SEJARAH SINGKAT PERMESTA
DISUSUN SECARA KRONOLOGIS
INDEKS KRONOLOGI: (klik bila perlu)
* Masa pra-Permesta
* Masa awal Permesta (Pembangunan I)
Proklamasi Permesta 2 Maret 1957
* Masa Awal Pergolakan Permesta (Pembangunan II)
Pembubaran TT-VII/Wirabuana
Munas 1957
Soekarno berkunjung di Minahasa
* Masa Pergolakan Permesta I (Pemberontakan PRRI)
Peristiwa pesawat Allan Pope
Pendaratan besar�an Tentara Pusat di Minahasa
Tomohon diduduki/Mayor Eddy Mongdong membelot
Operasi Jakarta Spesial I (Serangan Umum Permesta)
Kotamobagu diduduki TNI
* Masa Pergolakan Permesta II (Pemberontakan Republik Persatuan Indonesia)
Peristiwa penembakan pilot Maukar
Joop Warouw dibunuh
* Masa anti-Klimaks Permesta (Likuidasi Permesta/kembali ke Permesta)
Perdamaian Permesta dan TNI (kembali ke pangkuan ibu pertiwi)
* Masa Post-Permesta (Rehabilitasi Permesta)
* Masa neo-Permesta (Reuni eks-Permesta)
Deklarasi Front Permesta
Kongres Minahasa Raya I
HUT ke-45 Proklamasi Permesta
Halaman 1 |
Halaman 2 | Halaman 3
Masa pra-Permesta (Latar Belakang)
Masa Awal Permesta (Pembangunan I)
Masa Awal Pergolakan Permesta (Pembangunan II)
Masa Pergolakan Permesta I (Pemberontakan PRRI)
|
Peta daerah Minahasa |
17 Februari 1958 |
Pada pukul 07.00 diadakan pertemuan di ruang rapat gedung Universitas Permesta di Sario Manado
dengan tokoh� politik, masyarakat dan cendikiawan. MC (moderator) saat itu adalah Kapten Wim Najoan.
Secara singkat, Panglima KDM-SUT memberikan gambaran tentang perkembangan di Sumatera dan putusan
dibentuknya PRRI. Selanjutnya Panglima KDM-SUT memberitahukan pada rapat tersebut, putusan sbb:
"Permesta di Sulutteng menyatakan solider dan sepenuhnya mendukung pernyataan PRRI. Oleh sebab
itu, mulai saat ini juga Permesta memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI Kabinet Djuanda".
Tanpa dikomando hadirin bersama� berdiri dan menyambutnya dengan pekik: "Hidup PRRI! Hidup
Permesta! Hidup Somba!" berulang�. Setelah rapat diskors 30 menit untuk menyusun teks pemutusan
hubungan dengan pusat oleh 3 orang (Mayor Eddy Gagola, Kapten Wim Najoan,...), maka pertemuan dibuka
kembali dan teks tersebut dibacakan. Setelah itu emosi hadirin meledak. Pekik "Hidup Permesta!
Hidup PRRI! Hidup Somba-Sumual!" menggema selama beberapa menit. Setelah itu Mayor Dolf
Runturambi bertanya kepada hadirin, "Bagaimana, saudara� setuju?" Serentak dijawab:
"Setuju! Setuju!". Kembali suasana dipenuhi oleh antusiasme yang berapi�, walau tampak
beberapa orang yang tetap bungkam.
Kemudian diadakan pertemuan umum raksasa di Lapangan Sario Manado pada pukul 11.00. Letkol D.J.
SOMBA selaku Panglima/Gubernur Militer KDM-SUT (Komando Daerah Militer Sulawesi Utara-Tengah) atas
nama rakyat dan tentara Sulutteng, membacakan teks pemutusan hubungan dengan Pemerintah Pusat di
Jakarta. Isi dari teks tersebut adalah:
"RAKYAT SULUTTENG TERMASUK MILITER SOLIDER PADA KEPUTUSAN PRRI
DAN MEMUTUSKAN HUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH RI"
|
Rapat Raksasa di Lapangan Sario
Overste DJ Somba: Putus hubungan dengan Pusat |
Kemudian, sebuah pesawat komersil Garuda dari maskapai penerbangan nasional GIA yang baru tiba,
dibiarkan terbang kembali- berangkat ke Jakarta dan pada semua orang yang ingin segera meninggalkan
Manado dengan pesawat tersebut hari ini juga diberikan kelonggaran sepenuhnya. Sekalipun demikian,
banyak juga yang menemui Mayor Dolf Runturambi selaku Kastaf KDM-SUT untuk meminta semacam surat pas
buat naik pesawat GIA terakhir ini, supaya mereka merasa aman.
Pukul 20.00 malam hari, Kastaf KDMSUT Mayor Dolf Runturambi membacakan teks pemutusan hubungan dengan
pusat dalam bahasa Inggris melalui RRI (Radio Permesta).
Kemudian oleh Pemerintah Pusat (dan tentu saja PKI), gerakan ini disebut sebagai
"pemberontakan PRRI/Permesta".
Pada saat itu Kolonel Permesta H.N.Ventje Sumual sedang berada di Manila. Beberapa hari kemudian,
KDMSUT menerima radiogram bahwa Letkol Ventje Sumual telah bertolak ke luar negeri, Singapura,
Manila terus ke Tokyo (Sebelumnya diketahui oleh para perwira KDM-SUT bahwa Letkol Sumual masih
berada di Sumatera). Ia pergi bersama Mayor Jan M.J. Pantouw (Nun), sedangkan Mayor Arie W. Supit
ditugaskan untuk pergi ke Roma.
Hari itu juga Pemerintah Pusat kemudian mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat atas Letkol H.N.
Ventje Sumual (pangkat yang dinaikkan KSAD menjadi Kolonel, namun belum dilantik secara resmi),
Mayor D.J. Somba (Saat itu ia telah menerima kenaikan pangkat otomatis Overste (Letkol) selaku
Gubernur Militer/KDM, tapi belum ada kenaikan pangkat resmi) dan Mayor Dolf Runturambi.
Beberapa hari kemudian KSAD memerintahkan untuk menangkap Letkol D.J. Somba, Mayor Dolf Runturambi,
Gubernur SUT H.D. Manoppo dan Jan Torar.
Sebetulnya, dengan memutuskan hubungan dengan pusat maka gerakan Permesta sudah mati, karena hanya
sekitar 16 dari 51 deklarator Piagam Permesta saja yang berasal dari Sulawesi Utara yang meneruskan
gerakan Permesta. Istilah "Permesta" sendiri secara resmi tidak dipergunakan lagi oleh pejabat sipil
dan militer di Sulawesi Utara karena sudah menjadi bagian (cabang) dari PRRI di Sumatera; tetapi dalam kenyataannya cabang pemberontakan PRRI Sulawesi utara sering disebut PRRI/Permesta. Selain itu, kata
Permesta adalah kata bahasa baku yang dipergunakan oleh kalangan masyarakat umum untuk menyebutkan
gerakan ini, bahkan ada yang tidak mengetahui sama sekali bahwa gerakan Permesta sudah dilebur ke dalam
PRRI sedangkan yang lainnya menyebutkan "PRRI" sebagai suatu gerakan pemberontakan lain yang berdiri
sendiri disamping gerakan Permesta (maupun DI/TII Kahar Muzakhar, Daud Beureueh, dll).
Sejak saat itu, semua penduduk terutama kaum muda, yang semula dikerahkan memanggul alat pembangunan,
tiba� diminta berganti peran. Pendaftaran mulai dilakukan dimana�, baik untuk mendukung barisan
pemuda maupun untuk dinas militer Permesta. Latihan kemiliteran pun mulai tampak dimana�. Para pemuda,
tak terkecuali gadis�, mulai raib dari kampung�. Mereka ikut mendaftarkan diri, lalu dikirim ke pusat�
latihan. (Kaum wanita Permesta tergabung dalam Pasukan Wanita Permesta (PWP) dengan
potongan rambut seperti Kowad/Polwan).
Pendidikan dan latihan secara militer dengan memakai senjata dipusatkan di daerah Mapanget, dilatih
oleh para penasehat dari Korps Marinir AS. Pendidikan dengan latihan tempur dalam satuan kompi dan
batalyon dilakukan di Remboken, Tompaso dan di daerah perbukitan Langowan. Latihan di sana dipimpin
oleh seorang Mayor AD Filipina dengan beberapa perwira APRI (TNI) yang berpendidikan kompi.
Sejumlah penasehat militer Amerika Serikat diselundupkan ke Sumatera dan Minahasa. Berbagai macam
persenjataan dikirimkan lewat kapal dan sejumlah pesawat terbang (antara lain pesawat pengangkut DC-3
Dakota, pesawat pemburu Mustang F-51, Beachcraft, Catalina dan pembom B-26 Invander yang berada
dibawah Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) dengan sekitar 40 awak pesawatnya) juga ikut
diperbantukan. Mereka melancarkan kegiatan tersebut dari Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di
Clark Airfield, Filipina. Ada juga satuan kepolisian PRRI yang bernama Polisi Revolusioner
(Polrev), dan badan intelejen Permesta yang diberi nama Permesta Yard.
Kiriman pertama yang terdiri dari berbagai senjata ringan serta amunisi untuk pasukan infanteri
segera dikeluarkan dan dibagi�kan. Beberapa pucuk mitraliur anti pesawat terbang segera dipasang di
tempat� strategis di sekitar daerah pelabuhan dan lapangan udara yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Bersama kiriman persenjataan tersebut juga tiba beberapa instruktur asing, sehingga latihan� pasukan
baru dapat segera dimulai.
Permesta saat itu tidak pernah kekurangan senjata. Salah seorang pemasok peralatan militer Permesta
dari luar negeri yaitu Mayor Daan E. Mogot mengakui bahwa dari Italia pernah menawarkan kapal perang,
tetapi tidak pernah bisa diambil karena alasan teknis. Demikian juga bantuan dana dan perbekalan,
dengan mudah bisa didapatkan dari Taiwan, Jepang, Korea Selatan dan Filipina.
Timbunan senjata dan perlengkapan militer terkumpul di Okinawa dan di Filipina. Orang� PRRI dan
Permesta, Filipina, Cina, Amerika Serikat dan para sedadu sewaan 'dari negara� lain' juga telah
dilatih dan siap di Okinawa dan di Filipina untuk membantu PRRI dan Permesta.
Sekitar satu peleton anggota RPKAD (sekarang Kopassus) yang berasal dari Minahasa yang sedang cuti
pulang kampung terjebak Pergolakan. Pasukan Nicholas Sulu tersebut kemudian menjadi tulang punggung
WK-III di wilayah Tomohon. Selain itu ada juga sepasukan yang dipimpin oleh bekas anggota RPKAD fam
Lahe yang merekrut pemuda� di kampungnya dan membentuk Kompi Lahe yang terkenal kejam akan
pembantaian Pasukan Combat (kompi) Lahe di Raanan dan Tokin: Peristwa itu didahului oleh Simon Ottay
dari GAP (Gerakan Anti Permesta) - yaitu salah satu organisasi bentukan komunis (PKI) yang menyamar
dengan memakai pangkat Kapten Permesta (APREV) mendaftarkan penduduk dari kedua desa tersebut untuk
menjadi "anggota" Pasukan Permesta. Setelah ia lari karena diburu pasukan PRRI (Permesta), didapatilah
daftar "anggota" tersebut. Tanpa pemeriksaan, langsung saja Kompi Lahe yang dipimpin oleh Montolalu
membantai penduduk kedua desa tersebut. Karena tindakan ini dinilai sebagai kejahatan kemanusiaan
dan hukum (tanpa pemeriksaan secara saksama), maka Lahe dan Montolalu dikejar pasukan antara lain
dari Kapten (?) Tumanduk. Montolalu ditangkap di Sinisir, dan dieksekusi di Mokobang, sedangkan Lahe
ditangkap di Remboken.
Sejumlah besar anggota Komando Pemuda Permesta (KoP2) di wilayah Sulawesi Utara dan Tengah
dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota pasukan Permesta. KoP2 atau yang lebih dikenal
sebagai Kopedua ini dipimpin oleh Yan Torar.
Sebelum itu, kegiatan KoP2 adalah membantu pemerintah daerah masing� mengerahkan tenaga dan dana
untuk melancarkan pembangunan di daerah�.
Sebagian lagi, khususnya pelajar dan mahasiswa, disusun dalam satuan Permesta dengan nama Corps
Tentara Peladjar (CTP) dipimpin Jimmy Noya, seorang pemuda asal Ambon (Maluku) serta Wilson
H. Buyung. Lambang Corps-TP dan Badge dengan dasar hitam garis lima merah diagonal tersebut hasil
inspirasi dari film perang 'To Hell and Back' yang hanya bergaris tiga sebab kebetulan
sewaktu tercetusnya Permesta hanya film perang itu saja yang diputar berulang� di bioskop� Manado.
Arti warnanya adalah merah hitam berarti berani mati untuk mempertahankan 5 [lima] garis merah
berarti Pancasila. Penciptanya adalah Krishna Sumanti [Kris] ex. CTP Manado Jimmy boys.
Semangat pasukan Permesta ini dibakar oleh para ahli psywar dan agitasi, lewat teknik pendekatan
dan pembinaaan yang jitu. Patahlangi, Putera Bugis yang terkenal sebagai orator dan agitator berbakat,
setiap sore terdengar suaranya lewat Radio Permesta Manado, berpidato berapi� mengobarkan semangat
Permesta di kalangan pendengar. Berbagai kehebatan dan keunggulan serta kekuatan Permesta ditonjolkan.
Sebaliknya setiap kelemahan pihak lawan dipaparkan, dan keburukan ditelanjangi.
Slogan perjuangan saat itu adalah: "Permesta Pasti Menang".
Fenomena yang terjadi akibat situasi Pergolakan ini antara lain mewabahnya demam mistik.
Kepercayaan terhadap kekuatan mistik Opo� yang sangat diyakini leluhur orang Minahasa, kembali
mengental. Kekebalan tubuh terhadap bacokan atau tembakan senjata merupakan hal yang paling laris
dalam situasi yang siap bertempur tersebut. Orang pintar yang disebut Tonaas bermunculan di
kampung�. Jimat� tersebut ada yang berbentuk batu cincin, keris, sapu tangan, atau ikat pinggang
jimat. Yang paling disukai dan dianggap hebat kesaktiannya adalah ikat pinggang jimat, berupa batu�
kecil ataupun akar�an yang telah dibungkus dengan kain merah, beruas� yang disebut Sembilan Buku
(Ruas). Selain itu ada jimat penghilang tubuh serta jimat terbang yang juga menjadi 'dagangan'
laris saat itu, dan ada juga jimat yang diberikan dalam bentuk air yang diminum atau dimandikan.
Tokoh� sakti yang menjadi idola saat itu antara lain adalah Nok Korompis, Daan Karamoy, Gerson (Goan)
Sangkaeng, Len Karamoy, Yan Timbuleng, serta banyak lagi orang sakti lainnya yang menjadi pimpinan
Permesta ketika itu.
Salah satu akibat utama dari mistik ini adalah banyak menimbulkan perpecahan bahkan lucut-
melucuti senjata, serta kudeta kekuasaan di antara sesama pasukan. Hal ini merupakan kelemahan fatal
bagi keutuhan dan kekuatan Permesta, sebab seorang bawahan yang merasa dirinya sakti, bisa saja
melawan atasannya).
|
18 Februari 1958 |
Dalam putusannya, Pemerintah Pusat di Jakarta melalui siaran radio RRI Pusat, menyatakan
bahwa Letkol D.J. Somba dan Mayor Dolf Runturambi dipecat dari dinas militer TNI-AD dalam APRI
(Angkatan Perang Republik Indonesia).
|
19 Februari 1958 |
Letkol D.J. Somba hari ini secara sepihak melaksanakan pembagian KDM-SUT yang sudah lama direncanakan
itu dalam dua resimen. Mayor Dolf Runturambi ditugaskan menjadi Komandan Sektor I/Resimen Team
Pertempuran (RTP) "Ular Hitam", yang meliputi Sangihe-Talaud, Minahasa, dan Bolaang Mongondow; dan
Mayor Jan Wellem (Dee) Gerungan dilantik sebagai komandan Sektor II Resimen Team Pertempuran "Anoa",
di Sulawesi Tengah dengan markas besar di Poso.
KSAD Mayjen A.H. Nasution menyatakan bahwa Angkatan Darat mendukung Demokrasi Terpimpin.
Masa ini adalah untuk pertama kalinya Presiden Soekarno merasa berada dalam dukungan ideologis dari
pimpinan tentara. Ini menjadi salah satu kedekatan yang istimewa antara Presiden Soekarno dengan
KSAD Jenderal Mayor A.H. Nasution. Sugesti dari pihak militer jelas sangat berperan pada keputusan
Soekarno, yang kendati sejak awal berusaha berbaik dengan para panglimanya di daerah.
Presiden Ir. Soekarno bertemu dengan Drs. Mohammad Hatta guna membicarakan situasi yang terjadi
akhir� ini. Mereka bertemu lagi tanggal 3 Maret.
|
Kawasan Gunung Lokon dilihat dari udara |
Hari ini, Gunung Lokon mulai menampakkan kegiatannya dengan sebuah letusan kecil yang memuntahkan
lapili di sekitar kawah. Kemudian letusan Lokon terjadi pada tanggal 4, 16-17 Maret, 3-4 Mei tahun
ini juga. Kegiatan letusan Lokon ini berlangsung sepanjang tahun. Letusan ini dilanjutkan hingga
berakhir pada tanggal 23 Desember 1959- tahun berikutnya. Selama tahun 1959 Lokon memuntahkan abu
diselingi letusan kuat yang melontarkan batu. Hujan abu turun di sekitarnya.
Dalam bulan Agustus, September dan November tahun 1959 tidak terjadi letusan.
Konon, letusan Gunung Lokon ini dipercaya orang terjadi akibat peringatan dewa Minahasa
(opo) berkaitan dengan mulainya prahara Pergolakan Permesta - perang saudara antara
Pemerintah Pusat dengan PRRI di Minahasa.
|
20 Februari 1958 |
Perintah untuk melakukan operasi militer secara terbuka bergulir dari Jakarta pada tanggal 20
Februari 1958.
Keputusan ini diambil Jakarta sehubungan berakhirnya ultimatum pemerintah pusat kepada PRRI untuk
menyerah. Maka hari itu, dua pesawat B-25 dengan penerbang Kapten Sri Muljono dan Mayor Soetopo
mendapat perintah menyebarkan pamflet yang berisi himbauan agar PRRI menyerah. Sebelum menuju daerah
tujuan, kedua pesawat mendarat di Astra Setra, Lampung agar tidak diketahui Letkol Barlian, Komandan
Sumatera Selatan. Barulah esok paginya kedua pesawat terbang menyusuri pantai barat Sumatera.
Setelah terbang sekitar hampir dua jam, mereka mulai memasuki pantai Padang dan menebarkan pamflet.
Permesta membalas perintah tersebut dengan mengumandangkan semboyan:
"HANJA KALAU KERING DANAU TONDANO, RATA GUNUNG LOKON, KLABAT DAN SOPUTAN BARU TENTARA DJUANDA
DAPAT MENGINDJAKKAN KAKINJA DIMINAHASA."
|
21 Februari 1958 |
Hari ini, pemerintahan PRRI-Permesta di Sulut menerima radiogram dari Letkol Ventje Sumual,
yang memerintahkan untuk mengadakan telaahan staf mengenai persiapan� militer menghadapi ofensif
Jakarta. Selanjutnya kepada Mayor J.W. (Dee) Gerungan ditugaskan untuk membuat konsep rencana
ofensif terhadap ofensif pusat bersama Mayor Eddie Gagola, yang menyusun rencana pembentukan WK
(Wehrkreisse).
|
22 Februari 1958 |
Pada pagi hari, pesawat B-25 Mitchell AURI yang dikemudikan oleh Mayor (Pnb) Leo Wattimena
dan Mayor (Pnb) Omar Dhani, menjatuhkan bom pada beberapa sasaran yang dianggap vital, antara lain
studio RRI Manado (yang waktu itu adalah Studio Radio Permesta), Asrama Tentara, Markas Angkatan
Darat Permesta di Jl. Sario, kompleks perumahan perwira� pimpinan Permesta di Sario, serta rumah
mertua Ventje Sumual, dan juga Rumah Sakit "Gunung Maria" Tomohon, walaupun sudah dicat Palang Merah
di atapnya.
Batalyon 714 hanya memiliki beberapa pucuk mitraliur 12,7 mm. Satuan itu segera diperintahkan untuk
menempatkan di atas jip� guna menghadapi serangan ulang AURI.
|
atap studio Radio Permesta yang hancur dibom |
Pemboman terhadap Manado ini mempercepat kepulangan dua tokoh militer asal Minahasa yang berpengaruh
yaitu Kolonel Alex E. Kawilarang (Atase Militer KBRI Wshington,DC/USA) dan Kolonel J.F. Warouw (Atase
Militer KBRI Peking/Cina) ke daerah asalnya. KSAD Mayjen A.H. Nasution sebelumnya telah menerima
beberapa kawat telegram dari Alex Kawilarang dan sebuah kawat dari Joop Warouw. Namun, kawat terakhir
dari Alex Kawilarang beberapa saat sebelum pemboman atas Manado berisi kecaman keras atas tindakan
Pemerintah Pusat terhadap daerah� yang bergolak.
|
23 Februari 1958 |
Pukul 14.00, muncul pesawat terbang dengan kode Filipina di Lapangan Mapanget yang membawa KSAD PRRI
Letkol Ventje Sumual. Landasan beton saat itu telah dibarikade dengan truk�, dan beberapa stomwals.
Kemudian, pesawat yang membawanya lepas landas beberapa menit kemudian.
Pengiriman senjata� terhadap Permesta telah tiba hari ini di Manado. Bersamaan dengan tibanya
Letkol Ventje Sumual dari luar negeri. Kolonel Sumual mengatakan bahwa mereka memperoleh persenjataan
pertama untuk Permesta di Manila, Filipina dan Taipei, Taiwan.
|
24 Februari 1958 |
Dua hari setelah Manado dibom, KDM-SUT mengeluarkan seruan kepada semua bekas KNIL yang telah
mendapat latihan dalam pasukan antipesawat udara dan senjata berat agar melapor untuk didinaskan.
Kira� 2.000 orang melaksanakan seruan tersebut, termasuk diantaranya ayah Kolonel Joop Warouw.
|
26 Februari 1958 |
Letkol H.N.Ventje Sumual (NRP 15958) secara resmi dipecat dari TNI.
|
26-27 Februari 1958 |
RESOLUSI Konferensi Veteran Sulawesi Utara/Tengah jang dilaksanakan
di Manado dan dihadiri oleh tokoh� Veteran, wakil� kelaskaran serta
wakil dari daerah Luwuk Banggai, Posso, Palu/Donggala, Bolaang
Mongondow, Minahasa, Manado, Sangir Talaud dan Gorontalo membahas
setjara mendalam pergolakan� di tanah air pada saat itu, menjimpulkan
keputusan sebagai berikut:
A. 1. Mendukung sepenuhnja pernjataan KDM/Gubernur Militer SUT
jang ditetapkan tanggal 17-2-1958.
2. Mengutuk tindakan Djuanda & KSAD terhadap pergolakan
di Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara.
3. Sehidup semati dengan tokoh� Permesta seraja menentang keras
perintah KSAD tentang pemetjatan/penangkapan Somba cs.
B. 1. Mendesak supaja semua anggota Veteran dipersendjatai kembali,
untuk merealisasikan dan mempertahankan PERMESTA.
2. Supaya dibentuk kesatuan Veteran bersendjata
jang dipimpin oleh Veteran.
3. Agar penjusunan kesatuan� tersebut dipertjajakan kepada
Veteran, jang disesuaikan dengan ketentuan� Gubernur Militer.
4. Supaya segera menempatkan tenaga� Veteran pada segala bidang.
Atas nama Konperensi Veteran,
t.t.d. - 1. John F. Malonda (Ketua),
2. S.D. Wuisan,
3. Dj.A. Musmar,
4. A.F. Nelwan,
5. Theo Najoan,
6. H. D. Johannis,
7. W. Malele,
8. Kol. Tinangon,
9. R.R.Lumi,
10. Wim Gerungan,
11. John Somba,
12. Se8l Ali Sakibu,
13. Abd. Haris Renggah,
14. Anang Idjah,
15. F.S.U. Siwu,
16. Ibu Lasut-Monding,
17. Ibu Mewengkang-Tampi.
|
28 Februari 1958 |
Menurut harian Tan Kung Pau, Jan Pantouw berada di Hongkong hari ini.
|
Maret 1958 |
Dalam bulan ini, ada beberapa peristiwa penting:
Keadaan yang genting di Sulawesi Utara akibat pemutusan hubungan Permesta dengan Pusat menjadi
faktor penting penentu situasi di kota Manado. Kota Manado pada waktu itu semakin dicekam rasa tak
aman. Setiap detik warga kota seakan menanti meletusnya perang terbuka antara Pasukan Permesta
dengan Tentara Pusat yang diperkirakan tak lama lagi bakal datang menyerbu daerah yang dikuasai
Permesta. Karenanya warga kota Manado, berangsur� mulai mengungsi ke luar kota. Tak terkecuali
instansi� pemerintah juga mulai melakukan evakuasi ke pedalaman. Kota Tomohon kemudian menjadi kota
alternatif sesudah Manado.
Ketika Padang diserang, KSAD Mayjen A.H. Nasution memerintahkan agar Letkol Saleh Lahede dan semua
tokoh Permesta di Makassar ditangkap.
J.M.J. "Noen" PANTOUW diutus ke Amerika Serikat untuk mendapatkan dukungan moril dan materil bagi
Permesta. Kemudian bertemu Kolonel Ventje SUMUAL di Taipei serta tokoh� Kuomintang.
Kolonel Alexander Evert Kawilarang (saat itu ia
telah mendapat kenaikan pangkat otomatis Brigjen, namun belum ada pelantikan secara resmi) berhenti
sebagai Atase Militer RI pada Kedubes RI di Washington, DC - AS (yang dijabatnya sejak bulan September
1956), kemudian berhenti dari dinas militer, selanjutnya bergabung dengan Permesta (ia menolak sebutan
PRRI).
