|
Urgensi Pembaruan Dalam Islam
(Sebuah Pengantar)*
Oleh: Ahmad Farid Nazori**
Dari Abu Hurairah Ra:”Sesungguhnya Allah akan mengutus
kepada umat ini (Islam) setiap seratus tahun, orang yang akan memperbarui
agamanya?
Mukadimah
Akidah, ibadah dan mu’amalat merupakan tiga komponen ajaran Islam yang tidak
bisa dipisah-pisahkan. Namun, dalam memahami pesan yang mengatur tata cara
pelaksanaan tiga komponen itu manusia sering mengalami kekeliruan.
Kekeliruan itu bisa disebabkan keterbatasan manusia, atau dipengaruhi oleh
kondisi, ambisi dan lingkungan manusia itu sendiri. Dari kekeliruan
pemahaman dan pemikiran itu tersebut, pada gilirannya akan mengaburkan warna
asli dari ketiga komponen suci diatas. Dalam kondisi demikian, maka sangat
dibutuhkan sebuah semangat dan gerakan pembaruan sebagaimana yang
diisyaratkan oleh hadits diatas tadi.
Pengertian Pembaruan
Pembaruan yang dimaksud
adalah:”Menjaga bentuk yang telah ada dan memperbaiki kerusakan yang terjadi
pada bagiannya serta memperindahkannya?
Lebih terperinci DR.Yusuf Al-Qardawi memperjelas pengertian pembaruan dalam
Islam. Sebelum memberi rincian tentang pembaruan dalam Islam, beliau
menegaskan bahwa pembaruan dalam Islam itu ada dan sangat diperlukan.
Selanjutnya al-Qardawi
menerangkan bahwa pembaruan dalam Islam itu adalah menjaga esensi dan
karekteristik sebuah bangunan dan berusaha memperbaiki kerusakan yang
terjadi padanya. Pengertiannya, adalah tetap menjaga keaslian (orisinalitas)
bentuk dan warna Islam sebagaimana ketika diturunkan Allah Swt. Lebih lanjut
al-Qardhawi mengatakan pembaruan dalam ajaran Islam adalah mengembalikannya
kepada periode awal Islam. Yaitu periode Rasulullah dan para sahabatnya.
Kembali kepada periode awal atau masa lalu bukan berarti kembali kepada
kejumudan dan statis. Tetapi kembali kepada kebangkitan dan keluwesan
syariat Islam (Murunah dan Si’ah).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan pembaruan dalam Islam itu adalah mengembalikan Islam (akidah, ibadah,
muamalat) kepada bentuk dan warna asli ketika diturunkan. Dan membersihkan
pemahaman-pemahaman yang mengaburkan ajaran Islam.
Pembaruan
Antara Barat dan Islam
Islam adalah agama rahmat yang melepaskan manusia dari berbagai belenggu
penghambaan. Islam juga adalah agama yang sempurna, mengatur setiap dimensi
kehidupan. Manusia sebagaimana yang difirmankan allah Swt:”Pada hari ini
telah kami sempurnakan untukmu, agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku
dan telah Ku ridhoi Islam itu jadi agama bagimu?
Ayat diatas merupakan jaminan dari Allah Swt, bahwa
agama Islam telah sempurna dan tidak perlu ditambah. Apalagi mesti
disempurnakan dengan sesuatu yang datang dari luar Islam.
Pembaruan merupakan hal yang sangat penting dalam “kehidupan?manusia.
Masyarakat barat yang tidak terlalu taat pada ajaran agamanya, masih
mengidamkan pembaruan dalam agamanya. Misalnya, gerakan Protestan yang lahir
dalam tubuh Kristen dipelopori oleh Martin Luther King (1483-1546 M).
Berawal dari protes ketidakpuasan terhadap keadaan gereja. Dimana campur
tangan gereja terhadap ajaran Kristen terlalu jauh sehingga mengaburkan
ajaran Kristen. Begitu juga dengan paham methodisme yang dicita-citakan
oleh Charles dan Jhon Wesley untuk hidup keagamaan menurut injil.
Dalam Islam seruan pembaruan itu bukanlah suatu gerakan yang lahir begitu
saja. Tapi merupakan bagian dari ajaran Islam itu sendiri sebagaimana hadits
yang tertera diatas tadi. Namun, dalam usaha pembaruan ala barat (sekulerisme),
usaha pembaruan malah menjadi usaha pendangkalan dan pemusnahan ajaran
Islam. Sedangkan pembaruan dimaksud Islam adalah kembali kepada ajaran Islam
yang murni dengan tetap menjaga esensi dan karakteristik ajaran Islam.
