kawilarang mendirikan Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (Kesko Terr-III). Komando pasukan khusus ini memakai baret merah mengikuti kesatuan komando Belanda. Ide pembentukan kesatuan komando ini timbul oleh pengalamannya melawan Pemberontakan RMS di Maluku. Saat itu ia bersama Letkol Slamet Ridjadi (Brigjen Anumerta) cukup mengalami kesulitan menghadapi RMS Baret Merah dan bercita� mendirikan satuan komando semacam itu yang tangkas dan cepat. Kol. Kawilarang sangat menaruh perhatian yang besar pada latihan� komando ini. Komandan Kesko Terr-III/Siliwangi adalah Mayor Mohammad Idjon Djanbi (seorang berkebangsaan Belanda yang dulunya bernama Visser), dengan markas komandonya di Batujajar - Jawa Barat.
Begitu pesatnya perkembangan dan keunggulan kesatuan ini sehingga pada tahun 1953 Kesko TT-III/ Siliwangi ditimbangterimakan kepada Inspektorat Infanteri MBAD. Namanya kemudian diubah menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD), kemudian diubah lagi menjadi RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat), Palu RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), kemudian Kopassandha (Komando Pasukan Sandhi Yudha), kemudian terakhir menjadi Kopassus (Komando Pasukan Khusus).

Kelak pada masa Pergolakan Permesta (Pemberontakan PRRI) pada tahun 1958-1961, kesatuan ini menjadi tulang punggung untuk menumpas Permesta dimana saat itu Alex Kawilarang sebagai Panglima Besar pasukan Permesta, dengan demikian seluruh bekas anak buahnya berbalik menyerangnya sebagai lawan dalam pertempuran.
17 Oktober 1952 Momen yang dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober 1952, dilakukan oleh para perwira militer /TNI-AD yang merasa tidak puas akan kinerja pemerintahan RI saat itu, dimana pemerintah terlalu mencampuri urusan dalam tubuh TNI dan menyingkirkan perwira� yang tidak disukai mereka. KSAD - Kolonel Abdul Harris Nasution, KSAP - Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang, Panglima TT-III/Siliwangi Kolonel Alexander Evert Kawilarang, serta beberapa perwira tinggi TNI lainnya menemui Presiden Soekarno di istananya di Jakarta, menuntut presiden untuk membubarkan Parlemen dan membentuk Parlemen baru.
Hal ini menimbulkan kemarahan dari Presiden.
Kemudian, KSAD menyatakan bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa itu dan mengajukan permohonan berhenti kepada Pemerintah. Juga Jenderal Mayor T.B. Simatupang mengundurkan diri, dan jabatan KSAP selanjutnya ditiadakan.
16 November 1952 Kepala Staf TT-VII/TTIT Letkol Jacob Frederik (Joop) Warouw mendaulat Kolonel Gatot Subroto sebagai Panglima TT-VII/TTIT akibat Panglima TT-nya berada di Kelompok pro-17 Oktober. Reaksi rakyat di Makassar atas tahanan rumah bagi Kolonel Gatot Subroto dan tahanan asrama bagi polisi militer Jawa ini cukup besar (CPM), menangkap inti dimensi daerah dalam peristiwa ini: "Orang� Jawa dilucuti orang Manado."
Kemudian ia menjadi penjabat sementara Panglima TT-VII/TTIT tanggal 5 Januari 1953, dan pada tanggal 1 Agustus 1954 resmi sebagai Panglima TT-VII/Indonesia Timur dengan pangkat Kolonel.
Kepala Staf TT-VII/Wirabuana saat itu dijabat oleh Letkol H.N. Ventje Sumual, yang sebelumnya adalah Kasi-I Inspektorat Infanteri di Bandung.
Tahun 1955 Mayor D.J. Somba menjadi Assisten II/Personalia di TT-VII/Wirabuana, dan pada bulan Desember 1956 menggantikan Letkol H.V.Worang sebagai Komandan RI-24 di Manado.

Saat Joop Warouw inilah TT-VII diberi nama WIRABUANA (oleh Kolonel Ahmad Yani) dari bahasa Sansekerta yang artinya: negeri yang terang, dimana Wira = satria, terang, dan Buana = wilayah/daerah, karena wilayah ini adalah wilayah matahari terbitnya Indonesia, dan juga wilayah/daerah ini disiapkan untuk suatu wilayah militer.
20 Juni 1953 Wilayah Komando Tentara & Territorium VII resmi diberi nama WIRABUANA (oleh Kolonel Ahmad Yani) dari bahasa Sansekerta yang artinya: negeri yang terang, dimana Wira = satria, terang, dan Buana = wilayah/daerah, karena wilayah ini adalah wilayah matahari terbitnya Indonesia, dan juga wilayah/daerah ini disiapkan untuk suatu wilayah militer.
Hari ini diperingati KODAM VII/Wirabuana sebagai HUT-nya.
1 Agustus 1953 Setelah krisis 58 hari lamanya, Kabinet Ali-Wongso terbentuk dengan Perdana Menteri Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI) dan Wakil Perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (Partai Indonesia Raya, PIR). Dalam kabinet ini Masyumi tidak turut serta, tetapi Nahdlatul Ulama (NU) duduk di dalamnya.
Kabinet ini menyerahkan mandatnya pada tanggal 24 Juli 1955.
1954 Status kota Manado dijadikan Kota-Besar dengan kedudukan sebagai Daerah Swatantra Tingkat II dipisahkan dari Kabupaten/Daerah Swatantra II Minahasa pada tahun 1954. Dengan peningkatan status Manado menjadi Kota-Besar, timbullah persoalan pemindahan ibukota Daerah Minahasa dari kota Manado. Hal ini berlarut� sehingga nanti pada tahun 1959 dengan melalui Parlemen RI, Pemerintah Agung di Jakarta menetapkan Tondano menjadi ibu kota dari Daerah Minahasa. Pemindahan Pemerintahan Daerah Minahasadari Manado ke Tondano telah direncanakan mulanya akan berlaku pada tahun 1961.
Tahun 1954 ini juga kota Bitung dijadikan pelabuhan samudera. Pembangunan Bitung menjadi pelabuhan telah dipersiapkan sejak tahun 1950. Peresmiannya nanti berlaku pada tahun 1954.
September 1954 Mayor Jan Maximillian Johan "Nun" Pantouw dinonaktifkan dari dinas militer TNI dalam kapasitasnya sebagai Asisten I (Intelegen) pada TT-VII/Wirabuana akibat keterlibatannya dalam penyelundupan kopra atas nama Staf Komando TT-VII/Wirabuana.
1 Oktober 1954 Wilhelmina Bertha (Nona) Politon memelopori pendirian Universitas (swasta) Pinaesaan (yang berarti persatuan) di Tondano, ibu kota Kabupaten Minahasa, pada 1 Oktober 1953. "Kota Tondano dipilih menjadi lokasi pusat Universitas Pinaesaan, karena pertimbangan banyak anak muda yang nakal dan miskin hidup di kota itu pada masa itu," katanya. Semula dibentuk sebuah Panitia Perguruan Tinggi Sulawesi Utara pada tanggal 8 Februari 1953 yang kemudian diubah menjadi Yayasan Universitas Pinaesan yang diketuai Nona Politon. Universitas Pinaesaan waktu itu hanya memiliki Fakultas Hukum. Pada tahun 1958 saat pergolakan Permesta, Universitas Pinaesaan dipindahkan dari Tondano ke Manado.
Lewat proses pengembangan Universitas Pinaesaan, wanita kelahiran 4 Agustus 1923 ini berhasil membangun hubungan kuat dengan Menteri Pendidikan RI saat itu, Prof Mr Moh Yamin. Bersama sejumlah pejuang pendidikan lainnya, Nona Politon meminta pemerintah pusat mendirikan perguruan tinggi di Manado. Alasannya sederhana. Akan makan biaya mahal, bila setiap anak muda Sulawesi Utara yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi, harus pergi ke Pulau Jawa. Kalaupun terpaksa ke Jawa, kata Nona Politon, juga tidak banyak orang yang mampu membiayai dan bisa mengecap bangku pendidikan tinggi. Usaha ini ternyata mendapat tanggapan positif Prof Mr Moh. Yamin.

Nasib Universitas Pinaesaan sendiri tidak cerah terutama karena kendala pergolakan Permesta, 1958-1960. Menyusul selesainya pergolakan, minat kaum muda, lulusan SLTA, lebih terarah ke perguruan tinggi negeri, IKIP dan Universitas Sam Ratulangi.
Universitas Pinaesaan ini kemudian oleh pemerintah digabung dengan Universitas Permesta pada masa pergolakan Permesta menjadi Perguruan Tinggi Manado (PTM), lalu Universitas Sulawesi Utara (UNISUT, kemudian menjadi UNSRAT)pada tanggal 17 September 1961.
November 1954 Panglima TT-VII/Wirabuana (Indonesia Timur), Letkol Joop Warouw mulai bulan ini mengizinkan ekspor kopra tanpa melalui prosedur yang biasa, yaitu dengan melakukan barter. Kegiatan ini memang akhirnya dihentikan oleh Jakarta setelah salah satu kapal yang mengangkut kopra ditahan pihak Angkatan Laut (ALRI). Letkol Warouw dan stafnya diperiksa Jaksa Agung Abdul Mutalib Moro serta pihak ALRI. Beberapa orang dibebastugaskan, sekalipun Letkol Warouw sendiri tetap menjabat panglima.
1955 Dalam sebuah statistik, penduduk Minahasa berjumlah 525.606 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,8%.
Januari 1955 Para petani di Sulawesi Utara mengambil alih kantor dan fasilitas Yayasan Kopra di Manado yang dikelola oleh Kementrian Perekonomian, dan mendirikan Yayasan Kelapa Minahasa bulan berikutnya. Kegiatan ini mendapat sokongan penuh dari pimpinan militer setempat. Yayasan Kopra didirikan pada masa penjajahan, berpusat di Makassar, tetapi pada tahun 1950 dipindahkan ke Jakarta. Yayasan itu dianggap kurang bijaksana terutama karena melakukan diskriminasi harga. Mutu kopra di Minahasa yang jauh lebih tinggi dari pada mutu kopra Jawa dihargai lebih rendah oleh Yayasan Kopra. Selain itu, karena kekurangan dana, Yayasan Kopra membayar para petani dengan bon, yang menurut perjanjian akan ditebus dengan uang yang sesuai jumlahnya. Tetapi pelunasan itu tidak kunjung dilaksanakan, sehingga sejumlah petani terpaksa memperjualbelikan bon� (kupon�) tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada bulan November 1955, wilayah� penghasil kopra lainnya pun menyusul mendirikan yayasan sendiri. Maka berdirilah Yayasan Kelapa Sangir Talaud, Yayasan Kelapa Bolaang Mongondow, dan Yayasan Kelapa Gorontalo.
4 Februari 1955 jan_pantouw Terbentuknya Yayasan Kelapa Minahasa (YKM) dengan tokohnya Jan M.J. (Noen) PANTOUW, kemudian mengadakan perdagangan barter Kopra sebagai penyelundupan terselubung ke luar negeri yang memuncak pada bulan Februari � April 1956 dengan masuknya 6 buah kapal asing di pelabuhan Bitung yang mengangkut 25.000 ton kopra. YKM lalu melebarkan sayapnya sampai di Singapura dengan nama Eastern Produce Agency, Ltd..

Disamping itu, dua orang tokoh yang cukup berperan dalam perdagangan barter kopra di Minahasa yang dimulai oleh Letkol Hein Victor Worang (Komandan Resimen Infanteri 24 /RI-24 di Manado) dan penggantinya, Panglima KDM-SUT (sebelumnya Resimen Infanteri / RI-24) Mayor D.J. Somba. Namun nasib Mayor H.V. Worang selanjutnya setelah pihak pusat memantau aksi perdagangan barter tersebut adalah diganti bulan Desember 1956 dan ditawari studi lanjut ke luar negeri, kemudian ditugasi di Sumatera Selatan selaku Komandan RI-6/TT-II di Tanjungkarang, Lampung. Di sana ia bertindak sebagai Komandan TT-II, Letkol. Barlian, pada Musyawarah Nasional bulan September 1957.

12 Februari 1955 Panglima TT-VII/Wirabuana menyusun organisasi untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi dengan cara barter yaitu dengan cara melegalisasikan kegiatan barter tersebut. Hari ini, ia mengangkat Mayor M. Saleh Lahede sebagai perwira yang menangani "OPI X TT-VII" (Opsir Pekerjan Istimewa X TT-VII) yang langsung berada di bawah panglima. Tugas Mayor Saleh Lahede adalah mengkoordinasi ekspor di Bitung dan di Morotai (besi tua). Namun penyelenggaraan perjudian kasino di kota� besar, yang telah dilakukan dalam rangka mencari dana itu, dihapus oleh Mayor Saleh Lahede. Dana yang diperoleh OPI X TT-VII digunakan untuk membiayai opeasi militer dan kegiatan sosial ekonomi.
April 1955 Mayor M. Saleh Lahede mendapat kepercayaan Pejabat Gubernur untuk menangani Yayasan Kopra di Makassar dengan mendirikan Yayasan Kopra Sulawesi berkedudukan di Makassar yang berusaha mengkoordinasi seluruh perdagangan kopra di pulau Sulawesi.
12 Agustus 1955 Kabinet Burhanuddin Harahap terbentuk, yang merupakan kabinet koalisi dengan Masyumi sebagai intinya, sedangkan PNI menjadi partai oposisi.
22 September 1955 Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) berdiri di Tondano atas usaha Nona Politon dan Prof Mr G.M.A. (Laan) Inkiriwang yang menjadi Dekannya, berdasarkan SK Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI No. 2450/Kab/55.. Karena pengalaman Nona Politon dalam memroses dan mendirikan Universitas Pinaesaan (yang berarti persatuan), Prof Moh Yamin lalu menugaskan Nona Politon menyiapkan pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Sulawesi Utara.
Perguruan Tinggi ini mulanya menjadi cabang fakultas pada Universitas Hasanuddin Makassar di Tondano. Dana yang dipakai antara lain atas bantuan dari TT-VII/Wirabuana dengan ekspor kopra (oleh administrasi pemerintah dianggap penyelundupan kopra).
PTPG ini kemudian berubah namanya menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Tondano di Manado yang berafiliasi ke FKIP Makassar (FKIP Unhas Tondano) pada tahun 1956-1958, dan akhirnya berkembang menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Tondano di Manado pada waktu pergolakan Permesta berakhir. Karena gangguan keamanan FKIP Unhas di Tondano hijrah dari Tondano ke Manado pada bulan Agustus 1958 tanpa perntah dari Depdikbud atau Pemerintah Pusat. Setelah itu, pada tahun 1994, IKIP Negeri Manado secara resmi dipindahkan dari Manado ke Tondano dan menjadi IKIP Negeri Tondano (Fakultas POK, FMIPA, Fakultas Pendidikan Teknik sudah menyusul sebelumnya), akhirnya menjadi Universitas Negeri Manado (UNIMA) pada bulan September 2000. Sebelum IKIP menjadi UNIMA, waktu itu namanya adalah Universitas Negeri Walanda Maramis yang akhirnya tidak disetujui namanya sehingga ternyata yang disetujui adalah nama UNIMA.

UNIMA kini menempati kampus seluas 400 hektar di areal perkebunan Tonsaru Tondano. Sejak didirikan hingga sekarang, UNIMA telah menghasilkan ribuan sarjana dari berbagai strata (S1, S2, dan S3).
29 September 1955 PEMILIHAN UMUM Pertama di Indonesia, untuk memilih anggota DPR, dengan sistem demokrasi liberal. Hasilnya Masyumi (60 kursi), PNI (58 kursi), NU (47 kursi), PKI (32 kursi) sebagai partai terbesar.
DPR hasil pemilihan umum beranggota 272 orang, yang dilantik pada tanggal 20 Maret 1956.
Sedangkan di Minahasa, partai yang mendominasi adalah PNI, PSI dan Parkindo.
28 Oktober 1955 Kabinet Ali-Wongso memutuskan untuk mengangkat Kolonel A.H. Nasution sebagai KSAD, yang mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat yang dijabat sementara oleh Wakil Kepala Staf AD Kolonel Zulkifli Lubis. Sebelumnya, KSAD yang lalu, Jenderal Mayor Bambang Sugeng mengundurkan diri, dan pelantikan penggantinya Kolonel Bambang Utojo sebagai KSAD pada tanggal 27 Juni 1955 diboikot oleh perwira� Angkatan Darat. A.H. Nasution selanjutnya dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal Mayor.
(pangkat Brigadier Jenderal belum dikenal dalam sistem perpangkatan TNI saat itu).
10 November 1955 Yayasan Kopra di daerah Sangihe-Talaud (Satal), Bolaang-Mongondow (Bolmong), dan Gorontalo diambil alih ; sekalipun hanya Yayasan Kopra Sangihe-Talaud yang diakui Pemerintah Pusat.
15 Desember 1955 Pemilihan Umum kali ini untuk pemilihan anggota-anggota Konstituante (Sidang Pembuat Undang� Dasar). Anggota Konstituante berjumlah 542 orang, yang dilantik pada tanggal 10 November 1956
1956 Dalam statistik Balai Konsultasi Ekonomi - R.C. Lasut, penduduk Minahasa pada tahun 1956 berjumlah 543.936 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,8%.
3 Maret 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap menyerahkan mandatnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955.
24 Maret 1956 Kabinet Ali II terbentuk, dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Kabinet ini merupakan kabinet pertama setelah DPR hasil pemilihan umum terbentuk. Partai pendukung Kabinet ini ialah PNI, Masyumi dan NU serta beberpa partai kecil lainnya. PKI sendiri tidak masuk dalam Kabinet karena masuknya komunis dalam Kabinet masih ditentang oleh beberapa pihak mengingat tindakan� PKI di masa lalu, terutama Pemberontakan PKI di Madiun.
2 April 1956 RUU yang membatalkan seluruh perjanjian KMB secara unilateral yang diajukan Kabinet, disetujui secara bulat oleh DPR. RUU ini ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 8 Mei 1956.
Inilah awal dari ketegangan baru antara Indonesia dengan pihak Belanda sejak KMB ditandatangani. Pembatalan persetujuan KMB secara sepihak oleh Indonesia pada prinsipnya didasarkan kepada sikap Belanda yang tidak mau menepati persetujuan KMB yang menyangkut soal Irian Barat.
12 Juli 1956 Andi Pangerang Petta Rani (Andi Pangerang Daeng Parani) diangkat menjadi Gubernur Sulawesi, jabatan yang dipangkunya sampai dengan tanggal 20 April 1960.
25 Mei 1956 Pemerintah Pusat memutuskan, Yayasan Kopra secara resmi akan dibubarkan pada tanggal 26 Juli 1956, dan akan digantikan setahun kemudian oleh Koperasi Kopra Pusat.
13 Agustus 1956 Panglima TT-VII/Wirabuana, Kolonel Joop Warouw, dalam konferensi persnya yang terakhir sebelum serah-terima jabatan Panglima TT-VII, sebelum pemindahannya ke Peking, mengatakan bahwa ia menerima semua tanggung jawab penyelundupan kopra yang melewati Bitung.