Ia waktu itu didesak para perwira bekas bawahannya yang saat itu sedang mengikuti pendidikan di Fort
Benning, AS agar mengirim kawat kepada KSAD A.H. Nasution. Dengan enggan ia mengirim beberapa kawat
(telegram) protes atas tindakan pemerintah pusat terhadap daerah� yang bergolak. Jawaban yang
diterimanya dari KSAD ringkasnya berbunyi
"Tidak akan mengubah kebijaksanaan yang telah diambil, karena baru kembali dari kunjungan ke daerah�
dan ternyata semua daerah mendukungnya." Selain itu, tembusan jawaban ini dikirim juga kepada semua
atase pertahanan/militer di luar negeri. Komentarnya kepada para perwira yang sedang mengikuti
pendidikan tersebut "...memang saya sudah menduga akan menerima jawaban semacam ini. Saya sudah pikir
dari semula bahwa hal ini (kawat protes) akan percuma saja."
Dalam bukunya yang berjudul "A.E. Kawilarang, Untuk Sang
Merah Putih" ia menuliskan:
"Bulan Maret 1958 saya menghadap Duta Besar Mukarto dan mengatakan, bahwa saya akan ke
Sulawesi Utara. Sebelumnya saya sudah mengirimkan kawat ke KSAD, mengabarkan bahwa saya meletakkan
jabatan saya, berhubung tidak setuju dengan tindakan Pemerintah Pusat di Jakarta. Sebelum saya
keluar dari kantor KBRI itu, saya adakan dulu timbang terima. Keuangan saya bereskan dan saya
serahkan seluruhnya. Begitu juga barang� dan dokumen� milik pemerintah RI yang ada pada saya, saya
serahkan kepada yang harus menerimanya. Saya tinggalkan suasana hidup aman di Washington, DC dan
saya tinggalkan ketenangan bekerja di kantor KBRI, menuju ke kehidupan yang bakal serba gelap dan
tidak menentu. Untuk daerah memang nasi sudah jadi bubur. Deburan hati pula yang saya ikuti.
Bentrokan intern Indonesia tentu dipergunakan oleh beberapa negara lain untuk manfaatnya sendiri.
Tiga tahun lebih terjadi konfrontasi bersenjata yang berakhir dengan Permesta kembali ke pangkuan
Ibu Pertiwi.
Saya sendiri menganggap bahwa kehidupan saya sebagai tentara sudah berhenti sejak Maret 1958.
Sesudah kembali ke Jakarta tahun 1961, saya melihat hari depan sangat gelap untuk saya.
Tetapi waktu itu saya melihat juga, bahwa untuk seluruh Indonesia hari depan sangat gelap.
Barulah sesudah peristiwa Oktober 1965 saya dan teman� saya dapat bernapas lebih lega dan mulai
kelihatan terang untuk tahun-tahun kemudian. Di tahun 1966 ada seorang dari surat khabar yang
bertanya, "Apakah sudah direhabilitasi?" Saya jawab "Siapakah yang harus merehabilitasikan siapa?!
"
Presiden Republik Korea, Sygngman Rhee menyatakan bahwa Korea siap membantu PRRI dan Permesta di
Indonesia dengan kekuatan Angkatan Darat, Laut dan Udaranya. Pers (terpimpin) Korea melancarkan
berita� tentang kemungkinan Republik Rakyat Cina mengirim "Tentara Sukarelawan" ke Indonesia.
|
Perangko Permesta |
Presiden Republik Cina-Taipei (Taiwan) Chiang Kai Shek pernah merencanakan untuk mengirimkan 1
resimen marinir dan 1 skuadron pesawat tempur untuk merebut Morotai bersama� Permesta (PRRI), namun
Menteri Luar Negeri Republik Cina (Taiwan) Yen Kung Chau menentang gagasan itu. Cina Daratan (RRC
Komunis) dikhawatirkan akan ikut serta membantu Pemerintah Pusat di Jakarta dan memiliki alasan
untuk mengintervensi Taiwan.
Taiwan telah mengirimkan bantuan berupa sejumlah perwira menengah untuk melatih pasukan Permesta,
persenjataan dan dua squadron pesawat tempur ke Minahasa untuk Angkatan Udara Revolusioner atau
AUREV.
Bantuan Cina Taipei (Taiwan) kepada Permesta mengakibatkan pemerintah Indonesia mengambil tindakan
terhadap WNI pro Kuomintang (WNI Keturunan Cina). Sekolah�, surat� kabar dan beberapa perusahaan
Cina ditertibkan. Tokoh� Cina yang pro Kuomintang ditahan, dicurigai mengadakan kegiatan subversif.
Bulan Agustus 1958, militer mengambil alih bisnis yang dipegang oleh penduduk WNI asal Taiwan.
Banyak perbekalan dan peralatan yang dibuat di Taiwan. Misalnya saja seragam berikut senapannya,
dan perangko Permesta yang terdiri dari 50 sen, Rp 1,-, Rp 2,-, dan Rp 2,50 , dan juga ada granat
Taipeh yang mirip botol kayu yang dilengkapi sumbuh yang diproduksi secara besar�an dan murah dilihat
dari kualitasnya. Senjata semacam Bar Bren yang kemampuannya lebih dibandingkan Bren biasa, yaitu
terletak pada untaian rantai pelurunya yang panjang. Ada pula senjata anti-tank yaitu Super Bazooka,
juga senjata ringan jenis Thomson dan PM atau Parabuelem yang disebut juga pistol mitraliur.
PM ini sekelas sten gun, tetapi keampuhannya karena magazinnya berisi sekitar empat puluh butir
peluru, dan daya tembakan otomatisnya sangat cepat rentetannya, sehingga mampu menebas sebatang
pohon. Senjata berat lainnya yang sangat dibanggakan, baik untuk penangkis udara maupun pemusnah
jarak jauh, adalah senjata bernama recoilless-gun 75 mm yang juga disebut pom-pom.
Pemancar Radio Permesta diselamatkan sementara ke Tomohon, dan mendirikan pemancar darurat di desa
Matani. Puluhan pria dari desa Kakaskasen Tomohon dikerahkan untuk mengangkut peralatan pemancar
Radio Permesta di Sario Manado itu.
Sebagian peralatan Percetakan Negara Manado, yang digunakan untuk mencetak uang kertas Permesta juga
sudah diungsikan ke Minahasa Selatan. Setelah dibawa ke desa Kanonang - Kec. Kawangkoan, kemudian
diangkut lagi kedesa Tombasian Atas, lalu diteruskan ke lokasi perkebunan Kotamenara. Pemancar Radio
Permesta I juga kemudian dipindahkan ke desa Tombasian atas, lalu diteruskan ke lokasi perkebunan
Kotamenara yang kelak di tempat itu berdiri desa Kotamenara, dan ditempatkan di sana sampai
pergolakan Permesta berakhir. Kepala seksi pemberitaan Radio Permesta I ini adalah Freddy Ratag.
Staf Pemerintahan Sipil Permesta yang dipimpin oleh Kolonel Joop Warouw sebagai Waperdam (Wakil
Perdana Menteri) PRRI/Kepala Pemerintahan Sipil PRRI di Sulawesi juga membangun markas di sini.
Pemancar Radio Permesta II ditempatkan di Modoinding dengan memanfaatkan radio pemancar bekas milik
kantor telegraf (TT) Manado.
Mutu cetak uang kertas Permesta dan juga mutu kertasnya agak rendah, kadang� dicetak pada kertas
HVS bahkan pada kertas dinas bergaris. Uang kertas ini terdiri dari pecahan Rp 100, Rp 500,- dan
Rp 1.000,- dan ditandatangani oleh Joop Warouw selaku Waperdam PRRI - Permesta. Uang kertas Rp.100,-
nilainya masih dapat membayar ongkos makan dan minum kopi di warung, sedangkan uang kertas Rp.500,-
masih cukup untuk membeli dua ekor ayam di pasar. Selain uang kertas cetakan Permesta, beredar juga
secara sah uang lama RI yaitu uang kertas seri ZG pecahan seratus rupiah bergambar pahlawan
Diponegoro yang dinamakan uang "ketek" atau keras. Uang seri ZG ini adalah uang yang dikuasai
Permesta dari Bank Indonesia Cabang Manado, ketika terjadi pemutusan hubungan dengan pemerintah
pusat. Uang kertas seri ini dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah oleh
pemerintah pusat.
Di Singapura, sebagai pangkalan lalu lintas orang� PRRI dan Permesta, telah ditawarkan oleh makelar�
berupa sejumlah helikopter�, kapal� pendarat, dan tank� pendarat kepada PRRI (dan Permesta).
Singapura sendiri, pada akhir bulan Maret 1958 terkesan bahwa banyak partisan PRRI (dan Permesta).
Permesta kemudian berhasil membeli pesawat pembom diantaranya 2 pesawat pembom jarak jauh B-29
berikut menyewa penerbang�nya dan mempergunakan pangkalan� udara Amerika Serikat Clark Airfield
di dekat Manila - Filipina.
Penerbang� yang disewa itu terdiri antara lain anggota� pasukan Jenderal Claire Chenault dari
pasukan Flying Tigers bekas penerbang� Perang Dunia II, dan penerbang� dari Taiwan.
Direktur CIA, Allan Dulles (saudara Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles), bersaksi di depan
Senat Kongres Amerika, bahwa AS tidak "mencampuri urusan dalam negeri" Indonesia.
"Pos X", demikian nama pos informasi intelejen PRRI (dan Permesta), yang sebenarnya tidak
banyak melebihi kualitas sebuah biro informasi. Kabar� yang diperoleh umumnya berasal dari orang�
yang menyebut diri simpatisan PRRI-Permesta, yang sendirinya masih belum 100% dapat dipercaya.
"Biro X" ini terdapat di Jakarta dan Singapura. Pusatnya berada di Singapura, dikepalai Jaksa E.
Pohan yang masih aktif di perwakilan Ri di Singapura (KBRI).
|
3 Maret 1958 |
Hari ini diumumkan bahwa Letkol Saleh Lahede dipecat dari TNI, yang telah berlaku surut sejak
tanggal 17 Februari 1958.
|
11-12 Maret 1958 |
Rapat rahasia Menlu negara SEATO (South East Asia Treaty Organization) di Manila
diadakan dengan tokoh-tokoh PRRI. Dipertimbangkan untuk memberikan belligerent status (status
negara yang sedang berperang) kepada PRRI, status demikian memungkinkan daerah� lain dapat memberikan
bantuan terbuka kepada PRRI.
Menteri Luar Negeri Australia Robert Casey berpendirian lebih keras, menghendaki pesawat� Australia
beroperasi di Indonesia, dan melakukan tindakan menghambat ekonomi Indonesia. Namun gagasan tersebut
tidak disetujui Menteri Pertahanan Australia.
|
12 Maret 1958 |
Dalam merampungkan persiapan operasi di Sumatera menghadapi PRRI, Pangkalan Udara Tanjung Pinang
dijadikan pangkalan induk pasukan APRI. Di pangkalan ini segala persiapan dilakukan untuk merebut
Pekanbaru dan pangkalan udaranya. Menduduki pangkalan udara Pekanbaru menjadi prioritas utama APRI,
sebelum memutuskan untuk menduduki Padang, Medan dan Palembang.
Persiapan telah rampung, tanggal 10 Maret diputuskan sebagai D-day.
Namun rencana ini ditunda dan operasi diundur selama 48 jam. Khusus selama Operasi Tegas di Sumatera,
semua pesawat B-25 tidak dimuati bom. Setidaknya empat B-25 dan enam P-51 mengudara pagi itu.
Tugasnya adalah membersihkan daerah penerjunan (DZ) bagi satu Batalion PGT (Pasukan Gerak Tjepat)
dan satu Kompi RPKAD dari tentara APRI.
Beberapa jam sebelumnya, pada pukul 01.30 dini hari, sebuah pesawat PBY-5A Catalina mendahului
operasi subuh itu untuk memantau situasi sekaligus melaporkan keadaan cuaca di daerah operasi.
Sekitar pukul 4, pesawat Catalina berputar� di atas Pangkalan Udara Simpang Tiga, Pekanbaru. Ada
beberapa orang pasukan PRRI berkeliaran di sekitar landasan. Mereka tidak sedikitpun curiga ketika
mendengar suara pesawat menderu� di kegelapan malam. Begitu juga dengan penerbang Catalina, tidak
menyadari adanya kegiatan di bawah. Barulah ketika tiba� banyak lampu menyala, di sisi lain terlihat
api� unggun dihidupkan, seperti isyarat. Ternyata saat bersamaan, orang� PRRI tengah menunggu
pasokan senjata dari CIA.
Sesuai dengan flight plan, pukul 06.00 ditentukan semua pesawat sudah harus berada di atas
Pangkalan Simpang Tiga. Kemudian sekonyong� pesawat P-51 disusul B-25 bergantian menghamburkan
rentetan senapan mesin kaliber 12,7 ke pasukan PRRI yang tengah menunggu pasokan senjata dari CIA.
|
12 Maret 1958 |
Badan Pekerja Sinode GMIM dalam sidangnya mencetuskan sebuah seruan yang meminta agar kedua kubu
(Permesta dan Pemerintah Pusat) segera meninggalkan dan menghentikan kekerasan dengan pemboman dan
perang saudara antara 'kita dengan kita'.
Seruan ini disampaikan selaku Badan Pekerja Sinode GMIM yang memegang pimpinan atas 400.000 jiwa
Kristen di Minahasa sampai daerah Gorontalo, Donggala, Palu dan Parigi. Dan ditandatangani oleh
Ketua dan Panitera (Sekum) BPS GMIM masing� A.Z.R. Wenas dan P.W. Sambow.
Ds. A.Z.R. Wenas memangku jabatan Ketua Sinonde mulai tanggal 15 Mei 1956 bertepatan dengan
terpilihnya Ds.M. Sondakh sebagai anggota DPR RI pada Pemilihan Umum, dan digantikan oleh Ds. R.M.
Luntungan, namun juga R.M. Luntungan sudah menjadi Ketua GPI di Jakarta. Nanti pada tanggal 26 Mei
1957 dipilih dengan suara bulat selaku Ketua Sinode.
Bulan Agustus 1959 beliau ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) RI namun ditolaknya, juga oleh Sidang Sinode darurat tanggal 26-30 Oktober 1959
|
15 Maret 1958 |
Kolonel J.F. Warouw (Joop) sebagai Atase Militer RI di Peking (Beijing) Cina, hari ini diskors
dari dinas militer TNI.
Dalam suatu pengakuannya, Mayor Daan E. Mogot mengakui bahwa dialah yang membujuk langsung Joop Warouw
untuk bergabung dengan PRRI (gerakan Permesta).
|
16 Maret 1958 |
Empat hari setelah menduduki Pekanbaru, dua B-25 dengan penerbang Mayor Soetopo dan Kapten Sri
Muljono serta sebuah P-51 yang diterbangkan Kapten Udara Rusmin Nurjadin dikerahkan ke Medan untuk
menghadapi pasukan PRRI pimpinan Mayor Boyke Nainggolan. Peristiwa yang terkenal dengan "Peristiwa
Nainggolan" itu dibungkam setelah serangan udara disusul penerjunan prajurit PGT, RPKAD, dan
Batalion 332 Siliwangi. Sebagian lainnya melarikan diri ke Aceh dan Tapanuli.
|
17 Maret 1958 |
Letnan Satu Yus Tiendas (asal Sangir) dengan satu peleton pasukan Permesta berhasil merebut
kembali kota Gorontalo dari tangan pasukan Nani Wartabone. Pasukan Nani Wartabone (dikenal sebagai
Pasukan Rimba) kemudian masuk hutan.
|
31 Maret 1958 |
Pasukan TNI berhasil mendarat di daerah Palu-Donggala, Sulawesi Tengah, dengan bantuan dari
kompi TNI setempat dibawah Kapten Frans Karangan (asal Toraja) yang telah bergabung dengan TNI,
dan pasukan Mobile Brigade (Mobrig, sekarang Brimob) setempat.
(Dikabarkan bahwa komandan batalyon Mayor Lukas J. Palar gugur dalam peristiwa ini)
|
Akhir Maret 1958 |
Menjelang akhir bulan Maret, dicapai persetujuan dengan gerombolan Jan Timbuleng (Pasukan
Pembela Keadilan/PPK) untuk bekerja sama dengan Permesta di bawah naungan PRRI. Juga, turut
bergabung gerombolan pemberontak lainnya, kurang lebih 300 orang dari satu kelompok (Sambar Njawa)
yang dipimpin Daan Karamoy dan Len Karamoy (yang disebut terakhir ini adalah bekas istri Jan
Timbuleng). Len Karamoy yang mempunyai nama baik sekali sebagai komadan pasukan, menawarkan diri
untuk melatih sebuah laskar wanita untuk Permesta (PWP).
|
April 1958 |
OPERASI "DJAKARTA II" dilancarkan Permesta (PRRI) dibawah komando Panglima KDP II/Minahasa
Letkol D.J. Somba.
Rencana ofensif secara bertahap terhadap ibukota RI Jakarta ini dibekali dengan persediaan
senjata dan amunisi untuk satu divisi dan tenaga� prajurit yang cukup militan dalam latihan, serta
air-cover (perlindungan udara) dari pesawat� AUREV.
Rencana Operasi Djakarta II itu adalah sebagai berikut:
a. merebut kembali daerah Palu/Donggala yang telah dikuasai Tentara pusat;
dari sana menyerang & menduduki Balikpapan dengan kekuatan 1 resimen RTP;
b. sasaran kedua adalah Bali;
c. sasaran ketiga adalah Pontianak;
d. sasaran terakhir adalah Jakarta.
Operasi ini bertujuan untuk menekan Pemerintah Pusat di Jakarta agar berunding dengan PRRI.
Perebutan kembali Parigi dan Toboli di Sulawesi Tengah oleh Overste D.J. Somba dengan membawa
Bn.Q pimpinan (Mayor Lukas J. Palar) Mayor J. Lumingkewas, pasukan Daan Karamoy dengan beberapa ex
KNIL yang membawa senjata recoillesss-gun 75 mm, basoka serta senjata berat lainnya, satu
pasukan dari ex Pasukan Pembela Keadilan (PPK) - Brigade 999 yaitu sebanyak tiga batalyon (sebenarnya
cuma berkekuatan beberapa kompi riil), antara lain dari Mayor Gerson (Goan) Sangkaeng dan Batalyon 2-nya,
satu peleton pasukan RPKAD (21 orang) pimpinan Nicholas Sulu; dan Panglima KDP IV/Sulawesi Tengah
Letkol J.W. (Dee) Gerungan. Semuanya berjumlah kira� 600 orang.
Sekitar 2/3 penduduk Poso masuk hutan karena takut pada pertikaian Pergolakan Permesta ini, dan
kurang lebih 200 orang pemuda Poso dijadikan anggota pasukan PRRI (Permesta).
Pos� pasukan Permesta di daerah itu antara lain Poso, Tentena, Pendalo, Luwuk, Kolonedale, Parigi,
Toboli, dan ada beberapa kota lainnya.
|
12 April 1958 |
Tiga pesawat pertama yang diperbantukan dalam pertahanan udara PRRI (dalam AUREV - Angkatan
Udara Revolusioner) berupa pesawat B-26 Bomber
diberangkatkan dari US Clarck Airfield di Filipina.
Kemudian AUREV PRRI (Permesta) menjatuhkan Slogan dan phamplet dari pesawat yang berisi pernyataan
"maaf Bung Karno, kami tidak butuh Komunisme", yang dijatuhkan di daerah Manado, Tomohon,
Gorontalo, dan Palu.
|
13 April 1958 |
Permesta yang tidak ingin diserang lebih dulu menyerang pada pertengahan bulan dengan pesawat�
AUREV yaitu B-25 (pesawat Taiwan), pertama kali di Lapangan Mandai (sekarang Bandara Hasanuddin)
Makassar pukul 5:35-5:51 pagi hari dibom oleh AUREV/Permesta.
Sebelumnya, pengeboman di LU Mandai Makassar sebenarnya akan menggunakan 2 pesawat pembom B-26.
Namun pesawat yang satunya, yang dikendalikan oleh penerbang berkebangsaan AS jatuh setelah
mengadakan take off dari LU Mapanget. Peristiwa ini mengakibatkan gugurnya 2 pilot AS, dan
seorang serdadu telegrafis Permesta.
Menyusul Pelabuhan Donggala, Balikpapan, Ambon, Ternate, dan tempat lainnya menjadi target gempuran.
Kapal perang TNI AL RI Hang Tuah � satu dari empat korvet yang dihibahkan Belanda yang sedang buang
sauh di pelabuhan Balikpapan, dibom hingga kemudian tenggelam.
Lalu pengeboman dilakukan di Balikpapan (4 x yaitu 16 April, 22 April, 28 April dan 19 Mei), Ambon
dengan lapangan udara Pattimura (7 x, mulai 27 April, 28 April, 1 Mei, 8 Mei, 15 Mei, 18 Mei),
Ternate (5 x), Morotai (3x), Bitung, pelabuhan Palu-Donggala-Balikpapan (16 dan 20 April), Gorontalo,
dll.
Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) PRRI dipimpinan oleh KSAU Comodore Muda (APREV) Petit
Muharto Kartodirdjo, bekas Atase Militer AURI di Manila berpangkat Mayor AURI. Dan sebagai Wakil
KSAU adalah Kapten AURI (Purn.) Hadi Sapandi, bekas komandan Squadron III - Pemburu di Cililitan
(sekarang LU Halim Perdanakusumah) - Jakarta. Sebelum bergabungnya kedua orang etnis Jawa itu
dengan PRRI, AUREV dipimpin oleh Z. Rambing yang menguasai Lapangan Udara Tasuka.
Markas AUREV terletak di sebuah rumah yang bernama "HUISE SABANG" di Jl. Sario Manado.
AUREV diperkuat oleh pesawat� pembom B-26, Mustang, B-26 B, B-29, dan beberapa pesawat pengangkut
tipe C,/P-51, Catalina, Lochkeed, yang didatangkan dari luar negeri.
Lapangan Udara Mapanget diperkuat oleh "BAZOKA bolak-balik", Bar-bren, Panser-Wagen, Alertcraft,
Dublelop (18 buah), 12.7, Watermantel dan senjata� berdiameter 20mm. Pesawat� pengangkut tipe C
diserahkan kepada penerbang Taiwan yang berpangkalan di Lapangan Udara Tasuka (Kalawiran).
|
13 April 1958 |
Kepala Staf Angkatan Perang PRRI Alex Kawilarang (yang pada hari tiba di/dari Manila),
Wakil Perdana Menteri PRRI Kolonel Joop Warouw bersama Menteri Perekonomian PRRI, tiba di Manado.
Untuk menyambut kedatangan mereka diadakan pertemuan di gedung bioskop Tomohon dengan tokoh� politik
dan masyarakat, pimpinan pemerintahan sipil dan militer, polisi, gerakan pemuda dan mahasiswa serta
para cendikiawan. Dalam pertemuan itu berturut� berbicara: Panglima Ventje Sumual, Panglima Alex
Kawilarang dan Waperdam Joop Warouw sebagai pembicara terakhir.
Luapan pernyataan dukungan masyarakat terhadap ketiga tokoh itu luar biasa gemuruhnya. Ucapan selamat
disertai pekik: "Hidup PRRI! Hidup Permesta!" bergema di sekitar gedung bioskop tersebut yang penuh
sesak oleh masyarakat yang menonton.
Koran� Manado pada tanggal 14 April mencetak perintah harian yang dikeluarkan atas nama Alex
Kawilarang sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang PRRI, yang minta dukungan dari para pegawai
negeri dan rakyat untuk berjuang melawan "mis management dan penjalahgunaan kekuasaan" pusat Jakarta.
|
15 April 1958 |
Letkol dr. Oscar E. Engelen, Ketua IPRI-Indonesia Timur, dan Kapten Bing Latumahina, Sekretaris
IPRI-InTim, yang adalah perwira militer pro-Permesta yang paling penting yang masih berada di
Makassar, hari ini dipecat dari TNI dan ditahan rumah sejak kira� tanggal 6 Mei.
Letkol dr. Engelen dan Kapten Bing Latumahina dikatakan telah mengadakan campur tangan dalam urusan
Sersan Mayor Pangkey, yang mendaulat komandan artileri kompinya yang anti-Permesta itu dan mengarahkan
enam buah meriamnya ke arah kota Makassar; mereka meyakinkan Serma Pangkey, jika tembakan dilepaskan
maka bencana akan terjadi. Serma Pangkey ditangkap pada waktu bersamaan dengan Letkol dr Engelen dan
Kapten Bing Latumahina ditangkap.
Setelah ditahan, tahun 1961, dr O.E.Engelen menjadi dokter pada PN Nupiksa Yasa Jakarta, dan
pada tahun 1972-1987 menjadi Rektor Universitas Kristen Djaya (UKRIDA). Pada tanggal 2 Maret 1995,
ia mendapat rehabilitasi oleh Presiden RI Soeharto akibat keterlibatannya dalam Permesta dan mendapat
hak pensiun sesuai dengan SK No.14/ABRI/1995.
|
16 April 1958 |
Kota Balikpapan mulai diserang pesawat AUREV Permesta, dimana terjadi pengeboman dan penembakan
atas obyek� di lapangan udara yang menyebabkan sebuah pesawat terbang milik BPM mengalami kerusakan
dan beberapa bangunan mengalami rusak berat.
Tanggal 22 April, Balikpapan juga diserang dua pesawat pemburu AUREV Permesta. Selanjutnya,
Balikpapan juga diserang tanggal 28 April dan 19 Mei.
|
17 April 1958 |
Pagi itu, pukul 04.00, empat pembom B-25 berangkat dari Lanud Palembang menuju Lanud Pekanbaru.