Pada hari ini, CPM di dalam TT-III/Siliwangi menangkap mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Gamal Abdel Mesir Nasser baru saja menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan KSAD A.H. Nasution, penangkapan dibatalkan, dan Roeslan akhirnya bisa berangkat ke luar negeri.
14 Agustus 1956 Timbang terima Panglima TT-III/Siliwangi dari Kolonel Alex E. Kawilarang kepada Kolonel Suprayogi, untuk selanjutnya bulan Desember tahun itu pergi ke Washington, D.C. menjadi Atase Militer pada Kedutaan Besar RI di sana.
Selama memimpin TT-III/Siliwangi, Kolonel Kawilarang bermasalah antara lain pernah menangkap menteri Ruslan Abdulgani karena dituduh korupsi.
17 Agustus 1956 Pembentukan provinsi Papua Barat (Irian Barat) dengan ibukota di Soa Siu.
Gubernur yang pertama pada bulan September 1956 adalah Sultan Tidore - Zainal Abidin Syah. Provinsi tersebut meliputi wilayah yang masih diduduki Belanda dengan daerah� Tidore, Oba, Weda, Patani, serta Wasile di Maluku Utara.
22 Agustus 1956 Kolonel J.F. (Joop) Warouw hari ini meletakkan jabatannya sebagai Panglima Komando TT-VII/ Wirabuana dalam rangka pergantian pimpinan Komando Tentara & Territorium VII/Wirabuana.
23-26 Agustus 1956 Serah-terima Panglima TT-VII/Wirabuana - Indonesia Timur dari Kolonel J.F. Warouw kepada Letkol H.N. Ventje Sumual, Kepala Staf TT-VII/Wirabuana sebelumnya.
Kemudian Joop Warouw dipindahkan sebagai Atase Militer pada Kedubes RI di Peking - Cina.
8 September 1956 Komandan Batalyon 714 Kapten Dolf Runturambi memerintahkan untuk menahan kapal "Susane Skow" di pelabuhan samudera Bitung, karena surat� yang tidak lengkap untuk menurunkan mobil� dan mengangkutnya.
Hal ini didasarkan pada radiogram Panglima TT VII pertengahan Juni tahun itu - penahanan mana segera dilaporkan kepada Panglima TT VII/Wirabuana Let.Kol. H.N.V. Sumual dan Komandan RI-24 Let.Kol. H.V. Worang.
5 Oktober 1956 Opsir Pekerdja Istimewa X (OPI X) TT-VII/Wirabuana dibubarkan hari ini ketika M. Saleh Lahede dijadikan Kepala Staf Komando Pengamanan Sulawesi Selatan & Tenggara (KoDPSST atau KDP-SST) oleh KSAD. Kegiatan OPI X selanjutnya dilaksanakan oleh Yayasan Wirabuana dan Yayasan Sulawesi Selatan.
21 November 1956 Diadakan reuni ulang tahun Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, sekarang Seskoad) di Bandung. .
Desember 1956 Mayor D.J. Somba sebagai Assisten II/Personalia di TT-VII/Wirabuana bulan Desember 1956 ini menggantikan Mayor H.V. Worang sebagai Komandan Resimen Infanteri 24 (RI-24) di Manado, karena Worang saat itu terlibat upaya penyelundupan/barter kopra.
1 Desember 1956 Dwitunggal Soekarno-Hatta pecah dengan mundurnya Drs. Mohammad HATTA dari Wakil Presiden.
9 Desember 1956 KSAD Jenderal Mayor A.H. Nasution mengeluarkan pengumuman yang melarang perwira� Angkatan Darat melakukan kegiatan politik.
24 Desember 1956 Laurens F. Saerang diangkat menjadi Kepala Daerah Minahasa definitif, dan merupakan kepala daerah termuda di waktu itu (1956-1958). Ia bekas komandan kompi dalam Batalyon 3 Mei berpangkat Kapten. Ia dikenal sebagai pengusaha sukses dalam perdagangan besi rongsokan sisa Perang Dunia II di Morotai.

Pada saat Pergolakan Permesta di Sulawesi Utara pecah, ia kemudian membentuk Brigade Manguni serta memimpinnya. Masa kepemimpinan resminya sampai tanggal 16 Juni 1958 dan digantikan Kapten Bert Supit (sampai tanggal 23 September 1958). Meskipun demikian, pemerintahan sipil Permesta masih mengakui kepemimpinannya sebagai Kepala Daerah Minahasa (KDM) Permesta, yang tugas kesehariannya dijabat oleh Wakil KDM Pati Arie Mandagi sebagai pejabat KDM Permesta dan berkantor di desa Pinaras - Tomohon yang terletak di tengah hutan.

27 Desember 1956 Kongres Masyumi di Bandung yang berlangsung tanggal 22-29 Desember menyatakan menarik menteri�nya keluar dari Kabinet Ali II (serta kehilangan 57 suara dalam Dewan Perwakilan Rakyat).
31 Desember 1956 Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, menyatakan daerah Sumatera Selatan atau daerah Komando Tentara & Territorium II (TT-II) dalam keadaan bahaya perang.
7-8 Januari 1957 Rencana TT-VII/Wirabuana diajukan kepada KSAD A.H. Nasution.
Letkol M. Saleh Lahede (Kastaf KDPSST) dan Mayor Andi Muhammad Jusuf (Kastaf Resimen Hasanuddin) membicarakan masalah� di Indonesia Timur guna mengatasi masalah gangguan keamanan di wilayah Sulawesi (terutama DI/TII Kahar Muzakhar), dengan mengajukan alternatif jalan keluar, yaitu agar tanggung jawab keamanan daerah diserahkan sepenuhnya kepada putra daerah. Selain itu juga mereka berbicara mengenai keadaan politik & ekonomi di Indonesia Timur.
Awal Februari 1957 Gubernur Sulawesi - Andi Pangerang, dan rombongan berada di Jakarta untuk memperjuangkan realisasi rencana pembangunan di wilayahnya. Selain menghubungi berbagai pihak dan instansi selama sekitar satu bulan, juga Presiden Soekarno dan Bung Hatta mereka kunjungi.
3 Februari 1957 Sekitar 47 organisasi pemuda di Makassar mengadakan rapat. Mereka sepakat bahwa penyelesaian keamanan di Indonesia Timur serta peningkatan kesejahteraan masyarakat harus bisa dilakukan melalui pelaksanaan pembangunan. Kemudian mereka membentuk organisasi yang mengkoordinasikan antar-organisasi pemuda yang ada dengan nama Dewan Pemuda Sulawesi, yang dipimpin presidium dengan badan pekerja untuk tugas harian, yang kepengurusannya sbb:
Presidium: Nurdin Johan, Mustafa Tari, Abdul Chalik, Mattulada, Ismael Habi, J.B. Rumbayan, G.W. Bawengan
Sekjen: R.A. Daud
Seksi�: Indra Chandra, Abdul Muis, Husein Achmad, Djihan Njompa, Nahariah
10/18 Februari 1957 Terbentuknya Dewan Manguni di Sulawesi Utara, atas inisiatif Kapten G.K. Montolalu, dkk.
Pimpinannya terdiri atas:
Ketua : Henk L. Lumanauw
Sekretaris: Jan Torar
Anggota: Hein Montolalu & A.C.J. (Abe) Mantiri (direktur Pelayaran Rakyat Indonesia di Manado)
19 Februari 1957 Penyelenggaraan reuni tokoh� tokoh PKRS di Kantor Pembangunan Daerah yang dihadiri ±19 orang. Kemudian mereka membentuk wadah perjuangan baru yaitu Pusat Konsentrasi Tenaga untuk Keselamatan Rakyat Sulawesi (disingkat Konsentrasi Tenaga) dengan Pengurus Sementara:
Ketua : Andi Burhanudin (residen di gubernuran Sulawesi/Ketua Umum PKR)
Wakil Ketua: J.Latumahina (Kepala Departemen Politik di Kantor Provinsi Sulawesi)
Sekretaris: Henk Rondonuwu (Ketua Partai Kedaulatan Rakyat/PKR)
Bendahara: Ny. Mathilda Towoliu-Hermanses (Ketua Dewan Kota Makassar)
Komisaris: Achmad Siala (Dg.Masalle), Intje Tadjuddin, Abdul Muluk Makatita
20 Februari 1957 Dewan Pemuda se-Sulawesi mengadakan sidang sekali lagi hari ini dan menyetujui garis� pimpinan organisasi dan suatu program terperinci mengenai politik, ekonomi, dan kebudayaan. Pokok pertama program itu adalah suatu tuntutan akan otonomi seluas�nya.
21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengemukakan konsepsinya yang dikenal sebagai "Konsepsi Presiden Soekarno" atau "Konsepsi Presiden" yang isinya adalah menolak sistem demokrasi parlementer secara Barat yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan menggantinya dengan sistem demokrasi terpimpin, dan menyatakan perlunya suatu kabinet gotong royong yaitu Kabinet Kaki Empat dengan Nasakom -nya (Nasional, Agama, Komunis).
> Bekas Wakil Presiden Drs. Moh.Hatta menyatakan bahwa ia tidak menyetujui konsepsi itu.
23 Februari 1957 Perencanaan formal proklamasi 2 Maret mulai pada suatu pertemuan para perwira senior Sulawesi pada hari ini. Pertemuan ini diadakan di rumah Letkol dr. O.E. Engelen, ketua Ikatan Perwira Republik Indonesia - Indonesia Timur (TT-VII). Letkol dr. O.E. Engelen, sekretaris IPRI TT-VII/Wirabuana - Indonesia Timur Kapten Bing Latumahina, Letkol Saleh Lahede,dan Mayor M. Jusuf berbicara dalam pertemuan itu.
25 Februari 1957 Setelah mengadakan rapat komite perwira TT-VII/Wirabuana yang mengadakan rapat di kediaman Mayor Eddy Gagola untuk menyusun dan merumuskan rencana Perjuangan Semesta, kemudian Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol Ventje Sumual hari ini berangkat ke Jakarta untuk menjelaskan langkah� yang akan diambilnya kepada teman�nya di MBAD terutama Korps Perwira SSKAD, terutama mengatasi keamanan daerahnya dengan pemberlakuan SOB/darurat perang.

Komite sebelas orang ini dikepalai oleh Letkol M. Saleh Lahede. Letkol Saleh Lahede dengan bantuan Kapten Bing Latumahina dan Kapten Lendy R. Tumbelaka, menyusun Piagam Perjuangan Semesta, yang meringkas berbagai keluhan, tuntutan, dan saran pejabat� dan rakyat dari Sulawesi. Mayor M. Jusuf ditunjuk sebagai perwira operasi. Anggota� komite yang lain adalah: Letkol dr. O.E. Engelen, Ketua IPRI - Indonesia Timur; Letkol Andi Mattalatta, Komandan Kota Militer Kota Besar (KMKB) Makassar dan wakil komandan KoDPSST; Mayor Jan Wellem (Dee) Gerungan, Asisten IV/Logistik TT-VII; Mayor Sjamsuddin, Kepala Staf Komando Militer Kota Besar (KMKB) Makassar; Mayor Eddy Gagola, dari stafko TT-VII. Selain itu, anggota kesebelas yang disebutkan adalah Letkol tituler Arnold Achmad Baramuli, Jaksa Agung Provinsi Sulawesi dan Komando Indonesia Timur; Kapten John Ottay, Komandan Batalyon 702; Kapten Arie W.Supit, stafko TT-VII.
28 Februari 1957 Letkol Ventje Sumual saat mengadakan kunjungan di Jakarta selama dua hari dengan Mayor Andi M. Jusuf dan Arnold Baramuli, SH (Jaksa Tinggi Provinsi dan Militer), ia mengirimkan kawat/telegram kepada komandan resimen seperti RI-23, RI-25. Komandan RI-24 Mayor D.J. Somba datang ke Makassar hari ini, dan hanya bertemu dengan Mayor Jan Wellem (Dee) Gerungan. Yus Somba kembali lagi ke Manado pada tanggal 1 Maret.
1 Maret 1957 Pada petang hari, semua pejabat di Makassar yang bertolak ke Ibukota - Jakarta, yaitu rombongan Gubernur, delegasi Konsentrasi Tenaga dan rombongan Panglima Letkol Sumual, tiba kembali di pesawat dengan menumpang satu pesawat. Setibanya di Makassar, diputuskan untuk mengadakan rapat sebelum rencana� itu dilaksanakan. Rapat berlangsung hingga pukul 01:00 dinihari tanggal 2 Maret.



Masa Awal Permesta (Pembangunan I)

2 MARET 1957 Letkol Sumual

Jumat dinihari tanggal 2 Maret 1957, sejumlah pejabat, tokoh politik dan tokoh masyarakat di kota Makassar dijemput kendaraan yang dikawal militer (sekitar 49 tokoh & 2 wartawan) untuk menandatangani piagam yang telah disusun oleh Panitia Perwira TT-VII yang lalu, untuk berkumpul di gubernuran. Mereka hendak mengadakan rapat untuk persiapan sebuah proklamasi dari suatu hasrat luhur yang sudah sangat lama menggejolak. Malam telah merambat dini hari.

Pukul 3 dinihari rapat dibuka oleh Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol H.N. Ventje SUMUAL yang kemudian membaca naskah Proklamasi SOB

Inilah Proklamasi SOB (Staat van Oorlog en Beleg = negara dalam keadaan perang & darurat perang) PERMESTA tersebut, yang memulai babak baru dalam sejarah Indonesia Bagian Timur:



            P R O K L A M A S I    



            Demi keutuhan Republik Indonesia, serta
demi keselamatan dan kesedjahteraan Rakjat Indonesia
pada umumnja, dan Rakjat Daerah di Indonesia Bahagian
Timur pada chususnja,  maka dengan ini kami njatakan
seluruh wilajah Territorium VII dalam keadaan darurat perang
serta berlakunja pemerintahan militer sesuai dengan
pasal  129  Undang - Undang  Dasar  Sementara , dan
Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari
Republik Indonesia.

            Segala  peralihan dan penjesuaiannja dilaku-
kan dalam waktu jang sesingkat-singkatnja dalam
arti tidak ulangi tidak melepaskan diri dari Republik
Indonesia.

            Semoga   Tuhan   Jang   Maha   Esa  beserta
kita dan menurunkan berkat dan hidajatNja atas
ummatNja.-



                        Makassar,  2  M a r e t   1957.-
                        Panglima Tentara & Territorial VII

                                    tertanda

                              Letkol : H.N.V. Sumual
                                  Nrp : 15958



Penandatanganan Piagam Permesta
Proklamasi Permesta
Pada saat Proklamasi Permesta
Dari kiri ke kanan: Letkol HNV Sumual, Mayor Gerungan,
Mayor Dolf Runturambi, Letkol Saleh Lahede.
Proklamasi Keadaan SOB ini berdasarkan pasal 129 UUD Sementara yang memberikan keleluasaan kepada panglima militer di daerah memberlakukan SOB (keadaan darurat perang/militer) dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 (Peraturan yang memberlakukan SOB sehubungan dengan Pemberontakan PKI Madiun tahun itu).
Selanjutnya Letkol M. Saleh Lahede selaku Komando Pengamanan Sulawesi Selatan & Tenggara (KoDPSST), membacakan Piagam Perdjuangan Semesta, yang lebih dikenal sebagai Piagam PERMESTA , yang menjadi landasan pelbagai program pembangunan yang segera dilancarkan.
Pukul 07:00 keluar pengumuman pertama Letkol Sumual sebagai Kepala Pemerintahan Militer mengenai organisasi� kepemimpinan dibantu dua staf.
Staf pertama: sebuah staf militer (yang terdiri atas staf TT-VII/Wirabuana yang ada),
Staf kedua: sebuah staf Pemerintahan yang dipimpin oleh Letkol M. Saleh Lahede sebagai Kastaf, Mayor Eddy Gagola sebagai Wakil Kastaf, & Sekretariat yang dipimpin Kapten W.G.J. Kaligis.

Hubungan dengan seluruh daerah di wilayah Wirabuana (Indonesia Timur) tetap terpelihara, sekalipun menjelang pertengahan 1957, beberapa daerah telah dipengaruhi oleh pemerintah pusat serta MBAD.
Melalui jaringan pemerintah daerah serta organisasi pemuda, wanita, mahasiswa dan pers, Permesta merencanakan pembangunan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Penerangan� melalui pers dan RRI dilancarkan segera setelah upacara di Gubernuran itu.
Sejak itu berkumandang semboyan "Sekali Dua Maret, Tetap Dua Maret" yang diciptakan oleh Letkol Saleh Lahede, dan singkatan Permesta untuk Piagam "Perjuangan Semesta" diciptakan dan dipopulerkan oleh G. Kairupan, seorang pejabat Kantor Penerangan kota Makassar. Kedua semboyan itu senantiasa terdengar melalui RRI Makassar, Manado, dan Ambon.