Hari itu juga terus dilakukan penerbangan� formasi bersama pesawat P-51 yang disusun secara
bergelombang dalam bentuk dua flights. Red Flight dan Blue Flight. Flight
pertama bertugas melindungi pendaratan KKO di pantai Sumatera Barat dari kapal laut ALRI. Sementara
Blue Flight melindungi penerjunan PGT dan RPKAD di Lanud Tabing. PGT dan RPKAD kemudian mulai
diterjunkan dari beberapa pesawat Dakota. Sebagian pasukan PRRI yang melihat pasukan payung mulai
berebutan turun, memilih lari masuk hutan. Dengan cepat landasan Tabing dibersihkan dari ranjau dan
paku yang sengaja ditebarkan PRRI.
Akhirnya perlawanan PRRI dapat dihentikan dan hari itu juga Padang dapat diduduki APRI,
namun sebuah B-25 nomor M-464 yang diterbangkan Pedet Soedarman tertembus dihantam peluru musuh.
Esoknya, sekitar pukul 11.30, pesawat B-25 yang diterbangkan Kapten Sri Muljono segera mendarat
di Lanud Tabing dengan selamat.
|
29 April 1958 |
OPERASI "DJAKARTA I" dilancarkan Permesta (PRRI) terhadap kedudukan pasukan Tentara Pusat
di Morotai. Operasi ini dikomandoi oleh Panglima KDP I/Maluku Utara yang baru (menggantikan Mayor
Abdul Kadir) yaitu Mayor Nun Pantouw dan wakilnya Letnan Jonkhy Robert Kumontoy dengan bantuan
air-cover dari AUREV.
Morotai diserang oleh pesawat� terbang Permesta sebanyak 3 kali (dan terakhir kalinya diserang
tanggal 28/29 April), disusul pendaratan dengan kapal� perang asing (2 buah) dan kapal pengangkut
(2 buah) yang mengangkut satu batalyon Permesta dibawah pimpinan Mayor Nun Pantouw.
Dari pulau kecil ini Nun Pantouw menggeser pasukannya menyeberang ke Pulau Halmahera hingga
menduduki Jailolo yang berada di bagian tengah Halmahera.
Melihat perkembangan ini, Pangdam XV/Pattimura Kolonel Herman Piters segera mengadakan rapat khusus
dengan seluruh staf inti Kodam. Dari Jakarta muncul permintaan laporan situasi terakhir dari KSAD
Jenderal Mayor A.H. Nasution, KSAL Laksamana Subyakto dan KSAU Laksamana Suryadi Suryadarma. Laporan
yang sama juga diberikan ke istana atas permintaan Bung Karno.
|
Mei 1958 |
Dukungan Presiden Filipina Gracia dan Menteri Pertahanan Filipina Vargas untuk PRRI (dan Permesta).
Hal ini dikecam keras oleh Duta Besar Filipina di Jakarta, Jose Fuentabella. Begitu juga surat� kabar
Filipina, menuduh Menteri Luar Negeri Serano sebagai alat Amerika Serikat. Dalam menghadapi masalah
pergolakan di Indonesia, Filipina dianggap terlalu banyak dikendalikan kedutaan Amerika Serikat di
Manila.
Filipina juga telah mengirimkan bantuan berupa persenjataan dan 2 squadron pesawat tempur - yang
dibeli Permesta (PRRI di Sulawesi Utara) dengan cara barter - ke Minahasa untuk Angkatan Udara
Revolusioner PRRI (AUREV).
Pada pertengahan bulan ini, pemerintah Amerika Serikat mengubah kebijakan politik terhadap Indonesia,
namun pemerintah Filipina tidak diberitahu, sehingga Menteri Luar Negeri Serano menyesalkan sikap
Amerika Serikat ini.
Dalam upaya dukungan pemerintah Filipina tersebut, tercatat nama wartawan Ninoy Aquino, tokoh pers
yang terkemuka, ikut dalam operasi tersebut sebagai reporter/wartawan. Dalam sebuah pengakuannya,
Ninoy Aquino menyatakan sikap pemerintah Filipina dan juga Amerika Serikat yang menerlantarkan serta
meninggalkannya dalam hutan� di Minahasa setelah pemerintah AS menarik diri segala operasinya di
Indonesia akibat jatuhnya pesawat yang dikendalikan pilot Allan Lawrence Pope, seorang anggota CIA,
yang membongkar keterlibatan pemerintah AS dalam masalah dalam negeri Indonesia (kelak istrinya akan
menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada dekade tahun 80-an dan tampil sebagai Presiden negara
itu.)
|
4 Mei 1958 |
Bukittinggi sebagai ibukota PRRI diduduki oleh pasukan APRI.
|
5 Mei 1958 |
Pesawat� tempur AURI membom posisi� pasukan PRRI (Permesta) di pulau Jailolo.
|
6 Mei 1958 |
Kolonel J.F. Warouw (alias Joop Warouw) sebagai Atase Militer RI di Peking (Beijing) Cina,
setelah diskors dari dinas TNI, hari ini secara resmi dipecat dari TNI.
|
8 Mei 1958 |
Kota Parigi berhasil dikuasai pasukan Overste D.J. Somba dan 1 batalyonnya, yang menggunakan
4 buah kapal pengangkut (dua diantaranya berbendera asing/Belanda) dilindungi oleh 2 pesawat Permesta
(B-26 dan Mustang). Dalam waktu beberapa hari, Permesta juga berhasil menguasai Toboli dan Kebon Kopi.
Ikut juga dalam operasi tersebut yaitu Mayor J.W. Gerungan (Dee Gerungan) dan Mayor Lukas Palar.
Hari ini, di Teluk Ambon, Kapal "Sonny" dihujani bom dari pesawat Bomber B-26 AUREV namun tidak kena.
|
9 Mei 1958 |
Sejumlah pendukung Permesta di Makassar yang berani menyatakan pendapat ditangkap dan dipenjarakan
hari ini.
|
10 Mei 1958 |
Empat buah Kapal Permesta yang digunakan untuk pendaratan di Parigi berhasil ditenggelamkan
oleh pesawat� AURI. (Komandan batalyon Mayor Lukas Palar bersama pasukan pengawalnya gugur di perairan
Poso, ketika sedang menyeberangi teluk dengan motorboat, disergap dan ditenggelamkan pesawat tempur
AURI) Setelah itu pasukan Palar terpencar�; sebagian mengikuti Dee Gerungan masuk hutan Sulutteng,
dan sebagian lagi menggabungkan diri dengan satuan� Resimen Ular Hitam.
|
10 (16) Mei 1958 |
Terjadi pengiriman senjata secara besar�an ke Sulawesi Utara melalui laut - pada peti� kayu
dengan jelas terlihat tanda Angkatan Laut Amerika Serikat (US Naval). Kebanyakan muatan pertama
kapal dikatakan terdiri dari senjata ringan dan hal ini menimbulkan beberapa persoalan karena para
veteran KNIL yang bertanggung jawab melatih sukarelawan� muda Permesta kebanyakan ahli di bidang
artileri berat. Pengiriman senjata pertama itu diterima pada Hari Raya Kenaikan Yesus Kristus (Isa
Al-Masih) yang jatuh pada hari ini. (Menurut perhitungan Dr. Barbara Sillars Harvey, Ph.D., Hari
Raya Kenaikan Yesus Kristus ini jatuh pada tanggal 16 Mei)
|
14 Mei 1958 |
Kekhawatiran pasukan "tentara pusat" bahwa pesawat B-29 akan dikerahkan Permesta dan CIA, bahwa
kemungkinan akan terjadi dog fight. Untuk itulah, sembilan pesawat tempur yang terdiri dari
empat B-25 (strafer dan bomber) serta lima P-51 digerakkan ke Indonesia Timur untuk
menggelar operasi merebut keunggulan di udara pada tanggal 14 Mei 1958.
Target telah ditentukan: Pangkalan Udara Mapanget.
Secara keseluruhan, Mayor Udara Leo Wattimena ditunjuk sebagai flight leader dan Sri Muljono
khusus leader pembom � Letnan Udara I Pedet Soedarman, Kapten Udara Suwondo, dan Letnan Udara
I Suwoto Sukendar.
Seperti juga di Sumatera, demi keamanan keberangkatan dilakukan dari pangkalan yang berbeda. Dari
Pangkalan Laha sebuah B-25 (Suwoto Sukendar) diberangkatkan dengan kawalan dua P-51. Lalu dari Liang
dua B-25 (Sri Muljono dan Pedet Soedarman), dikawal sebuah P-51. Dan terakhir dari Amahai sebuah B-25
(Suwondo) disertai dua P-51.
Tepat pukul 04.00 subuh, mereka rendezvous di atas Pulau Manggole. Dari titik pertemuan,
secara formasi mereka akan menuju pantai timur Manado.
Rencana operasinya: Sortie pertama, semua pesawat secara bersamaan akan menggempur dua target,
Mapanget dan Tasuka. Teknisnya, setelah semua pesawat mendekati pantai Manado, kedua flight
akan memecah menuju target masing�. Jika gelombang pertama sukses, semua pesawat harus segera kembali
ke pangkalan semula untuk reloading. Selanjutnya bergegas menuju Morotai dan Jailolo dengan tugas
serupa. Sebaliknya jika serangan pertama gagal, dalam arti tidak berhasil menghancurkan setidaknya
setengah dari jumlah pesawat AUREV, diperintahkan untuk menjauhi Morotai dan Jailolo dan menghindari
kejaran pesawat AUREV.
Dalam situasi seperti itu, penerbang harus terbang menjauh dan terbang menuju pangkalan lain untuk
menyiapkan diri dan kembali berkumpul di tempat semula malam harinya. Barulah besoknya mereka akan
kembali terbang menyerang Morotai.
Dalam briefing juga disepakati "Plan B". "Kalau tertembak, usahakan loncat di laut yang persis
di depan Kota Manado, karena di situ sudah stand by pasukan intel yang siap sewaktu� untuk
menolong.
Setiap pembom diawaki oleh lima crew (pilot, co-pilot, bombardier, montir, dan radio
telegrafis/gunner).
|
15 Mei 1958 |
Upaya Kedutaan Besar Amerika Serikat pada hari ini agar diadakan gencatan senjata antara
pemberontak dengan pemerintah ditolak oleh PM Ir. Djuanda dan Presiden Ir. Soekarno dengan
mengeluarkan pengumuman resmi, perundingan hanya akan dipertimbangkan setelah kaum pemberontak
menyerah dengan tidak bersyarat dan Kementrian Penerangan menyatakan politik pemerintah adalah
menumpas kaum pemberontak, tidak berunding dengan mereka.
|
15 Mei 1958 |
Pesawat� AUREV/Permesta yang terakhir berupa B-26, P-51, Catalina, Lochkeed dihancurkan AURI
di Lapangan Udara Mapanget di Manado.
Dalam operasi itu, tiga pesawat B-25 plus tiga P-51 milik AURI menuju ke arah Mapanget, dan sebuah
pesawat B-25 (Suwondo) dikawal dua pesawat P-51 membom pangkalan udara Tasuka.
Serangan B-25 dan P-51 secara bergantian telah melumpuhkan setengah dari kekuatan AUREV yang
diperkirakan diperkuat delapan pesawat � P-51, B-26, Catalina, dan DC-3. Begitu juga di Tasuka,
Suwondo menghancurkan landasan dengan baik.
Serangan mendadak itu tidak hanya menghancurkan pesawat diparkir di apron tapi juga tanki bahan
bakar AUREV. Akibatnya dalam beberapa jam setelah serangan itu asap hitam membumbung ke angkasa
pertanda terjadi kebakaran hebat, dan tidak ada lagi pesawat AUREV yang selamat serta landasan
Mapanget dipenuhi lubang.
Pada Hari Doa Sedunia (hari ini?), 2 pesawat pembom AURI menghancurkan 4 buah pesawat pembom B-26
yang diawaki orang Taiwan (?) yang belum sempat tinggal landas di Lapangan Kalawiran - Kakas pada
sore hari, sementara itu 4 pesawat Mustang AURI lainnya melancarkan tembakan mitraliurnya di tempat�
yang dicurigai menjadi sarana� vital Permesta.
Peristiwa ini membuat umat Kristen Oikoumene yang sedang mengadakan Ibadah Hari Doa Sedunia
di Lapangan GMIM Pinaesaan Langowan dalam posisi tiarap.
|
Pesawat Permesta yang hancur dibom |
Saat itu, J.Harry Rantung (kopral AURI di pangkalan Morotai yang kemudian bergabung dengan Permesta)
dan Allan Laurence Pope (pilot berkebangsaan Amerika Serikat) dengan pesawat Pembom B-26 Invander
lepas landas dari lapangan udara Mapanget dengan pesawat P-51 Mustang yang diterbangkan oleh seorang
pilot berkebangsaan AS yang bernama Connie Seigrist. Sasaran utamanya adalah Ambon.
Pesawat B-26 Invander yang diawaki Allan L. Pope ini menghancurkan PBY Catalina, yang
berlokasi di Liang. Dalam peristiwa itu hampir menewaskan Kolonel AURI Sunardi dan Marsekal AURI
Alamsyah (Deputi KSAU-AURI Ashadi Tjahyadi).
Saat itu pesawat P-51 Mustang yang diterbangkan Letnan Udara I Nayarana Soesilo ditembak jatuh oleh
senjata Penangkis Serangan Udara Permesta yang masih tersisa di sekitar landasan udara Morotai dalam
operasi udara yang dipimpin Mayor Leo Wattimena.
Penerbang lainnya yang pesawatnya kena tembak adalah Letnan Udara I Loely Wardiman. Tidak seperti
Nayarana, Loely masih sempat melompat sebelum pesawatnya jatuh ke laut. Loely diselamatkan oleh
pasukan Magenda yang sudah menguasai pulau� di depan Kota Manado. Pesawat Pedet juga tertembak dalam
second running dan bolong di beberapa tempat.
Dalam waktu 12 jam saja, Lapangan Udara Mapanget dan Kalawiran sudah memperoleh pesawat� pengganti,
malah memperoleh tambahan beberapa buah lagi (menurut buku Dolf Runturambi).
|
16 Mei 1958 |
Pendaratan rahasia oleh pasukan APRI di pantai Wori dekat Manado, oleh satu peleton RPKAD
pimpinan Letnan I Leonardus Benyamin (Benny) MOERDANI (yang kelak menjadi Panglima ABRI), dan satu
peleton RPKAD pimpinan Letnan Soewono.
Tujuan dari pendaratan dan penyerbuan saat itu adalah lapangan udara Mapanget. Pertempuran di
lapangan Mapanget menewaskan dua orang RPKAD yaitu Miskan, prajurit asal Madiun dan Sersan Mayor
Tugiman, mantan anggota KNIL. Tugiman konon salah menduga bunyi tembakan Bar Bren Pasukan Permesta
sebagai bunyi tembakan senjata jenis Bren biasa. Setelah menghitung jumlah tembakan otomatis senjata
itu sesuai kapasitas peluru dalam magazin, ia mengira tembakan akan berhenti. Ia lalu melakukan
gerakan maju sambil koprol. Padahal senjata yang digunakan Permesta adalah jenis Bar Bren yang
pelurunya bersistem rantai. Ia gugur karena salah perhitungan.
Jenasah anggota pasukan RPKAD tersebut dimakamkan oleh Permesta secara militer. Sepuluh hari lamanya
gerak pasukan pusat tersebut yang kemudian tertahan di sekitar Gunung Potong.
Saat pasukan pusat menduduki lapangan Mapanget itu kelak, diberi nama Lapangan Tugiman sementara
waktu, untuk mengenang prajurit yang gugur tersebut.
|
18 Mei 1958 |
Allan Lawrence POPE, pilot sewaan/serdadu bayaran
(soldier of fortune) Permesta (digaji sebesar USS 10.000,-) berkewarganegaraan AS dan
merupakan anggota CIA, dengan disertai co-pilotnya, J.Harry Rantung yang berada di pesawat Pembom
B-26, jatuh di Pulau Tiga Teluk Ambon oleh AURI dan ALRI.
Saat itu mereka serta sebuah P-51 Mustang yang dibawa oleh Connie Seigrist (seorang pilot Amerika
juga), sedang menjalankan aksi membom kota Ambon yang menewaskan 6 warga sipil dan 17 tentara tewas.
Saat itu satu armada yang didukung oleh beberapa kapal perang, kapal pengangkut, dan penyapu ranjau,
yang dipimpin oleh Letkol Herman Piters, komandan "Operasi Mena I", bergerak dari Pelabuhan Halong,
Ambon, menuju Morotai untuk mendudukinya kembali dari pasukan pimpinan Mayor Permesta Nun Pantouw.
Pengakuan Harry Rantung
mengenai peristiwa itu adalah sbb:
Pagi hari itu sekitar pukul 06.00-07.00 di pelabuhan Ambon, penangkis udara menyambut kedatangan
B-26 tersebut. Allan Pope yang punya pengalaman tempur sejak dari Perang Korea, santai saja menuju
sasaran. Sebuah bom dijatuhkan di lapangan terbang. Tembakan senapan mesin diarahkan ke kubu�
pertahanan yang tersebar di sekitar lapangan terbang dan pinggiran Kota Ambon. Pertempuran jadi
ramai. Pope tanpa ampun menghantam obyek� militer.
Harry Rantung, sebagai operator radio melapor ke Manado tentang operasi yang sedang berlangsung di
Ambon. B-26 yang digunakan AS pada PD II itu masih lincah. Ketika pesawat berada pada ketinggian
sekitar 10.000 kaki, Pope berkata bahwa di bawahnya ada satu konvoi kapal dan langsung dilaporkan ke
Manado. Dari Manado kemudian menginstruksikan untuk diteliti. Atas instruksi Manado itu, Pope turun
sampai pada ketinggian sekitar 4.000 kaki, dan terlihat bahwa titik� itu adalah konvoi armada yang
sedang melaju dalam kecepatan tinggi menuju utara.
Pope melaporkan lagi ke Manado bahwa yang mereka lihat adalah satu konvoi armada kapal perang dan
pengangkut RI. Untuk itu dia minta instruksi Manado. Hanya dalam waktu tidak cukup satu menit, datang
instruksi dari Manado yang meminta agar armada yang sedang bergerak ke arah utara itu diserang.
Tanpa banyak komentar, Pope turun pada ketinggian hanya beberapa meter di atas permukaan laut. Allan
Pope dengan pengalaman tempur yang cukup, langsung menukik dan menjatuhkan bom. Sasarannya Sawega.
Namun meleset hanya beberapa meter dari buritan kapal. Berbarengan dengan jatuhnya bom, datang
rentetan tembakan pengangkis udara dari kapal� perang yang mengawal Sawega. Saat itu saya melapor ke
Manado bahwa pertempuran sudah berkobar. "Kami sudah menyerang dengan bom, tetapi sayang meleset,"
lapor Harry ke Manado.
Sesudah menghamburkan peluru maut dari mulut pesawat ke atas geladak kapal, Pope berputar naik keatas.
Saat itu mereka merasa ada goncangan keras. "Kita kena tembak, pesawat terbakar, segera lapor Manado,"
kata Allan Pope. Api berkobar di bagian ekor pesawat. Manado sudah menerima laporan tentang
tertembaknya B-26 itu dan menginstruksikan agar mereka berusaha untuk terbang ke arah Irian Barat.
Dengan segala keahliannya, Pope berusaha mengendalikan B-26. Pope berusaha untuk berputar dan naik.
Tetapi tidak bisa. Kobaran api semakin menjadi. Menghadapi situasi yang sangat gawat, Pope
memerintahkan saya untuk terjun. Mereka jatuh di sebuah pulau kecil. Paha Pope robek.
Dari pinggangnya Pope mencabut pistol dan menyerahkan kepada saya. Kemudian dia membuka mulut,
maksudnya agar Harry tembak. "No no", tolak Harry. Beberapa saat kemudian dua buah perahu karet
merapat. Satu regu Marinir langsung mengepung. Pope dan Harry dibawa ke atas perahu karet. Dalam
pemeriksaan awal, saya mengaku bernama Pedro, berkewarganegaraan Filipina. Akan tetapi saya tidak
bisa menyembunyikan samaran. Soalnya di atas Sawega kebetulan ada seorang sersan AURI satu angkatan
dengan saya di Morotai."
Dokumen di tangan Pope disita. Namun sebuah dompet yang berisi uang dan selembar foto istrinya
dikembalikan. Dokumen itu berisi informasi yang fatal bagi perkembangan PRRI dan Permesta selanjutnya,
karena Allan Pope sengaja membawa dokumen rahasia CIA.
Dari dokumen yang ada diketahui bahwa Pope adalah seorang penerbang CAT (Civil Air Transport)
dari Taiwan, dan punya kode 11 (sebelas) sebagai tentara sewaan yang digerakan CIA (Central
Intelligence Agency) untuk mengacau Pasifik.
Kejadian ini membuat heboh dunia dan hal ini antara lain yang menyebabkan pihak AS/CIA menarik diri
dari operasi ini karena desakan agar tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.
|
Allan L. Pope yang dirawat di atas KRI Sewaga |
Perubahan kebijakan Amerika Serikat tidak terlepas dari upaya keras dan pendekatan� yang dilakukan
Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones dan Atase Militer Kolonel George Benson di Jakarta,
meyakinkan State Departement AS dan Pentagon. Mereka berhasil meyakinkan Washington bahwa
satu�nya kekuatan masa depan yang bisa diandalkan melawan komunis di Indonesia justru berada ditangan
para perwira di pemerintah Pusat.
Hal ini membuat para pemimpin Permesta marah terhadap AS karena, pihak AS hanya mengutamakan
kepentingannya sendiri dibandingkan dengan kemitraannya terhadap gerakan Permesta yang se-'ideologi'
(anti-komunis) dengannya.
|
18 Mei 1958 |
Letkol Andi M. Jusuf kembali ke Makassar setelah bertemu dengan Letjen A.H. Nasution dan juga dengan
Presiden Soekarno, diberi wewenang untuk memangku komando KDM-SST dan diperintahkan untuk menangkap
Letkol M. Saleh Lahede yang sebelumnya ditolak oleh Letkol Andi Mattalatta selaku Panglima KDM-SST.
|
19 Mei 1958 |
Gubernur Sulawesi Andi Pangerang sebagai ketua penguasa Perang Daerah Sulawesi Selatan dan
Tenggara mengumumkan pelarangan apa yang dinamakan "Pemerintah Revolusioner" Republik Indonesia
(PRRI) dan "pembekuan" organisasi Permesta, termasuk semua cabang dan rantingnya.
|
20 Mei 1958 |
Morotai jatuh kembali ke tangan APRI (sekarang TNI) dalam operasi khusus AURI "Nunusaku" dibawah
pimpinan Letkol Huhnholz dari Angkatan Laut.
Di Pulau Halmahera, Operasi Mena I (Mena berarti menang) di bawah pimpinan Kapten Suptandar berhasil
merebut kembali Jailolo dari tangan Permesta (PRRI di Indonesia Timur). Jailolo merupakan kota cukup
strategis di Halmahera dengan lapangan terbangnya yang pernah digunakan oleh Jepang pada PD II.
Operasi tidak berjalan mulus. Medan terlalu berat hingga hampir tidak ada samasekali hubungan darat.
Letnan Thom Nusi, mantan Komandan Baret Merat RMS (Republik Maluku Selatan) yang memimpin satu kompi
Pattimura Muda terlibat dalam pertempuran sengit dengan pasukan Permesta yang bertahan di atas bukit�
kecil di pinggiran timur laut Jailolo. Walau pasukan Permesta dapat dipukul mundur hingga lari ke
pedalaman Halmahera, beberapa orang anggota Nusi terluka. Karena medan sangat berat Kapten Suptandar,
Komandan Operasi Mena I akhirnya naik kapal Bekaka ukuran 100 ton untuk bertolak menuju Desa Ibu yang
terletak di pesisir barat Halmahera Tengah. Maksud Suptandar akan mengadakan gempuran dengan memotong
dari pantai Desa Ibu. Perhitungannya dari Ibu untuk menjangkau pedalaman Halmahera lebih mudah. Akan
tetapi pasukan bergerak ke arah pedalaman, hingga pasukan Suptandar mendapat perlawanan keras. Dua
orang komandan peleton melapor bahwa medan sangat berat.
Menghadapi medan yang sangat berat itu, Kapten Suptandar beserta beberapa orang staf dengan kapal
Bekaka menuju Morotai yang telah diduduki. Tiba di Morotai, mereka langsung menuju markas AURI.
Di lapangan berjejer beberapa buah pesawat tempur P-51 Mustang (cocor merah) dan pembom PBY-5A
Catalina.
Beberapa hari kemudian, Radio Australia yang cukup populer di Maluku menyiarkan berita tentang
munculnya Mayor Nun Pantouw dan pasukannya di Irian Barat yang waktu itu masih dijajah Belanda.
Penduduk Desa Kao (Teluk Kao) dan Desa Maba di pesisir timur Pulau Halmahera sebagai saksi mata
mengatakan, pasukan Permesta turun dari hutan Halmahera tengah menuju Teluk Kao. Dengan perahu�
kecil mereka menyeberangi Teluk Kao, untuk selanjutnya memotong gunung tiba di Desa Maba. Dari
Maba dengan menggunakan perahu menyeberang ke Irian Barat.
Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles hari ini mengadakan konferensi pers mengenai masalah
Indonesia.
Sejumlah tokoh� Permesta di Sulawesi Selatan hari ini ditangkap oleh Pemerintah Pusat.
Mereka diantaranya Letkol M. Saleh Lahede (Kastaf TT-VII/Wirabuana), Mochtar Lintang, Anwar Bey,
Naziruddin Rachmat, Kapten W.G.J. Kaligis, Letkol dr.Oscar E. Engelen (Ketua Ikatan Perwira RI -
Indonesia Timur), Kapten Bing Latumahina.
Setelah melewati proses pemeriksaan, mereka dipenjarakan di Madiun dan Jakarta. Sejumlah perwira
lainnya juga dikeluarkan dari dinas militer.
|
22 Mei 1958 |
Hari ini, kota Gorontalo dilepaskan pasukan Permesta dari pasukan Bn. S dibawah komando Mayor
Wim Sigar ke tangan tentara TNI. Saat itu, Pasukan Rimba dari Nani Wartabone dengan bantuan
air-cover dari AURI, berhasil menghalau pasukan PRRI (Permesta) yang harus mundur dan
mengadakan pertahanan di luar kota Gorontalo.