Sejak hari ini, Kepala Pemerintahan Letkol Ventje Sumual mengambil langkah darurat memulihkan keamanan dan ketertiban. Jam malam dinyatakan mulai berlaku pukul 22.00. Pengiriman uang melalui bank ke luar wilayah TT-VII/Wirabuana dinyatakan terlarang, kecuali dengan ijin khusus. Juga barang� kebutuhan pokok masyarakat dilarang dibawa ke luar wilayah itu. Para pengusaha pun dilarang mengadakan penimbunan atau menaikkan harga�.
3 Maret 1957
Rapat Permesta
Salah satu rapat Permesta.
Dari kiri: Henk Rondonuwu (berdiri), Letkol Saleh Lahede,
Letkol Andi Mattalatta, Mayor CPM Her Tasning.
Rapat di Balai Perwira oleh Tim Asistensi Staf Pemerintahan Permesta yang dipimpin oleh Letkol M. Saleh Lahede (yang terbagi atas 10 seksi). Dalam rapat ini dijelaskan bahwa tindakan 2 Maret bertujuan utama untuk mengatasi kekacauan di wilayah itu.
Hari ini juga Letkol Sumual sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana & Kepala Pemerintahan Militer Indonesia Timur mengirim laporan tertulis kepada KSAD di Jakarta mengenai tindakan 2 Maret tersebut yang yang tetap mengakui Jakarta sebagai pemimpin yang sah. Ia juga melaporkan bahwa ia telah meningkatkan ketiga wilayah hukum Resimen Infanteri TT-VII/Wirabuana menjadi Komando Daerah Militer (KDM), yaitu KDM Sulutteng dengan Mayor D.J. Somba sebagai komandan, KDM Maluku/Irian Barat dengan Mayor Herman Pieters sebagai komandan, KDM Nusa Tenggara dengan Mayor Minggu sebagai komandan; sedangkan Sulawesi Selatan dirangkap oleh Gubernur Andi Pangerang dengan pangkat Letkol Tituler. Keempat tokoh ini juga merangkap sebagai Gubernur Militer di masing� daerah sesuai dengan ketentuan SOB (Staat von Oorlog en Beleg = Negara dalam Keadaan Perang & Darurat Perang).
4 Maret 1957 Hari ini diadakan pelantikan terhadap Team Asistensi Staf Pemerintahan Permesta, yang meliputi baik anggota� militer maupun sipil.
Tim Asistensi ini dibentuk untuk tugas sehari� dalam Staf Pemerintahan, yang dipimpin oleh Kepala Staf Pemerintahan Letkol M. Saleh Lahede, yang dibagi dalam 10 seksi, yaitu:
1. Seksi Politik, Tata Negara, Hukum dan Tata Tertib dipimpin Letkol M. Saleh Lahede Sendiri.
2. Seksi Moneter dipimpin Kapten Arie W. Supit.
3. Seksi Ekonomi dan Pembangunan dipimpin Baharuddin Rachman.
4. Seksi Makanan Rakyat, Bahan� Vital, dan Pertanian dipimpin Sampara Daeng Lili.
5. Seksi Pendidikan, Kebudayaan, Kesehatan dan Perburuhan dipimpin Letkol Oscar E. Engelen.
6. Seksi Perhubungan, Pekerjaan Umum, Tenaga, dan Irigasi dipimpin Kapten J.H. Tamboto.
7. Seksi Penerangan dan Informasi dipimpin Kapten Bing Latumahina.
8. Seksi Koordinasi Keamanan dipimpin Mayor J.W. (Dee) Gerungan.
9. Seksi Agama dipimpin Kapten Anwar Bey.
10. Seksi Pemuda dan Veteran dipimpin A.N. Turangan.
Rapat yang dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual dengan seluruh stafnya (yang hadir �120 perwira & bintara). Ia menekankan bahwa tindakan 2 Maret sama sekali bukan tindakan kudeta.

Hari ini juga, KSAD Mayjen A.H. Nasution menginstruksikan kepada Letkol R. Sudirman - Panglima KoDPSST (Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan/Tenggara), yang memimpin 9 batalyon dari Divisi Brawijaya di Sulawesi yang diperbantukan untuk menumpas pemberontakan DI/TII), untuk tidak perlu mengambil tindakan apapun terhadap Letkol Ventje Sumual dan Gerakan Permesta-nya.
5 Maret 1957 Pemerintah Pusat mengirimkan utusan menemui Letkol Sumual di Makassar guna membicarakan masalah Permesta.

Dukungan dari kelompok� pemuda terutama melalui Dewan Pemuda Se-Sulawesi, yang hari ini menyatakan dukungannya bagi proklamasi Permesta juga mengganti namanya menjadi Dewan Pemuda Indonesia Timur.
7 Maret 1957 Hari ini diumumkan di Manado, bupati Minahasa Laurens F. Saerang sudah menemui Jan Timbuleng, Komandan Pasukan Pembela Keadilan (PPK) yang mengacau di daerah ini terutama di daerah Minahasa Selatan. Perlu diketahui, bahwa Timbuleng adalah ipar dari Laurens F. Saerang.
Pada tanggal 8 Maret 1957 (keesokan harinya), Laurens F. Saerang menyertai Jan Timbuleng dan istrinya ke suatu pertemuan dengan Mayor D.J. Somba, dan dirundingkan pengaturan penyerahan dan rehabilitasi 3.000 orang pengikut PPK. Penyerahan Jan Timbuleng disebut� Letkol Ventje Sumual dalam jumpa pers tanggal 13 Maret sebagai suatu contoh hasil yang bisa diharapkan dari kebijaksanaan keamanan kepada gubernur militer yang diangkat belum lama berselang.
(Walaupun begitu, Jan Timbuleng dan pasukannya kemudian akhirnya kembali ke hutan menjelang akhir tahun. Ia dikatakan tidak merasa puas dengan perlakuan yang diberikan kepadanya dan orang�nya).

Doktrin Eisenhower (dari Presiden AS waktu itu- Dwight Eisenhower) dijadikan UU oleh Senat Kongres AS sebagai sikap politik anti-komunis. Doktrin ini membawa AS untuk terlibat lebih jauh lagi dalam perpolitikan Indonesia untuk menjatuhkan komunis dengan memberi bantuan senjata kepada pihak� yang meminta mereka untuk melawan komunisme internasional.
(Permesta pada masa Pergolakan akhirnya menerima bantuan senjata tersebut (dalam "PRRI"), namun menyatakan bahwa semuanya dibeli dengan cara barter).
8 Maret 1957 Dilantiknya 111 orang anggota Dewan Pertimbangan Pusat Permesta yang dipimpin Residen Andi Sultan Daeng Raja (Haji Makkaraeng Daeng Mandjarungi). Dewan Petimbangan Pusat (DPP) Permesta ini telah diangkat sehari sebelumnya.

Gubernur Sulawesi, Andi Pangerang Petta Rani (Andi Pangerang Daeng Parani), secara formal dilantik sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan-Tenggara, dengan kekuasaan penuh bagi kebijaksanaan keamanan daerah itu.
10 Maret 1957 Rapat umum di Lapangan Karebosi Makassar yang diselenggarakan oleh Tim Assistensi Staf Pemerintahan Permesta dan DPP Permesta untuk menyambut Piagam Permesta, yang dihadiri oleh sekitar 100.000 orang dari berbagai lapisan masyarakat. Ada 8 pembicara yang berorasi di rapat umum ini.
11 Maret 1957 Hari ini diadakan pelantikan di Manado terhadap Mayor D.J. Somba sebagai Gubernur Militer Sulawesi Utara-Tengah oleh Panglima TT-VII/Wirabuana - Kapala Pemerintahan Militer Indonesia Timur dalam keadaan darurat perang (SOB).

Hari ini juga, 387 orang bekas KNIL dilantik menjadi TNI oleh Mayor D.J. Somba, yang telah mengusulkan kepada MBAD agar kekuatan RI-24 ditingkatkan menjadi dua batalyon. Ia mendapat izin untuk membentuk kira� dua kompi baru dari bekas serdadu KNIL di daerah Minahasa.
Tadinya Minahasa merupakan daerah pengerahan utama bagi KNIL dan taksiran jumlah veteran KNIL di daerah ini berkisar antara 18.000 sampai 30.000 orang.
12 Maret 1957 Mahkama Agung RI menyatakan bahwa Konsepsi Presiden tentang Kabinet Kaki Empat tidak menyalahi Undang� Dasar (Konstitusi).
14 Maret 1957 Satu setengah jam setelah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (dan Kabinet Ali II nya) menyerahkan mandatnya, maka Presiden Soekarno menyatakan bahwa seluruh wilayah teritorial Republik Indonesia "DALAM KEADAAN DARURAT PERANG" (SOB=Staat van Oorlog en Beleg).

Salah satu sebab utama dari keadaan ini adalah karena Proklamasi SOB yang telah dikumandangkan Panglima TT-VII/Wirabuana dalam wilayah Indonesia Timur, yang adalah komando daerah terluas di Indonesia saat itu (mencakup setengah wilayah NKRI) yang seharusnya hanya boleh dikumandangkan oleh presiden suatu negara.

Hari ini, suatu delegasi yang ditugasi Kepala Pemerintahan Militer Permesta Letkol Ventje Sumual dan disetujui DPP Permesta, pergi ke Jakarta untuk menjelaskan latar belakang proklamasi 2 Maret kepada Presiden dan pemerintah pusat. Delegasi ini dipimpin oleh Henk Rondonuwu dan Ny. Mathilda (Milda) Tololiu-Hermanses (Ketua Dewan Kota Makassar), Haji Makareng Daeng Manjarungi, Sun Bone (Masyumi), Achmad Siala (PNI), J. Latumahina dan Andi Burhanuddin (PKR dan pejabat kantor Gubernur).
dektrit Darurat Perang
Dektrit Darurat Perang
15-22 Maret 1957 Rapat para Panglima Territorium dan SUAD di MBAD di Jakarta, yang dihadiri semua panglimanya kecuali Letkol Achmad Husein yang berhalangan. Konperensi itu dimulai dengan kunjungan kehormatan pada Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Pembicaraan dalam pertemuan itu berkisar sekitar pengembangan dan perbaikan tentara, dan melindunginya dari pengaruh politik, yang hanya menggangu kesatuan tentara. Dalam rapat itu, KSAD Mayjen A.H. Nasution memutuskan untuk membubarkan TT-VII/ Wirabuana dan membaginya menjadi 4 KDM (Kodam) terpisah seperti yang telah dilakukan Letkol Ventje Sumual sebelumnya, walaupun KSAD menyatakan menyetujui Piagam Permesta.

Pada penutupan pertemuan itu, juru bicara Tentara mengomentari situasi di TT-VII: "...MBAD mengerti dan memahami "proklamasi 2 Maret" itu, tetapi demi menjaga hukum dan ketertiban tak bisa membenarkan cara yang ditempuh. MBAD berpendapat, keinginan dan hasrat proklamasi itu bisa disalurkan melalui lembaga� yang ada."
Sementara KSAD A.H. Nasution berunding dengan Letkol Ventje Sumual secara formal, Kolonel Sukendro, Asisten I (Intelijens) KSAD melancarkan operasi intelijennya. Para perwira bawahan dipecah-belah, emosi kesukuan dibakar, tindakan palsu dilontarkan. Banyak orang yang menjadi bingung dan guncang. Persatuan di antara para perwira berbagai suku bangsa itu mulai retak.
20 Maret 1957 Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol Ventje Sumual mengeluarkan rencana pembagian wilayah TT-VII/ Wirabuana dari 4 provinsi menjadi 6 provinsi:
1. Sulawesi Selatan/Tenggara --> ibukota Makassar
2. Sulawesi Utara/Tengah --> ibukota Manado
3. Maluku --> ibukota Ambon
4. Irian Barat --> ibukota Soasiu
5. Nusa Tenggara Barat --> ibukota Singaraja
6. Nusa Tenggara Timur --> ibukota Kupang

Surat Keputusan Panglima/Penguasa Militer TT VII Wirabuana No.Kpts.0139/36/1957 tentang pembagian Indonesia Bagian Timur dalam enam provinsi otonom dan No. Kpts. 0140/36/1957 dan No. Kpts. 0141/36/1957 yang dikeluarkan di Makassar masing� tentang pembagian wilayah provinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara) menjadi dua yaitu Barat dan Timur serta provinsi Sulawesi menjadi Utara dan Selatan.
21 Maret 1957 Seluruh anggota Tim MBAD Korps Perwira SSKAD (sebuah korps reuni siswa SSKAD) mengadakan rapat yang menilai bahwa masalah pergolakan daerah mempunyai aspek sangat penting yang justru diabaikan dan dianggap sepele oleh KSAD Mayjen A.H. Nasution dalam keputusan dan tindakannya. Hasil rapat ini kemudian menimbulkan kemarahan KSAD Mayjen A.H. Nasution. Petisi 45 orang perwira tersebut dipaksa untuk mencabut pernyataan tersebut. Hanya 10 orang yang bertahan atas petisi tersebut.
April 1957 Sesuai dengan Piagam Permesta, Dewan Pertimbangan Pusat (DPP) Permesta menyusun delegasi untuk bertemu dengan para pejabat di Jakarta. Henk Rondonuwu bertindak sebagi ketua delegasi dengan Andi Burhanuddin, Achmad Siala, dan Ny. Towoliu-Hermanses sebagai anggotanya. Delegasi ini ternyata bisa bertemu dengan Presiden Soekarno dan Bung Hatta, tetapi tidak sempat bertemu dengan Kabinet yang saat itu telah demisioner menyusul berita Peristiwa Proklamasi Permesta - 2 Maret di Makassar tersebut. Kepada Presiden, delegasi DPP mengusulkan agar 70% anggota Dewan Nasional yang akan dibentuknya itu terdiri atas wakil� daerah. Selain itu sangat diharapkan agar Dwitunggal kembali rujuk untuk memimpin bangsa Indonesia selanjutnya. Delegasi juga menyampaikan undangan kepada Presiden dan Bung Hatta untuk menghadiri Kongres Bhinneka Tunggal Ika yang akan diselenggarakan pada bulan Mei 1957 mendatang.
Dalam kesempatan ini, tentu saja delegasi mengalami hambatan dari pihak yang kurang senang dengan perkembangan di Indonesia Timur. Malah beberapa tokoh asal daerah Sulawesi menerima surat kaleng yang mengancam jiwa mereka.

Pada awal bulan April, Tokoh Utama Permesta Letkol Ventje Sumual tiba di Manado. Di lapangan Mapanget, rakyat berduyun� menyambutnya. Seorang gadis dengan pakaian khas Minahasa mengalunginya dengan rangkaian bunga sedang para pemuda menyambutnya dengan tari perang cakalele. Dengan pengawalan ketat iring�an mobil Panglima TT-VII/Tokoh Utama Permesta tiba di manado melalui ribuan rakyat serrta anak� sekolah yang berjajar di pinggir jalan sepanjang Mapanget-Manado sambil melambai�kan bendera merah-putih dan meneriakkan pekik "Hidup Permesta". Siang itu juga dilangsungkan upacara pelantikan Mayor D.J. Somba sebagai Gubernur Militer Sulutteng dan Mayor Dolf Runturambi sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Sulutteng. Sore harinya diadakan pertemuan besar yang dihadiri oleh semua tokoh� militer, sipil dan masyarakat Sulutteng yang telah diundang.
1 April 1957 Gubernur Sulawesi Andi Pangerang diangkat oleh Kepala Pemerintahan Militer Permesta Letkol Ventje Sumual sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan-Tenggara dengan pangkat Letkol tituler TNI.
9 April 1957 Presiden Soekarno mencoba membentuk kabinet baru setelah Kabinet Ali II meletakkan jabatan pada tanggal 4 Maret yang lalu. Setelah Suwirjo (dari PNI) gagal membentuk kabinet, maka Soekarno mengajak KSAD Mayjen A.H. Nasution ke Cipanas - Bogor untuk bersama� membentuk kabinet itu.
kabinet_djuanda
Kabinet Djuanda (Kabinet Karya)
Kabinet Darurat Ekstraparlementer ini tidak tergantung pada dukungan partai�. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri-nya seorang tokoh tak berpartai - yaitu Ir. H. DJUANDA. Kabinet Djuanda ini diberi nama Kabinet Karya dan di dalamnya duduk dua orang anggota Angkatan Bersenjata.
Program Kabinet Karya disebut pancakarya, yaitu:
1. membentuk Dewan Nasional
2. normalisasi keadaan Republik Indonesia
3. melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB
4. perjuangan Irian Barat
5. mempergiat pembangunan

Kedudukan Ir. Djuanda juga pada hakikatnya tidak terlalu kuat. Yang menentukan perkembangan yang sesungguhnya di pusat adalah Presiden Soekarno (Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi) dan KSAD Mayjen A.H. Nasution.
14 April 1957 Lanjutan Sidang Pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Permesta ke-4 diadakan hari ini. Dalam risalah sidang ini, ada keluhan bahwa Kepala Badan Urusan Kopra (BUK), Drs. Baharuddin Rachman, atas wewenang sendiri telah menjual kopra di luar negeri dengan harga yang lebih rendah daripada jika dijual di pulau Jawa, dan beberapa bulan kemudian Drs. Baharuddin diam� lari ke Singapura dengan membawa keuntungan yang diperolehnya.
16 April 1957 Lanjutan Sidang Pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Permesta ke-7 diadakan hari ini. Dalam risalah sidang ini, topik pembicaraan adalah perundingan dengan DI/TII pimpinan Kahar Mudzakkhar.
26-28 April 1957 Administrator� militer dan gubernur� sipil dari seluruh Indonesia mengadakan rapat di Jakarta untuk membicarakan penyelesaian masalah yang dihadapi negeri ini. Mereka menyimpulkan, bila kerja sama antara Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta bisa terlaksana, beberapa penyelesaian mengenai persoalan nasional mungkin akan dicapai. Mereka juga menganjurkan supaya Dewan Nasional yang telah diusulkan tersusun dari wakil� provinsi, supaya suatu kebijaksanaan yang konsekuen dijalankan terhadap para pemberontak, supaya administrasi diperbaiki dan korupsi diberantas, supaya pembangunan provinsi dipercepat, dan supaya soal� di dalam TNI diselesaikan dengan cara damai, tanpa mengabaikan "tata tertib militer."
Mei 1957 Upaya pembersihan Permesta diadakan terhadap semua anggota pimpinan PKI / orang� komunis di Minahasa dan anak organisasinya, termasuk beberapa pemuka PNI yang disebut golongan ASU, atas perintah Gubernur Militer Sulutteng, berdasarkan bukti� yang ada tentang usaha mereka menentang Permesta. Kemudian mereka ini dikarantinakan di Gorontalo. Anggota� PKI dan PNI-ASU yang masih bebas berkeliaran terus diikuti dan bila terbukti bahwa mereka juga membahayakan, mereka akan segera ditahan. Kemudian organisasi PKI dilarang dan dianggap sudah tidak ada lagi oleh Permesta pada beberapa bulan mendatang.
Namun, gebrakan Permesta terhadap� orang� komunis ini justru menimbulkan reaksi keras di tingkat nasional. Kemelut politik mulai terjadi terutama di tingkat pemerintah pusat. Karena gerakan Permesta dipelopori oleh tokoh� militer, dengan sendirinya menimbulkan pula friksi di kalangan militer ketika itu.
Puncaknya kemudian, adalah Letkol Ventje Sumual dibebaskan dari jabatannya sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana, dengan dihapuskannya jajaran TT-VII dari strategi komando TNI AD.