Pemerintah AS terpaksa menyetujui bantuan senjata dan ekonomi kepada Indonesia setelah bantuan
operasi kepada Permesta (PRRI di Sulawesi) ditarik akibat peristiwa jatuhnya pesawat yang dikemudikan
Allan L.Pope.
Salah satu alasannya adalah, bahwa di tubuh TNI di pusat, masih banyak perwiranya yang anti-komunis
yang dapat diajak kerja sama.
|
23 Mei 1958 |
Daerah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sangir dan Morotai secara praktis sudah
tidak dapat diharapkan lagi untuk dikuasai oleh Pasukan Permesta - serta jatuh ke tangan Pemerintah
Pusat di Jakarta.
|
23-27 Mei 1958 |
Kota Parigi, Toboli dan Kebon Kopi dikuasai kembali oleh pasukan gabungan APRI dari Divisi
Brawijaya, Kapten Frans Karangan (ia dan batalyon kecilnya membelot di Poso), kesatuan Polisi
dibawah pimpinan Inspektur Polisi Suaeb, dengan bantuan pesawat� terbang AURI.
Operasi ini menewaskan 30 orang pasukan Permesta, dan 14 orang pasukan Permesta berhasil ditawan.
Tanggal 23 dan 27 Mei di daerah Situjuh dan Suliki terjadi teror terhadap kedua daerah
tersebut, dimana terjadinya pembunuhan (pembantaian) massal oleh anggota pasukan ADREV PRRI
(Permesta).
Karena pasukan ADREV PRRI (Permesta) sudah tidak lagi mendapatkan bantuan air-cover dari AUREV,
maka operasi/ekspedisi untuk menguasai Sulawesi Tengah, Balikpapan, kemudian menyeberang ke pulau Jawa,
terpaksa dibatalkan, dan dinyatakan gagal oleh Letkol D.J. Somba. Ia dan pasukannya kemudian
mengadakan perjalanan long march kembali ke Minahasa selama dua bulan, dengan membagi dua
pasukan yaitu satu menggunakan perahu (di Buol) dan lainnya berjalan kaki. Tiba di pelabuhan kecil
Kwandang (sebelah utara Kabupaten Gorontalo), sebagian pasukannya naik perahu menuju Minahasa, serta
sebagian lagi tetap melanjutkan perjalanan darat melewati Atinggola-Boroko di Bolmong. Setelah
mereka berada di daerah Sumalata-Bolmong, mereka dijemput dengan truk oleh pasukan Resimen (RTP)
Ular Hitam pimpinan Mayor Dolf Runturambi (pada bulan Juli 1958), dan baru tiba bulan Juli saat
Minahasa Utara telah dikuasai Tentara Pusat.
|
27 Mei 1958 |
Peristiwa tertembaknya pesawat yang dikemudikan Allan Lawrence Pope hari ini diumumkan
Pemerintah Pusat kepada pihak publik.
Alasan diumumkan kepada publik baru pada haru ini yaitu dengan maksud untuk tetap menjaga
kerahasiaan operasi di Morotai yang masih dalam tahap penuntasan.
Bersama� dengan Letkol Saleh Lahede, juga yang ditangkap hari ini adalah Mochtar Lintang, dan 3
orang sekutunya yang turut dalam perundingan dengan Kahar Muzakkhar yaitu Kapten W.G.J. Kaligis yang
bekerja di Sekretariat Team bantuan Pemerintah Militer dan erat hubungannya dengan Letkol Ventje
Sumual; Kapten Anwar Bey, anggota Korps kerohanian KADIT, dan Naziruddin Rachmat dari Inspektorat
Pendidikan Agama (yang dipimpin Mochtar Lintang).
Saleh Lahede dan Mochtar Lintang (keduanya termasuk dalam kabinet menteri PRRI) ditahan di Makassar
hingga November 1958, lalu mereka mula� dikirim ke Denpasar dan kemudian ke Madiun tempat mereka
ditahan hingga 1962. Ketiga orang yang ditangkap bersama� dengan mereka itu (Kaligis, Anwar Bey,
Naziruddin Rachmat), dr. Engelen, Bing Latumahina dan Sersan Mayor Pangkey pada tanggal 29 Mei
dikirim ke Jakarta dan ditahan di sana dan di Madiun hingga tahun 1962.
Jadi dalam sepekan, 15-23 Mei 1958, Permesta sudah tidak punya harapan lagi mendapat dukungan dari
Sulawesi Selatan.
|
Juni 1958 |
Menjelang bulan Juni 1958, kekuatan bersenjata Permesta seluruhnya ditaksir lebih dari 15.000
orang.
|
8 Juni 1958 |
Kota Manado mulai ditembaki oleh ALRI; dan AURI ikut serta menyerang Pelabuhan Udara Mapanget
di Manado, Tondano, dan Tomohon pada tanggal 11 dan 13 Juni.
|
13 Juni 1958 |
Pasukan� pemerintah, yang dirintis oleh RPKAD dan KKO, hari ini mulai mendarat di sebelah utara
kota Manado.
|
16 Juni 1958
|
Pendaratan pertama kali pasukan APRI secara besar�an di pantai Kema Minahasa dalam Komando
Operasi Merdeka dibawah pimpinan Letkol Inf. Roekmito Hendraningrat dengan sekitar 4.000 orang
prajuritnya. Pertempuran membendung Tentara Pusat ini dipimpin langsung oleh Kolonel Permesta Ventje
Sumual selaku Komandan Angkatan Darat Revolusioner (ADREV) PRRI, setelah ia kembali dari operasi
pembebasan pangkalan udara Morotai di Halmahera.
Overste D.J. Somba waktu itu masih dalam perjalanan long march dari Sulawesi Tengah bersama
pasukannya, setelah menarik diri dari kawasan itu.
Kapten Bert Supit diangkat pemerintah pusat sebagai bupati/Kepala Daerah Minahasa (KDM)
(menggantikan Laurens F. Saerang yang bergabung dengan Permesta) sampai tanggal 23 September 1958
karena menyatakan berhenti dan digantikan E. Alfianus (Nus) Kandou.
|
21 Juni 1958 |
Tanggal 21 dan 24 Juni dilakukan pendaratan pasukan APRI dari pantai Wori di Teluk Manado
(sebelah utara Manado) dengan kapal perang jenis korvet, dibawah tembakan KRI "Rajawali"
dibawah pimpinan Mayor (Overste?) John LIE dan beberapa peleton RPKAD dibawah pimpinan
Letnan I Leonardus Benyamin (Benny) MOERDANI serta Komandan B.T.P. KKO Mayor Tukiran.
Waperdam PRRI Joop Warouw kemudian memerintahkan agar orang mengungsi keluar dari kota Manado.
|
24 Juni 1958 |
Kota Airmadidi hari ini jatuh ke tangan Tentara Pusat.
|
26 Juni 1958 |
Gerakan pasukan APRI ini dihadang Mayor John Ottay selaku Komandan Komando Militer Daerah Kota Besar
(KMKB) Manado didampingi Mayor Willy (Wim) Joseph. Pukul 14.45 pasukan KKO masuk di kota Manado dari
jurusan Kairagi/Airmadidi. Menjelang malam, pusat kota di Jl. Samrat berhasil diduduki pasukan gabungan
APRI.
Pasukan Gabungan APRI tersebut sebelumnya ditahan 4 hari 4 malam di Jembatan Megawati, pintu gerbang
masuk ke kota Manado, yang direbut silih berganti oleh pasukan Permesta dan APRI.
Mayor John Ottay kemudian dikabarkan sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Tomohon karena mengalami
cedera pada bagian kaki, terkena tembakan dalam pertempuran tersebut.
Kemudian di tempat� seperti daerah operasi TNI di Kalasey, Togas, Koha, Tateli, Buloh, Mokupa,
Tanahwangko dan Lemoh, TNI maju dengan cepat dengan tembakan mortir atau kanon artileri sebagai
pembuka.
Serangan Tentara Pusat ini merupakan gabungan dari Bn. 517/Brawijaya pasukan "M" dibawah pimpinan
komandannya Mayor Suwarno dibantu oleh satuan� Artileri dibawah pimpinan Letnan Tulus.
Arus pengungsi dari kota Manado terlihat makin panik hari ini. Iring�an rombongan manusia
berjalan kaki sambil membawa barang apa adanya, tampak mengalir ke arah Selatan.
Setelah kota Manado jatuh, markas Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf ADREV PRRI dipindahkan dari Sario
ke Pineleng, kemudian dipindahkan lagi ke desa Sarongsong - Tomohon saat Pineleng jatuh ke tangan APRI.
|
Juli 1958 |
Pertahanan pasukan Permesta di garis Manado-Tomohon diperkuat kubu� yang berlapis� mulai dari
Warembungan sampai Tinoor. Situasi medan (topografi) sepanjang jalan raya yang menanjak ke kota
Tomohon sangat mendukung suatu kekuatan defensif
(Pengalaman pada waktu Perang Dunia II telah membuktikan hal ini. Gelombang serangan serdadu Jepang,
dari arah Manado menuju Tomohon, sangat kewalahan menembus kubu� pertahanan tentara KNIL waktu itu
pimpinan Letnan Andries S.Purukan yang disapu oleh tembakan dari sarang mitraliur tersebut).
Bunker beton (pill box) sisa Perang Dunia II itu masih tetap utuh dan dimanfaatkan pasukan
Permesta untuk membendung serangan TNI, dengan antara lain menggunakan senjata berat jenis
recoilless-gun (STB). Sudah berkali� tentara Pusat mencoba untuk menembus garis pertahanan
pasukan Permesta ini. Tapi baru di Warembungan, gerak maju tentara pusat sudah terhambat perlawanan
Permesta.
Pesawat Mustang AURI maupun Bomber AURI hampir setiap hari terbang meraung� di angkasa lalu
memuntahkan tembakan senapan mesin dan menjatuhkan bom roketnya di tempat� yang dianggap vital bagi
pertahanan pasukan Permesta. Sesekali pesawat� tersebut menjatuhkan selebaran pamflet (di lokasi
pasukan Permesta dan lokasi pengungsian penduduk) yang menyerukan agar Pasukan Permesta menyerah,
serta membujuk rakyat agar tetap tenang dan berjanji tak lama lagi akan dibebaskan oleh pasukan APRI.
Untuk menyalurkan logistik Pasukan Permesta di garis depan, di Talete didirikan dapur umum Permesta,
dan melakukan droping makanan di garis depan melalui sebuah mobil truk pengangkut makanan.
Serangan ke kota Tomohon akhirnya dialihkan ke arah Tondano lewat garis Airmadidi-Tanggari. Setelah
selama seminggu diserang, barulah Tondano jatuh ke tangan APRI pada akhir bulan Juli. Wilayah Tondano
pante ini dikuasai oleh Batalyon T pimpinan Mayor Togas.
Akhir bulan Juli, pengiriman persenjataan Permesta (PRRI) lanjutan, mulai berdatangan (membanjiri) dan
melengkapi senjata� pasukan Permesta yang lebih modern, yang didrop lewat darat maupun udara, yang
mana belum pernah dimiliki APRI.
Dengan beralihnya strategi dan taktik perang Permesta (PRRI di Sulawesi) dari sistem frontal atau
perang terbuka ke sistem perang gerilya, slagorde atau struktur organisasi militer Permesta juga
mengalami perubahan.
Struktur lama yaitu KDM-SUT yang berawal sejak medio 1957 ketika Territorium VII/Wirabuana
dilikuidasi, telah dipecah menjadi empat KDP (Komando Daerah Pertempuran).
Wilayah Operasi Daerah Minahasa, menjadi KDP II atau lebih populer dengan sebutan KDPM. Bekas
Panglima KDM-SUT Letkol D.J. Somba, menjadi Panglima KDPM. Wilayah KDPM dibagi dalam empat Wilayah
Militer yang dalam bahasa Jerman dinamakan Wherkreisse/WK. WK I menguasai wilayah Tonsea,
dengan Letkol Fred Bolang selaku Komandan WK bermarkas di sekitar Desa Pinilih (Komandan WK I
kemudian hari diganti oleh Letkol Agus Tuwaidan). WK II dipimpin Letkol John Ottay yang bermarkas di
sekitar Desa Sawangan menguasai wilayah Tondano dan sekitarnya, termasuk Pegunungan Lembean. Letkol
Wim Tenges menjadi Komandan WK III yang wilayahnya meliputi Tomohon, Remboken, Langowan, Kawangkoan
dan Tumpaan, bermarkas di Desa Suluun - Rumoong Atas. WK IV meliputi wilayah Tombatu, Ratahan,
Motoling dan Tompaso Baru, dengan komandan Letkol Joost A. Wuisan, bermarkas di sekitar Desa Keroit
- Motoling. Tiap WK dipecah lagi menjadi beeberapa Sub WK. Di wilayah KDPM seluruhnya terdapat 17 SWK
yang masing� menggunakan nama gunung setempat, merupakan basis gerilya pasukan Permesta. Karenanya
terdapat basis daerah gerilya seperti SWK Lokon, SWK Lengkoan, SWK Soputan, SWK Klabat, dan sebagainya.
Menurut perhitungan strategi perang gerilya Permesta, keampuhan pembentukan SWK sebagai basis daerah
kantong gerilya, ialah menjadikan daya tempur pasukan lebih efektif. Menurut estimasi, satu SWK setiap
hari minimal dapat menewaskan satu personil pasukan musuh. Ini berarti di wilayah KDPM setiap harinya
dapat ditewaskan 17 orang musuh, atau dalam sebulan 510 kepala.
|
1 Juli 1958 |
Pemerintah sipil sementara dibentuk untuk Manado dan Minahasa dibawah pimpinan Kapten Bert Supit;
dan pada 19 Juli E. Alfianus (Nus) Kandou, pimpinan PNI di Minahasa, diangkat menjadi sekretaris
pemerintahan militer itu. Pada tanggal 23 September Nus Kandou diangkat menjadi penjabat Kepala
Daerah Minahasa dan Jan Piet Mongula (dari PKI) diangkat menjadi penjabat Walikota Manado.
|
2 Juli 1958 |
Seruan Badan Pekerja Sinode GMIM disiarkan via Radio Permesta supaya perang saudara dengan
pembunuhan dan penumpahan darah di tanah Minahasa yang tanah Kristen, yang telah berlangsung dalam
waktu 14 hari terakhir, agar segera berakhir. Juga diserukan agar diusahakan jalan pertemuan dan
perundingan untuk penyelesaian persoalan-persengketaan Pusat dan Daerah Minahasa. Seruan ini
ditandatangani oleh Ketua BPS GMIM Ds. A.Z.R. Wenas dan Panitera (Sekum) P.W. Sambow.
Beliau kelak berjasa dalam penghubung dalam rangka Perdamaian antara Permesta dan Tentara
Pusat.
|
12 Juli 1958 (?) |
Hari ini terjadi letusan dari kawah Gunung Mahawu yang beristirahat sejak tahun 1904.
(Laporan Letusan G.Api Mahawu tanggal 12 Djuli 1958, djam 22.44, oleh M. Pantouw, Direktorat
Geologi RI - 1959).
|
21 Juli 1958 |
|
sebuah kompi yg menyerah di Tondano |
Kota Tondano hari ini jatuh ke tangan TNI, 26 hari setelah kota Manado jatuh. Arah gerak maju pasukan
Tentara Pusat sudah dialihkan dari Manado menuju Tomohon, ke jalur Airmadidi, Tanggari, Tondano dan
kemudian Tomohon.
|
23 Juli 1958 |
Dalam sebuah artikel harian Republik terbitan hari ini, menulis:
Alex Kawilarang ketika menyaksikan daya tempur Permesta di dalam mempertahankan kota Manado, ia
merasa tertipu. Dengan nada kesal dan tersenyum sinis, Kawilarang berkata: "Saja merasa tertipu,
kamu orang semua sudah kaja, ja..."
|
25 Juli 1958 |
Letkol D.J. Somba hari ini tiba di Minahasa, setelah mengadakan perjalanan jauh
long march dari Sulawesi Tengah, dan menggunakan beberapa truk dari Bolmong.
|
28 Juli 1958 |
Perdana Menteri RI Ir Djuanda dalam Sidang Pleno DPR DPR tanggal 28 Juli dan 16 Agustus, mengatakan
bahwa Pemerintah Pusat telah mengambil tindakan� dan melakukan usaha� untuk menumpas PRRI dan Permesta.
|
29 Juli 1958 (ralat tgl) |
Rapat Staf Komando Permesta yang masih berada di Tomohon diadakan malam hari ini di markas
komando KDP II di desa Sarongsong, dibawah pimpinan Overste D.J. Somba yang saat itu baru
tiba dari Sulawesi Tengah.
D.J. Somba dalam slagorde baru pasukan Permesta telah menjadi Panglima KDP II Minahasa. Anehnya
Mayor F.H.L.W. (Eddy) Mongdong selaku Komandan Sektor III yang punya peran dan tanggung jawab besar
untuk mempertahankan kota Tomohon, malam itu tidak tampak dalam rapat.
Kota Tomohon sendiri berstatus KDG (Komando Daerah Garnisun) dengan Komandannya Kapten Lantang yang
bermarkas di dekat Kateluan Park - Tomohon.
|
Gunung Mahawu dilihat dari udara/Selatan |
Hari ini terjadi letusan dari kawah Gunung Mahawu yang beristirahat sejak tahun 1904.
Letusan ini terjadi pada pukul 22.44 waktu setempat selama 40 menit dengan nyala api yang sangat
besar sehingga cahaya terangnya sampai ke desa Kakaskasen bahkan ke kota Tomohon. Sebelumnya
tampak angin kencang dengan kilat listrik/petir serta suara gemuruh. Gejala pendahuluan tidak
diketahui secara pasti karena pada saat tersebut, Gunung Lokon juga sedang giat mengalami letusan
yang telah dimulai sejak awal pergolakan tahun ini. Letusan berlangsung singkat, terekam oleh
seismograf mekanik yang mencatat getaran letusan selama 76 menit. Titik letusan ada di dasar kawah
puncak sebelah utara. Bahan letusannya disemburkan agak miring ke selatan. Akibat letusan, hutan
di sekitar puncaknya hancur terlanda jatuhan lumpur belerang dan bongkahan lava (bongkahan lava
lama), yang meluas ke arah selatan berjarak sekitar 700 m (hutan yang dirusak oleh letusan ini �10
km�). Semua lumpur dilontarkan hingga sejauh 3 km dari kawahnya.
Lahar lumpur belerang panas dari kawah
Gunung Mahawu
melewati desa Kakaskasen, memotong jalan antara Tomohon-Manado dan mencapai Kali (Sosoan)
Ranowangko serta melanda tempat pengungsian penduduk di lereng gunung tersebut. Korban saat itu
adalah sepuluh orang luka� dan seorang ibu meninggal akibat lumpur panas tersebut.
Konon, letusan tersebut dipercaya orang akibat amarah dewa Minahasa (opo) akibat
pengkhianatan Mayor F.H.L.W. (Eddy) Mongdong (selaku Komandan Sektor III wilayah sekitar Tomohon)
terhadap Permesta.
(Sumber lain mengatakan bahwa letusan Mahawu dan Rapat Staf Komando KDP II di Sarongsong
terjadi sehari sebelum Tomohon jatuh ke tangan Tentara Pusat (TNI) atas penyerahan diri
Mayor Eddy Mongdong dan pasukan pertahanannya.)
|
6 Agustus 1958 |
Hari ini, Mayor Eddy Mongdong mengirimkan seorang kurir kepada pasukan Tentara Pusat dari
kesatuan Diponegoro di Tondano yang sedang bersiap� menyerang Tomohon untuk memberitahukan pasukan
tersebut, dia dan 1.500 orang dalam Sektor III-nya bersedia menyerah kepada pasukan pemerintah.
Mayor Eddy Mongdong mempengaruhi para anggota pasukannya termasuk KNIL untuk bergabung dengan TNI.
Ia mengatakan bahwa Alex Kawilaranglah yang menyuruhnya untuk bergabung dengan itu. Hal inilah
yang menyebabkan timbul kecurigaan kepada Alex Kawilarang, yang memuncak pada pertemuan 17 Agustus
di Kiawa. Meskipun demikian, Jenderal Alex Kawilarang menolak tuduhan semacam itu. Menurut perwira
Permesta lainnya, Mayor Eddy Mongdong sengaja menggunakan nama Alex Kawilarang, karena pengaruh,
nama besar, serta wibawa Alex Kawilarang diantara pasukannya, baik TNI dan Permesta sangat besar.
|
10 Agustus 1958 |
|
Pasukan yang membelot |
Di Warembungan pada hari ini sekitar 200 orang anak buah Mayor Mongdong menyerahkan diri.
Sebelumnya sudah terjadi beberapa kali penggabungan / penyerahan diri ("pengkhianatan / pembelotan")
pasukan dari Sektor III/Lokon.
|
13 Agustus 1958 |
Washington, D.C. mengadakan perjanjian ekonomi dengan Pemerintah Pusat di Jakarta.
Sejak saat itu, bantuan tenaga teknis dari Amerika Serikat di Minahasa serentak ditarik.
|
14 Agustus 1958 |
Pasukan Permesta hari ini mengadakan serangan balasan dengan menyerang Pineleng, sebagai daerah
bekas markas besar Permesta tersebut.
Provinsi Sunda Kecil dimekarkan menjadi provinsi Bali,
Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur berdasarkan UU No. 64/1958.
Pelaksanaannya nanti pada bulan Oktober 1958.
|
15 Agustus 1958 |
Sehari sebelum insiden Kasuang yang membuka topeng Mayor Mongdong, Letkol D.J. Somba masih
sempat mengunjungi kubu pertahanan Tomohon dan memberikan instruksi kepada Mayor Eddy Mongdong,
supaya pertahanan ditingkatkan berhubung dengan jatuhnya Tondano ke tangan musuh. Malah, Mayor
Eddy Mongdong masih turut memberikan petunjuk dan dorongan kepada pasukannya, supaya semangat
perjuangan mereka ditingkatkan.
Rapat Staf Komando Permesta yang masih berada di Tomohon diadakan malam hari ini di markas
komando KDP II di desa Sarongsong, dibawah pimpinan Overste D.J. Somba yang saat itu baru
tiba dari Sulawesi Tengah.
D.J. Somba dalam slagorde baru pasukan Permesta telah menjadi Panglima KDP II Minahasa. Anehnya
Mayor F.H.L.W. (Eddy) Mongdong selaku Komandan Sektor III yang punya peran dan tanggung jawab besar
untuk mempertahankan kota Tomohon, malam itu tidak tampak dalam rapat.
Kota Tomohon sendiri berstatus KDG (Komando Daerah Garnisun) dengan Komandannya Kapten Lantang yang
bermarkas di dekat Kateluan Park - Tomohon.
|
16 Agustus 1958 |
Mayor F.H.L.W. (Eddy) MONGDONG, Komandan SWK III/Lokon Permesta dan pasukannya menyerahkan diri
kepada APRI ("Tentara Pusat").
Tentara APRI (TNI) pagi ini masuk dan menduduki kota Tomohon lewat Rurukan dengan leluasa yang
dijemput oleh Dan SWK III/Lokon - Mayor F.H.L.W. (Eddy) Mongdong bersama pasukan inti pengawalnya
Kompi Lokon dengan Komandannya Piter Tumurang. Sebagian besar anggota pasukan Mayor Eddy Mongdong
menyerahkan diri kepada TNI lengkap dengan persenjataan yang ada. Pasukan APRI yang masuk kota
Tomohon ini berasal dari Bn. 501/Brawijaya dibawah pimpinan Mayor Sumadi.
Kasus pengkhianatan/pembelotan Mayor Eddy Mongdong sangat mempengaruhi moril dan materil Permesta.
Sekitar 600 orang pasukannya juga ikut, bersama� dengan senjata� recoillesss-gun 75 mm,
mitraliur 12,7 mm dan mortir dalam jumlah yang begitu besar. Kota Tomohon memang ditargetkan untuk
menjadi benteng pertahanan Permesta terkuat karena begitu strategis letaknya. Kubu pertahanan
kota Tomohon saat itu dianggap terbaik dan terkuat di wilayah Permesta.
Di daerah Kasuang (perbatasan Tomohon dan Tondano) terjadi "Peristiwa Kasuang", yaitu kontak
senjata antara pasukan APRI dengan pasukan pengawal Letkol Dolf Runturambi, Komandan KDP
III/Bolmong-Gorontalo. Dalam peristiwa ini, Letkol Dolf Runturambi dikabarkan tewas. Kontak senjata
itu terjadi secara tiba�, ketika kedua pasukan berpapasan secara mendadak. Pagi itu Kolonel Dolf
Runturambi bersama pengawalnya yaitu 7 orang anggota Corps Tentara Peladjar (CTP) yang dipimpin
Sersan Mayor Bolu Kindangen, dan diikuti juga oleh Kapten Nontji Gerungan, Kapten Herman R, dan
adiknya Freddie Runturambi sedang mengendarai kendaraan Jeep Komando menuju Tondano, karena mengira
waktu itu pasukan Permesta (PRRI) masih menguasai wilayah Tataaran sampai desa Koya. Di desa Kaaten,
yaitu batas kota Tomohon sekitar pukul 09.00. Rombongan KDP III, yang langsung membalas teriakan awak
tank TNI dalam logat Ambon: "Eh ale, apa itu tentara Permesta?" dengan senjata bregun dan
beberapa pistol mitraliur Swedia pasukan pengawal KDP III. Pasukan TNI yang membawa tank bersama
pasukan infanteri kemudian menyerang dengan senjata mesin dan kanon dari tank.
Siang itu rombongan menyingkir ke posko KDP II di Sarongsong. Panglima Besar Alex Kawilarang dan
stafnya meninggalkan daerah Kinilow-Kakaskasen menuju Kawangkoan via Tomohon, sempat singgah di
posko KDP II dan berkata kepada Yus Somba di depan posko: "Hei Somba, Dolf telah tewas, dan
jip komandonya hancur kena tembakan kanon tank musuh, sedang nasib anak buahnya belum diketahui."
Namun, saat itu Letkol Dolf Runturambi sedang berada di dalam ruang kerja Yus Somba, dan kaget saat
diajak Somba masuk ruangan, lalu berkata: "En zij rapporteren mij, dat je gesneuveld bent in
Kasuang bij een overval op weg naar Tondano." (Mereka -Tentara Pusat- melaporkan, bahwa
anda sudah gugur pada suatu sergapan di Kasuang dalam perjalanan ke Tondano).
Di wilayah Sektor III Permesta dalam beberapa hari sebelumnya, ada perintah bahwa semua pasukan
Permesta menjelang hari Proklamasi 17 Agustus, harus mengenakan pita merah putih sebagai kode.
Ternyata pita merah putih itu adalah kode kesepakatan antara Mayor Eddy Mongdong dan TNI sebagai
tanda pengenal pasukan Permesta yang akan bergabung dengan TNI. Karenanya semua pasukan Permesta
yang masih setia, segera diperintahkan menanggalkan pita merah putih tersebut.
Mayor Eddy Mongong ketika itu juga menjadi pusat caci-maki semua pasukan Permesta yang terpaksa
harus meninggalkan kota Tomohon bergerak menuju daerah Selatan dan dicap sebagai pengkhianat Permesta
yang menjual Tomohon, yang adalah kampung halamannya sendiri.
Sore ini, rombongan eksodus yang terdiri dari penduduk pro-Permesta maupun Pasukan Permesta bergerak
ke arah Selatan dan memadati jalan raya Tomohon - Kawangkoan - Amurang - Motoling. Fanatisme Permesta
masih tercermin dari eksodus ini. Ikut pula dalam eksodus ini empat buah panser Permesta bercat
loreng yang masing� diberi nama gunung yang ada di Minahasa seperti Kalabat, Lokon, dan Soputan,
yang sudah tidak dapat dioperasikan lagi karena telah kehabisan bahan bakar. Dalam eksodus ini,
banyak orang yang ditangkap dan ditahan sebagai mata� musuh, atau mereka yang punya niat bergabung
dengan pihak lawan. Tugas ini ditangani oleh pasukan Combat yang dipimpin Letnan Sam Langi, dan
dikenal sebagai Combat Langi.
Konsul Filipina, Mr. Renato Valensia bersama Nyonya Maria bersama ketiga putra-putrinya, mengungsi
dari Manado ke Sonder dan mendirikan kantor Konsulat darurat di sana. Filipina membuka konsulat
pertama di zaman Permesta, dengan mengontrak rumah Keluarga Tambuwun asal Sonder di wilayah
Titiwungen Manado.
Dari desa Leilem sudah terdengar ledakan� dasyat yang berasal dari pemusnahan gudang mesiu bawah
tanah yang terdapat di desa Kiawa. Pemusnahan mesiu itu dilakukan karena tak sempat diangkut ke
wilayah Selatan. Daripada mesiu� itu jatuh ke tangan Pasukan APRI (TNI), lebih baik dimusnahkan.
Hal ini membuktikan bahwa pimpinan Permesta waktu itu, tak menduga sama sekali bahwa Tomohon sudah
akan jatuh ke tangan Pasukan TNI dalam waktu secepat itu. Ledakan pemusnahan gudang mesiu di desa
Kiawa ini berlangsung dari pagi hingga malam hari.
|
17 Agustus 1958 |
Hari ini di Kiawa, diadakan pertemuan antara Waperdam (Wakil Perdana Menteri/WPM) Joop Warouw,
Panglima Besar PRRI Mayor Jenderal Alex Kawilarang, Kepala Staf ADREV PRRI Brigadier Jenderal HN
Ventje Sumual dan Panglima KDP II Letkol D.J. Somba, dan Panglima KDP III Letkol Dolf Runturambi.
Pertemuan ini untuk membahas masalah pengkhianatan Mayor Eddy Mongdong dan berita tewasnya Komandan
KDP III Dolf Runturambi dalam Peristiwa Kasuang. Letkol Dolf Runturambi pagi itu berada di Sonder,
dan dijemput Yus Somba dengan mobil.
Pertemuan itu digambarkan bahwa suasana saat itu tegang, karena ada tuduhan yang dialamatkan kepada
Panglima Besar Alex Kawilarang berdasarkan saksi anggota Mobrig (Brimob sekarang) Pitoy yang
melarikan diri dari pasukan Mayor Mongdong ketika akan bergabung dengan pasukan TNI di Rurukan.
Sebelum Letkol Dolf Runturambi dijemput dari Sonder, KSAD Ventje Sumual mengancam akan menembak mati
Panglima Besar Alex Kawilarang, apabila memang benar Letkol Dolf Runturambi tewas di daerah Kasuang.
Akhirnya rapat tersebut ditutup, dan kasus pengkhianatan Mayor Eddy Mongdong akan langsung diurus
sendiri oleh atasan, yaitu Waperdam/Menteri Pertahanan ad interim PRRI Joop Warouw.
Kolonel Joop Warouw menyusun naskah bertanggal hari ini yang berjudul "Azas� dan tudjuan perdjoangan
PRRI".
Hari ini (atau tanggal 1 Agustus sebelumnya), Perguruan Tinggi Manado (PTM) berdiri di bekas
Universitas Permesta dengan 4 fakultas (Fakultas Hukum, Ekonomi, Sastra, & Tatapradja), atas inisiatif
dari masyarakat Sulutteng dan tokoh� masyarakat, yaitu Kapten TNI Bert A. Supit (Bupati Minahasa),
E. Alfianus (Nus) Kandou (Ketua PNI Sulutteng), dr R.D. Kandou (Kepala Rumah Sakit Umum Manado), F.J.
Gerungan SH, Dr W.F.J.B. Tooy, Pastoor Dr Th. Lumanauw, Dr Kaligis, Dr W.J. Ratulangi, dr Letkol TNI
Sien Tjoan Po, Drs R.H. Lalisang, Jan Piet Mongula (Walikota Manado).
Bulan Oktober berganti nama menjadi Universitas Sulawesi Utara Tengah (UNSUT), lalu tahun 1960 menjadi
UNISUT kemudian pada tanggal 4 Juli 1961 menjadi UNSULUTENG. Tahun 1963, Fakultas Pertanian dan
Peternakan dipisahkan, Agustus 1964 berdiri Fakultas Sosial Politik, 1 September 1964 berdiri pula
Fakultas Teknik. Tanggal 14 september 1965 dengan SK Presiden No. 277/1965 UNSULTTENG diubah menjadi
Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) dengan 7 fakultasnya dan tahun 1965 diresmikan pula Fakultas
Sastra. Kemudian bertambah Fakultas Perikanan.
|
19 Agustus 1958 |
Langowan berhasil diduduki APRI dari kesatuan KKO pimpinan Mayor Ali Sadikin yang bertempur
selama 2½ hari (sebelumnya direncanakan akan memakan waktu 6 hari). Bom� milik Permesta
seberat 50-100 kg yang bertaburan di Lapangan Tasuka, rumah� dan di tepi jalan disita APRI. Juga
berhasil disita sebuah truck, 2 oto pick up, 3 jeep dan sebuah sepeda motor milik PRRI (Permesta).
|
23 Agustus 1958 |
Komando Daerah Militer Sulawesi Utara-Tengah (KDM-SUT) resmi dibubarkan hari ini.
Sebagai penggantinya, didirikanlah Komando Daerah Militer XIII (KODAM XIII) Merdeka.
|
25 Agustus 1958 |
Kawangkoan berhasil diduduki APRI dan Bn. 513/Divisi Brawijaya dipimpin Mayor Sudarmin setelah
sebelumnya mengadakan pembersihan di daerah Remboken, Parepei, Pulutan & Tondegesan. Pasukan APRI
pimpinan Mayor Kusworo yang bergerak ke arah Sonder, berhasil menemukan 25 peti peluru berbagai
ukuran di rumah orang tua Overste D.J. Somba.
|
23 September 1958 |
(Tanahwangko berhasil direbut pasukan APRI.) |
25 September 1958 |
Amurang digempur dari arah laut oleh pasukan KKO. Kemudian pasukan KKO pimpinan Mayor Ali Sadikin
tersebut berhasil mendaratkan pasukannya dan menduduki kota Amurang. Untuk mengenangnya, didirikanlah
Tugu Pembebasan kota Amurang oleh Pasukan KKO yang terletak di simpang empat kota Amurang di Uwuran
yaitu persimpangan menuju Tombatu.
|
Amurang diduduki KKO ALRI |
Kota Amurang ini sebelumnya merupakan titik konsolidasi pasukan Permesta yang datang dari Minahasa
Utara dan Tengah, sekaligus merupakan kota transit untuk menuju ke wilayah Minahasa Selatan dan
Bolaang Mongondow.
Sejak saat itu, secara de facto wilayah Minahasa Selatan yang meliputi garis Ratahan -
Tombatu - Motoling - Tompaso Baru yang memiliki kawasan hutan cukup lebat dan luas, masih utuh di
tangan kekuasaan Permesta, dan sangat strategis dijadikan tempat rendezvous dalam taktik
perang gerilya.
|
Oktober 1958 |
Bulan ini dihasilkannya "Muktamar Tambelang", yang dilaksanakan di Tambelang, Tompaso Baru
dimana Pemerintah Revolusioner RI (PRRI) mengajak lapisan rakyat berjuang menyusun bersama
pemerintah PRRI hal� yang perlu untuk memenangkan perjuangan PRRI dan memusnahkan rejim Soekarno cs.
Ada 3 golongan yang terbagi dalam visi dan misi Permesta:
(1) golongan yang ingin mempertahankan gagasan PRRI dan Permesta
yang hanya menuntut sistem pemerintahan Indonesia.
Golongan ini dipimpin oleh Kepala Pemerintahan Sipil PRRI di Sulawesi Kol.J.F. Warouw.
(2) golongan yang tidak jelas tujuannya
Golongan ini terutama Pasukan Triple Ninenya Jan Timbuleng,
yang dulunya adalah PPK (Pasukan Pembela Keadilan) yang dikenal sebagai
pasukan pengacau keamanan /GPK di daerah Minahasa sebelum Pergolakan Permesta.
(3) golongan yang menghendaki untuk menggabungkan diri kembali dengan APRI (Angkatan Perang RI).
|
Desember 1958 |
16 pesawat AUREV PRRI/Permesta di Pangkalan AS Clark Airfield
di Manila Filipina dipindahkan keluar dari sana oleh Amerika Serikat.
Diantara pesawat terbang itu, terdapat pesawat B-29 Bomber, P-54 (Mustang), dan B-26 Invander.
|
4 Desember 1958 |
Ada 8 kali penerbangan gelap di atas Kalimantan Barat yaitu di atas
Pangkalan Udara AURI Singkawang dan Kota Ledo dalam waktu 9 hari di ketinggian 3.000-7.000 kaki.
Peristiwa itu terjadi tanggal 4 Des (2x penerbangan), 5 Des (2x), 9 Des, 10 Des, 13 Des (2x).
|
awal Januari 1959 |
Setelah kiriman� senjata, amunisi dan perbekalan militer yang diangkut oleh kapal yang
berlabuh di Labuan Uki yang merupakan sebuah teluk di pantai sebelah Barat Bolmong yang terlindung
dari udara dan laut. Di tempat ini, pembongkaran dan pemuatan mudah dilakukan. Kapal dapat merapat
pada tebing� pantai yang cukup terjal. Airnya dalam dan tenang, sehingga tidak ada kekuatiran kapal
akan kandas. Di tempat itu pernah digunakan kapal perang Jerman "Von Emden" pada Perang Dunia I
untuk bersembunyi dari kejaran kapal� perang Sekutu sampai akhirnya selamat dari kejaran tersebut.
Di tempat ini pula, kapal "Black Snake" (nama aslinya "Seabird") ditenggelamkan bulan ini karena
hampir ketahuan 3 kapal perang ALRI dengan beberapa pesawat AURI yang mengawasi perairan itu.
Senjata� dan amunisi seperti pistol mitraliur (PM) eks Swedia, bregun, mitraliur dengan ban�
pelurunya @ 250 butir, basoka, recoilless-gun 75 mm, mortir, senjata� panjang, mitraliur 12,7
dan pom-pom dengan amunisinya. Sejumlah tertentu dari senjata dan amunisi tersebut diambil oleh
KASD Brigjen Ventje Sumual, yang cukup untuk memperlengkapi satu resimen tempur untuk mengadakan
pertempuran frontal. Sisanya diperuntukkan bagi pasukan� gerilya.
Akibatnya, ada kesatuan yang membutuhkan senjata dan amunisi untuk dua kompi, tetapi yang diperoleh
hanya perlengkapan untuk satu kompi dan ada juga kesatuan yang sama sekali tidak memperoleh senjata
sepucuk pun. Dengan sendirinya mereka sangat kecewa. Mereka sudah menempuh puluhan bahkan ratusan
kilometer secara sia�. Biasanya, mereka melampiaskan kesalahannya dengan sumpah serapah, maki� dan
ancaman. Sejak diadakan pembagian senjata, daerah KDP III dibawah komando Kolonel Dolf Runturambi
semakin sering mendapatkan kunjungan pasukan�, tidak hanya untuk meminta atau menerima pembagian
tetapi juga untuk merampas ternak dan bahan makanan rakyat. Perbuatan mereka telah menimbulkan rasa
kecewa, amarah dan tidak percaya pada Permesta dari kalangan penduduk setempat (Bolmong).
|
15 Februari 1959 |
Reorganisasi susunan pemerintahan PRRI dimana
Brigjen TNI Alexander Evert KAWILARANG
kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Perang dengan pangkat Jenderal Mayor.
Walaupun demikian, Alex Kawilarang tidak pernah menerima/menghendaki jabatan itu. Ia lebih menyukai
disebut sebagai Panglima Besar Permesta ketimbang Panglima Besar PRRI.
Gayanya dalam berpakaian adalah dengan memakai celana pendek dengan sendal jepit. Akibatnya, pernah
ia dilucuti jam tangannya oleh bawahannya yang tidak mengetahui siapa yang dihadapinya itu. Meskipun
demikian, wibawanya terhadap pasukannya sangat tinggi, dan ia sangat dihormati dan disegani oleh
seluruh pasukan Permesta.
|
17 Februari 1959 |
Serangan Umum besar�an pasukan Permesta (PRRI) serantak di Minahasa yang diberi nama
"Operation Djakarta Special One"
atau "Operasi Jakarta Spesial I".
Sasaran dari serangan itu adalah menduduki tempat� strategis seperti kota Kawangkoan, Langowan,
Tondano dan Amurang-Tumpaan dan menghancurkan sarana� personil dan materiil lawan, senjata� berat,
panser�, artileri dan bahan� logistiknya, seperti bensin, solar dan amunisi.
Perintah penyerangan "Jakarta Spesial I" berbunyi:
- Kekuatan lawan di Kawangkoan dan desa� seekitarnya, diperkirakan satu resimen tim tempur dengan
senjata� bantuan pesawat AURI, artileri, mortir 80 mm, mitraliur 12,7 m dan panser.
- Kekuatan Permesta untuk menyerang Kawangkkoan terdiri dari: Bn.Q, Bn.T dan Bn.O masing� dipimpin
Mayor J. Lumingkewas, Kapten Boetje Togas dan Kapten David Pantouw, ditambah satu batalyon dari
WK-III. Senjata� beratnya terdiri dari 2 recoillesss-gun 75 mm untuk menghancurkan kubu�
pertahanan lawan di Bukit Emung - di selatan Kawangkoan, kendaraan panser, sarang� mitraliur dan
basoka yang dibangun di sekitar bukit itu. Di suatu tempat strategis di dekat jalan raya Tareran -
Kayuuwi, ditempatkan dua recoillesss-gun 75 mm dan satu mitraliur 12,7 mm.
- Sasaran pasukan� sayap: menyerang Amurangg dan Tumpaan dengan 500 orang anggota Brigade 999 dibawah
pimpinan Letkol Yoost Wuisan. Sementara itu Langowan diserang oleh pasukan Laurens Saerang (Brigade
Manguni), sedang Tomohon dibawah koordinasi Kolonel D.J. Somba dengan tujuan utama, supaya Tomohon
tidak dapat memberi bantuan pada Kawangkoan.
- Pada hari H, yaitu, tanggal 17 Februari 11959, semua satuan di seluruh WK� harus secara serentak
mengadakan serangan terhadap semua pos� yang berada di daerah operasi masing�.
Serangan inti terhadap Kawangkoan dan sekitarnya dipimpin oleh Kolonel Dolf Runturambi. Konsentrasi
pasukan diadakan di sekitar Kotamenara dekat Gunung Soputan. Pada hari H, satu jam sebelum waktu
yang ditentukan untuk bergerak, semua pasukan tempur sudah siap di garis awal masing�.
- Hari H adalah tanggal 17 Februari 1959; wwaktunya pukul 04.00.
Alat komunikasi yang ada dengan posko "Jakarta Spesial I" Ventje Sumual code X, posko serangan inti
Kolonel Dolf Runturambi code X2, posko Kolonel D.J. (Yus) Somba code X3 dan posko Letkol Joost A.
Wuisan code X4.
Selanjutnya, Gerakan Operasi "Operation Jakarta Special One" ini dibagi dua:
* Daerah Pertempuran A: Mencakup Minahasa Utara yang berbatasan dengan garis Kawangkoan-Tumpaan
dibawah komando Kolonel D.J. Somba (Dan KDP II)
* Daerah Pertempuran B: Mencakup Minahasa Selatan dengan batas dari garis jalan raya
Amurang-Kawangkoan-Langowan, dibawah komando Letkol Dolf Runturambi (Dan KDP III)
Ada beberapa kota yang berhasil diduduki pasukan Permesta selama beberapa jam seperti Kawangkoan,
Amurang, dll. Menjelang tengah hari, bala bantuan pusat dengan mengerahkan panser� dibawah
perlindungan air-cover pesawat� AURI. Menjelang sore, bala bantuan TNI sudah tiba di
Kawangkoan. Korban yang terbanyak di desa Kayuuwi Kawangkoan dimana ada 14 orang dalam Bn. Y yang
dikomandoi Mayor Baybay, 12 orang dari Bn. T Boetje Togas, selain beberapa lagi dari Brigade Manguni.
Tujuan serangan ini adalah juga untuk memberi moril kepada pasukan PRRI di Sumatera.
|
18 Februari 1959 |
"Operasi Jakarta Spesial I" Hari H ke-2.
Setelah Bn.Q, Bn.T, Bn.O serta pasukan WK-III Letkol Wim Tenges yang tetap bertahan di garis awal,
mengadakan serangan kedua yang ditentukan diadakan pada hari H kedua, pukul 04.00 sesuai dengan
tujuan yang sama dengan hari H pertama "Operasi Jakarta Spesial I". Pasukan� Permesta menduduki kota
Kawangkoan dan banyak menimbulkan kerugian kepada pihak lawan, tapi tidak berusaha mendudukinya,
sedangkan perebutan Bukit Emung oleh Bn.Q sekali lagi gagal. Pasukan Permesta kemudian mundur pada
pukul 11.30, tetapi tetap bertahan di sekitarnya menunggu instruksi selanjutnya.
|
19 Februari 1959 |
"Operasi Jakarta Spesial I" Hari H ke-3.
Pukul 14.00 diadakan serangan terhadap Rumoong Atas (Tareran) yang diduduki oleh satu kompi Tentara
Pusat dengan senjata bantuan 1 peleton panser. Serangan ini dipimpin oleh Komandan KDP III Kolonel
Dolf Runturambi yang diperbantukan dari Bolmong. Tareran dihujani dengan roket� 75 mm dan pasukan
WK-III Letkol Wim Tenges diperintahkan menduduki kota itu. Namun di berbagai sudut kota, terdapat
pertahanan Tentara Pusat berupa panser� yang terlindung dari recoilles-gun, selain pesawat
AURI.
Setelah malam hari pasukan Permesta meninggalkan daerah pertempuran dengan hasil yang tidak memuaskan.
Meskipun kerugian dari pihak Tentara Pusat sangat besar, tapi Permesta juga cukup banyak memberikan
korban jiwa dan material. Batalyon T pimpinan Boetje Togas kehilangan 8 orang dan 4 orang luka berat
dan ringan, Batalyon Q pimpinan Mayor J. Lumingkewas gugur satu orang dan luka satu orang, pasukan
Corps Tentara Peladjar (CTP) dari WK-III Letkol Wim Tenges satu orang luka ringan yaitu Nicky Nelwan.
Menurut keterangan penduduk, banyak anggota pasukan Tentara Pusat yang gugur dan luka berat disamping
hilangya perbekalan mereka yang sangat besar.
Setelah malam hari, pasukan dikumpulkan, meninggalkan daerah pertempuran dengan hasil yang tidak
memuaskan. Dari Bn.T (Mayor Boetje Togas) kehilangan 8 orang dan 4 orang luka berat dan ringan, Bn.Q
gugur satu orang dan luka ringan satu orang, CTP dari WK-III Letkol Wim Tenges satu orang luka
ringan, yaitu Nicky Nelwan. Sedangkan di pihak lawan (TNI), menurut keterangan penduduk, banyak yang
gugur dan luka berat disamping hilangnya perbekalan yang sangat besar.
Dalam serangan selama tiga hari ini, Batalyon T (Batalyon Togas) dapat mengusir TNI dari desa�
antara Tondegesan dan Remboken. Mereka lari ke Tondano. Kemudian Bn. Togas meminta untuk tetap
tinggal di daerah ini, dan tidak ingin kembali lagi ke daerah KDP III di Bolmong.
Pasukan Permesta kehilangan lebih dari seratus orang dalam serangan umum "Operasi Jakarta Spesial I"
ini. Ironisnya, KSAD Brigjen Ventje Sumual sendiri justru tidak ikut terjun langsung dalam Operasi
Serangam Umum "Operation Special One" tersebut.
Tujuan utama dari serangan ini gagal dilaksanakan, yaitu menguasai point� (titik�) strategis seperti
Bukit Emung di Kawangkoan, sedangkan Langowan hanya sempat dikuasai selama beberapa jam saja.
Tujuan lain adalah untuk meningkatkan moril PRRI di Sumatera dan untuk memukul moril pasukan Tentara
Pusat.
|
21 Maret 1959 |
Sebuah universitas Sulawesi Utara dan Tengah telah dibuka di Manado (IKIP Manado) dengan dukungan
Kodam XIII/Merdeka, dan diperkirakan banyak tentara muda Permesta akan diterima sebagai mahasiswa di
perguruan itu.
|
Mei 1959 |
|
Ventje Sumual dlm sebuah rapat di hutan |
Pada pertengahan bulan, APRI membangun serangan besar�an untuk merebut daerah Minahasa
Selatan dengan menggempur Motoling dari arah Amurang, serta Ratahan dari jurusan Langowan yang
akhirnya berhasil diduduki dan diperlengkapi dengan senjata berat terbaru buatan Ceko, Rocket
Launcher 32 laras (yang oleh Permesta disebut "32 loop") yang uji cobanya untuk
menggayang Permesta (PRRI di Sulawesi). Rocket Launcher 30mm ini dipersenjatai pada
Bn. Armed (Art.) 9.
Desa Liwutung (Markas Panglima Tertinggi/KSAD Permesta berada di desa Towuntu di ujung desa
Liwutung), Molompar, Mundung, Kuyanga, sampai Tombatu dibumihanguskan oleh Pasukan Permesta sebelum
bergerak mundur. Kemudian Tombatu berhasil diduduki APRI.
Selama Pergolakan Permesta, tidak kurang 150 desa di daerah Minahasa mengalami taktik bumihangus
oleh kedua belah pihak.
Di desa Liwutung ini juga terdapat pabrik minuman keras merek anggur Welpon yang sangat laris dan
dikenal di wilayah Permesta.
Di selatan wilayah gerilya Permesta, juga pernah beredar dua buah merek rokok yang diambil dari
sebuah kapal yang berlabuh/kandas di pantai Batu Kapal, Sinonsayang, dimana satu diantaranya
adalah rokok dengan merek "Permesta".
Dapat dicatat di sini adalah dibajaknya kapal asing bernama MV. Norse Lady, oleh Pasukan Permesta
dari Batalyon Q pimpinan Mayor J. Lumingkewas dari Pelabuhan Parigi di Sulawesi Tengah bulan April
1958. Pasukan Bn. Q dan sejumlah warga sipil, diangkut kapal itu sampai di pantai Belang sambil
dikejar kapal perang ALRI dan pesawat AURI. Ketika mendekati pantai Belang, sebuah pesawat AURI
memergoki dan menembaki kapal ini. Nyaris saja kapal ini tenggelam, kalau tidak segera dikandaskan
ke pantai yang dangkal di dekat pelabuhan Belang. Sejumlah penumpang kapal ini, tewas dan luka�
ketika diserang pesawat AURI, bahkan banyak diantaranya yang terpaksa melompat ke laut. Juga kapal
Sea Bird yang kemudian diganti nama Black Snake memasok barang termasuk senjata dari luar negeri
lewat pelabuhan kecil Bolaang Uki di Bolmong. Kapal itu terakhir ditenggelamkan sendiri oleh
Permesta di pantai Inobonto.
|
2 Juni 1959 |
Singapura memisahkan diri dengan Persekutuan Tanah Melayu/Malaysia.
Singapura adalah basis (pangkalan) dan tempat persinggahan tokoh� dan sejumlah pendukung
Permesta dan yang menjadi titik terpenting dalam perhubungan dengan dunia luar. Di sini,
para tokoh seperti Letkol Ventje Sumual sendiri, Mayor D.J. Somba, Kolonel Alex Kawilarang,
Mayor Nun Pantow, Mayor Daan E. Mogot -(bukan Mayor Daan Mogot -
pendiri Akademi Militer Tangerang yang gugur pada tahun 1946 melawan tentara Jepang)-,
Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Mayor AURI Petit Muharto Kartodirdjo, Des Alwi (Atase Pers
KBRI di Manila), E. Pohan, Kapten Lendy Tumbelaka, Mr Sjafruddin Prawiranegara, dan lainnya
keluar masuk untuk mengadakan pertemuan dan hubungan dengan pihak asing guna mendukung
gerakan PRRI dan Permesta.