Bulan ini, Perdana Menteri Ir. H. Djuanda dapat disebutkan disini juga mengadakan kunjungan ke daerah Minahasa.
5 Mei 1957 Pengumuman dalam komunike TNI tanggal 5 dan 27 Mei dimana diputuskan bahwa Komando TT-VII /Wirabuana (akan ditiadakan) dan KoDPSST (Komando Daerah Pemgamanan Sulawesi Selatan-Tenggara) akan disatukan dalam satu komando, dibawah pengawasan KSAD, dan sebagai akibatnya, Letkol H.N.V. Sumual dan Letkol Sudirman akan dipindahkan ke jabatan lain, yang belum ditentukan. Juru bicara TNI, Letkol Rudy Pirngadie mengatakan bahwa TNI akan meneruskan rencananya untuk mengadakan reorganisasi teritorial, dengan membagi Indonesia Timur menjadi 4 daerah militer: Sulawesi Selatan dan Tenggara, Sulawesi utara dan Tengah, Maluku dan Irian Barat, dan Nusa Tenggara. Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Petta Rani, ditunjuk sebagai gubernur militer Sulawesi Selatan dan Tenggara, dengan pangkat tituler kolonel, yang mulai berlaku sejak 1 April 1957. Penunjukan gubernur militer di daerah� lainnya masih dalam pertimbangan, begitulah komunike itu diakhiri.
6 Mei 1957 Presiden Uni Soviet, Vorosylov, pemimpin Komunis Internasional berkunjung di Indonesia sampai tanggal 19 Mei 1957, memastikan bahwa Komunis Internasional mendukung Soekarno, antara lain dengan mengirim persenjataan dan menumpas Permesta yang anti�Nasakom, anti-Komunis.
8-12 Mei 1957 Kongres Bhinekka Tunggal Ika untuk memenuhi Piagam Permesta, dengan panitia yang dipimpin oleh Henk Rondonuwu, dan ada 122 orang yang hadir (47 dari Sulsel, 12 dari Sulteng, 6 Gorontalo, 6 Bolmong, 6 Minahasa, 6 Manado, 6 Satal, 6 Malut, 5 Maluku Tengah dan Selatan, 7 Ambon, 8 Irian Barat, 7 Bali, 1 Flores.), dari 30 kabupaten se-Indonesia Timur, wakil� dari kodya Makassar, tokoh� asal Papua, para anggota DPP Permesta, wakil� daerah di DPR (di Jakarta) dan Konstituante (di Bandung), yang mana seluruhnya berjumlah sekitar 1500 orang (merupakan pertemuan terbesar pertama di Indonesia Timur waktu itu). Undangan juga dikirim kepada para pejabat di Jakarta & para gubernur se-Indonesia. Presiden Soekarno yang sebelumnya menyanggupi akan hadir, ternyata tidak hadir. Bung Hatta mengirimkan prasarannya melalui rombongan pimpinan adat Sumatra Barat, namun rombongan tersebut ditahan di Bandar Udara Kemayoran oleh KMKB Jakarta. Beberapa pemimpin yang juga diundang namun tidak hadir antara lain Perdana Menteri Ir. Djuanda, Letjen T.B. Simatupang (bekas KSAP), Kolonel M. Simbolon, Letkol Ahmad Husein, Gubernur Sulawesi Andi Pangerang, Mayor M. Jusuf (padahal sudah dimasukkan dalam acara untuk berbicara pmengenai persoalan keamanan). Beberapa rombongan dari Ibukota Jakarta yang akan ke kongres tersebut juga ditahan.
Para delegasi tersebut dibagi dalam seksi� yang pada dasarnya didasarkan pada Piagam Permesta.

Dalam rancangan mengenai pembangunan yang dirumuskan dalam kongres, ditetapkan adanya rencana jangka pendek dan jangka panjang.
Rencana jangka pendek terutama bertujuan menggerakkan industri rakyat seperti penggaraman, modernisasi alat penangkap ikan, pengolahan sabuk kelapa, benang tenun, penggergajian kayu, pembuatan genteng, alat� dari kulit, pembuatan perahu, pabrik sabun, penyelaman mutiara, berbagai minyak cengkeh, dan tembakau rakyat.
Rencana jangka panjang meliputi pembangunan pembangkit tenaga listrik, pabrik� tekstil, minyak kelapa, semen, kapal, belerang, rokok, assembling kendaraan bermotor, pertambangan nikel di Pomala dan Sanggalopi, besi di Sumbawa, aspal di Buton, emas, perak, niel, bauksit, asbes, minyak tanah, dan lain sebagainya.
Rencana lain yang dihasilkan Kongres Bhinneka Tunggal Ika dari Seksi Pertahanan, berjudul "Doktrin Pertahanan Wilayah Indonesia Bagian Timur". Ditinjau dari segi strategi militer, Indonesia Bagian Timur menduduki posisi penting untuk perjuangan Irian Barat. Selain itu, diperlukan juga kewaspadaan agar konflik antara Blok Timur (komunis) dan Blok Barat tidak menjalar ke wilayah ini sehubungan dengan letaknya yang berbatasan dengan negara� yang terikat dengan Blok Barat (Filipina dan Australia). Untuk itu, sangat diperlukan satu komando untuk seluruh Wilayah Indonesia Timur. Sebab itu TT-VII/Wirabuana harus dipertahankan (Wilayahnya mencakup 4 provinsi: Sulawesi, Maluku, Kep.Sunda Kecil, Irian Barat).
Dari segi ekonomi, dokrin pertahanan tersebut mengandalkan pembangunan ekonomi yang bermaksud agar daerah ini mandiri (selfsupporting), dalam hal ini bahan� vital yang akan juga membuka lapangan kerja baru.

14 Mei 1957 Direktur CIA, Allan Dulles dalam rapat National Security Council (NSC) Amerika Serikat melaporkan bahwa proses dis-integrasi di Indonesia telah terjadi, dimana hanya Pulau Jawa saja yang masih dikendalikan oleh pemerintah pusatnya.
State Departement AS mengirim Gordon Mein, Wakil Direktur kantor Urusan Pasifik Barat Daya, ke Jakarta untuk meneliti kebenaran berita disintegrasi tersebut. Dua hari di Jakarta, Gordon Mein mengirim laporan, membantah teori disintegrasi tersebut.
18 Mei 1957 Rp 15.000.000 dipinjam dari Bank Indonesia Cabang Manado oleh Permesta untuk mendanai beberapa proyek pembangunan. Ada juga laporan bahwa Rp 12.000.000 telah diambil oleh Permesta dari Bank Indonesia Cabang Ambon.
20 Mei 1957 Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual secara resmi mengadakan perjanjian pinjaman darurat sebesar Rp.100.000.000 dengan Bank Indonesia Cabang Makassar, sebagai dana pembangunan Indonesia Timur.

Pada hari ini juga dikeluarkan perintah kepada semua Daerah Tingkat II di wilayah Wirabuana (enam provinsi) untuk membentuk Panitia Pembangunan Daerah yang diketuai oleh kepala daerah dengan 10 anggota (tokoh� Ormas, partai dan militer). Panitia ini bertugas melaksanakan perbaikan pembangunan di daerah berdasarkan semangat gotong-royong, seperti perbaikan jalan� dan sebagainya yang langsung dapat dipahami dan dirasakan faedahnya oleh rakyat banyak. Untuk itu, setiap kabupaten di Indonesia Timur menerima jatah 2 juta rupiah untuk proyek� pembangunan yang direncanakan daerah� bersangkutan.
Misalnya di Sulawesi Selatan, PLTD (Pusat Listrik Tenaga Diesel) Makale, Tana Toraja, dibangun dengan dana Permesta. Demikian pula pasar� seperti di Matoangin (Makassar), Markas Resimen 23 di Pare-pare, pusat latihan infanteri di Bilibili, depot batalion di Malino, dan Markas Resimen Hasanuddin di Jalan Lanto Daeng Pasewang.
Kemudian, setiap provinsi diwajibkan menyusun rencana pembangunan lima tahun sesuai dengan ketetapan dalam Piagam Permesta dan keputusan Kongres Bhinneka Tunggal Ika. Dana pembangunan diperoleh melalui ekspor kopra wilayah Sulawesi Utara, Malaku Utara dan beberapa tempat lain. Seperti ditentukan dalam Piagam, daerah� yang tidak memiliki komoditi ekspor, ditunjang daerah� lainnya, sehingga pembangunan bisa dilaksanakan secara merata.
22 Mei 1957 Rp 1.000.000 dipinjam dari Bank Indonesia Cabang Makassar oleh Permesta untuk mendanai beberapa proyek pembangunan. Ada laporan bahwa adanya penyalangunaan uang tersebut. Beberapa orang yang berhubungan dengan gerakan Permesta kelihatannya menjadi makmur.
26 Mei 1957 KDMSST (Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan/Tenggara) dengan Panglimanya Letkol Andi Mattalatta & Kastaf Mayor CPM Hairuddin Tasning, diubah menjadi Komando Darah Militer (KDM) XIV/ Hasanuddin terpisah dari jajaran TT-VII Wirabuana oleh MBAD.
27 Mei 1957 Komando Daerah Militer (KDM) XVI/Udayana terbentuk, terpisah dari jajaran TT-VII/Wirabuana.
30 Mei 1957 KSAD Mayjen A.H. Nasution tiba di Makassar hari ini untuk melantik Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan-Tenggara (KDM-SST).
1 Juni 1957 KDM-SST secara resmi dibentuk, dengan Letkol Andi Mattalatta sebagai panglima, dan Mayor Her Tasning sebagi pejabat kepala staf. Gubernur Militer SST Andi Pangerang dan Kolonel Sudirman menghadiri upacara itu; Letkol Ventje Sumual mendampingi Mayjen A.H. Nasution.
4 Juni 1957 Mayor M. Jusuf menjelaskan kepuasannya akan persetujuan yang dicapai dengan KSAD A.H. Nasution pada pertemuan 4 Juni oleh perwira� yang pertama kali merencanakan Permesta, yaitu mengenai terbentuknya KDM-SST. Sejak saat itu, Mayor M. Jusuf jelas merupakan pimpinan kelompok yang anti-Permesta. Ia dengan teguh didukung kepala staf KDM-SST, Mayor Her Tasning. Letkol M. Saleh Lahede, perwira senior asal Sulawesi Selatan yang dianggap paling dekat dengan Permesta jelas menjadi pimpinan kekuatan yang pro-Permesta di Makassar. Perwira� lainnya, termasuk Letkol Andi Mattalatta, Panglima KDM-SST sikapnya kurang jelas.
5 Juni 1957? Letkol Ventje Sumual menemui Mayjen A.H. Nasution serta membuat persetujuan kompromi. Letkol Sumual akan dijadikan kepala staf sebuah unit yang akan merencanakan pembentukan Staf Komando Koordinasi Antar Daerah Indonesia Timur (KADIT).
6 Juni 1957 Briefing KSAD Mayjen A.H. Nasution kepada semua perwira TT-VII/Wirabuana yang akan dibubarkan di kediaman Gubernur Sulawesi dibatalkan kemudian dan diganti dengan rapat tertutup yang hanya dihadiri oleh Panglimanya Letkol Ventje Sumual, Kastaf KoDPSST Letkol M. Saleh Lahede, KSAD Mayjen A.H. Nasution, Kolonel Ahmad Yani serta Kolonel Dahlan Djambek. Dalam pertemuan tertutup ini, ia mengingatkan kembali akan pengkhianatan PKI di Madiun pada tahun 1948: "Kalau tuan� ingin digantung PKI, silahkan, tetapi kami di Indonesia Timur menolak."
Dalam rapat itu juga Letkol Ventje Sumual mengusulkan membentuk Komando Antar Daerah Indonesia Timur (KADIT, kemudian menjadi KOANDAIT) yang akan mengkoordinasikan keempat KDM di eks TT-VII/ Wirabuana. Usul ini diterima KSAD. Sebagai panglima KOANDAIT ditetapkan adalah Letkol Ventje Sumual sendiri. Namun sebelum upacara serah terima dan pembubaran TT-VII 8 Juni mendadak KSAD mengumumkan bahwa KOANDAIT yang akan dibentuk akan dipimpinnya sendiri dan Letkol Ventje Sumual hanya akan menjadi kepala staf saja dengan menerima kenaikan pangkat menjadi Kolonel.
(NB: KOANDAIT ini menjadi cikal bakal Kowilhan/Komando Wilayah Pertahanan).



Masa Awal Pergolakan Permesta (Pembangunan II)

8 Juni 1957 Serah terima & pembubaran TT-VII/Wirabuana serta KDPSST (Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan/Tenggara) dilaksanakan di Lapangan Karebosi Makassar.
Pembubaran TT-VII/Wirabuana dan pembentukan empat KDM yang terpisah di Indonesia Timur merupakan pukulan berat bagi Permesta.

Beberapa perwira Permesta yang jabatannya hilang sehubung dengan pembubaran TT-VII/Wirabuana dan KoDPSST, diberi tugas belajar, atau kedudukan staf yang tidak fungsional tanpa tugas tertentu. Karena tugas belajar sering digunakan untuk membebaskan perwira yang tidak disukai atau tak mampu, mereka ini sering diremehkan. Kedudukan yang tidak berfungsi itu juga tidak disukai, karena ini biasanya berarti tamatnya karier militer. Perwira� yang mendapatkan kedudukan seperti itu dinamakan / diistilahkan "perwira yang diperbantukan" dan kalimat ini sering diplesetkan menjadi "perwira yang diperhantukan."

Perpecahan antara perwira� Permesta yang berkembang sekitar bulan Juni ini kadang� digambarkan sebagai perpecahan antara mereka yang disebut "Permesta damai" dan mereka yang merupakan "Permesta perang". Tetapi, perpecahan ini juga terjadi antara mereka yang mempunyai kedudukan dan mereka yang tidak mempunyai kedudukan.
10 Juni 1957 Letkol Ventje Sumual memerintahkan Letkol Saleh Lahede untuk mengumpulkan para eks. perwira TT-VII pendukung Permesta untuk mengadakan rapat di kediaman Saleh Lahede di Jl. Sam Ratulangi Makassar. Hadir dalam rapat itu para Perwira seperti Mayor Andi M. Jusuf, Mayor CPM Her Tasning, Letkol Andi Mattalatta, Mayor Dee Gerungan, Kapten Bing Latumahina, Letkol dr. O.E. Engelen, Mayor Eddy Gagola, Kapten Lendy R. Tumbelaka, Mayor Sjamsuddin, dan Kapten Arie W. Supit.
Para perwira tersebut banyak yang mengusulkan agar Permesta bertahan terus, kalu perlu dengan cara kekerasan. Rapat itu ditutup dengan perjanjian akan merahasiakan keputusan itu agar tidak disabot rombongan KSAD. Namun malam itu juga, Mayor Andi M. Jusuf & Mayor CPM Her Tasning membocorkan keputusan rahasia tersebut ke rombongan KSAD di Gubernuran Sulawesi.
(Waktu itu ada isu di kalangan rombongan KSAD bahwa Permesta telah mengarahkan meriam ke tempat tinggal rombongan KSAD, sehingga dipersiapkanlah sebuah panser untuk 'menjaga segala kemungkinan' penyerangan).

Karena secara formal Staf TT-VII telah dibubarkan, dengan demikian, juga Staf Pemerintah Militer yang dipimpin Saleh Lahede, maka sebelum meninggalkan Makassar menuju Manado, Ventje Sumual membentuk Dewan Tertinggi Permesta sebagai pucuk pimpinan Permesta.
Susunan Dewan Tertinggi Permesta adalah sebagai berikut:
Ketua            : Letkol H.N. Ventje Sumual
Wakil Ketua : Letkol M. Saleh Lahede
Sekretaris    : Kapten Bing Latumahina
Anggota    : antara lain Letkol dr. O.E. Engelen, Ny. Mathilda Towoliu-Hermanses, Makaraeng Mandarungi, Mochtar Lintang, Hutagalung, J. Mewengkang, J.E. Tatengkeng, Laodo Manoarfa, Abdul Muluk Makatita.

Letkol H.N. Ventje Sumual dan sebagian besar perwira TT-VII dari Sulawesi Utara/Minahasa, seperti Mayor J.W. (Dee) Gerungan, Mayor Eddy Gagola, Kapten Lendy R. Tumbelaka, Kapten John Ottay, kembali ke Minahasa. Anggota� Batalyon 702 yang berasal dari Minahasa/Sulawesi Utara juga pergi ke Utara pada waktu itu, dan dua kompi di Sulawesi Utara yang terdiri dari sebagian besar orang Bugis dan Makassar pergi ke Selatan Sulawesi dan menduduki tempat yang ditinggalkan mereka di KDM-SST.
Letkol Ventje Sumual kemudian membuat markas Permesta di kompleks peristirahatan Persanggrahan Indraloka yang kala itu bernama "Thermo mandi Kinilow". Tercatat P.M. Tos anggota Kopedua (KoP2) yang menjadi kurir dari Panglima Permesta tersebut.
13 Juni 1957 Dalam sebuah siaran radio hari ini, Mayor D.J. Somba menyatakan, ia akan selalu mendukung Letkol Ventje Sumual sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana, dan mengulangi pernyataan tanggal 8 Mei tentang hal yang sama.
19 Juni 1957 Hari ini, sekitar 30 orang, diantaranya banyak anggota PKI, ditangkap di Minahasa dan ditahan di Gorontalo.
20 Juni 1957 Di Sulawesi Utara-Tengah diproklamirkan provinsi Sulawesi Utara, dihadiri Letkol Ventje SUMUAL, Mayor D.J. SOMBA, Kolonel Dahlan DJAMBEK, dll. Konferensi dinas yang diselenggarakan di Kotamobagu itu dihadiri oleh Letkol H.N. Ventje Sumual dan stafnya, Kolonel Dahlan DJAMBEK, dll.
Malah Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, yang ketika itu berada di Manado juga menghadirinya (Prof. Soemitro memang telah berada di Manado yaitu menyingkir ke sana sejak tahun 1956 (Mei 1957?) akibat kemelut politik karena ia adalah salah satu pimpinan Partai Sosialis Indonesia/PSI dan menikah dengan orang Minahasa yaitu Dorah Sigar asal Langowan, nanti pada Konferensi Sungai Dareh di Sumatera pada akhir 1957, ia baru keluar daerah itu, berangkat dengan Letkol H.N. Ventje Sumual dan stafnya).
Dalam rapat itu diputuskan, mengangkat H.D. Manoppo, seorang Residen-koordinator Sulawesi Tengah (sekaligus raja Bolaang Mongondow terakhir) yang banyak pengalaman dalam masalah pemerintahan daerah, sebagai Gubernur Sulawesi Utara dan Tengah. Wilayahnya dibagi dalam enam kabupaten dan satu kotamadya yaitu:
1. Kotamadya Manado
2. Kabupaten Minahasa
3. Kabupaten Gorontalo
4. Kabupaten Bolaang Mongondow
5. Kabupaten Sangir Talaud
6. Kabupaten Sulawesi Tengah
7. Kabupaten Tanah Toraja
21 Juni 1957 O.F. Pua, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Minahasa dan sebagai anggota PNI, dipenjarakan oleh Pemerintahan Militer Permesta dengan alasan yang tidak diterangkan, tetapi hanya sebentar saja.
23 Juni 1957 Dalam sebuah rapat di Kinilow, Letkol Ventje Sumual mengumumkan kesediaannya untuk memenuhi keinginan masyarakat untuk mempertahankan dirinya sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana.
Namun ia menandaskan, gerakan Permesta bukanlah gerakan separatisme. Penyelesaian yang wajar dengan pemerintah pusat, tetap tujuannya.