"Pos X", demikian nama pos informasi intelejen PRRI (dan Permesta), yang sebenarnya
tidak banyak melebihi kualitas sebuah biro informasi. Kabar� yang diperoleh umumnya berasal
dari orang� yang menyebut diri simpatisan PRRI-Permesta, yang sendirinya masih belum 100%
dapat dipercaya. "Biro X" ini terdapat di Jakarta dan Singapura. Pusatnya berada di Singapura,
dikepalai Jaksa E. Pohan yang masih aktif di perwakilan Ri di Singapura (KBRI).
|
5 Juli 1959 |
Dektrit Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945. |
10 Juli 1959 |
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka Kabinet Djuanda (Kabinet Karya)
dibubarkan terhitung hari ini. Kemudian dibentuk Kabinet Kerja I dengan Perdana Menterinya
adalah Presiden Soekarno sendiri, sedangkan Ir. Djuanda ditunjuk sebagai Menteri Pertama.
|
Agustus 1959 |
Rapat di Singsingon - Bolmong yang dipimpin Waperdam Joop WAROUW akibat selisih pendapat
soal rencana pembentukan sebuah negara terpisah dari Republik Indonesia bernama Republik
Persatuan Indonesia (RPI).
Ia telah menerima sebuah kawat dari Presiden PRRI Sjafruddin Parawiranegara yang menjelaskan
kerangka tujuan menetapkan suatu pemerintahan federal, yang didalamnya setiap unsur negara
bagian berhak menentukan agama serta falsafah kenegaraannya masing�. Rapat itu menghasilkan
'Piagam Perdjoangan � Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia'
untuk mencegah rencana pembentukan RPI terlepas dari RI, yang isinya antara lain;
- pembelaan terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pancasila,
- penyatuan kembali bangsa Indonesia,
- pelaksanaan hak otonomi regional,
- penyelesaian secara damai krisis Irian Baarat melalui PBB,
- diakhirinya rezim Soekarno, dan
- penghapusan komunisme internasional di Inndonesia.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh para anggota pemerintah sipil dan perwira tinggi militer
kecuali Panglima Besar Mayjen Alex Kawilarang dan Kolonel D.J. Somba. Joop Warouw kemudian
mengirimkan kawat kepada Alex Kawilarang agar ikut menghadiri rapat tersebut. Ketika empat
hari kemudian Alex Kawilarang tiba (setelah berjalan kaki), dan ia mendukung posisi Joop
Warouw. Menurut Sekjen Dephan PRRI, Abe Mantiri, ia mengatakan: "Di bawah bendera merah-putih
ini terlalu (banyak) kawan sudah korban; bendera ini, kita sama haknya dengan Soekarno.
Bendera ini kita punya; itu dan Pancasila tidak akan dilepaskan."
|
16 Agustus 1959 |
Kapten Gonibala, pimpinan satu batalyon kecil pasukan Permesta yang terdiri dari mahasiswa
dan beberapa TNI asal Bolmong ditangkap hari ini karena dicurigai akan menyerah kepada pemerintah
pusat. Ia kemudian dibunuh. Setelah itu digantikan oleh Kapten Usman Damopolii dan membentuk
satu kesatuan baru hanya beberapa hari saja sebelum serangan pasukan TNI dari kesatuan Siliwangi
atas Kotamobagu. Sebagian pasukannya itu membelot kepada Tentara Pusat, sehingga yang terbentuk
hanyalah sebuah kompi kecil.
|
17 Agustus 1959 |
Sistem pemerintahan yang baru diperkenalkan oleh Presiden Soekarno
dalam pidato kenegaraannya dalam rangka HUT RI dengan nama "Manifestasi Politik" atau Manipol.
|
28 Agustus 1959 |
Mata uang Rupiah didevaluasi oleh Pemerintah Pusat: Rp 1,000,- menjadi Rp 100,-;
banknotes lebih dari Rp 25,000,- di- demonetized.
Militer mulai memindahkan etnis Cina dari pedesaan ke kota-kota besar.
Sebanyak 100.000 orang meninggalkan Indonesia menuju Republik Rakyat Cina
dalam setahun kedepan; disamping 17.000 orang untuk Taiwan.
KSAD Letjen A.H. Nasution menggabungkan organisasi� veteran dalam sebuah wadah
dibawah kontrol militer dalam Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
|
18 September 1959 |
|
Resimen "Ular Hitam" |
Kotamobagu yang dipertahankan oleh pasukan KDP III - Kolonel Permesta Dolf Runturambi akhirnya
jatuh ke tangan tentara pusat/APRI.
Dalam peristiwa ini, pasukan Permesta yang tergabung dalam Sekolah Pendidikan Tentara Permesta
dibawah pimpinan Letkol Wim Joseph dan Staf Deputi KSAD dibawah pimpinan Kolonel J.M.J. (Nun)
Pantouw, membakar rumah� di bagian selatan kota Kotamobagu. Kira� 60% rumah di wilayah ini dibakar,
dan rumah� yang ditemui pasukan Permesta yang mundur sat Kotamobagu jatuh. Menurut Komandan KDP III
Kolonel Dolf Runturambi, ia melarang pembakaran rumah� yang merupakan milik rakyat. Hal ini
menyebabkan para penduduk Bolmong menimbulkan antipati terhadap Permesta. Pembakaran itu telah
meluapkan amarah rakyat. Dengan senjata seadanya: pedang, pisau, tombak, pacul (cangkul), peda/parang,
dan panah, mereka melampiaskan kemarahan terhadap para pengungsi dari Minahasa, selain transmigran
lokal asal Minahasa, bersenjata ataupun tidak.
|
September 1959 |
Pengumuman Pemerintah Pusat bulan ini mengenai jumlah korban
akibat operasi militer penumpasan PRRI di Sumatera:
Dari pihak Pemerintah Pusat:
- tewas : 983 orang
- luka� : 1.695 orang
- hilang dalam tugas : 154 orang
Dari pihak PRRI:
- tewas : 6.373 orang
- luka�/tertawan dlm pertempuran : 1.201
- menyerah : 6.057 orang
|
11 Oktober 1959 |
Brigjen Ventje Sumual sebagai KSAD PRRI mengeluarkan radiogram Perintah Operasi Darurat
No. 004 yang terkenal itu (Dhar no.004 atau Kpts.no.004/DAS/1010/59,
10-11-59 atau PO-004/Dhar) yang menyusun kembali tanggung jawab komando
wilayah (slagorde Permesta). Menurut KSAD Ventje Sumual, ia merasakan perlunya menyebarluaskan
pasukan� Permesta sebab jika semuanya berpusat di suatu daerah yang kecil, sulit mengadakan hubungan
dengan luar negeri atau mempertahankan hubungan dengan Letkol Dee gerungan di Sulawesi Selatan, yang
belum lama berselang telah mengirim seorang kurir. Tidak semua pasukan dapat tinggal di Minahasa,
kata Ventje Sumual, beberapa sebaiknya pergi ke daerah Gorontalo. Perintah itu memberikan Minahasa
Selatan kepada pasukan Brigade 999 pimpinan Jan Timbuleng (sebagian WK-III dan WK-IV digabung), dan
daerah Minahasa Utara kepada Letkol John Ottay (WK-I, WK-II dan WK-III digabung).
Letkol Wim Tenges diperintahkan untuk memimpin Brigade Ekspedisi "Cicero" untuk bertempur di wilayah
Gorontalo/Bolaang-Mongondow (Bolmong), yang kini sudah dikuasai secara mutlak oleh Tentara Pusat.
Pihak perwira Permesta di sebelah Utara menolak dengan tegas perintah Dhar 004 ini. Daerah Minahasa
Utara sudah dalam keadaan perang gerilya selama lebih dari setahun, dan pasukan yang ditempatkan di
situ telah berhasil memantapkan posisi mereka dan membina hubungan baik dengan para penduduk
setempat. Bila Jan Timbuleng dan Brigade 999-nya berkuasa di wilayah mereka, hanya akan mencemarkan
nama baik dan perjuangan luhur Permesta, karena pasukan Triple Nine ini terkenal dengan kebengisan,
dan tabiat buruk lainnya, bukan hanya terhadap sesama pasukan Permesta, juga terhadap penduduk yang
telah dibina hubungannya dengan pasukan Permesta di utara. Jangan pula melupakan bahwa Jan Timbuleng
dan Brigade 999 tersebut adalah bekas pasukan pengacau Minahasa Selatan, Pasukan Pembela Keadilan,
(PPK) yang sangat meresahkan penduduk.
Selain itu, bukankah kejatuhan Kotamobagu akibat dari kelalaian intelejen MBAD PRRI juga yang
notabene berada di wilayah selatan (Tompaso Baru), dan bukankah lebih baik pasukan Permesta di
sebelah selatan sajalah yang dikirim ke wilayah Bolmong dan Gorontalo?
Perintah Dhar 004 ini merupakan salah satu sumber perpecahan utama antara para pemimpin Permesta
di Minahasa.
|
24 Oktober 1959 |
Kodam XIV/Hasanuddin di Sulawesi Selatan resmi berdiri hari ini, setelah didirikan bulan Juni
1957 yang lalu, dengan Panglima Kodamnya adalah Kolonel Andi Muhammad Jusuf, yang dahulunya adalah
Kepala Staf Resimen Hasanuddin di Pare-pare.
|
2 November 1959 |
Ketua Sinode GMIM, A.Z.R. Wenas, bertemu dengan Panglima Besar Alex Kawilarang di desa
Pangolombian, sebelah selatan kota Tomohon.
Beberapa ucapan Kawilarang yang disampaikan kepada Ketua Sinode GMIM adalah sbb:
1. Adakah Djakarta menjangka bahwa dalam satu djangka waktu
jang pendek kami (Permesta) akan dapat ditaklukkan?
Djawabnja: "Ini tidak mungkin".
2. Kami nanti ditaklukkan dalam satu djangka waktu jang pandjang? Djawab Kolonel Kawilarang pula:
"Ini djuga pun tidak mungkin".
3. Indonesia sekarang ini telah hancur. Dengan berlangsungnja lebih jauh peperangan ini,
ini diartikan "pasti bangkrutnja" Indonesia.
4. Dengan berlangsung lebih djauh peperangan saudara ini, mengakibatkan penderitan maha hebat
rakjat Indonesia seluruhnja. Maka dengan djalan ini Indonesia matang untuk Komunisme;
dengan demikian tanpa bersusah pajah berperang, Komunisme menang di Indonesia.
Kol. Kawilarang bertanja: "Adakah jang di atas ini barangkali jang dikehendaki
oleh pemerintah di Djakarta?"
5. Maka untuk keselamatan Negara kita RI hendaknja pemerintah Djakarta untuk meninggalkan
prestige-kwestienja jang hendaknja dihentikannja djalan kekerasan dan diadakan perundingan
op gelijke voet.
6. Wij zijn niet overwonnen. Een betrekkelijk klein deel van de Minahassa is bezet door Pusat,
het grootste gedeelte van de Minahassa is onder onze controle.
"Telah menduduki" bukan mengartikan "Telah menguasai".
Realiteit is, jalan� ada dikuasai oleh Permesta. Verder het grootste deel van de
Rakjat, zeker 90 prosent staat achter ons. Overwinnaar zijn impliceert het hart van de
Rakjat te hebben gewonnen, en dit is niet het geval.
8. De andere Permesta-leiders spreken van een strijd tegen het communisme.
Mag men zeggen dat de Javaanse soldaten die tegen ons worden ingeset allemaal communisten zijn?
"Neen! Helaas door deze broederoorlog zijn de communisten in aantal toegenomen".
9. De meesten van onzen jongens willen niet terug, want de behandeling van de Pusat is niet
altijd fair.
10. De P.R.R.I. dat is een staat in een staat heeft niet zijn goedkeuring.
11. Djakarta gaat barsten. Politisch en economisch gaat Djakarta er aan.
12. Het is niet gezegd dat door de instelling van de nieuwe lichamen,
de geest van het gehele bestuur veranderd wordt.
Wij kunnen de Pusat-troepen uitwerpen maar dan zijn wij toch nog niet klaar.
13. Onze parool is "de bevolking in bescherming nemen". De Pusat daarentegen bombardeert
negorijen en rakjat.
14. Al valt 50 procent van onze wapens in handen van de Pusat dan nog kunnen wij ons
handhaven.
15. Men had ons in een zeer korte termijn moeten neerslaan dan was de kekerasan
gemotiveerd geweest.
16. Kolonel Kawilarang is zeer pessimistisch wat de beeindiging van de oorlog betreft. Hij
voosiet dat ernog jaren mee gemoeid zijn, behalve als de Pusat zelf deze beeindigt en
gaat praten met de leiders in Sumatra en in Sulawesi Utara.
17. De moeilijkheden strakc met de opbouw zijn niet weinig.
18. Wat komt er terrecht van Indonesie als straks de derde Wereldoorlog uitbreekt?
|
18 November 1959 |
Hari ini, suatu dokumen berjudul "Program Perdjoangan - Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia" disebarkan di Minahasa dengan ditandatangani oleh Waperdam PRRI Joop Warouw. Dalam
dokumen ini, maksud tujuan perjuangan PRRI terlibat dikatakan adalah memaktubkan pembelaan terhadap
Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pancasila, penyatuan kembali bangsa Indonesia, pelaksanaan hak
otonomi regional, penyelesaian secara damai krisis Irian Barat melalui PBB, diakhirinya rezim
Soekarno, dan penghapusan komunisme internasional di Indonesia.
Sebuah "program kerdja" dilampirkan bersama dokumen tersebut yang menggariskan tugas� setiap
kementrian di dalam pemerintahan sipil. Setiap menteri diberi kekuasaan bertindak sendiri, dan
melanjutkan pemerintahan sipil bila sesuatu terjadi pada menteri yang lain.
|
27 November 1959 |
Seruan� berkala oleh KODAM XIII/Merdeka dilakukan antara tanggal 27 November 1959 dan 11 Mei
1960 yaitu menyerukan kepada kaum pemberontak ("Permesta") untuk "kembali ke pangkuan ibu pertiwi".
Tindasan seruan demikian, banyak diantaranya yang jelas bermaksud mengucilkan Ventje Sumual dan Dolf
Runturambi di Selatan Minahasa dari pasukan Permesta lainnya.
|
10 Desember 1959 |
Amnesti kepada Permesta diajukan oleh Komandan Operasi Merdeka, Letnan Kolonel Roekmito Hedraningrat.
Amnesti yang dianjurkan oleh Komandan Operasi Merdeka itu ditanggapi oleh Joop Warouw:
"Bila kami menerima amnesti maka ini diartikan bahwa kami bersalah. Kami merasa bahwa kami tidak
bersalah".
|
16 Desember 1959 |
Dalam Sidang Pleno DPR di Bandung hari ini, KSAD Letjen A.H. Nasution mengatakan bahwa
berhubung dengan keterangan pemerintah kepada Sidang Pleno ini mengenai keamanan, dan tulisan
suratkabar "tentang Kolonel Alex Kawilarang jang meminta ceasefire" hal yang mana
"tidak dapat kami terima".
|
31 Desember 1959 |
Di Manado, Panglima Kodam 17 Agustus Kolonel Sunardjadi meminta Menteri Penerangan RI Arnold
Mononutu supaya dapat memberikan pidato radio penutupan tahun 1959 dan menyongsong Tahun Baru 1960
kepada masyarakat Sulawesi, khususnya Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Dalam pidato tersebut, ia
mengemukakan dengan serius kepada para pimpinan Permesta agar menghayati penderitaan rakyat yang
begitu besar akibat pergolakan Permesta, terutama masyarakat di Tanah Toar-Lumimuut. |
1 Januari 1960 |
Bekas pilot sewaan pesawat AUREV Permesta, Allan Lawrence Pope, mulai disidangkan Pemerintah
Pusat.
Allan Pope kemudian dijatuhi hukuman mati dan kopilot J.Harry Rantung diganjar 15 tahun. Namun
pemerintah AS berusaha keras untuk membebaskan Pope. Jaksa Agung AS Robert Kennedy diutus ke
Jakarta menemui Presiden Soekarno. Dalam kunjungannya, Kennedy membawa surat Presiden Dwight
Eisenhower yang isinya minta kebijaksanaan Soekarno agar Allan Pope bisa bebas. Disamping itu, istri
Pope yang cantik diterbangkan dari AS untuk secara khusus menghadap Bung Karno. Konon, Bung Karno
menerima dengan penuh keramahan. Kekaguman Bung Karno kepada wanita cantik, dimanfaatkan AS untuk
membujuk sang presiden.
Satu ketika menjelang subuh pada Februari 1962, Harry dan Pope yang dalam status terpidana didatangi
beberapa anggota CPM bersenjata lengkap dan meminta keduanya ikut. Pope diminta mengemasi milik
pribadinya, sedangkan Rantung diperintahkan ikut saja tanpa perlu membawa apa�. Di luar penjara
sudah menunggu sebuah panser. Mereka naik, sesaat kemudian kendaraan melaju kencang ke arah yang
mereka tidak tahu. CPM tidak ngomong sepatah katapun. Rantung buka mulut yang diarahkan ke Pope,
"Kira� ada apa, ya?" Pope yang terlihat tenang menjawab, "Saya tidak tahu, tapi saya kira mereka
tidak berani berbuat apa� kepada kita," kata Pope.
Dalam waktu setengah jam, panser berhenti dan diturunkan di Bandara Kemayoran. Di sana sudah menunggu
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Howard Jones dan Atase Militer Kolonel George Benson di
Jakarta dan beberapa staf kedubes AS di Jakarta. Sebuah pesawat Constellation sudah dipersiapkan.
"Pasti kita akan jumpa lagi," kata Pope kepada Harry sambil berlalu ke dalam pesawat. Beberapa tahun
kemudian, Harry Rantung mengaku pernah menerima undangan dari Pope yang bekerja di sebuah perusahaan
penerbangan di California. "Saya diundang ke sana, semuanya gratis." ujar Harry Rantung
Usai pembebasan, Harry Rantung sempat bekerja sebagai petugas keamanan di Kedutaan Besar AS di Jakarta
dan mendapat pensiun dari kedutaan.
|
Januari 1960 |
Kepala Staf AUREV Komodore Muda Petit Muharto Kartodirdjo kembali ke Manado dari Singapura saat
Belanda memulangkan tahanan Indonesia yang kebanyakan adalah aktivis Permesta dari Hongkong ke
Minahasa. Petit datang ke Minahasa bersama tahanan tesebut meminta ijin dari istrinya Siswani Siwi.
Menurut Petit, Alex E. Kawilarang bersama pasukannya di hutan, yang juga meninggalkan keluarganya
di luar negeri.
Dalam bulan Januari 1960, Petit kembali ke Minahasa dalam sebuah kapal penyelundup Belanda.
Diantara para tahanan dalam kapal dia melihat Nufanto dan Lendy Tumbelaka. Beberapa tahanan sangat
heran akan Petit, "Ia seorang etnis Jawa maar kenapa bergabung bersama orang Manado".
Tahun ini, Kolonel Hein Victor Worang kembali ke Minahasa sebagai Perwira Menengah SPRI Menteri
Pertahanan/KASAD TNI dengan menjabat sebagai Ketua Team Penyelesaian / Penertiban Permesta.
|
5 Januari 1960 |
F.J. (Broer) Tumbelaka datang ke Manado untuk memprakarsai perdamaian antara Permesta dan
Pemerintah Pusat. Mula� bertemu dengan beberapa orang pilihan Kodam XIII/Merdeka, dan terutama
dengan asisten intel Kapten Aris Mukadar yang kemudian membantunya dalam misi perdamaian dengan
Permesta. Ia memutuskan untuk bertemu dengan D.J. Somba, karena Sombalah yang mengeluarkan
dukungan terhadap PRRI dan memutuskan hubungan dengan pemerintah Soekarno saat menjabat sebagai
Komandan KDM-SUT.
|
3 Februari 1960 |
F.J. (Broer) Tumbelaka mengirim surat kecil kepada D.J. Somba melalui seorang kurir bernama
Samuel Hein Ticoalu alias Tjame (/Came), yang diperolehnya dengan bantuan Kodam XIII. Ia menerangkan
dalam surat itu: "Saja datang kemari bukan karena paksaan orang, akan tetapi karena dorongan
hati sendiri untuk dengan se ichlas-ichlasnja menjumbangkan tenaga dan fikiran saja kepada suatu
usaha untuk mentjari suatu penjelesaian jang baik dalam persengketaan jang kini masih tetap
berlangsung."
(Surat Broer menggunakan nama samaran "Dr. Brunsted" supaya Joes (Yus) Somba tahu bahwa itu surat
otentik. Nama samaran dipakai dalam seluruh perundingan untuk mempertahankan kerahasiaannya).
Tjame berhasil masuk sarang Permesta dengan alasan untuk bertemu anaknya yang menjadi operator
Radio Permesta di markas besar WK-I di Pinili. Disitulah Tjame akhirnya bertemu dengan D.J. Somba
pada tanggal 23 Februari 1960, pada suatu pesta dansa untuk menghormati komandan tamu (yang sedang
inspeksi) itu. Yus Somba kaget melihat Tjame, seorang kenalan lamanya itu, dan juga terperanjat
ketika Tjame mengatakan: "Salam dari Broer" sambil menyerahkan surat itu. Jawaban Somba
sangat singkat: "Lebih cepat lebih baik." Alex Kawilarang bersama D.J. Somba saat surat itu
diterimanya. Mereka mengirimkan kawat kepada Joop Warouw yang ke Selatan pada bulan Januari untuk
membahas pendekatan Ds. A.Z.R. Wenas, Ketua Sinode GMIM, serta masalah� lain dengan Ventje Sumual.
Joop Warouw mengirim kawat kembali dengan mengatakan "Kalau bisa hubungan itu diteruskan, tetapi
harus menguntungkan kita (djangan sampai kita rugi)."
|
17 Januari 1960 |
Pertemuan Ketua Sinode GMIM dengan Kol. J.F. Warouw di desa Remboken. Dalam pertemuan ini,
Warouw mengemukakan bahwa perjuangan pemimpin� Permesta bermaksud khusus mengoreksi akan beleid
dari Pemerintah Pusat RI, menolak amnesti yang dianjurkan oleh Komandan Operasi Merdeka tanggal
10 Desember 1959 yang lalu, serta berhentinya sikap bermusuhan hanya akan mungkin bila tentara
Jakarta ditarik dari Minahasa. Mereka juga tidak menghendaki penyelesaian persengketaan setempat�
melainkan penyelesaian secara keseluruhan Indonesia, dan juga ditegaskan bahwa PRRI dan Permesta
menentang akan komunisme.
|
7 Februari 1960 |
Satu hari sebelum proklamasi Republik Persatuan Indonesia diumumkan maka Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dibubarkan.
|
Masa Pergolakan Permesta II (Pemberontakan Republik Persatuan Indonesia)
8 Februari 1960 |
Proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) dikumandangkan hari ini. Proklamasi
RPI ini tertunda semenjak tanggal 17 Agustus 1959.
Presiden merangkap Perdana Menteri RPI adalah Sjafruddin Prawiranegara dengan Wakil Perdana
Menteri (Waperdam) adalah Muhammad Natsir. Dalam pasal 3 UUDnya disebutkan bahwa wilayah negaranya
"meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia 17 Agustus tahun 1945".
Tujuan RPI ini adalah untuk mempersatukan PRRI/Permesta dengan DI/TII Daud Beureuh di Aceh dan
DI/TII Kahar Mudzakkhar di Sulawesi Selatan. Benderanya tetap merah-putih, namun ada sejumlah
bintang di tengah yang mana setiap bintang melambangkan masing� pemberontakan (negar-bagian) saat
itu yang berada di bawah RPI.
KSAD RPI Brigjen Ventje Sumual menunjuk Henk Lumanauw sebagai Wali-Negara RPI untuk Sulawesi Utara.
RPI ini ditentang dengan keras oleh Waperdam PRRI / Kepala
Pemerintahan PRRI di Sulawesi Joop Warouw serta Panglima Besar APREV Alex Kawilarang.
Dalam pengumumannya, Ketua Badan Pekerja Dewan Pertimbangan Pusat (DPP) Permesta, Henk Rondonuwu
menolak RPI ini. Meskipun RPI ini telah berdiri, namun di daerah gerilya Permesta sendiri
seperti di perbatasan Minahasa - Bolaang Mongondow, masih dilaksanakan Upacara Peringatan HUT RI
secara resmi dan dihadiri oleh tokoh� militer dan sipil Permesta. Sedangkan oleh pihak perwira
Permesta di sebelah utara seperti Mayjen Alex Kawilarang, Kolonel D.J. Somba, Letkol Wim Tenges,
menolak RPI ini, apalagi mengibarkan bendera baru (RPI) di wilayahnya dan tetap memakai
lambang� NKRI seperti Pancasila dan Merah Putih dalam logo maupun atribut lainnya.
Distrik/WK-III dibawah komando Letkol Wim Tenges memiliki hampir separuh kekuatan pasukan
Permesta, dan merupakan WK yang paling kompak dan disiplin dari antara WK lainnya.
Masalah RPI ini berbeda dengan PRRI. Kalau PRRI hanyalah kabinet tandingan, maka RPI lebih
merupakan negara dalam negara (negara tandingan). Hal ini memperkuat anggapan sementara orang
bahwa gerakan daerah ini adalah gerakan separatisme. Menurut pandangan para pemimpin PRRI dan
Permesta, RPI yang lebih banyak merupakan gagasan tokoh� politik, direncanakan sebagai taktik
dalam perjuangan PRRI.
Usia RPI sejak direncanakan untuk kemudian diproklamasikan pada September/Februari 1960 hanya
2 tahun.
|
9 Maret 1960 |
Seorang Perwira AURI, Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar (alias Daantje, alias Danny),
menembaki kompleks tangki minyak BPM di Tanjung Priok, Istana Merdeka dan Istana Bogor dengan
pesawat jet MIG-17 yang hanya dilengkapi kanon 23mm pada siang hari sekitar pukul 11.30.
Kemudian ia mendaratkan pesawatnya di daerah persawahan Kadungoro, Leles (Garut, Jawa Barat) -
rencana penyelamatan dirinya akan dibantu oleh anggota DI/TII yang bergerilya di daerah itu
(DI/TII saat itu telah masuk dalah negara-bagian RPI) - namun segera tertangkap oleh TNI.