Sepanjang sejarah Permesta, lambang� kebangsaan Indonesia seperti bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang Bhineka Tunggal Ika, serta hari Proklamasi, tetap dijunjung tinggi dan bermakna seperti wilayah� lain di Indonesia. Perayaan hari Proklamasi 1957, umpamanya tidak kurang meriah daripada tahun� sebelumnya.
Rapat umum yang diselenggarakan di lapangan Sario - Manado, dihadiri sekitar 40.000 orang, dilanjutkan dengan resepsi di Gubernuran. Gubernur Manoppo, Panglima Sumual dan Mayor D.J.Somba memberi sambutan yang meyakinkan.
25 Juni 1957 Pengumuman dari Seksi Penerangan Team Bantuan Sulawesi Utara yang disiarkan dalam pers Manado:
"Sesuai dengan maksud dan tudjuan tertjantum dalam Rentjana Undang-Undang "Wadjib Bela Umum," maka untuk pertama kalinja di seluruh Indonesia akan diadakan pertjobaan milisi di wilajah GubMil Sul-Ut.
Pertjobaan milisi tersebut akan dilakukan dalam waktu jang singkat, sedangkan mereka jang akan dilatih diutamakan mereka jang sudah pernah memanggul sendjata. Demikian..."

Pengumuman ini sampai di Jakarta bersamaan dengan berita proklamasi pembentukan provinsi Sulawesi Utara secara sepihak oleh Konferensi Kerja Permesta di Gorontalo.
26 Juni 1957 Letkol Herman Pieters dilantik sebagai komandan Komando Daerah Militer Maluku dan Irian Barat.
Januari - Juni 1957 Kopra yang diekspor dari wilayah Minahasa selama periode bulan Januari-Juni 1957:
- Antar pulau sejumlah 13.972 ton
- Ke luar negeri 34.170 ton kopra

* Barter kopra dengan beras per kilogram yang oleh Permesta perbandingannya adalah 1:1 kg, serta yang dibarter di Singapura ada sekitar 230.000 ton kopra

3 Juli 1957 Dalam awal pertemuan rapat pemuda bersama utusan� Kongres Pemuda yang akan dibuka tanggal 5 Juli, Letkol Ventje Sumual di Markas Permesta di Kinilow Tomohon, menegaskan bahwa dengan atau tanpa izin dari pusat, ia adalah pimpinan militer tertinggi di Indonesia Bagian Timur. Ia berkata bahwa hanya ada dua pilihan: "hidup dan berjuang dengan Permesta, ataukah mengekor dengan pusat." Ia berkata seterusnya: "bila ternyata ada tokoh� tertentu yang mau dengan sengaja membendung Permesta, namun kami akan berusaha menerima, mempersatukan serta mempertemukan mereka dengan kita. Tetapi kalau dalam kenyataan ada gejala� yang kuat seolah� tindakan� terlalu merugikan maka demi keselamatan Permesta kita terpaksa menjalankan hukum revolusioner."
4 Juli 1957 Letkol M. Saleh Lahede diperiksa hari ini oleh tim bentukan Mabes TNI-AD (MBAD) berkaitan dengan keterlibatannya yang nyata dalam gerakan Permesta.
5 Juli 1957 Letkol Herman Pieters, Letkol Minggu, Mayor D.J. Somba, ditunjuk sebagai administrator militer dari daerah mereka sesuai dengan Hukum Darurat Perang oleh Pemerintah Pusat.
5-11 Juli 1957 Kongres Pemuda Indonesia Timur digelar di Tondano.
Ide Kongres itu lahir setelah Bhinneka Tungga Ika di Ujungpandang, Mei 1957. Ketika itu, Ketua Badan Musyawarah Dewan Pemuda Indonesia Timur, R.A. Daud, mengusulkan para pemuda harus juga mengadakan kongresnya sendiri. Pelaksanaannya diserahkan kepada Komando Pemuda Sulawesi Utara oleh tokoh� yang pernah bergabung dalam Dewan Manguni di Manado sebelum 2 Maret 1957.
Kongres Pemuda Indonesia Timur yang dilangsungkan di Tondano ini dengan Jan Torar sebagai Ketua Panitia. Berbagai organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa seluruh Indonesia Timur mengirimkan wakil�nya ke Tondano, malah wakil� tersebut diambil dari wilayah tingkat II dan mendapat bantuan pemerintah setempat.
Hadir dalam kongres itu utusan� dari Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara (Bali). Ketua Dewan Pemuda Indonesia Timur itu ternyata tidak hadir.
Salah satu keputusan penting dalam Kongres Pemuda Indonesia Timur ini adalah pembentukan suatu wadah tunggal yang dinamakan Komando Pemuda Permesta (KoP2) dengan suatu pimpinan utama dan beberapa departemen, seperti Departemen Pengerahan Tenaga, Pertahanan, Pendidikan dan Kebudayaan, Ekonomi dan Sosial, Keuangan, Agama dan Umum. Untuk periode pertama Kongres memilih Jan Torar yang memimpin Departemen Pengerahan Tenaga untuk menjadi Pemimpin Umum KoP2. Pimpinan lainnya adalah P.M. Tos (Departemen Pertahanan), Badar Alkatiri (Departemen Agama), Assegaf (--> K.H. Arifin Assegaf ? ) (Departemen Sosial Ekonomi), Abdul Chalil (Departemen Umum).
Komando Pemuda Permesta yang dibentuk dalam kongres diberi status setengah resmi oleh Letkol Ventje Sumual. Ketika timbul konflik senjata pada 1958, sejumlah besar anggota KoP2 di wilayah Sulawesi Utara dan Tengah dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota pasukan Permesta.
Sebelum itu, kegiatan KoP2 adalah membantu pemerintah daerah masing� mengerahkan tenaga dan dana untuk melancarkan pembangunan di daerah�. Hasil yang dicapai organisasi pemuda ini secara swadaya, misanya seperti pembangunan berbagai gedung� sekitar 80 buah, dan yang dijadikan kantor Gubernur Daerah Sulawesi Utara selama � 40 tahun - serta jalan raya cukup membanggakan.

Selain itu di Sulawesi Selatan terbentuk Parlemen Pemuda Permesta Wirabuana dengan pimpinan Matulada.
Pada tanggal 11 November 1957, Letkol Ventje Sumual, sebagai pimpinan tertinggi Permesta, menggabungkan organisasi� pemuda itu menjadi Dewan Tertinggi Pemuda Permesta dengan kedudukan di Makassar.
17 Juli 1957 Pemerintah Pusat mengirimkan sebuah misi ke Sulawesi Utara yang terdiri dari pejabat tinggi yang berasal dari Minahasa, yaitu Menteri Kehakiman Gustaf A. MAENGKOM, Menteri Perindustrian Ir. Fred J. INKIRIWANG, Duta Besar RI di Kanada Lambertus Nicodemus PALAR, Anggota Konstituante Arnold Isaac Zacharias MONONUTU. Mereka mengadakan perjalanan ke Sulawesi Utara dari tanggal 17 Juli sampai 5 Agustus 1957.
Pada saat yang sama, Gubernur Sulawesi Utara H.D. MANOPPO sedang menghadiri Konferensi Gubernur se-Indonesia di Jakarta. Ia mendapat kepastian dari beberapa menteri di Jakarta, bahwa pembentukan provinsi di Sulawesi Utara adalah maksud pemerintah pula.
Sebelum mengadakan pembicaraan dengan Dewan Tertinggi Permesta, misi Maengkom mengadakan peninjauan ke pelbagai daerah. Mereka menyaksikan sendiri, pembangunan wilayah ini memang benar� berhasil. Di mana� rakyat menyambut mereka dengan gembira. Rapat� umum diselenggarakan di berbagai tempat untuk memberikan kesempatan kapada rombongan dari pusat itu untuk menjelaskan kepada rakyat tentang maksud tujuan kedatangan mereka.
23 Juli 1957
Persetudjuan Kinilow antara Pemerintah Pusat dan Pimpinan Permesta.

Dalam pertemuan jang bersifat ramah-tamah jang diadakan di Pesanggrahan Kinilow, pada tanggal 23 Djuli 1957 antara Pemerintah Pusat jang diwakili (1) Menteri Kehakiman G.A. Maengkom, (2) Menteri Perindustrian Ir. F. Inkiriwang, (3) Duta Besar RI di Canada L.N. Palar, (4) Anggota Konstituante Arnold Mononutu di satu pihak, dan Penguasa Militer Sulawesi Utara dan Stafnja di lain pihak, maka jang disebut pertama dengan maksud membuka kesempatan guna membitjarakan persoalan� pokok sebagai jang tertjantum dalam Piagam Permesta, dengan ini menjatakan menjetudjui hal� tersebut di bawah ini:
  1. Surat Keputusan Panglima/Penguasa Militer TT VII Wirabuana No.Kpts.0139/36/1957 tentang pembagian Indonesia Bahagian Timur dalam enam provinsi otonom sebagai jang dimaksud dalam Surat Keputusan No.Kpts.0149/36/1957 dan Surat Keputusan No.0141/36/1957.
  2. Anggaran Belandja Provinsi Sulawesi Utara diterima langsung oleh Provinsi tersebut mulai pada hari pembentukannja.
  3. Routine bergrontingen daerah� Tingkat II serta verticale diensten jang belum lagi diterima segera akan dikirimkan oleh pemerintah pusat.
  4. Penjelenggaraan import dan ekspor sejak 2 Maret 1957 di dalam wilajah Sulut tetap berlaku sehingga adanja penjelesaian terachir dari pada persoalan� antara pemerintah pusat dan daerah�.
  5. Pemerintah Pusat mendjamin perhubungan laut dan udara interinsulair.
  6. Pemerintah Pusat akan melenjapkan segala kesulitan� jang dialami oleh Sulut dalam perdagangan intersulair.
  7. Pembentukan Universitas di Sulawesi Utara.
Demikianlah keputusan Pemerintah Pusat dalam menjatakan menjetujui hal� jang disebut di atas, lepas dari pada persoalan� pokok sebagai jang tertjantum dalam Piagam Perdjuangan Semesta Wilajah TT-VII Wirabuana. Dikeluarkan di: Kinilow Pada tanggal: 23 Juli 1957
Mengetahui: 
Panglima/Penguasa 
Militer TT-VII 
Wirabuana
Tertanda:
G.A. Maengkom
Ir. F. Inkiriwang
 A. Mononutu
Demikianlah pernjataan resmi kedua pihak untuk kepentingan umum (khalajak ramai). Selain itu, kesimpulan akhir pembitjaraan kedua belah pihak adalah, Delegasi Misi Pemerintah Pusat akan mengadjukan kepada Pemerintah Pusat hal� sebagai berikut: 1. Gubernur� Militer Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi Utara segera dilantik. 2. Letkol Sumual dilantik sebagai Panglima Komando Indonesia Timur. 3. Staf Komando Indonesia Timur ditentukan atas usul Panglima. 4. Stabilitas Angkatan Darat harus ditjapai melalui musjawarah collegial dengan ketentuan bahwa musjawarah jang dimaksud sudah harus dimulai dalam waktu satu bulan sesudah Misi tiba di Djakarta.


Kemudian Misi Pemerintah Pusat itu kembali ke Jakarta serta melaporkan hasil perundingan tersebut. Namun tampaknya Pemerintah Pusat (Kabinet Djuanda) seolah� tidak mempedulikan isi dari persetujuan tersebut.

membangun_jalan
Permesta membangun jalan
antara Manado-Tomohon

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi para pemerintahan daerah daerah adalah sebagai berikut:
Pada tahun� sebelumnya anggaran pembelanjaan daerah telah dibuat dan dikirim pada setiap akhir tahun untuk tahun-anggaran baru. Tetapi anggaran tersebut setelah diteliti di Pusat akan mengalami potongan� dan otorisasinya baru akan diterima pada pertengahan tahun-anggaran dan biasanya baru dapat diuangkan pada akhir September atau awal Oktober dalam tahun-anggaran berjalan. Karena itu dana yang ada jelas tidak mungkin habis digunakan pada akhir tahun-anggaran, padahal pada awal tahun-anggaran baru kelebihan itu harus disetor kembali. Kemudian kembaliakan diadakan pengajuan anggaran baru, pemotongan, otorisasi dan keterlambatan, dan akhirnya mengembalikan dana lebih.
Demikian dari tahun ke tahun, sehingga daerah secara nyata tidak pernah mendapat kesempatan untuk menikmati anggarannya secara penuh. Akibatnya pembangunan tidak ada yang dapat dikerjakan, daerah tetap terkebelakang dan rakyat tetap miskin dan tidak akan mampu meningkatkan taraf hidupnya. Keadaan yang sudah bertahun� menimpa daerah ini telah menjadikan rakyatnya kecewa sehingga menjadi calon� pengikut komunis (PKI) atau DI (barisan sakit hati) yang potensial.


Dari seluruh daerah di Indonesia Timur, wilayah Sulawesi Utara-lah yang paling giat membangun. Ini terutama berkat hasil kopra yang demikian besar di daerah ini. Penanganan ekspor kopra di wilayah ini dikendalikan suatu badan koordinasi yang dipimpin Nun Pantow. Penjualan kopra di luar negeri diatur oleh Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Boetje Wantania, Mayor Jan Walandouw, dan Mayor (Purn.) Nun Pantouw sendiri.
Dari dana yang terkumpul itu, setiap bupati kepala daerah mendapat sejumlah dana untuk melaksanakan pelbagai proyek menyangkut pembuatan jalan, jembatan, sekolah� dan sebagainya.
Dari luar negeri Permesta Manado menerima barang� untuk pembangunan, antara lain truk, traktor medium dan besar, alat� besar untuk pembuatan jalan seperti stomwals, alat pemecah batu, semen besi beton dan keperluan untuk irigasi dan jembatan serta beras.
Pada pertengahan tahun 1957 barang� masuk sudah memenuhi gudang pelabuhan Bitung, membuktikan pada rakyat bahwa Permesta tidak mau bekerja setengah�. Disamping alat� besar dan bahan� bangunan juga dimasukkan beras dan tekstil. Truk� pengangkut barang hilir-mudik antara Bitung dengan Manado, Tomohon, Kawangkoan, Amurang dan Kotamobagu. Sebagian diangkut dengan kapal ke Gorontalo, Buol, Donggala, Palu, Poso dan Sangir-Talaud. Rakyat yang selama masa kemerdekaan belum pernah melihat kesibukan yang begitu besar, dengan penuh suka cita menyambut setiap angkutan dengan pekik: "Hidup Permesta!". Pada masa itu tercatat harga beras Rp 2,- per kg di Minahasa, sedangkan di Kotamobagu hanya Rp 1,75 sedangkan di Makassar sendiri harga bulan Juni naik dari Rp 2,9 menjadi Rp 3,-
Alat� pertanian seperti traktor, pertama� dikirim ke Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Bolaang Mongondow kemudian barulah dikirim ke daerah Minahasa. Tetapi alat� besar untuk pembuatan jalan dan jembatan tetap berada di Manado yang ketika itu sedang membangun jalan baru antara Modoinding Minahasa Selatan - Modayag - Kotamobagu. Rute Modoinding - MModayag, panjangnya �19 km dan sudah lama diproyeksikan oleh Kepala PU Bolaang Mongondow Johan Pontoh. Pekerjaan lainnya adalah memperbaiki dan menarik jalan raya Inobonto - Lolak - Boroko yang sudah ada terus ke pelabuhan alam Labuan Uki sepanjang �6 km. Pelabuhan Labuan Uki sangat baik untuk kapal� berukuran 3.000 sampai 6.000 ton.

Sudah sejak Juni 1957, rakyat berbondong� melaksanakan pelbagai proyek dengan semangat mapalus (gotong-royong). Lebih dari 100 orang desa Tompaso, Amurang, Radey, Sapa, Tenga, Pakuweru dan Pakuure berhasil membangun jalan 6 km yang menghubungkan desa� itu. Jalan antara Manado dan Tomohon sepanjang 25 km pun mulai ditingkatkan dan diperlebar. Dengan bantuan TNI, rakyat berhasil membangun jalan yang menghubungkan Kinalawiran dan Tompaso Baru di Minahasa Selatan.
Pada akhir tahun 1957 rute Manado - Kawangkoan - Amurang - Tompaso Baru - Modoinding - Modayag - Kotamobagu sudah dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu 3� - 4 jam. Jarak sebelumnya memakan waktu sehari penuh. Jembatan� yang rusak dan tua antara Poigar di Minahasa Selatan dan Inobonto melalui pesisir pantai utara Bolaang Mongondow diganti atau diperlebar dan dialas dengan kayu� besi yang banyak ditemui di daerah ini. Jalan antara Inobonto - Kotamobagu diperbaiki dan diperlebar, begitu pula pada tempat� tertentu. Juga dibuat ponton� yang lebih kuat yang dapat dilalui alat angkut bermuatan penuh, sehingga jalan dapat digunakan untuk melancarkan pengangkutan hasil rakyat yang sangat membantu usaha peningkatan kesejahteraan rakyat di Gorontalo.
Pada awal tahun 1958, jarak Manado - Inobonto - Boroko - Atinggola -Kwandang - Gorontalo sepanjang �300 km, sudah dapat dilalui dengan kendaraan truk dalam waktu 17 jam.
Bupati Kepala Daerah Minahasa Laurens F. Saerang berhasil melaksanakan crash program pelebaran jalan raya dan pembuatan jalan� desa termasuk gang�, sehingga dapat dilalui kendaraan bermotor. Dengan alat� sederhana, tetapi dengan semangat yang tinggi, penduduk dapat melaksanakan pekerjaan pelebaran jalan atau pembuatan jalan baru tanpa menuntut upah. Pada waktu� makan, kaum ibu sudah siap menyajikan makanan dan minuman (saguer). Kepada petugas teknis dari instansi pemerintah yang memberi petunjuk dan bimbingan dengan para pekerja sukarela disuguhi makan dan minum oleh para ibu setempat. Desa� Liningaan, Kinaweruan dan Tumani berhasil membangun sebuah bendungan di Sungai Ranoyapo untuk mengairi sekitar 100 hektar lahan pertanian. Rakyat Tonsea juga berhasil merehabilitasi jalan di wilayah itu sepanjang 120 km. Di Tombasian-Amurang, rakyat bermapalus membangun pelbagai proyek seperti rumah sakit umum, gedung SMP, gedung SD, saluran air, serta jalan� baru yang menghubungkan desa itu dengan desa� sekitarnya. Di desa Pinangsungkulan, sebuah bank desa berhasil dibangun. Di daerah Minaahsa utara dibuka tanah� kosong di daerah Likupang, bagian barat/utara Gunung Dua Sudara dan di daerah sekitar Bitung.
Dan masih banyak lagi proyek� yang tidak seluruhnya dapat dilaporkan dalam pers setempat.