Maksud Danny Maukar adalah untuk memperingatkan Soekarno yang sudah mulai "main mata" dengan
PKI, serta menghendaki agar Pemerintah Pusat mau berunding dengan Permesta di Sulawesi.
Rencana ini sebenarnya direncanakan untuk dilakukan pada tanggal 2 Maret 1960 sebagai hari
peringatan Proklamasi Permesta, tapi gagal, juga rencana keesokan harinya tanggal 3 Maret,
namun gagal lagi. Semua gerakan ini dilakukan oleh seluruh pejuang Permesta Sulut yang berada
di Jakarta dengan sandi "Manguni" yang dikomandoi Ventje Sumual bersama� Sam Karundeng
dan Danny Maukar.
|
15 Maret 1960 |
Pertemuan pertama antara Kolonel D.J. Somba dengan Broer Tumbelaka diadakan hari ini di desa
Matungkas, dekat Airmadidi. Broer menegaskan, ia datang sebagai teman lama, meskipun diketahui
oleh Kolonel Surachman dan Kolonel Soenarjadi (Kastaf Komando Operasi Merdeka di Sulawesi Utara
yang baru), dengan harapan akan dapat membantu memulihkan perdamaian di Minahasa. Yus Somba
mengatakan bahwa Joop Warouw selamanya memang menganjurkan bahwa "pintu belakang" dibiarkan
terbuka bagi penyelesaian atas pemberontakan PRRI ini, dan bahwa Joop Warouw, Alex Kawilarang,
Ventje Sumual, dan dia sendiri sepakat mengenai ini.
|
23 Maret 1960 |
Salah satu penasehat politik Waperdam Joop Warouw selaku Kepala Pemerintahan Sipil PRRI di
Sulawesi, Prof.Mr. G.M.A (Laan) Inkiriwang, yang adalah Ketua Parlemen PRRI dan Menteri Kehakiman,
ditahan Batalyon III/Brigade 999, Pimpinan Mayor Hans Karua (Korowa).
Seorang penasehat politik Joop Warouw, Prof.Mr. G.M.A. Inkiriwang (juga sebagai Ketua Parlemen/Menteri
Kehakiman) hari ini ditahan oleh Mayor Hans Korua, Komandan Batalyon 3/Brigade 999 pimpinan Jan
Timbuleng.
Sejumlah Menteri Kabinet PRRI juga telah ditangkap (Ir. Herling Laoh/mantan menteri Pekerjaan Umum RI,
Wilhem Pesik, Otto Rondonuwu, dll - walau akhirnya dibebaskan kembali).
Peristiwa itu didahului oleh tertangkapnya seorang kurir Joop Warouw yang membawa surat kepada
Kolonel D.J. Somba yang isinya kecaman terhadap Jan Timbuleng, yang ditangkap oleh salah satu
satuan Jan Timbuleng. Akibat peristiwa ini, penekanan terhadap keluarga serta pejabat sipil
dimulai. Sejak itulah situasi menjadi semakin mencurigakan antara para perwira Permesta. Joop
Warouw kemudian bertemu dengan Letkol J.M.J. (Nun) Pantouw, perwira intel KSAD Ventje
Sumual (Assisten I/Intelejen KSAD RPI) dan Gerson Sangkaeng, Komandan Batalyon 2/Brigade 999.
Hasil pertemuan itu, Nun Pantouw bersedia memberi bantuan satu satuan pasukan tambahan kepada
Joop Warouw untuk meninggalkan wilayah kekuasaan Jan Timbuleng yang diketahui beraliran kiri
tersebut.
Pasukan Brigade 999 (Triple Nine) waktu itu menjadi terkenal sebagai pasukan
tukang lucut karena rencana dan kegiatan yang disebut "matchts vorming".
|
27 Maret 1960 |
Gerakan yang dilakukan oleh beberapa anggota Pusat Kaveleri (a.l. Letnan Togas)
di Bandung yang bermaksud untuk memaksa Pemerintah Pusat agar mengadakan perundingan
dengan pihak Permesta di Sulawesi. |
30 Maret 1960 |
Sistem pemerintahan daerah otonom Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sesungguhnya dimulai
hari ini pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah RI No.5/Tahun 1960 yang menetapkan
pembagian wilayah administratif provinsi Sulawesi menjadi dua wilayah administratif masing�
provinsi Sulawesi Utara-Tengah (Sulutteng) dan provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulseltra).
Arnold A. Baramuli, SH ditunjuk sebagai pejabat Gubernur Sulawesi Utara dan Tengah.
|
5 April 1960 |
Kepala Pemerintahah Sipil Permesta/Kepala Pemerintahan PRRI di Sulawesi Joop WAROUW,
ditangkap dan ditahan oleh Batalyon 7/Brigade 999 pimpinan Kapten Robby Parengkuan. Dalam
peristiwa itu, kedua lutut Joop Warouw ditembak. Kemudian lututnya tersebut dibiarkan membusuk.
Data ini menurut beberapa sumber intel Angkatan Darat TNI serta kesaksian beberapa orang pejabat
pemerintahan sipil.
Menurut saksi mata, rombongan Joop Warouw seusai mengadakan pertemuan puncak di Tompaso Baru,
rombongan itu dibagi dua oleh pasukan 999 (Triple Nine). Yang pertama disuruh menempuh suatu
arah tertentu, yang ternyata menuju lokasi posko KSAD sedangkan rombongan yang kedua, yaitu
rombongan Joop Warouw disuruh menuju ke daerah Brigade 999 di sekitar sungai Ranoyapo. Di
suatu tempat, Joop Warouw dipisahkan dari rombongan terakhir ini, lalu dia ditembak lututnya.
Sedangkan rombongan yang ditinggalkannya langsung diberondong dengan tembakan� sehingga
semuanya tewas, termasuk diantaranya sekretaris Waperdam Joop Warouw, yaitu Nona Dolly Ompi dan
Bupati Gorontalo Sam Bia, Danny Lumi, beberapa kerabat Joop Warouw, 3 orang penghubung, serta 3
orang mantri. Namun, seorang pengawal Joop Warouw berhasil melarikan diri, karena pada saat itu
tubuhnya ditindih oleh mayat rekannya yang lain dan berpura� mati. Kemudian katanya orang
tersebut menjadi saksi atas peristiwa yang menimpa Joop Warouw.
(Menurut pengakuan beberapa sumber/saksi mata, Joop Warouw ditangkap atas perintah KSAD,
karena ia menentang berdirinya RPI yang akan memisahkan diri dari NKRI).
|
14 April 1960 |
Broer Tumbelaka bertemu dengan KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution dan mendapat dukungan sepenuhnya
untuk melanjutkan usaha mencapai suatu penyelesaian.
|
29 April 1960 |
Sidang terakhir Mahkamah Militer AURI terhadap terdakwa Allan Lawrence Pope, bekas pilot
pesawat B-26 AUREV, pada hari ini memutuskan, bahwa bersangkutan dijatuhi hukuman mati. |
20 Mei 1960 |
Hari ini resmi berdiri Kotapraja Gorontalo.
Tahun 1953, Sulawesi Utara menjadi daerah otonom berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
1953. Daerah Bolaang Mongondow terpisah menjadi daerah otonom tingkat II pada tahun 1954, sehingga
daerah Sulut wilaysah Gorontalo hanya meliputi bekas kawasan Gorontalo dan Buol yang berpusat di
Gorontalo. Berdasarkan UU No 29/1959, maka daerah Sulut yang dimaksud dengan PP No 11/1953
dipisahkan menjadi daerah tingkat II, meliputi Daerah Kotapraja Gorontalo dan Daerah Tingkat II
setelah dikurangi Swapraja Buol. Selanjutnya pada tanggal 20 Mei 1960, resmi berdiri Kotapraja
Gorontalo dan pada tahun 1965 berubah menjadi Kotamadya Gorontalo.
|
25 Mei 1960 |
Hari ini, F.J. (Broer) Tumbelaka diangkat sebagai Wakil Gubernur provinsi Sulawesi Utara.
|
16 Juli 1960 |
Danny A. Maukar diseret dalam pengadilan Mahkamah Militer Angkatan Udara RI (AURI) dengan
didampingi pengacaranya yaitu Hadeli Hasibuan dan dijatuhi hukuman mati dalam keadaan perang.
|
Sidang Mahkamah Militer DA Maukar & Sam Karundeng |
|
17 Agustus 1960 |
Keppres No.200/Th.1960 dan No.201/Th.1960 tanggal 17 Agustus 1960, tentang pembubaran partai
politik Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), karena
"organisasi itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin�nya turut serta dengan pemberontakan
apa yang disebut dengan 'PRRI' atau 'RPI' atau telah jelas memberikan bantuan terhadap
pemberontakan".
Dalam pidato peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-15, Presiden Soekarno memaklumkan
pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda, yang merupakan tanggapan atas sikap Pemerintah Belanda
yang dianggap tidak menghendaki penyelesaian secara damai mengenai pengembalian wilayah Irian Barat
kepada Indonesia.
Meskipun Republik Persatuan Indonesia (RPI) telah didirikan oleh tokoh� PRRI, namun di daerah gerilya
Permesta sendiri seperti di perbatasan Minahasa - Bolaang Mongondow, masih dilaksanakan Upacara
Peringatan HUT Republik Indonesia secara resmi yang dihadiri oleh tokoh� militer dan sipil Permesta.
|
Awal Oktober 1960 |
Menurut sebuah sumber, peristiwa berkaitan dengan ditangkapnya Joop Warouw adalah sbb:
Setelah Kepala Pemerintahah Sipil PRRI, Kol. J.F. "Joop" WAROUW ditangkap oleh Batalyon
7/Brigade 999 pimpinan Kapten Robby Parengkuan, maka KSAD RPI Ventje Sumual memanggil Jan
Timbuleng, Komandan Brigade 999. Timbuleng berkenan, asal Joop Warouw juga diajak secara resmi. Maka
Sumual pun membuat surat panggilan yang digunakan Jan Timbuleng untuk mencegah Joop Warouw untuk
meninggalkan wilayah kekuasaannya.
Padahal, secara diam� melalui Kapten J.Lisangan, Komandan Batalyon 1/Brigade 999, Sumual berhasil
mengumpulkan informasi tentang diri Warouw. Ternyata, selain Joop Warouw, juga telah ditahan sejumlah
menteri kabinet. Dari Jan Timbuleng diketahui, penangkapan itu dilakukan karena melihat Joop Warouw
telah memihak dan mendukung tokoh� Permesta di wilayah utara Minahasa.
|
8 Oktober 1960 |
KSAD RPI Ventje Sumual mengadakan rapat di Markas Besar Permesta di perkebunan Lindangan(?) -
Tompaso Baru.
Jan Timbuleng, Komandan Brigade 999 (Triple Nine) datang dengan Batalyon 3 dengan komandannya
Mayor Hans Korua (KOROWA) dan Batalyon 4 dengan komandannya Benny Pandeiroth. Ketika itu, Timbuleng
dan pasukannya tanpa sadar, jika sebetulnya pertemuan itu merupakan suatu taktik untuk menahannya.
Ia juga tidak curiga, kalau Komandan Batalyon 1 - J. Lisangan dan Komandan Batalyon 2 - Gerson
Sangkaeng dan seluruh pasukannya tidak lagi setia mendukungnya. Karena itu, sementara Ventje Sumual
membuat pertemuan dengan Jan Timbuleng dan perwira�ya, satuan Gerson Sangkaeng melakukan pelucutan
senjata atas pasukan� Jan Timbuleng yang tengah menunggu di luar. Mereka tidak mencurigai Gerson,
karena mereka pikir, ia salah satu dari mereka juga. Dan sebagai akhir dari pelucutan itu, Gerson
Sangkaeng memberi isyarat dengan menembakkan sebuah senapan mesin (50pt). Ketika itu juga, Sumual
mengakhiri rapatnya, dan begitu Jan Timbuleng serta perwira�nya melewati depan gardu pos, pasukan
Sumual pun menawannya.
Semula niat Ventje Sumual hendak membawa Jan Timbuleng dan sejumlah perwira Brigade 999 ke pengadilan
militer. Namun sebelum itu terjadi, Jan Timbuleng yang tengah ditawan di tingkat atas sebuah rumah
panggung, berhasil merebut senjata dari seorang pengawal dan melompat keluar jendela dan terbang ke
atas rumpun bambu di dekat situ (dengan ilmu/jimat terbangnya) sembari berteriak minta bantuan.
Kemudian seorang tentara pelajar asal Ambon (pelajar PTPG Tondano) yang tidak memiliki pegangan
jimat diperintahkan untuk melepaskan tembakan ke tubuh Jan Timbuleng (dengan prosedur adat) yang
tengah mengudara (karena katanya orang yang memegang jimat tidak akan mempan untuk membunuh Timbuleng).
Jan Timbuleng yang dikenal kebal peluru (selama dia berdiri di atas tanah), pada saat itu juga tewas.
Dari saku celananya berhasil didapat sebentuk cincin, sebuah arloji milik Joop Warouw, foto� keluarga
Warouw dan sejumlah surat dari J.Piet Mongula, Walikota Manado yang juga diketahui beraliran
kiri/komunis (tanggal kematian Jan Timbuleng ini simpang siur. Ada yang mengatakan sehari setelah ia
ditangkap tanggal 8 Oktober, sementara Goan Sangkaeng mengatakan bahwa ia dibunuh tanggal 10 Oktober.
Namun kepastiannya adalah sekitar satu atau dua hari setelah penahanannya).
Kematian Timbuleng membuat sejumlah perwira bawahannya mencoba untuk melarikan diri dari markas Sumual.
Beberapa diantaranya, seperti Robby Parengkuan dan sejumlah anak buahnya berhasil melarikan diri dan
kembali ke markas dimana Joop Warouw ditawan.
Sadar akan hal itu, Ventje Sumual pun mengirim pasukan untuk menyelamatkan Joop Warouw. Namun usaha
tersebut sia� karena Joop Warouw telah dihabisi terlebih dahulu oleh anak buah Robby Parengkuan.
|
Brigade 999: Jan Timbuleng di tengah, gemuk & berbaret,
serta Gerson (Goan) Sangkaeng di paling kanan |
|
13 Oktober 1960 |
Pertemuan perundingan lanjutan antara Permesta dan Pemerintah Pusat gagal diadakan hari ini
di Lahendong - Tomohon. Yang hadir di pertemuan ini yaitu Kolonel D.J. Somba (Selaku Komandan KDM-SUT),
Letkol tituler A.C.J. Mantiri (Sekjen Dephan Permesta), Kolonel Lendy R. Tumbelaka (Saudara
sepupu Broer Tumbelaka), Wagub Broer Tumbelaka yang didampingi ayah Joop Warouw yang ingin mendapat
keterangan mengenai anaknya.
|
15 Oktober 1960 |
Kepala Pemerintahan PRRI di Sulawesi, Waperdam Joop WAROUW dieksekusi di daerah Tombatu oleh
salah satu anak buah Kapten Robby Parengkuan bernama Hemanus Jus dari Batalyon 7/Brigade 999, atas
perintah lisan Jan Timbuleng sebagai Komandan Brigade 999.
Hal ini dikarenakan Joop Warouw tidak mau menandatangani naskah surat perintah tentang pengangkatan
Jan Timbuleng menjadi Panglima KDM-SUT (Komando Daerah Militer Sulawesi Utara-Tengah) menggantikan
Kolonel D.J. Somba (selain atas sebab lain yaitu Jan Timbuleng yang tewas).
Akibat peristiwa ini, terjadilah krisis kepemimpinan dalam tubuh Permesta. Pasukan Permesta di
wilayah Utara sudah tidak lagi mengakui kepemimpinan KSAD RPI Brigjen Ventje Sumual. Perwira Permesta
di wilayah Utara sepakat untuk kembali ke asalnya yaitu Angkatan Perang Permesta, bukan lagi mengusung
nama PRRI, karena pemerintahan tandingan ini telah bubar, serta pimpinan pemerintahan sipil PRRI dan
Permesta di Sulawesi, yaitu Joop Warouw, sudah terbunuh.
Robby Parengkuan serta sekitar seribu anggota bersama keluarga Batalyon 7/Brigade 999 lalu menyerahkan
diri kepada pasukan Tentara Pusat.
(Namun, berdasarkan beberapa sumber, kematian Joop justru berkaitan erat dengan sikap
Joop Warouw yang tetap mengakui PRRI, dan menolak negara baru RPI di dalam NKRI, serta memberikan
surat cuti dinas kepada KSAD Ventje Sumual - hal mana membuat Sumual berang).
(Jenasahnya dicari� atas perintah Presiden Soekarno, lalu Gubernur Sulut H.V. Worang, dan
Presiden Soeharto, namun gagal. Baru ditemukan tanggal 20 Agustus 1962 oleh Tim bentukan Ketua Sinode
GMIM, Pdt. K.H. Rondo).
|
Masa anti-Klimaks Permesta (Likuidasi Permesta)
November 1960 |
Jenderal Mayor Alex Kawilarang, yang sebelumnya menolak pengangkatan PRRI atas dirinya sebagai
KSAP, bulan ini mengambil alih seluruh komando pasukan Permesta atas desakan para perwira Permesta
di Utara. Kekuasaan KSAD RPI Brigjen Ventje Sumual tidak diakui lagi. Dengan demikian, nama yang
dipakai oleh pasukan Permesta di Minahasa Utara adalah Angkatan Perang Permesta, bukan lagi
mengusung nama Angkatan Perang Revolusioner PRRI, karena PRRI telah dibubarkan sehari sebelum RPI
berdiri.
Jenderal Mayor Alex E. Kawilarang secara resmi menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Permesta.
Sedangkan jabatan Kepala Staf Angkatan Perang Permesta, dia menunjuk Kolonel Dolf Runturambi untuk
menjabatnya.
Kolonel Dolf Runturambi mengungsi ke wilayah Utara karena ada ancaman mati dari Brigade 999, walau
dalam perjalanannya ke Utara, ia dengan segala alasan, hanya dilucuti senjatanya. Ia mengirimkan
surat kepada Jan Timbuleng dan Laurens Saerang masing� sebagai komandan Brigade 999 (Triple Nine
atau 3x9 atau Tiga-Sembilan) dan komandan Brigade Manguni untuk meminta jaminan keselamatan akan
rombongannya untuk melewati wilayah mereka, padahal ia melewati pantai barat Minahasa melewati
pegunungan Lolombulan di daerah Motoling.
|
4 Desember 1960 |
Setelah berita terbunuhnya Kepala Pemerintahan Sipil PRRI di Sulawesi merangkap Waperdam/Menteri
Pertahanan Joop Warouw tersiar, maka mulai hari ini, Panglima Besar Angkatan Perang Permesta Alex
Kawilarang memerintahkan kepada seluruh pasukan dan pemerintahah sipil Permesta agar diadakan tujuh
hari berkabung bagi alm. Joop Warouw.
Berita kematian Joop Warouw ini sudah diketahui kedua belah pihak (pasukan Permesta dan Tentara Pusat)
pada saat menjelang bulan November lalu.
|
13 Desember 1960 |
Melihat pertumbuhan yang pesat disegala bidang baik di sektor pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan, Pemerintah Pusat menganggap perlu mengubah sebutah provinsi Sulawesi Utara Tengah
menjadi Daerah Tingkat I (Dati I atau Daerah Swantara tingkat Pertama) Sulawesi Utara Tengah dengan
dikeluarkannya Undang� Darurat No. 47 Prp. Tahun 1960.
Gubernur Sulawesi Utara (Sulutteng) yang baru -pertama kali (versi Pemerintah Pusat) adalah Arnold
Achmad Baramuli, SH. yang dijabat dari tanggal 23 September 1960 sampai 15 Juni 1962 yang adalah
gubernur termuda di Indonesia saat itu (30 tahun). Sebelumnya ia adalah Jaksa Distrik Militer
provinsi Sulawesi dan wilayah Indonesia Timur dengan pangkat Letkol Tituler.
|
15 Desember 1960 |
Brigjen Ventje Sumual mengirimkan kawat kepada para komandan distrik (WK) dan batalyon Permesta,
dengan perintah agar jika benar laporan mengenai pertemuan pimpinan� tertentu tentara RPI (PRRI telah
dibubarkan sebelumnya) dengan musuh, tindakan demikian harus dianggap sebagai pengkhianatan, dan
harus dilancarkan usaha untuk mencegahnya (dibunuh).
Ventje Sumual memang tidak diajak berunding oleh perwira Permesta di Minahasa Utara dengan Pemerintah
Pusat.
|
17 Desember 1960 |
Pada pertemuan hari ini antara F.J. (Broer) Tumbelaka, A.C.J. (Abe) Mantiri, Arie W. Supit,
persetujuan dicapai mengenai prosedur yang akan diambil untuk mengakhiri pemberontakan. Langkah�
yang akan diambil sebagai berikut:
1) seruan oleh Menteri Pertahanan/Kepala Staf Jenderal A.H. Nasution kepada kaum pemberontak agar
kembali ke pangkuan ibu pertiwi;
2) pernyataan resmi dari pihak Permesta bahwa mereka telah kembali ke "pangkuan Ibu Pertiwi";
3) gencatan senjata (cease-fire);
4) pertemuan resmi untuk membahas masalah� teknis militer seperti masalah pembekalan dan
penempatan pasukan Permesta di daerah� yang ditentukan;
5) inspeksi atas bekas pasukan Permesta oleh Menteri Pertahanan/Kepala Staf A.H. Nasution.
KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution secara pribadi menjamin kepada Broer Tumbelaka, bahwa ia
"tetap kuat untuk membela terhadap tarikan kiri-kanan", dan dalam sebuah pidatio yang disiarkan
RRI Manado pada hari ini, ia membahas hal ini dan lain� hal yang penting dalam perundingan
antara Permesta dan TNI. Ia mengumumkan ditetapkannya peraturan yang memberikan hak otonomi
kepada provinsi Sulawesi Utara-Tengah yang akan berlaku sejak Januari 1961.
|
1961 |
Dalam data statistik Sensus Penduduk 1961, penduduk Minahasa pada tahun 1961 berjumlah 581.836,
sudah termasuk Kota Manado sebanyak 129.912 jiwa.
|
Awal tahun 1961 |
Wakil Gubernur Sulutteng F.J. (Broer) Tumbelaka, berkunjung ke desa Malenos untuk menugaskan
Victor Adoelf Tutu sebagai Hukum Tua (=kuntua / kepala desa) Desa Malenos untuk menjadi penghubung
antara pemerintah dan pasukan Permesta, dan mencari lokasi yang aman untuk tempat mengadakan
perundingan.
Perundingan pertama, diadakan di perkebunan Ritey, dekat hulu Sungai Malenos. Pihak pemerintah
diwakili Broer Tumbelaka sebagai Wakil Gubernur Sulut, sedangkan pihak Permesta diwakili oleh
Johan Tambajong. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan perundingan lanjutan
di desa Malenos dan akan mempertemukan pimpinan pasukan Permesta dan TNI.
Perundingan lanjutan diadakan di gedung Gereja GMIM Malenos, yang dihadiri utusan pemerintah RI
adalah Wagub Broer Tumbelaka dan Perwira Staf Kodam XIII/Merdeka, Kol. Supangat. Sedangkan utusan
Permesta diwakili oleh Johan Tambajong dan Wim Tenges selaku Komandan Brigade WK III. Selama
perundingan berlangsung, keamanannya dijaga ketat oleh pasukan Batalion A/Kompi Buaya di bawah
pimpinan Kapten Permesta Anthon Tenges. Perundingan berjalan baik dimana masing� pihak saling
memahami dan berjabat tangan, maka lahirlah persetujuan perdsamaian untuk mengakhiri perang saudara.
Dalam perundingan tersebut, telah diputuskan bersama untuk mengadakan gencatan senjata dan upacara
pembuatan naskah perdamaian antara pemerintah RI dengan pasukan Permesta, dan disepakati diadakan di
Desa Malenos Baru yang sekarang ini sudah jadi pemukiman penduduk. Jarak dari Desa Malenos ke Desa
Malenos Baru cukup dengan menempuh kira� 1.500 meter. |
11-15 Februari 1961 |
Dalam periode waktu ini, ada 11.343 orang dari Brigade Manguni dibawah komando Kepala Daerah
Minahasa Permesta Letkol Laurens F. Saerang, anggota Pasukan Wanita Permesta (PWP) dan orang� dari lima
pangkalan gerilya di Langowan-Kakas, dibawah pimpinan Laurens F. Saerang, menyerah kepada Pemerintah
Republik Indonesia.
Mereka diterima dalam suatu upacara resmi pada tanggal 15 Februari 1961 oleh Brigjen Ahmad Yani
(wakil KSAD TNI, serta Kepala Komando Wilayah Indonesia Timur sejak Januari 1960).
Laporan terakhir menyatakan, ada 6.000 pasukan, 2.000 pengikut, serta 1.003 senjata diserahkan
pada saat itu.
|
12 Februari 1961 |
Pertemuan di desa Malenos diadakan antara Broer Tumbelaka dengan perwira Permesta seperti
Yus Somba, Lendy Tumbelaka, dan Abe Mantiri. Broer mendesak agar suatu persetujuan akhir diputuskan
dengan cepat. Sebelumnya, Broer menulis sebuah surat yang panjang kepada D.J. Somba yang mendesak
agar suatu persetujuan akhir diputuskan dengan cepat.
|
4 Maret 1961 |
Di Jakarta dilangsungkan penandatanganan perjanjian pembelian senjata dari Uni Soviet kepada
Pemerintah Pusat Indonesia atas dasar kredit jangka panjang. Pembelian senjata tersebut adalah
pembelian senjata terbesar yang pernah dilakukan dari luar negeri sampai saat itu. antara lain: 275
tank, 560 kendaraan militer untuk Angkatan Darat; lebih dari 150 pesawat berbagai jenis untuk
Angkatan Udara; 4 corvet, 24 kapal torpedo, 2 kapal selam dan lain� untuk Angkatan Laut.