Tidak saja Kabupaten Minahasa mendapat alokasi dana untuk pembangunan. Juga Kabupaten Bolaang Mongondow memperlihatkan kegairahan yang luar biasa pada 1957. Demikian pula Kabupaten Sangir Talaud. Setiap distrik mendapat kesempatan membangun jalan baru atau merehab jalan� lama, serta membangun dan merehab gedung� sekolah, poliklinik dan lainnya. Di Sulawesi Tengah, pembangunan berjalan lancar di sekitar kota Poso, Banggai sampai Kabupaten Makale, Rentepao di Tanah Toraja.
Sulawesi Utara mampu mengerahkan sekitar 10.000 tenaga kerja untuk pembangunan. Terutama pembangunan jalan arteri yang menghubungkan Manado dan Bitung. Jalan antara Manado dan Gorontalo lewat Kotamobagu mulai dirintis Permesta dengan menggunakan tenaga� pemuda yang tergabung dalam KoP2 itu. Pemerintah Militer senantiasa menyediakan pelbagai peralatan seperti truk, buldoser, semen, aspal, dan lain�nya untuk pelbagai proyek yang spontan direncanakan penduduk desa.

Di daerah Kabupaten Poso, baru sebuah jalan yang dapt diperbaiki yaitu jalan raya Poso ke arah selatan sepanjang 30 km dan di daerah Kabupaten Palu, dari negeri Parigi melalui leher Sulawesi Tengah bagian timur ke arah barat sampai ke Palu sepanjang �70 km. Untuk melintasi jalan ini kendaraan harus berhati�, sebab kiri-kanan jalan terdapat jurang� yang amat dalam. Di Kabupaten Poso maupun di Kabupaten Palu/Donggala belum terdapat jaringan jalan�, sehingga daerah� ini harus mendapat perhatian pennuh daru Jawatan PU (Pekerjaan Umum).

Awal bulan Juni, Kastaf Gubmil Sulutteng bersama beberapa anggota staf tim asistensi mengadakan kunjungan ke daerah Gorontalo, Buol, Toli�, Palu, Donggala, Parigi dan Poso dengan menggunakan kapal putih milik pemerintah, dengan membawa cukup uang di dalam karung� (uang waktu itu hanya uang kertas pecahan Rp 100 bergambar pahlawan Diponegoro).
Daerah yang ditinjau pertama ialah daerah Buol, dimana masih berlaku sistem feodal kerajaan. Baru pertama kali ini Buol dikunjungi seorang penguasa militer Sulutteng, sehingga cara� penerimaan tamu dan rombongan disesuaikan dengan upacara� adat kerajaan. Pembangunan di daerah ini sangat memprihatinkan. Jalan yang termasuk baik tidak lebih dari � km, sedangkan usaha untuk menambahnya tidak ada, lagi pula tenaga kerja tidak terdapat di sana. Sebuah jip kemudian diberikan kepada kepala daerah Buol, untuk merangsang mereka membangun jalan beraspal.
Di daerah Toli� rombongan tiba pada pagi hari. Meskipun keadaan pembangunan di sana sudah relatif lebih baik namun masih dianggap memprihatinkan: jalan� dan gedung pemerintahan serta asrama� kesatuan Polri masih perlu diperbaiki; sekolah� rakyat (SD) masih kurang disamping tenaga pengajar yang masih sangat kuran; dan jembatan yang sangat vital untuk daerah ini harus segera diperbaiki sebelum ambruk. Untuk mengerjakan pembangunan itu daerah meminta anggaran yang relatif kecil, sehingga Kastaf Penguasa Militer Sulutteng menugaskan para ahli tim asistensi untuk menghitung ulang dan ternyata bahwa jumlah yang dibutuhkan hampir dua kali lipat dari yang dianggarkan itu. Hari itu juga tim dapat menetapkan anggaran yang dianggap wajar yang diambil dari beberapa karung uang yang dibawa serta. Sore hari rombongan berangkat dari Toli� menuju Donggala.
Setelah mengikuti upacara penyambutan di Donggala yang dinilai rombongan terlalu berlebihan, langsung saja meninjau keadaan proyek� yang dianggarkan. Banayak sekali proyek yang diajukan, sehingga tim asistensi perlu meneliti proyek� mana yang harus didahulukan yaitu yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam waktu enam bulan mendatang. Dalam peninjauan itu, dapat dilihat bahwa pembangunan� sekolah, asrama, poliklinik dan rumah sakit sama sekali tidak memadai. Jalan� dan bangunan� banyak yang diterlantarkan. Banayk sekolah dasar yang berlantai tanah dan hanya mempunyai satu atau dua bangku, atapnya rata� bocor dan pada malam hari tempat� tersebut menjadi menjadi kandang kambing, sehingga di lantai dan bangku� terdapat kotoran kambing. Keadaan rumah sakit yang kekurangan tenaga perawat serta obat dan alat�nya tidak memadai kendati hanya untuk perawatan penyakit biasa.
Keadaan di daerah Poso tidak banyak berbeda dengan keadaan di Palu-Donggala. Untuk biaya pembangunan di daerah Poso, rombongan memberikan uang tunai sebesar Rp 3.500.000,- (yang diambil dari karung� uang yang dibawa serta) yang dianggarkan untuk pembangunan daerah sampai akhir 1957. Di samping itu untuk menutupi gaji yang sudah terlambat beberapa bulan, termasuk guru�, dikeluarkan Rp 200.000,-. Rombongan Tim Penguasa Militer Sulutteng ini tinggals elama 2 hari 2 malam dan seperti biasanya pada malam terakhir dihibur dengan tari�an daerah yang dilanjutkan dengan tari polonese.

Keesokan harinya melanjutkan peninjauan ke Gorontalo. Keadaan di sini sudah agak lebih baik dari kabupaten� sebelumnya. Bupati Sam Bia giat membangun daerahnya dengan 12 traktor untuk pertanian yang sudah dikirim beberapa waktu sebelumnya yang sudah dipekerjakan di sawah dan ladang. Selain itu Gorontalo sudah dapat membangun jaringan irigasi yang dapat mengairi ratusan hektar tanah yang pada waktu kunjungan tersebut diresmikan pemakaiannya. Bupati Sam Bia juga telah membangun sebuah stasiun radio, lapangan pacuan kuda, lapangan olahraga untuk atletik dan sebuah lapangan sepakbola.
Kunjungan ke daerah Gorontalo sudah dijadwalkan berlangsungnya pekan olah raga pelajar antar-Kabupaten dan pacuan kuda se-Sulawesi. Pada malam terakhir sebelum tim tersebut meninggalkan Gorontalo, maka bekas Residen-koordinator Sulawesi Tengah, H.D. (Wim) Manoppo dilantik menjadi Gubernur/Kepala Pemerintahan Sipil Permesta di Sulutteng yang berkedudukan di Manado. Bekas Residen Wim Manoppo baru diberitahu tentang pengangkatannya 6 jam sebelum dia dilantik, yaitu pukul 09.00 pagi. Sore harinya dengan kapal cepat milik Bea Cukai Manado, rombongan tim asistensi Kastaf Gubmil Sulutteng Mayor Dolf Runturambi dengan Gubernur Wim Manoppo dan rombongan Letkol Ventje Sumual dan Kolonel Dahlan Djambek kembali ke Manado.
Agustus 1957 John M. Allison, Duta Besar Amerika di Jakarta dalam bulan ini, mengingatkan dalam satu laporan rahasia bahwa pergolakan di Indonesia bukan soal anti komunis lawan komunis semata�. Pembangkangan oleh pemimpin� di daerah� disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap pemerintah Pusat dan adanya perasaan masyarakat di Pulau Jawa yang merasa diri mereka lebih (superior) dibanding penduduk di daerah� lainnya.
16 Agustus 1957 Pidato radio Letkol H.N. Ventje Sumual dalam rangka menyambut Hari Proklamasi 17 Agustus 1957 membuat pihak umum di Jakarta mengetahui sikapnya. Dalam pidato tersebut Sumual menyerukan mutlaknya diusahakan adanya situasi tenang, baik di ibukota negara maupun di daerah�, sebagai prasyarat berlangsungnya Musyawarah Nasional bulan September yang akan datang. Ia juga menganjurkan agar penyelenggaraan Munas itu diselenggarakan kepada phak� yang dapat diandalkan, termasuk pihak Angkatan Darat.
Selain itu, Sumual juga menjelaskan beberapa masalah mendasar yang menyangkut fungsi dan tugas pemerintah, serta peran Permesta. Menurut pendapatnya, "Kemakmuran rakyat adalah wewenang tertinggi suatu negara."
Dalam hal ini, Permesta telah meberi contoh nyata, seperti tampak dalam usaha� pembangunan serta swadaya masyarakat yang dibangkitkannya. Ia juga menilai, pembentukan Permesta serta tindakan�nya didasarkan pada prinsip yang luas, yaitu 'legal idealisme'.
17 Agustus 1957 Perayaan hari Proklamasi 1957 di Sulut tidak kurang meriah daripada tahun� sebelumnya.
Rapat umum yang diselenggarakan di lapangan Sario (Manado), dihadiri �40.000 orang, dilanjutkan dengan resepsi di Gubernuran. Gubernur H.D. Manoppo, Panglima Letkol Ventje Sumual dan Mayor D.J. Somba memberi sambutan yang meyakinkan.
Pameran alat� pembangunan seperti truk�, tippers, alat� besar untuk pembuatan jalan seperti stoomwals-buldozer-grader, dll.
Pawai-Permesta-HUT-RI-1957
Pawai Pembangunan Permesta 1957


Hari ini, 6.228 bekas pemberontak TKR dan TRI di Sulawesi Selatan/Tenggara secara resmi diterima ke dalam TNI, yang membuat kekuatan dibawah komando KDM-SST hampir dua kali lipat. Untuk memberi latihan pada pasukan ini, dan kursus "penataran" untuk eks-batalyon CTN (Coprs Tjadangan Nasional, yang dulunya juga pasukan gerilya), Pendidikan Pendahuluan Ulangan Perwira dibuka di Malino di sebelah selatan Makassar, pada tanggal 28 Oktober 1957.
Setelah pertempuran hebat di Kota Makassar pada bulan Desember 1957 antara Batalyon 718 dari RI-Hasanuddin dan Batalyon 513 dari Divisi brawijaya, diputuskan untuk menarik kesembilan batalyon Brawijaya yang masih tinggal di Sulawesi Selatan. Sebelum bulan Juli 1958, semua batalyon itu telah ditarik. KDM-SST sekarang tersusun dari satuan� yang terdiri hampir seluruhnya dari anak daerah. Pada tanggal 22 Januari 1958, satuan� ini dibagi lagi antara komando Kota Makassar (KMKB), RI-Hasanuddin, dan RI-23.
31 Agustus 1957 Negara Malaya (Malaysia) menyatakan kemerdekaannya dari Inggris. Pemerintah Malaya yang telah merdeka secara resmi tidak ingin mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, tetapi tidak dapat menghalangi hubungan pribadi antara beberapa tokoh dari daerah bergolak dengan, golongan� tertentu di Malaya.
3 September 1957 Trauma akibat jatuhnya Cina ke tangan Komunis begitu pahit bagi Amerika Serikat sehingga hari ini Tim Antar-Departemen Tentang Masalah Indonesia dibentuk oleh State Departement & CIA (c.q. Kepala Desk Indonesia-Malaysia CIA, J.B. Smith) tanpa mengikutsertakan Duta Besar AS di Jakarta, John M. Allison.
8 September 1957 Pertemuan tiga Panglima daerah bergolak di Palembang (Letkol Barlian, Letkol Achmad Husein, Letkol Ventje Sumual) bersama staf sekitar 30 orang dan hasil perundingan tersebut dirumuskan dalam Piagam Pelembang yang ditandatangani oleh semua yang hadir (namun naskah yang disebarluaskan ternyata hanya mencantumkan nama� Letkol A. Husein, Letkol Barlian, Letkol H.N.V. Sumual).

Piagam Palembang yang intinya berisi:
(1) Rukunnya/pulihnya kembali Dwitunggal Soekarno-Hatta,
(2) penggantian kepemimpinan Angkatan Darat,
(3) pembentukan Senat,
(4) otonomi daerah (desentralisasi),
(5) pelarangan terhadap komunisme.

Kelima masalah ini merupakan intisari rencana (tuntutan) dari Dewan Banteng, Dewan Garuda, pemikiran Kolonel Maludin Simbolon dan Permesta.

10-14 September 1957
munas
munas_03
Musyawarah Nasional
Munas (Musyawarah Nasional) diadakan di Gedung Proklamasi, Jl.Proklamasi No.56 Jakarta yang dipimpin Presiden Soekarno.
Delegasi dari Sulawesi Utara adalah Komandan KDM-SUT Mayor D.J. SOMBA, Letkol H.N. Ventje SUMUAL (penasihat delegasi), Gubernur H.D. Manoppo (secara resmi, ia adalah Residen-koordinator Sulawesi Tengah), W.J. Ratulangie (Residen-koordinator Sulawesi Utara), Sabu, Sam Kesaulya, Bija (M. Biga?), A.C.J. (Abe) Mantiri.
Delegasi dari Sulawesi Selatan adalah Gubernur/Gubernur Militer SST Kol.Tituler Andi Pangerang, Letkol M. Saleh Lahede (penasihat delegasi), Mayor Andi Muhammad Jusuf (Kastaf KMDSST), Henk Rondonuwu (Ketua Komite Eksekutif Dewan Pimpinan Permesta), Andi Burhanuddin (Residen Makassar), Haji Makkaraeng Daeng Mandjarungi (Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Permesta).





Munas ini membicarakan 3 masalah:
(1) Pemulihan kembali Dwitunggal Soekarno-Hatta,
(2) Pelaksanaan pembangunan Nasional,
(3) Perubahan pimpinan Angkatan Darat.
Sedangkan masalah "larangan terhadap komunisme" tidak diangkat untuk dibicarakan dalam Munas ini.
Pada hari pertama tidak kurang dari 19 orang yang mengajukan saran�nya, yaitu para Panglima/Penguasa Militer serta Komandan KDM. dan para gubernur. Diantaranya adalah Komadan KDM Maluku/Irian Barat Letkol Herman Pieters, Gubernur Nusa Tenggara T.M. Daudsjah, Gubernur Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara Kolonel Tituler Andi Pangerang, Panglima TT-II Letkol Barlian, Komandan KDM Sulawesi Utara Mayor D.J. Somba. Banyak diantara para perwira, yang bersangkutan dengan masalah Angkatan Darat justru tidak diundang. Letkol Ventje Sumual pun angkat bicara dan mempersoalkan perlunya Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Maludin Simbolon dan Kolonel Sukanda Bratamanggala, diundang dalam musyawarah yang bertekad menyelesaikan semua persoalan bangsa dan negara.
Hasil keputusan Munas ini adalah:
(a) masalah Dwitunggal, setuju untuk dipulihkan kembali
(b) pembangunan, segera akan diadakan Munap
(c) masalah AD ditangani oleh Panitia-7 (Ir.Soekarno, bekas Wapres Drs. Moh.Hatta, Waperdam III Dr.J. Leimena, bekas Menhan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Kol.Dr. Azis Saleh, KSAD Mayjen A.H. Nasution)

munas_04
Presiden Soekarno dgn Ventje Sumual serta D.J.Somba dlm Munas tsb


Beberapa catatan tambahan:
Pada waktu Munas dilaksanakan, KSAD Mayjen Nasution mengadakan rapat dengan para pemimpin TNI dari daerah bergolak. Dalam rapat tersebut terjadi suatu perdebatan tajam antara KSAD Mayjen Nasution dengan Panglima Kolonel Ventje Sumual. KSAD tetap berpegang pada legalitas dan disiplin militer tanpa menghiraukan kenyataan yang memaksa TT-VII menyimpang dari disiplin.
Dalam rapat itu KSAD Nasution sudah menyatakan niatnya untuk menggeser Ventje Sumual dari kursi panglima TT-VII dan mengirimnya ke Filipina untuk menjadi Atase Militer KBRI di sana. Suatu saat Ventje Sumual sudah tidak lagi dapat menguasai emosinya, sehingga dia memukul meja di depan Nasution. Dalam keadaan marah� dia langsung meninggalkan rapat, disertai Kastaf Gubmil Sulut Mayor Dolf Runturambi, dan menuju ke tempat penginapan di Hotel des Indes. Setibanya di sana, Mayor Rumturambi langsung memberi perintah kepada para pengawal yang terdiri dari prajurit� Kawanua Jakarta yang setelah proklamasi Permesta atas kesepakatan mereka sendiri menjaga keamanan rombongan Ventje Sumual selama berada di Jakarta, supaya baku rako, jika ada yang coba� menangkap Bung Ventje.
Banyak prajurit kawanua dalam kesatuan� TNI di Jakarta - RPKAD, KKO dan garnisun - secara bergiliran mengadakan penjagaan siang-malam dengan senjata lengkap. Mereka tidur dan makan di tempat penginapan Ventje Sumual sampai rombongan mereka kembali lagi ke Sulawesi. Mereka sangat loyal kepada Permesta.
17 September 1957 Menteri Kehakiman G.A. MAENGKOM yang memimpin Misi Pemerintah Pusat ke Sulawesi Utara/Minahasa dan menemui tokoh� Permesta untuk penyelesaian secara damai masalah Permesta, hari ini mengadakan rapat umum di Lapangan GMIM Pinaesaan Langowan guna menjelaskan maksud misi pemerintah pusat ini. Turut berbicara dalam rapat itu yaitu Panglima TT-VII Wirabuana Letkol H.N.Ventje SUMUAL.
apel sumual apel maengkom
Rapat raksasa penyelesaian konflik di Lapangan Langowan
dengan pidato dari Letkol Sumual dan Menteri Kehakiman GA Maengkom
21-22 September 1957 Setelah Munas, kolonel� Sumatera bertemu kembali di Palembang, dan menyusun suatu lampiran bagi Piagam Palembang yang berjudul "Gagasan Dasar, Prinsip�, dan Program Bersama Perjuangan Daerah," yang oleh Letkol Ahmad Husein dan Letkol Barlian dibawa ke Makassar untuk ditandatangani Letkol Ventje Sumual; mereka datang dengan alasan akan menghadiri PON. Dokumen ini, sebagaimana halnya dengan Piagam Palembang sendiri, tidak diumumkan pada waktu itu. Letkol Ahmad Husein juga mengunjungi markas Resimen Infanteri Hasanuddin (RI-Hasanuddin) dan pusat latihan militer di Malino; ia disertai Mayor Andi M. Jusuf pada kunjungan kepada Raja Gowa, yang juga adalah seorang pendukung cita� Permesta.
23 September 1957 Universitas Permesta didirikan di Manado, yang merupakan salah satu proyek yang penting Permesta. Pada mulanya, digunakan sebuah bangunan di Kawasan Sario.
Rektor pertamanya, Mayor Dolf Runturambi, yang memegang jabatan Kepala Staf Gubernur Militer Sulawesi Utara Tengah.
Universitas Permesta ini akhirnya digabungkan dengan Universitas Pinaesaan menjadi Universitas Sulawesi Utara (UNISUT, kemudian menjadi UNSRAT) tanggal 17 September 1961.

Juga PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Tondano yang didirikan Prof. Mr. GMA Inkiriwang, SH dan Nona Politon pada tahun 1955, mendapat perhatian istimewa. Gedung� baru serta perpustakaan dibangun di sini. Para mahasiswa pun mendapat tunjangan pendidikan yang memuaskan.
27 September 1957 Pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) IV di Makassar dilakukan oleh Presiden Soekarno. Kemudian Presiden Soekarno berangkat ke Sulawesi Utara untuk mengadakan kunjungan selama dua hari.
28 September 1957 Komando Daerah Militer Sulawesi Utara-Tengah (KDM-SUT) dibentuk secara resmi oleh KSAD Mayjen A.H. Nasution menggantikan komando Resimen Infanteri 24 (RI-24), dengan Mayor Daniel Julius (Yus) Somba sebagai komandannya dengan kenaikan pangkat secara otomatis menjadi Letnan Kolonel (Overste). Diantara yang hadir dalam upacara ini hadir juga Letkol Ventje Sumual dan Gubernur Sulawesi Utara Permesta H.D. Manoppo. Dalam pidatonya Mayor D.J. Somba memberikan gambaran, ia dan perwira� lain tidak akan dapat menyelesaikan konflik kesetiaan yang ada pada bulan� mendatang: "Ideologi TNI, ialah mempertahankan negara, dan bagi Sulawesi Utara ideologi tentara harus disesuaikan dengan keinginan dan hasrat rakyat."
Pada bulan November 1957 KDMSUT mengumumkan rencana melaksanakan suatu reorganisasi atas satuan� militer yang berada dibawah wewenangnya. Batalyon 714 akan dipecah menjadi dua batalyon, masing� dengan tanda pengenal "P" dan "S", dan seterusnya dua batalyon, "Q" dan "R", akan dibentuk dari kedua kompi dari Batalyon 719 dibawah Mayor Lukas J. Palar dan kompi yang satu dibawah Kapten Frans Karangan di Sulawesi Tengah, dan masing� perwira akan menjadi komandan masing� batalyon yang baru terbentuk itu.
29 September 1957 Presiden Soekarno tiba di Sulawesi Utara untuk mengadakan kunjungan selama dua hari. Ia menginap di pinggiran kota Manado, di daerah Kairagi, atas saran pengawalnya karena situasi saat itu tidak kondusif.
30 September 1957 Presiden Soekarno berkunjung ke Minahasa selama beberapa hari didampingi oleh tokoh nasional Ruslan Abdulgani dan Duta Besar AS untuk Indonesia John M. Allison serta diterima oleh Gubernur Militer/Panglima KDM-SUT (KDM/Kodam Sulutteng) Overste D.J. Somba dan Gubernur Sulawesi Utara yang diangkat Permesta, H.D. Manoppo. Sebagai Ketua Panitia Penyambutannya adalah Mayor Wim Tenges selaku Kepala Seksi Logistik Tim Assistensi Pemerintahan Militer KDM-SUT.
Beliau mengadakan kunjungan resmi di Universitas Permesta di Sario Manado serta mengadakan kuliah umum serta dialog terbuka dengan para mahasiswanya. Di Universitas Permesta ini, Presiden disambut dengan spanduk yang berbunyi "Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan" (Amsal 1:7a) yang diartikan sebagai sein alus kepada Soekarno akan paham komunis, serta spanduk lainnya yang berbunyi, "maaf Bung Karno, kami tidak menghendaki komunisme." Presiden kemudian berpidato di Sekolah Tinggi Seminari Katholik di Desa Pineleng dan kemudian berkunjung ke Tomohon dan Tondano dengan mobil jeep terbuka, dan berkacamata hitam serta menghadiri perayaan HUT Sinode GMIM ke-23 di Gereja SION Tomohon dan berpidato: "...bahwa Ketuhanan itulah sendi utama Republik Indonesia. Demikian Tuhan adalah pegangan kita," serta ayat dalam Injil Yohanes pasal 1 ayat 1: "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama� dengan Allah dan Firman itulah adalah Allah."
Dalam amanat itu ada ucapan Bung Karno yang menjadi sangat terkenal mulai waktu itu tentang falsafah tudingan. Ia mengingatkan agar setiap orang harus sadar jika hendak menuding kesalahan orang lain. Sebab pada saat jari telunjuk kita menuding orang lain, pada saat itu pula katanya, tiga jari kita menuding diri kita sendiri.
Jamuan makan HUT GMIM tersebut dilaksanakan di Kantor Sinode GMIM dan dihadiri oleh Duta Besar Amerika Serikat dan Letkol D.J. Somba yang masih mengenakan badge TT-VII/Wirabuana.

Kemudian Presiden Soekarno kembali ke Jakarta via Gorontalo dan Palu, didampingi Kastaf KDM-SUT Mayor Dolf Runturambi. Di Gorontalo, ia menginap satu malam, kemudian meneruskan perjalanan ke Makassar menghadiri (penutupan) PON-IV yang sedang berlangsung di Makassar. Mayor Dolf Runturambi juga ikut selaku Ketua Rombongan olahragawan se-Sulutteng.

Situasi dan kondisi saat itu sedang memanas, antara Pusat dengan Permesta, sehingga peristiwa ini mendapatkan keuntungan tersendiri bagi Permesta, dan menambah dukungan moril bagi Permesta, menumbuhkan keyakinan pada masyarakat umum bahwa gerakan Permesta adalah sah� saja oleh pemerintah pusat.

HUT GMIM
HUT GMIM
Presiden RI Soekarno dlm acara peringatan HUT GMIM di Tomohon
1 Oktober 1957 Rencana rahasia RRC di Peking (Beijing) untuk menguasai seluruh kepulauan di Pasifik dan Asia Tenggara sampai Pakistan hingga tahun 1968.
5 Oktober 1957 Kelompok yang tergabung dalam pendeklarasian Piagam Palembang mengadakan rapat evaluasi Munas hari ini. Pertemuan yang diselenggarakan hari ini dihadiri oleh para perwira di Sumatra yaitu Letkol Ahmad Husein dan Letkol Barlian. Letkol Ventje Sumual berada di Manado sehingga tidak bisa mengikuti pertemuan. Tetapi, kemudian Letkol Ahmad Husein pergi ke Makassar dan bertemu dengan Letkol Ventje Sumual yang juga sengaja datang ke tempat itu. Di sinilah naskah "Dasar�, Program Bersama dari Perdjuangan Daerah (Realisasi Piagam Persetudjuan Palembang)" ditandatangani oleh Letkol Ventje Sumual. Karenanya, tempat penandatanganan itu hanya disebut Kota Perjuangan. Keputusan 5 Oktober ini merupakan pedoman dasar bagi daerah� bergolak. Pokok�nya disampaikan juga kepada Panitia Tujuh.
22-25 Oktober 1957 Letkol Ventje Sumual dimasukkan dalam suatu rapat kerja KADIT (Komando Antar Daerah Indonesia Timur) yang diadakan di Bali. Tetapi pada tanggal 26 Oktober diumumkan, ia akan ditempatkan di MBAD di Jakarta, dan kedudukannya akan ditentukan Panitia Tujuh. Letkol Saleh Lahede, walaupun tidak mempunyai kedudukan resmi semenjak KoDPSST dibubarkan, tidak menerima tawaran mengikuti SSKAD (sekarang SESKOAD) di Bandung.
11 November 1957 Letkol Ventje Sumual menggabungkan organisasi� pemuda Permesta menjadi Dewan Tertinggi Pemuda Permesta yang berkedudukan di Makassar.
25 November 1957
munap
Musyawarah Nasional Pembangunan
Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP) dilaksanakan di Jakarta. Tujuannya terutama adalah membahas dan merumuskan usaha� pembangunan sesuai dengan keinginan daerah�.
Letkol H.N. Ventje SUMUAL mengikuti MUNAP (Musyawarah Nasional Pembangunan) di Jakarta yang dipimpin Presiden Soekarno ini. Ia dan beberapa perwira daerah bergolak sempat ditangkap sebelum mengikuti MUNAP akibat Peristiwa Cikini yang terjadi tanggal 30 November (yang menuduh pihak Daerah Bergolak sebagai dalangnya) namun segera dibebaskan. Kemudian Letkol Ventje Sumual melaporkan esensi Proklamasi Permesta 2 Maret 1957. MUNAP ini tidak dihadiri oleh Letkol Achmad HUSEIN dari KDM Sumatera Tengah yang memimpin pemerintah sendiri di Sumatera Barat dengan Dewan Bantengnya. MUNAP ini berakhir tanggal 4 Desember tahun itu.
30 November 1957 Terjadinya Tragedi Nasional: Peristiwa Cikini.
Aksi spontanitas penggranatan sebagai percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini yang dituduhkan oleh orang� tertentu (terutama PKI) untuk mendiskreditkan dan memfitnah Daerah� Bergolak sebagai dalangnya.
Beberapa tokoh politik dan militer di Ibukota mulai menyingkir ke daerah� yang dianggap aman dari fitnahan dan aksi kekerasan (dari golongan komunis) akibat dari Tragedi Cikini ini. Mereka antara lain Mr. Sjarifuddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, dan lain�.
Letkol Ventje Sumual dan beberapa perwira yang sedang mengikuti Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) sempat ditahan namun segera dibebaskan dan diijinkan untuk mengikuti lanjutan Munap tersebut.
Desember 1957 Komando Daerah Militer (KDM) XIII/Merdeka - Sulawesi Utara/Tengah dibentuk, terlepas dari jajaran TT-VII/Wirabuana yang dibubarkan KSAD TNI.

Pembubaran TT VII/Wirabuana dan pembentukan empat KDM yang terpisah di Indonesia Timur, merupakan pukulan berat bagi Permesta. Hal ini menyebabkan perkembangan kegiatan Permesta di berbagai daerah, kecuali Sulawesi Utara, mengalami kemunduran. Para Panglima KDM yang sebelumnya menyetujui gagasan Permesta, telah mengubah haluan, kecuali Letkol D.J. Somba dan Letkol Minggu.
"Operasi Intelijen" Sukendro untuk memecah belah para perwira pro Permesta ternyata berhasil; selain itu, para Panglima KDM juga otomatis mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel.
Desember 1957 Barnabas Banggur, seorang mahasiswa Fakultas Hukum di Makassar (kemudian menjadi Pengacara di Jakarta) - kembali ke kampung halamannya, Flores, untuk mengkoordinasikan para pemuda setempat.
Dengan dana yang disediakan Permesta, mereka berhasil membangun sebuah gedung Pemuda Permesta yang digunakan pertama kalinya untuk menyelenggarakan suatu Kongres Pemuda setempat pada Desember 1957. Gedung ini berdiri dengan megah di pinggir pantai Kota Ende, ibu kota Kabupaten Ende (Flores Tengah), dan digunakan sebagai gedung pemerintahan daerah. Juga dibangun dermaga di Larantuka yang digunakan pihak Misi Katolik untuk menyimpan/menyandarkan kapal� motor mereka. Untuk pembangunan Flores bagian Barat yang dikenal sebagai Daerah Swapraja dengan ibu kota Ruteng, Permesta menyumbangkan beberapa ribu sak semen untuk membantu pembangunan rumah pegawai, pegawai negeri, guru� yang berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di Kota Ruteng.
Penyerahan ribuan sak semen itu disaksikan Penguasa Militer setempat (Flores) Fredy Lumanauw, Kepala Pemerintahan Swapraja Manggarai (KPS), P. Salasa dan Barnabas Banggur yang saat itu masih mahasiswa.
Permesta mempersiapkan pula pembentukan provinsi Nusa Tenggara Timur dengan singkatan NTT. Pembentukannya direalisasikan Pemerintah Pusat, Desember 1958, dengan gubernur pertamanya adalah W.J. Lalamentik, dan pemekaran kabupaten menjadi 12 buah.

Bersamaan dengan persiapan pembentukan Provinsi NTT, Permesta juga mempersiapkan pemekaran pembentukan daerah tingkat II/Kabupaten, antara lain, Daerah Flores yang sebelumnya hanya satu Kabupaten, direncanakan dan direalisasikan menjadi 5 Kabupaten, yaitu:
1. Kabupaten Manggarai dengan Ibu kota Ruteng
2. Kabupaten Ngada dengan Ibu kota Bajawa
3. Kabupaten Ende-Lio dengan Ibu kota Ende
4. Kabupaten Sika dengan Ibu kota Maumere
5. Kabupaten Flores Timur dengan Ibu kota Larantuka

Realisasi pemekaran provinsi Sunda Kecil (Nusatenggara) baru dilakukan tahun 1958 oleh pemerintah pusat, dengan membaginya menjadi Daerah Swantara Tingkat Pertama: Bali, Nusatenggara Barat (NTB), dan Nusatenggara Timur (NTT).
7 Desember 1957 Hari ini terbentuk pula Persatuan Wanita Permesta Wirabuana dengan Ny. Mathilda Towoliu-Hermanses sebagai ketua. Anggota pengurus lainnya, antara lain, Ny. E.Sigar, Ny. Fachruddin, Ny. Sam Kesaulya, Ny. Saleh Lahade, dengan Ny. Andi Burhanuddin, Ny. R. Warouw, dan Ny. Depu sebagai penasihat.
Pada hari ini juga, di daerah Poso - Sulawesi Utara (Tengah), dua peleton TNI dengan senjata lengkap masuk hutan menentang kelompok Permesta (Lukas J. Palar?). Tindakan ini diikuti pula oleh sejumlah anggota kepolisian, pimpinan pemerintahan sipil serta lebih kurang 2000 orang rakyat daerah tersebut. Tindakan ini juga karena tuntutan mereka agar supaya daerah Sulawesi Tengah dijadikan Daerah Swantara Tingkat Pertama (provinsi) tidak dikabulkan Permesta.
9 Desember 1957 Hari ini diadakan percobaan terakhir untuk menghidupkan kembali organisasi� Permesta di Makassar, yaitu ketika Letkol Ventje Sumual meresmikan Dewan Tertinggi Permesta dan Dewan Tertinggi Pemuda Permesta. Dektrit tersebut adalah "Dektrit Permesta Se-Wirabuana" No.001/Dok/10/1957, Makassar. Letkol Ventje Sumual sendiri mengepalai Dewan Tertinggi Permesta, Letkol Saleh Lahede sebagai wakilnya, dan Kapten Bing Latumahina sebagai sekretaris. Setiap dewan mempunyai tujuh belas anggota, mereka ini kebanyakan - jika tidak semua - adalah penduduk Makassar.
16 Desember 1957 Panitia Sembilan yang dibentuk Munas untuk memulihkan kembali kerja sama antara Soekarno dan Drs. Moh. Hatta mengumumkan pada hari ini, bahwa ia gagal melakukan tugasnya karena Moh. Hatta "bersedia ikut mengambil bagian dalam pemerintahan hanya jika selain memikul tanggung jawab moral harus pula memperoleh wewenang."
17 Desember 1957 Keadaan darurat perang oleh Presiden ditingkatkan menjadi "KEADAAN BAHAYA PERANG" sehingga APRI (TNI) lebih leluasa mengambil tindakan� tegas.
25 Desember 1957 Kolonel Ventje Sumual meninggalkan markasnya di Kinilow beberapa hari sebelum Hari Natal tiba, dan tanggal 9 sampai 13 Januari 1958 berada di Sungaidareh, Sumatera Barat.
31 Desember 1957 Gubernur Sulut Permesta, H.D. Manoppo, mengumumkan berakhirnya pengawasan keuangan dan pemerintahan yang selama ini dilakukan Makassar atas Utara (pemerintah pusat masih tetap mengakui Makassar sebagai ibu kota provinsi seluruh Sulawesi).
1 Januari 1958 Pimpinan Pemerintah di Manado menyatakan bahwa di provinsi SUT (Sulawesi Utara) telah dibentuk jawatan� tingkat provinsi mendahului sesuatu putusan dari Pemerintah Pusat di Jakarta.
Pemerintahan Sulawesi Utara tersebut dipimpin oleh Gubernur H.D. Manoppo, bekas Residen-koordinator Sulawesi Tengah.

Pangkat Letnan Kolonel (Overste) resmi disandang oleh Daniel J. Somba selaku Komandan KDM-SUT terhitung mulai hari ini, meski belum ada upacara pelantikannya. Selain itu, Mayor Andi M. Jusuf (komandan RI Hasanuddin), dan A. Rifai (komandan RI-23) juga mendapatkan kenaikan pangkat Letnan Kolonel.
6 Januari 1958 Presiden Soekarno meninggalkan tanah air guna memulai perjalanan kunjungan kenegaraan ke berbagai negara seperti Jepang, India, dan negara Asia lainnya.
KSAD Mayjen A.H. Nasution memberikan ceramah di Magelang mengharapkan sebuah dual role untuk militer: baik untuk kekuatan militer (pertahanan negara) dan organisasi untuk pengembangan sosial kemasyarakatan (pertahanan kemasyarakatan). Permulaan dari doktrin "Dwifungsi TNI" (Dwifungsi ABRI).
7 Januari 1958 Dalam harian Pedoman terbitan hari ini, Henk Rondonuwu sebagai Ketua Badan Pekerja Dewan Pertimbangan Pusat Permesta memberikan reaksi terhadap wacana bentuk negara federasi yang muncul dalam berita� pers Amerika Serikat "jang menggambarkan seakan� daerah� di luar Djawa sedang bergerak menudju negara federal".
"Djikalau jang dimaksud bahwa djuga gerakan daerah jang hidup dalam rangka `Permesta' selaku satu usaha ke arah negara federal maka tafsiran jang demikian adalah keliru. Patokan serta dasar perdjuangan 'Permesta' tetap berlandaskan pada negara Republik Indonesia jang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam ruang gerak dari 'Permesta' adalah di dalam djiwa ini, tidak berkisar".

Hari ini, Gubernur Sulawesi Utara H.D. Manoppo mengumumkan pembentukan jawatan� vertikal pemerintah yang terpisah dari jawatan serupa di Makassar.