Bantuan perlengkapan senjata dari Blok Uni Soviet dan Eropa Timur dalam jumlah begitu besar,
menyebabkan pemerintah Amerika Serikat meninjau kembali politik permintaan senjata Amerika Serikat
oleh Indonesia.
|
31 Maret 1961 |
Pamplet yang berisi seruan KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution disebarkan sejak hari ini, dan bahwa
upacara penandatanganan resmi pernyataan Kolonel Permesta D.J. Somba mengenai kembalinya ke pangkuan
Republik Indonesia akan dilangsungkan pada tanggal 4 April, dan gencatan senjata akan berlaku sejak
11 April.
|
April 1961 |
Menurut keterangan Jenderal Nasution, dalam perang melawan tentara Permesta banyak korban yang
jatuh dari pihak TNI. Dikatakan, rata� tiap hari jatuh 5 orang korban di pihak TNI. Berdasarkan
keterangan ini dapat diperkirakan jumlah kerugian nyawa yang diderita Tentara Pusat sejak Februari
1958 sampai Maret 1961, yaitu 3 thn x 365 hari x 5 orang = �5.475 orang.
|
2 April 1961 |
Pertemuan pendahuluan di desa Lopana/Tumpaan (dimana Permesta diwakili oleh Panglima Besar
Permesta Mayjen Permesta Alex Kawilarang serta Pemerintah Pusat diwakili oleh Deputi I KSAD, Brigjen
TNI Ahmad Yani) guna menjajaki rapat "Penyelesaian Permesta".
Selain itu juga diadakan pertemuan antara Kolonel Permesta D.J. Somba dan Kolonel TNI Soenandar
Priosudarmo di Lopana.
|
3 April 1961 |
Pasukan Zeni Kodam XIII/Merdeka membuat suatu lapangan untuk tempat upacara pertemuan pendahuluan
penyelesaian Permesta.
Tempat itu sekarang yakni berada di sekitar rumah Gereja GMIM Eben Haezer Malenos Baru.
|
4 April 1961 |
Upacara Perdamaian Permesta dan Pemerintah Pusat.
Penyelesaian masalah Pergolakan Permesta di Malenos Baru (saat itu masih berupa hutan jati),
Amurang, yaitu Upacara Penandatangan Kembalinya Pasukan Permesta dari Mayor D.J.Somba selaku
Komandan KDM-SUT kepada Ibu Pertiwi. Pembacaan pernyataan dibacakan oleh Drs. Andri Sampow
(waktu itu masih sebagai mahasiswa).
Pihak TNI diwakili Panglima Kodam XIII/Merdeka, Kolonel Soenandar Priosudarmo, dan pihak Permesta
diwakili oleh Kolonel (Permesta) Lendy R. Tumbelaka dan Letkol tituler A.C.J. Mantiri (bekas
direktur Pelayaran Rakyat Indonesia di Manado, yang tak lain adalah suami dari sepupu Alex Kawilarang)
sebagai perunding utama dari Permesta, disamping Panglima Besar Mayjen (Permesta) Alex E. KAWILARANG
dan Kolonel (Permesta) D.J. SOMBA.
Panglima Kodam XIII/Merdeka, Kolonel Soenandar Priosudarmo didampingi Kepala Kepolisian Sulutteng,
Drs. Moerhadi Danuwilogo, komandan Tim Perjuangan Resimen, Letkol Sampurno, serta beberapa perwira
lain dari Kodam XIII. Selain Komandan KDM-SUT, Kolonel Permesta D.J. (Yus) Somba, Permesta juga
diwakili oleh Deputi III Panglima Besar Permesta, Kolonel Permesta Lendy R. Tumbelaka, Kolonel
Permesta Wim Tenges, dan Sekjen Dephan Permesta, Letkol tituler Permesta A.C.J.(Abe) Mantiri.
Upacara ditutup dengan berbarisnya sepasukan Permesta (kompi) dari Kapten Lengkong Worang dari
Sekolah Pendidikan Angkatan Darat (SPAD) Permesta, yang meski ada diantara mereka yang tidak
bersepatu, persenjataannya lengkap.
Surat Pernyataan penghentian tindak permusuhan Permesta-TNI di Minahasa, disaksikan Panglima Besar
Angkatan Perang Permesta Jenderal Mayor Alex Kawilarang disatu pihak dan Jenderal Mayor TNI Hidayat
dan Panglima KDM XIII/Merdeka Kolonel Soenandar Priosoedarmo pada pihak lain, yang lengkapnya
berbunyi sebagai berikut:
- Setelah membatja seruan Menteri Keamanan Nasution/KSAD tertanggal 3 Maret 1961;
- Mengingat keputusan terachir dari pucuk pimpinan Angkatan Perang Revolusioner;
- Menimbang, bahwa persengketaan antara kita dengan kita jang telah berlangsung selama 3 tahun
ini, telah meminta pengorbanan jang tidak terhingga dari rakjat Indonesia pada umumnja dan
rakjat Sulawesi Utara dan Tengah pada chususnja sehingga kami telah sampai pada kesimpulan
bahwa keadaan sematjam ini tidak dapat dibiarkan terus;
- Demi untuk keselamatan dan kesentosaan bangsa Indonesia, rakjat dan daerah Sulawesi
Utara/Tengah chususnja, persengketaan tersebut perlu segera dihentikan. Maka oleh karenanja
dengan ini menjatakan bahwa mulai tanggal 4 April 1961, kami dengan seluruh pasukan dan
rakjat Permesta jang berada dalam lingkungan pimpinan kami telah kembali ke pangkuan
Ibu Pertiwi;
- Segala persoalan jang timbul sebagai akibat daripada penghentian persengketaan ini, akan
diatur oleh jang diwajibkan untuk itu oleh pemerintah RI;
- Semoga Tuhan Jang Maha Esa melimpahkan rahmat, hidajat serta taufikNja atas kita sekalian.
Ditempat, 4 April 1961
Panglima KDMSUT
(D.J. Somba)
Dengan demikian terhitung mulai hari ini, Permesta sudah dinyatakan berakhir, dan telah berdamai
dengan pusat tanpa ada yang kalah, maupun menang.
Penting untuk dicatat, bahwa Yus Somba menandatangani dokumen� ini sebagai Komandan KDM-SUT, meski
secara resmi sudah dibubarkan pada 23 Agustus 1958; hal ini berarti ia dan pasukan Permesta yang
menyerahkan diri itu diakui sebagai bekas anggota TNI.
Untuk penyaluran para ex-Permesta diatur dalam dokumen "Ketentuan� Mengenai Penjaluran ex-Anggota
Permesta" tertanggal 4 April 1961.
|
11 April 1961 |
Gencatan senjata (cease-fire) antara pasukan Permesta dan Tentara Pusat dilakukan hari ini.
|
14 April 1961 |
Upacara defile "Penyelesaian" penyambutan kembalinya Permesta ke pangkuan RI secara resmi
diadakan di Susupuan, yaitu perbatasan kota Tomohon dengan Desa Woloan, yang mana GMIM selaku
fasilitator yang mempersiapkan lahan upacara pertemuan.
Sekitar 30.000 tentara Permesta di Sulawesi Utara saat itu keluar dari hutan� setelah diadakan
perundingan damai antara Permesta-Pemerintah Pusat.
Dalam upacara tersebut, disiapkan pasukan Permesta dan TNI masing� berkekuatan satu brigade, berparade
di lapangan upacara Woloan. Hadir dalam parade tersebut, utusan pusat Wakil Menteri Pertahanan Mayjen
TNI-AD Hidayat (perwira senoir TNI-AD), Brigjen TNI Ahmad Yani, Panglima Kodam XIII/Merdeka Kolonel
TNI Soenandar Priosoedarmo beserta staf, dan petinggi Permesta; Panglima Besar Permesta Mayjen Alex
E. Kawilarang, KSAP Permesta Kolonel Dolf Runturambi, Kastaf AUREV Kolonel AUREV Petit Muharto
Kartodirdjo, Panglima KDM-SUT Kolonel Permesta D.J. Somba, Komandan WK-III Kolonel Permesta Wim Tenges,
Staf Markas Komando Permesta, a.l. Kolonel Permesta Lendy R. Tumbelaka, Letkol tituler Permesta
A.C.J. Mantiri (Sekjen Dephan Permesta), staf komando Angkatan Perang Permesta lainnya, atase� militer
negara asing antara lain Kolonel George Benson dari Kedubes Amerika Serikat (yang dulunya ikut
mengkoordinasikan penyaluran senjata kepada Permesta), Gubernur Sulutteng Arnold A. Baramuli, SH,
Wagub F.J. (Broer) Tumbelaka, dan stafnya, anggota pemerintahan setempat, serta masyarakat. Parade
diadakan dua kali, yaitu untuk Wakil Menteri Pertahanan RI Mayjen TNI Hidayat dan kedua kalinya untuk
Panglima Besar Permesta Mayjen Alex E. Kawilarang.
Dalam upacara ini juga WAKASAD (Wakil KSAD) Mayjen TNI Hidayat menerima Mayjen Permesta Alex E.
Kawilarang sebagai seorang teman lamanya, selain beberapa perwira seperti Pangdam XII/Merdeka Kolonel
TNI Soenandar dengan Kastaf Angkatan Perang Permesta, Kolonel Permesta Dolf Runturambi, yang adalah
sekelas di SSKAD 54/55.
Alex Kawilarang sulit menyembunyikan kekesalannya terhadap Bung Karno. Hal itu tersirat dari
percakapan awal pertemuannya dengan JJ Pitoy yang
dihadiri wartawan S.E.Panggey, begitu berjabat tangan, langsung membuka percakapan dengan kata�:
"Bagaimana dengan Soekarno-mu ?" Ia terus melanjutkan kata� yang bernada sindiran terhadap
Bung Karno begitu berjabat tangan tangan dengan S.E.Panggey yang oleh Mr J.J.Pitoy diperkenalkan
sebagai wartawan Permesta yang baru saja keluar bui (penjara) (sekitar 2 tahun berada dalam tahanan
karena sebagai wartawan, S.E.Panggey telah ikut mendarat ke Morotai dengan Permesta pimpinan Mayor
Nun Pantouw.
Kapal terakhir yang membawa perbekalan bagi Angkatan Perang Permesta tiba saat upacara defile ini
berlangsung, yang disebut Permesta sebagai "Apel para Pahlawan". Setelah upacara, Petit Muharto
pergi ke luar negeri dengan kapal ini ke Singapura dan baru kembali ke Indonesia setelah 1966.
Setelah itu, perwira Permesta kembali ke markas. Beberapa hari kemudian, markas Staf Angkatan Perang
Permesta dipindahkan ke Tara-tara. Urusan administrasi personil dan pasukan Permesta dikerjakan di
Taratara dan Woloan. Para anggota pasukan Permesta kemudian diberhentikan dengan hormat dari dinas
militer Permesta, dan diberikan piagam pemberhentian yang dimaksud. Likuidasi Pasukan Permesta
ini dilakukan sampai pada sekitar bulan September tahun itu. Hubungan dengan Kodam XIII/Merdeka
dilakukan dengan kurir. Keluarga� sudah boleh mengunjungi keluarga mereka di kota dan dapat tingal
bersama keluarga yang menampungnya. Anggota� pasukan Permesta tetap berada di daerah� yang didudukinya.
Mereka tidak diperkenankan keluar daerahnya tanpa izin dari komandan masing� dan komandan pasukan TNI
di daerah dekat. Membawa senjata keluar daerah masing� tidak diperkenankan.
|
Defile tentara Permesta diterima Brigjen Ahmad Yani |
|
April 1961 |
Kolonel (Permesta) D.J. Somba dan pasukannya memimpin suatu aksi pemberontakan.
(Kelak setelah mendapat amnesti serta dikarantinakan politik selama 10 hari di Jakarta, kemudian
menerima kembali pangkat resmi sebagai Mayor TNI dan pensiun dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel).
Menurut keterangan Jenderal A.H. Nasution, dalam perang melawan tentara Permesta banyak korban yang
jatuh dari pihak TNI. Dikatakan, rata� tiap hari jatuh 5 orang korban di pihak TNI. Berdasarkan
keterangan ini dapat diperkirakan jumlah kerugian nyawa yang diderita Tentara Pusat sejak Februari
1958 sampai Maret 1961, yaitu 3 thn x 365 hari x 5 orang = 5.475 orang.
|
12 Mei 1961 |
Pertemuan diadakan di rumah Keluarga Hans Tular di Tomohon mulai pukul 09.00 antara Panglima
Besar Permesta Mayor Jenderal (Permesta) Alexander Evert Kawilarang dengan Kepala Staf TNI-AD
Jenderal (TNI) Abdul Haris Nasution, yang turut dihadiri oleh seorang perwira CPM, KSAP Permesta
Kolonel Dolf Runturambi, Sekjen Permesta Letkol tituler A.C.J. (Abe) Mantiri.
Mengenai penyelesaian pasukan Permesta, KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution menjelaskan:
- (a) perwira� bekas TNI tetap akan memiliki tanda pangkat TNI yang dimilikinya pada 17 Februari
1958;
- (b) perwira� yang sekarang mempunyai tanda pangkat yang lebih tinggi dari pangkat 17 Februari
1958, dapat diterima kalau sesuai dengan jabatan yang dipegangnya sekarang;
- (c) komandan� kompi/regu/peleton yang bukan ex. TNI akan dimasukkan dalam pendidikan untuk
jabatan� yang mereka duduki sekarang; pemuda yang menjadi anggota pasukan akan diberikan
pendidikan militer;
- (d) pelajar� boleh kembali ke bangku sekolah;
- (e) mengenai angkatan lain seperti Polri-AURI-ALRI mereka boleh kembali ke kesatuan masing�
setelah melapor kepada sebuah panitia yang akan dibentuk bersama antara TNI dan Permesta;
- (f) anggota� pemerintahan sipil dapat kembali ke jawatannya semula sesuai dengan ketentuan
yaitu, melalui panitia yang disebut pada sub e di atas.
Kemudian setelah pertemuan, KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution bersama rombongan yang terdiri dari perwira�
stafnya, Kodam XIII/Merdeka, atase� militer negara asing, D.J. Somba dan Dolf Runturambi bersama
dengan rombongan lainnya menuju Papakelan - Tondano, dan diadakan parade oleh satu brigade pasukan
Permesta dan brigade TNI AD. KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution menerima penghormatan tersebut. Panglima
Besar Permesta Alex E. Kawilarang dari pertemuan di Tomohon, langsung kembali ke Woloan dan Taratara,
karena ia masih kurang sehat akibat flu yang dideritanya dua hari sebelumnya.
Para perwira Permesta tersebut kemudian menerima kembali pangkat mereka saat sebelum 17 Februari 1958.
Namun permasalahannya kemudian terletak pada posisi Alex E. Kawilarang, karena selain sebagai perwira
senior TNI, juga pangkatnya sangat tinggi, yaitu Jenderal Mayor Permesta. Akhirnya diambil keputusan
bahwa ia akan diberikan pensiun (purnawirawan).
(Tetapi belakangan Kawilarang kecewa pada Nasution yang tidak menepati janjinya:
Sejumlah perwira Permesta ditahan dan yang lainnya diturunkan pangkat.
Ribuan pasukan Permesta setiba mereka di pulau Jawa tanpa diduga dilucuti senjatanya dan dimasukkan
ke kamp� konsentrasi/rehabilitasi. Sebagian lagi dikirim ke perbatasan Kalimantan Utara dan
berperang melawan tentara Inggris Ghurka/Dwikora).
Kepala Staf Angkatan Perang RPI, Brigjen. Ventje Sumual saat itu belum menyerahkan diri. Ia masih di
hutan menunggu perintah dari Sjafruddin Prawiranegara selaku sebagai Perdana Menteri RPI. Tinggal
kurang dari 200 orang pasukan yang masih menjadi anak buahnya. Anggota keluarga, orang sipil lain,
serta mereka yang sakit dan cacat diperbolehkan menyerah pada bulan Mei. Ny. Sumual, Ny. Hetty
Gerungan-Warouw, Ny. J.H.Pantouw-Macawalang dan Gubernur Permesta H.D. Manoppo berada dalam kelompok
ini.
|
29 Mei 1961 |
Secara resmi Ahmad Husein melaporkan diri dengan pasukannya, disusul oleh tokoh� RPI yang lain,
baik sipil maupun militer.
Kelompok M. Simbolon dan Achmad Husein memang memisahkan dengan RPI (Republik Persatuan Indonesia),
lalu mebentuk Pemerintah Darurat Militer, sama seperti yang dilakukan Alex Kawilarang dan kawan�nya
di Sulawesi. Mereka telah melangsungkan perundingan antar tahun 1958-1959 di Singapura, Hong Kong dan
Jenewa, namun menemui kegagalan.
bulan Juni dan Juli mereka menyerahkan diri dengan sejumlah 24.500 orang.
|
22 Juni 1961 |
Permesta mendapat amnesti dan abolisi dari Presiden Soekarno melalui
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 322 TAHUN 1961
Tentang "Pemberian AMNESTI dan ABOLISI Kepada Para Pengikut Gerakan `Permesta`
Dibawah Pimpinan Kawilarang, Saerang, dan Somba
yang Memenuhi Panggilan Pemerintah Kembali Kepangkuan Ibu Pertiwi".
Amnesti dan abolisi ini diberikan kepada para pengikut gerakan "Permesta" dibawah pimpinan
Alex Kawilarang, Laurens Saerang dan D.J. Somba yang telah memenuhi panggilan Pemerintah
untuk kembali kepangkuan Ibu Pertiwi.
Dengan memberikan amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhadap pengikut gerakan Permesta
dibawah komando Alex Kawilarang dan Laurens Saerang dihapuskan.
Dengan memberikan abolisi, maka penuntutan terhadap pengikut gerakan Permesta dibawah
komando Alex Kawilarang dan Laurens Saerang ditiadakan.
Pelaksanaan dari keputusan ini dilanjutkan oleh Menteri Keamanan Nasional sedangkan
kelanjutannya (follow-up) menjadi tugas departemen yang bersangkutan dibawah koordinasi
Menteri Keamanan Nasional.
Amesti ini dinyatakan kepada mereka "yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi".
Amnesti dan abolisi ini tidak disetujui oleh PKI.
Alex E. Kawilarang, D.J. Somba, Wim Tenges, Lendy R. Tumbelaka, Laurens F. Saerang langsung
direhabilitasi namanya oleh Presiden Soekarno, sedangkan yang lainnya diberi komentar
"Revolusi belum selesai dan tuan� ini adalah penghalang roda revolusi," kata Soekarno
kepada para bekas perwira Permesta yang lainnya dan kemudian ditahan tanpa melalui proses
pengadilan. Mayor D.J. Somba sempat ditahan (karantina politik) selama 10 hari di Jakarta.
Pasukan Brigade Anoa (sebelumnya adalah Batalyon Q) pimpinan Mayor J. Lumingkewas yang bertahan
di daerah Kotambunan - Bolmong, terperangkap diantara gerombolan pasukan Brigade 999
("CTN/Garda Nasional" RPI) dan kepungan pasukan TNI, setelah menerima berita perdamaian tersebut,
kemudian diangkut truk lalu naik kapal laut menuju Bitung. Selanjutnya pasukan ini dikirim ke
Jawa Timur untuk kemudian dilatih di sana dan berangkat ke Irian barat menghadapai Belanda
dalam rangka Operasi Trikora. Sebagian besar pasukan yang adalah gabungan ex. KNIL-TNI ini
gugur di sana.
Bekas tentara Permesta yang dilatih di Minahasa selama beberapa minggu kemudian dikirim ke Kamp
Rehabilitasi/Latihan di daerah Jawa Timur dalam beberapa tahap untuk persiapan dikirim untuk
Operasi Pembebasan Irian Barat, Operasi Dwikora, dll.
Antara lain mereka naik kapal angkut pasukan ADRI "Aronda" dan tiba di Tanjung Perak Surabaya
tanggal 1 September 1961, kemudian ditampung di Kamp Konsentrasi Dinoyo. Mereka di sana selama masa
rehabilitasi diperlakukan dengan baik. Mereka menerima sabun mandi, rokok dan sedikit uang saku.
Meskipun demikian, satuan� Permesta yang dikirim pada pemberangkatan� awal mengakui dalam surat yang
dikirimkan kepada keluarga dan teman mereka bahwa mereka tidak diperlakukan dengan baik, senjatanya
langsung disita di tempat latihan/rehabilitasi tersebut, sehingga timbul beberapa insiden di Bitung
yang menolak untuk dikirim ke sana, dll.
Setelah selesai masa rehabilitasi kami diberikan 3 pilihan yaitu kembali ke bangku sekolah, kembali
ke masyarakat dan masuk TNI. Setelah dites ternyata hanya sedikit yang tembus. Sedangkan sebagian
besar kembali ke masyarakat.
Sebagian bekas pasukan Permesta (eks-Meta) diterima menjadi tentara APRI atau kembali ke
kesatuannya.
Beberapa perwira Permesta, seperti D.J. Somba dan Lendy R. Tumbelaka ditarik ke Bakin (Badan
Koodinasi Intelejen Negara), juga beberapa diantaranya yang mendapat tugas di MBAD (Mabes TNI-AD).
Para pemuda Permesta lainnya menempuh Sekolah Lanjutan Peralihan di Manado yang disediakan Pemerintah
Pusat, setelah Penyelesaian Permesta (Kelak mereka mendirikan sebuah organisasi yang dianggap sebagai
forum pembinaan dengan nama Ikaselanpe/Ikatan Alumni Sekolah Lanjutan Menengah Peralihan di Jakarta).
|
10 Juli 1961 |
Setelah sebelumnya pada bulan yang sama, Nun Pantouw serta adik perempuan Ventje Sumual, Evert
(salah satu pimpinan PWP) ditangkap oleh pasukan Permesta yang sudah kembali ke TNI (disergap dalam
sebuah acara di daerah Tombatu), Broer Tumbelaka datang bertemu dengan keduanya hari ini dan
menyerahkan mereka kepada Kolonel Soenandar Priosoedarmo atas permintaan kedua orang itu sendiri.
|
29 Juli 1961 |
Suatu upacara di Manado diadakan hari ini untuk menyambut dan menegaskan amnesti dan abolisi
terhadap Permesta serta penghapusan tuduhan� resmi yang mungkin akan diadakan terhadap pasukan
Permesta.
Sebagai hasil penyelesaian dengan Alex E. Kawilarang dan D.J. Somba, diperkirakan 27.055 orang,
25.176 diantaranya anggota militer, 8.000 diantaranya bersenjata, mengakhiri pemberontakan mereka.
Dari jumlah ini, diperkirakan 5.000 orang adalah bekas anggota TNI.
(Daftar ini tertanggal 6 April 1961 yang ditandatangani oleh Lendy R. Tumbelaka, sebagai kepala tim
penengah KDM-SUT; hampir separuh mereka yang dimasukkan, yakni 13.673 orang, berada di Distrik III
[WK-III]; terdapat 3.000-4.000 orang di ketiga Distrik/WK lain. Terdapat sekitar 3.000 senjata yang
terdaftar di WK-II dan WK-III. Pada bulan Februari 1961, Yus Somba memperkirakan kekuatan total
Permesta sekitar 43.000 orang, 5.000 diantaranya dari KDM-SUT [mungkin bekas TNI dari satuan manapun],
dan 9.000 bekas anggota KNIL [1.000 diantaranya sudah pensiun]. Jumlah Pasukan Wanita Permesta yang
menyerahkan diri saat itu antara 1.413 [angka dari Annie Kalangie], dan 1.502 dalam daftar 6 April
1961 ini).
Setelah masa screening, 8.000 orang dikirim ke Jawa Timur untuk karantina politik dan
reindoktrinasi sebelum diterima (atau diterima kembali) ke dalam TNI. Sejumlah 11.000 orang,
militer maupun sipil, telah menyerah bersama� dengan Brigade Manguni dan Laurens Saerang, dan
sejumlah satuan Permesta lainnya telah menyerah kepada pasukan TNI setempat.
Tinggal kelompok di Minahasa Selatan, Ventje Sumual, Nun Pantouw, dan kedua batalyon dari Brigade
999 (Bn. Goan dan Bn. Lisangan): diperkirakan sejumlah 1.500 orang, 900 diantaranya bersenjata.
|
17 Agustus 1961 |
Panpres No.449/Th.1961 Tentang Amnesti dan Abolisi secara luas, selain kepada PRRI dan
Permesta, juga kepada pemberontak DI/TII Daud Beureuh, Republik Maluku Selatan (RMS), DI/TII Kahar
Mudzakkhar, dll, dengan syarat harus melapor selambat�nya tanggal 5 Oktober 1961 sudah harus melapor
diri.
Bekas KSAU AUREV Petit Muharto Kartodirdjo pergi ke Kuala Lumpur untuk kemudian menghadiri
penandatanganan pernyataan untuk kembali ke pangkuan RI.
Setelah penandatanganan itu, dia menerima sebuah perintah dari Alex Kawilarang untuk menyusun
kepulangan keluarga� Permesta yang tetap berada di luar negeri. Sesudah konflik berakhir, Petit tetap
tinggal di Singapura bersama keluarganya, baru pada tahun 1967 dia kembali ke Indonesia untuk jangka
waktu yang pendek, untuk mengunjungi relasinya. Petit baru pulang kembali ke Indonesia tahun 1969.
Hari ini, Presiden Republik Persatuan Indonesia Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan berakhirnya
permusuhan, dan memerintahkan diakhirinya segala tentangan terhadap pemerintah RI dan TNI-nya.
|
Halaman 1 |
Halaman 2 | Halaman 3
Masa Post-Permesta (Rehabilitasi Permesta)
Masa Reuni eks-Permesta (neo-Permesta)
Bila ada tambahan data baru, serta
bila ada kesalahan dalam penyebutan nama, jabatan, peristiwa, waktu, dan lain-lain;
harap dapat menghubungi webmaster:
[email protected]
* Data dikumpulkan dari berbagai sumber bacaan.
* Untuk teks yang berwarna merah/biru, maupun berupa foto-foto,
silahkan klik di situ untuk mendapatkan informasi lebih lanjut menuju link dokumen itu.
* Materi/isi dari Kronologi Permesta ini dapat berubah sewaktu�
untuk kepentingan update dan pembaharuan data yang otentik.
Bila ingin mengutip isi kronologi ini, disarankan untuk mengecek ulang
data terakhir halaman ini untuk kepastian informasi terbaru (update/ralat).
Anda Pengunjung ke:
|