Suatu konferensi keamanan yang dihadiri perwira senior dari Jawa dan Indonesia Timur diadakan dari tanggal 7 sampai 9 Januari di Tretes, Jawa Timur. Dari KDM-SST hadir Letkol Andi Mattalatta, Mayor Her Tasning, dan Letkol M. Jusuf; KDM-SUT diwakili Mayor Eddy Gagola, Mayor Wim Joseph, dan Mayor Wim Tenges. Selain itu, PAnglima TT-IV/Diponegoro, Kolonel Soeharto dalam rapat itu duduk bersebelahan dengan Mayor Wim Tenges. Dikatakan bahwa Letkol D.J. Somba sakit dan tidak hadir. Mayjen A.H. Nasution mempertanyakan kepada delegasi Sulawesi Utara mengenai ketidakhadiran Letkol D.J.Somba, dan meminta keterangan dimana Letkol Ventje Sumual berada (walaupun ada berita� pers yang mengatakan, ia berada di Sumatera).
8 Januari 1958 Perdana Menteri Ir. Djuanda memerintahkan ADRI, ALRI, AURI dan Jawatan Pabean untuk menghentikan semua perdagangan barter. Daerah� yang tidak memenuhi larangan perdangangan barter tersebut diancam akan diblokir.
9 - 13 Januari 1958 Letkol Ventje Sumual meninggalkan markasnya di Kinilow sesaat sebelum Natal 1957, dan menghadiri pertemuan di Sungai Dareh - Sumatera Barat yang dihadiri oleh para tokoh TNI di daerah seperti Letkol Achmad Husein, Letkol Ventje Sumual sendiri, Kol. M. Simbolon, Kol. Dachlan Djambek, Kol. Zulkifli Lubis, serta tokoh� sipil (yang menyingkir akibat tekanan golongan komunis) seperti Moh. Natzir, Sjarif Usman, Burhanuddin Harahap, Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Soemitro Djojohadikusumo.

Saat itu Dewan Perjuangan (dewan yang menghadapi konflik intern TNI pusat-daerah) yang semula hanya terdiri atas Ahmad Husein, Sumual, Simbolon dan Barlian, disempurnakan dengan memasukkan tokoh� politik sehingga susunan keanggotaannya menjadi sbb:

  Ketua:   Achmad Husein
  Sekjen:  Dahlan Djambe
  Anggota: H.N.V. Sumual, 
           M. Simbolon, 
           Zulkifli Lubis, 
           Sjoeib, 
           Anwar Umar, 
           Mohammad Natsir, 
           Sjafruddin Prawiranegara, 
           Burhanuddin Harahap, 
           Sumitro Djojohadikusumo, 
           W.P. Nainggolan, 
           Nawawi, 
           S.P. Hutabarat, 
           A.N. Nusjirwan, 
           Amelz.
Kolonel Sumual mengatakan dalam rapat itu, bahwa menurt perkiraannya pemerintah pusat akan menjawab tuntutan mereka dengan kekerasan, tetapi dalam rapat itu mereka hanya memiliki rencana saja, tidak memiliki senjata yang dapat mereka gunakan menghadapi serangan pihak Jakarta.

Setelah pertemuan di Sungai Dareh, Letkol Ahmad Husein dan Letkol Ventje Sumual ditugaskan mengupayakan pembelian senjata di luar negeri. Selain itu, Prof. Sumitro Djojohadikusumo juga ikut dalam rombongan ini dan kemudian meneruskan perjuangan di luar negeri. Letkol Ventje Sumual ditemani Kapten Arie W. Supit dan Letnan Tema, sedangkan Jan M.J. Pantouw meneruskan perjalanan ke Amerika Serikat. Tetapi Letkol Ahmad Husein hanya sampai di Singapura. Sebagai Ketua Dewan Perjuangan, kehadirannya di Padang sangat diperlukan.

Menurut Ventje Sumual, di Singapura ia menemui sejumlah orang yang bersedia menjual senjata kepadanya (dari Amerika Serikat, Taiwan, dan Italia), tetapi tidak berhasil memperoleh izin ekspor bagi penjualan perorangan. Kemudian ia pergi ke Hongkong menemui Kolonel Joop Warouw. Ventje Sumual menghubungi Joop Warouw di posnya sebagai Atase Militer pada Kedutaan Besar Indonesia di Peking (Beijing).Mereka berdua lalu berangkat bersama ke Tokyo. Di sana, Joop Warouw menemui Presiden Soekarno tanggal 5 Februari.
11 Januari 1958 Pemerintah pusat mengeluarkan suatu pengumuman yang menyatakan tidak sah "semua peraturan dan keputusan baik yang diambil pejabat militer ataupun sipil di daerah dalam bidang perdagangan luar negeri yang menyimpang dari peraturan yang dikeluarkan pemerintah." Daerah� yang membangkang diperingatkan, jika mereka tidak menaati ketentuan ini, pemerintah akan mempertimbangkan penghentian subsidi kepada mereka.
Keputusan pemerintah ini pertama kali ditentang di Sulawesi Utara. Kepala� berita di surat� kabar menyatakan "Permesta dan Barter djalan terus!".

Dalam suatu konperensi dengan para perwira Sulawesi pada bulan Januari ini Mayjen A.H. Nasution menunjukkan bahwa ia mempunyai informasi tentang pengapalan senjata dari luar negeri untuk kaum pemberontak. Menurut Mayor Wim Tenges, senjata� yang dikirimkan dari Taiwan sudah rusak, bekas Perang Dunia II, mortir yang sudah tidak menyala, dll; sedangkan senjata� dari Eropa kualitasnya bagus.
KSAD Mayjen A.H. Nasution menaksir hilangnya pendapatan pemerintah pusat sebesar $ 40.000.000 per bulannya.
13 Januari 1958 Menteri Dalam Negeri mengatakan, subsidi pemerintah pusat untuk seluruh pulau Sulawesi (provinsi Sulawesi) akan dikirim melalui Makassar. Seorang juru bicara Provinsi Sulawesi Utara mengatakan, soal� uang bukanlah problem "karena kita sekarang bandjir uang."
14 Januari 1958 Pada bulan Januari, frekuensi penerbangan Garuda (GIA) ke Manado dikurangi, dan pada hari ini diumumkan, hubungan Garuda dengan Sulawesi Utara akan dihentikan sama sekali.
Seminggu kemudian diumumkan, penerbangan ke Manado akan dibuka kembali sekali seminggu, tetapi akan lewat Banjarmasin di Kalimantan dan bukannya Makassar.
17 Januari 1958 Dalam pengiriman kawat (cable tersebut juga diterima S.S. 'Artemis') kepada Letkol D.J. Somba di Sulawesi Utara, sehabis pertemuan di Sungai Dareh dan memberitahukan garis� besar keputusan yang diambil dan keanggotaan pemerintah revolusioner yang diusulkan. Walaupun kawat itu mengingatkan agar hati� terhadap "provokasi Jakarta", ia juga memerintahkan agar Mayor Dee Gerungan, dengan dibantu para perwira staf lainnya, "membuat rentjana atau studie untuk perebutan Kota Djakarta setjara physiek termasuk segala djumlah kebutuhan materiaal, operatie planning akan dilaksanakan oleh tiga daerah bergolak..."
22 Januari 1958 KDM-SST (Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan-Tenggara) hari ini dibagi lagi antara Komando Militer Kota Besar (KMKB), Resimen Infateri Hasanuddin (RI-Hasanuddin), Resimen Infanteri 23 (RI-23). Dengan pembentukan KDM-SST dan permulaan penarikan pasukan Jawa dari Sulawesi Selatan, Mayor M. Jusuf telah berhasil dengan salah satu tujuannya. Ia menjelaskan kepuasannya akan persetujuan yang dicapai dengan KSAD A.H. Nasution pada pertemuan 4 Juni 1957 lalu oleh perwira� yang pertama kali merencanakan Permesta. Sejak saat itu, Mayor M. Jusuf jelas merupakan pimpinan kelompok yang anti- Permesta. Ia dengan teguh didukung kepala staf KDM-SST, Mayor Her Tasning. Letkol M. Saleh Lahede, perwira senior asal Sulawesi Selatan yang dianggap paling dekat dengan Permesta jelas menjadi pimpinan kekuatan yang pro-Permesta di Makassar. Perwira� lainnya, termasuk Letkol Andi Mattalatta, Panglima KDM-SST sikapnya kurang jelas.
1 Februari 1958 Letkol D.J. Somba bertemu Mayjen A.H. Nasution di Jakarta. Dalam pertemuan ini, Letkol Yus Somba meminta agar tuntutan politik dan ekonomi Piagam Permesta dipenuhi secepat�nya mengingat ketegangan yang semakin memuncak di dalam negeri. Mayjen A.H. Nasution menjawab, itu adalah urusan yang harus ditangani DPR. Mayjen Nasution kembali meminta daftar senjata yang diimpor; namun Letkol Somba menjawab bahwa tidak ada senjata yang dimasukkan. Memang Letkol Somba telah menyetujui penghentian perdagangan barter di Sulawesi Utara. Letkol Somba kemudian kembali ke Manado pada tanggal 6 Februari.
4 Februari 1958 KADIT, Komando Antardaerah Indonesia bagian Timur (akhirnya menjadi KOANDA-IT) yang telah ditetapkan tanggal 20 Agustus 1957, akhirnya memiliki komandan/panglimanya, dengan dilantiknya Brigjen Gatot Subroto sebagai panglima KOANDAIT. Letkol Jonosewojo, bekas Kepala Staf TT-VII/ Wirabuana telah menjadi penjabat kepala stafnya sejak KADIT diumumkan.
5 Februari 1958 Letkol Ventje Sumual pada pers di Tokyo menyatakan bahwa dia dan kawan�nya akan berjuang terus melawan kaum komunis dan semua kaki tangan mereka.
Di Tokyo juga dia sempat bertemu dan mengadakan pembicaraan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Letkol Sumual juga diberitakan bahwa ia telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dulles (yang baru usai menghadiri Konferensi SEATO di Manila), di Taipei - Taiwan. Sebelumnya, Letkol Sumual sudah menghubungi Kolonel Joop Warouw di posnya sebagai Atase Militer RI pada KBRI di Peking (Beijing). Ia kemudian bertemu dengan Kolonel Joop Warouw di Hongkong.

Kolonel J.F. (Joop) Warouw hari ini bertemu dengan Presiden Soekarno di Tokyo yang saat itu sedang mengadakan kunjungan ke luar negeri dengan harapan, krisis yang memuncak akan menjadi reda selama ketidakhadirannya di dalam negeri. Joop Warouw sudah dikenal sejak dahulu sebagai anak-mas Presiden; ia bertindak keres atas namanya sesudah peristiwa 17 Oktober 1952, dan menyertai Presiden dalam perjalanan ke Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Cina pada tahun 1956. Sebelumnya pada masa Perang Kemerdekaan, ia menyelamatkan nyawa Presiden Soekarno saat sedang mendarat di bandara Surabaya yang hendak ditembak oleh pasukan musuh yang sedang berada di bandara. Saat itu Joop Warouw sedang bertugas di bandara dan mendapat info bahwa pesawat itu ditumpangi Presiden Soekarno, dan meminta pasukan itu untuk tidak menembak.
10 Februari 1958 Ultimatum Dewan Perjuangan agar PM Djuanda dan kabinetnya mengundurkan diri disampaikan oleh tokoh� TNI di daerah yang bertemu di Sungai Dareh dengan nama Dewan Perjuangan yang dipimpin Letkol Achmad Husein pada pukul 10:00 mengumumkan keputusan sidang dewan tersebut:
"5 x 24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada Presiden atau Presiden mencabut mandat Kabinet Djuanda; dan Presiden menugaskan Drs. Moh. HATTA dan Sri SULTAN HAMENGKUBUWONO IX untuk membentuk Zakine Kabinet".

Ultimatum ini disiarkan oleh 37 pemancar dan zender radio di Sumatera Barat.
Saat itu rombongan Letkol Ventje Sumual belum kembali dari luar negeri dalam rangka pembelian senjata.
Letkol Ventje Sumual mengirim kawat kepada Letkol D.J. Somba di Minahasa agar menunggu kedatangannya sebelum mengambil keputusan.
11 Februari 1958 Kabinet Djuanda menolak tuntutan Piagam Sungaidareh tersebut dan memerintahkan agar KSAD memecat Letkol Achmad Husein dan Kolonel Maludin Simbolon serta membekukan komando KDMSTT (Komando Daerah Militer Sumatera Tengah), Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek dan menghentikan sama sekali hubungan darat maupun udara dengan Sumatra Tengah seperti yang telah dilakukan di Sulawesi Utara. KDM-SST kemudian ditempatkan langsung dibawah KSAD.
12 Februari 1958 Dua hari kemudian, Kota Padang dibom oleh AURI sebagai jawaban atas ultimatum tersebut.
15 Februari 1958 Para pegawai sipil Minahasa pada hari ini mengadakan sumpah setia secara resmi kepada para pemimpin Permesta dalam rangka melaksanakan Piagam Permesta dengan dukungan kepada PRRI.

Seleksi kilat tentara� pelajar CTP (Corps Tentara Peladjar - Permesta) dilaksanakan di beberapa daerah Minahasa. Antara lain di asrama Desa Sumarayar - kompleks kediaman Bupati/KDM Minahasa Laurens F. Saerang (pemimpin Batalyon Manguni, kemudian dijadikan Brigade Manguni) dan memulai latihan kemiliteran dalam Kompi I Batalyon Manguni dengan Kapten Penjata Gustaf Rungkat sebagai Komandan Kompi.

brigade_manguni.jpg
KDM Laurens Saerang dan Staf menjelang Permesta
Ia kemudian memimpin pasukan Brigade Manguni



Hari ini, kabinet tandingan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) diumumkan di Bukittinggi - Sumatera Tengah pukul 22.30 sebagai jawaban atas ultimatum yang tidak dijawab pemerintah pusat, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri.
Susunan Kabinet PRRI adalah:
- Perdana Menteri & Menteri Keuangan : Mr. Sjafruddin Prawiranegara
- Menteri Luar Negeri : Kolonel Maludin Simbolon
- Menteri Dalam Negeri : Kolonel Dahlan Djambek
- Menteri Pembangunan & Pekerjaan Umum / Wakil Perdana Menteri : Kolonel J.F. Warouw
- Menteri Pertahanan & Menteri Kehakiman : Burhanuddin Harahap
- Menteri Perhubungan/Pelayaran : Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo
- Menteri PP&K & Menteri kesehatan : Mohammad Sjafei
- Menteri Pertanian dan Perburuan : S. Sarumpait
- Menteri Agama : Mochtar Lintang
- Menteri Penerangan : Letkol Mohammad Saleh Lahede
- Menteri Sosial : A. Gani Usman

Angkatan perangnya bernama Angkatan Perang Revolusioner dengan Angkatan Darat Revolusioner (ADREV), Angkatan Udara Revolusioner (AUREV), Angkatan Laut Revolusioner (ALREV). Selain kepolisiannya yang bernama Polisi Revolusioner (Polrev).

Ketika tersebar berita bahwa Letkol Saleh Lahede dan Mochtar Lintang telah dijadikan menteri penerangan dan menteri agama PRRI, pihak Jakarta mendesak agar kedua orang itu menyatakan sikapnya. Dalam situasi itu, M. Saleh Lahede menerima undangan rapat dengan para perwira TNI di Makassar untuk membicarakannya. Dalam rapat itulah diputuskan agar Sulawesi Selatan tidak mengakui PRRI. Masalah ganguan keamanan Kahar Mudzakkhar merupakan prioritas utama di wilayah itu. Sekalipun tidak menerima keputusan ini, Saleh Lahede tidak bisa berbuat banyak.
16 Februari 1958 Para perwira dalam lingkungan KDM-SUT mengadakan rapat semalam sebelum rapat raksasa di Lapangan Sario, Manado. Pilihan yang dihadapi anggota TNI di Sulawesi Utara yang diajukan dalam pertemuan itu adalah: (1) memihak rakyat dan mendukung PRRI - tetapi hal ini akan bertentangan dengan disiplin militer; atau (2) setia kepada pemerintah pusat dan berjuang melawan rakyat - kendatipun tuntutan� rakyat itu adil. Letko, D.J. Somba sendiri mengatakan bahwa ia mendapat tekanan untuk mendukung PRRI dan memutuskan hubungan dengan Kabinet Djuanda, tidak saja dari pejabat dan golongan sipil melainkan juga dari para angoota stafnya sendiri, Mayor J.W. Gerungan, Mayor Eddy Gagola, Mayor Mamesah, Mayor Eddy Mongdong. Menurut pengakuannya, ia sekalipun mendukung program Permesta, ia tidak suka memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat. Letkol Somba kemudian menginstruksikan Mayor Dee Gerungan, Mayor Gagola, Mayor Mongdong dan Mayor Lendy Tumbelaka untuk menyusun pernyataan baginya yang akan disampaikan dalam pertemuan keesokan harinya.
16 Februari 1958 Soekarno yang kembali ke Jakarta dari luar negeri menyatakan "kita harus menghadapi penyelewengan pada 15 Februari 1958 di Padang itu dengan tegas dan dengan segala kekuatan yang ada pada kita."
Pada dasarnya Presiden Soekarno menyokong rencana PM Ir. Djuanda dan KSAD Mayjen A.H. Nasution untuk menggunakan kekerasan senjata. Kabinet Djuanda juga mengeluarkan perintah untuk menangkap Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Soemitro Djojohadikusumo.

Hari ini diadakan rapat kilat di kediaman Mayor Dolf Runturambi di Sario yang dihadiri oleh Letkol D.J.Somba, Mayor Dolf Runturambi, Mayor Dee Gerungan, Mayor Eddy Gagola, guna membicarakan masalah yang sedang dihadapi sekarang ini.

Pembesar� sipil dan militer di Sulawesi Selatan mengeluarkan pernyataan dengan nada yang hati� dan mengimbau rakyat agar tenang dan melakukan kewajibannya sebagaimana biasa dan mengikuti tujuan utama perjuangan nasional - menyelamatkan keutuhan negara dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang merupakan dasar perjuangan tsb.




Halaman 1 | Halaman 2 | Halaman 3

Masa Pergolakan Permesta I (Pemberontakan PRRI)

Masa Pergolakan Permesta II (Pemberontakan Republik Persatuan Indonesia)

Masa anti-Klimaks Permesta (Likuidasi Permesta/kembali ke Permesta)

Masa Post-Permesta (Rehabilitasi Permesta)

Masa neo-Permesta (Reuni eks-Permesta)





Bila ada tambahan data baru, serta bila ada kesalahan dalam penyebutan nama, jabatan, peristiwa, waktu, dan lain-lain;
harap dapat menghubungi webmaster: [email protected]

* Data dikumpulkan dari berbagai sumber bacaan.
* Untuk teks yang berwarna merah/biru, maupun berupa foto-foto, silahkan klik di situ untuk mendapatkan informasi lebih lanjut menuju link dokumen itu.
* Materi/isi dari Kronologi Permesta ini dapat berubah sewaktu� untuk kepentingan update dan pembaharuan data yang otentik.
   Bila ingin mengutip isi kronologi ini, disarankan untuk mengecek ulang data terakhir halaman ini untuk kepastian informasi terbaru (update/ralat).

Anda Pengunjung ke:




Copyright �2001-2004 oleh Permesta Information Online�
Silahkan menyalin atau mengutip seluruh isi atau sebagiannya dengan mencantumkan sumber "dikutip dari Permesta Information Online"


Hosted by www.Geocities.ws

1