Adab dan Etika Dai
Dalam menyikapi pembaruan
seorang dai diperlukan memiliki kesiapan mental dan kedewasaan sikap. Karena
dalam setiap usaha pembaruan acapkali terjadi pertembungan pemikiran dan
silang pendapat. Dalam menyikapi hal ini, ada baiknya kita renungkan pesan
Ali bin Abi Thalib Ra:”Lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang
mengatakannya? Artinya, seorang dai harus melihat kebenaran yang
disampaikan, selama berpijak pada argumentasi yang sesuai dengan landasan
al-Quran dan As-Sunnah.
Sosok dai juga patut meniru
apa yang pernah dipesankankan oleh Imam syafi’ie. Imam syafi’ie berpesan:
”Jika kalian mendapati pendapatku tidak benar, maka lemparkan pendapatku itu
ke tembok? Begitu pula dengan Imam-imam yang lain, ada yang
mengatakan:”pendapatku benar, mungkin mengandung kesalahan. Pendapat orang
lain salah, mungkin mengandungi kebenaran? Juga ada yang berkata:”Jika
kalian temui hadits shahih, maka itulah mazhabku?
Pada sisi lain, seorang dai
dalam usaha pembaruan tidak seharusnya mengadopsi atau meniti segala macam
cara. Karena dalam Islam jalan dan tujuan adalah dua mata rantai yang tidak
terpisahkan. Sebagaimana yang diungkapkan DR. Muhammad Ramadhan al-Buthi:?
Jalan dan tujuan, kedua-duanya adalah ibadah dalam Islam?
Hal ini, pernah dicontohkan
Rasulullah Saw ketika Atabah sebagai utusan kaum Quraisy datang menemui Nabi
Saw. Atabah berkata;?wahai anak saudaraku, jika engkau ingin harta, kami
akan mengumpulkannya untukmu. Jika engkau ingin kekuasaan, maka kami akan
menjadikan engkau raja atas kami. Jika engkau ingin kemuliaan dan kehormatan,
maka kami berjanji tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali ada engkau.
Asalkan engkau meninggalkan dakwahmu ini? Akan tetapi semua tawaran manis
tersebut, ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah Saw.
Padahal kalau ditinjau dari
kacamata strategi dakwah, barangkali ada baiknya Rasulullah Saw menerima
tawaran tersebut. Karena dengan harta, kekuasaan dan penghormatan akan lebih
leluasa untuk mengajak kaum Quraisy masuk Islam. Penolakan Rasulullah itu
mengajarkan kepada kaum muslimin bahwa cara atau sarana dakwah harus sejalan
dengan tujuan. Artinya cara, sarana, atau jalan itu tidak boleh keluar dari
koridor syariah.
Untuk lebih tepatnya DR Yusuf
Qardawi mengatakan:”Dai yang sejati adalah yang memperbarui agama dari
bahasa kepentingan dan hawa nafsu?
Suatu penyakit kronis yang melanda tubuh umat Islam adalah fanatisme buta (ta’ashub).
Penyakit dapat menghambat jalannya itu sendiri. Rasulullah Saw bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang mngajak kepada fanatisme atau
saling membunuh atas nama fanatisme?
Memetik manfaat dari hadits
diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat mencela sikap fanatisme buta (ta’ashub).
Termasuk orang-orang yang memelihara sifat-sifat fanatisme tersebut. Disisi
lain, fanatisme dapat melahirkan sikap kultus individu (taqdis). Padahal
setiap manusia, kecuali Nabi dan Rasul, tidak luput dari kesalahan dan
kealpaan. Bisa jadi pula, belum sampainya suatu hadits, riwayat atau
pendapat yang akurat kepada para ulama dalam proses istinbat suatu hukum.
Ijtihad
Ijtihad adalah salah-satu wacana dalam pembaruan. Secara terminologi,
ijtihad adalah: ”Mengerahkan seluruh kemampuan dan usaha dalam mencari hukum
syariat?
Kata ijtihad hanya digunakan pada usaha yang memerlukan pengerahan tenaga
semaksimal mungkin demi sebuah tujuan.
Penulis tidak membahas tentang syarat dan disiplin ilmu yang harus dimiliki
pelaku ijtihad (mujtahid). Begitu juga beserta tingkatan-tingkatan mujtahid.
Karena terbatsnya ruangan dan persyaratan yang dibuat oleh para ulama itu,
sangat sulit dipenuhi oleh umat Islam sekarang. Kalaupun ada sangat minim
sekali. Namun, ada ulama yang mengatakan boleh berijtihad dengan syarat,
seorang mujtahid memiliki ilmu yang bisa mengantarkannya kepada hasil yang
maksimal dalam masalah yang ia hadapi.
As-Syeikh
Musthofa Maraghi mengatakan: ”ijtihad bukanlah sesuatu yang ada pada akal
saja (mumkinan aqlan), akan tetapi bisa dilakukan dan caranya lebih mudah
dibandingkan dengan periode-periode terdahulu. Karena semua cabang disiplin
ilmu dan cabang-cabangnya, telah terkodifikasi dan dimiliki oleh
perpustakaan pribadi atau pemerintah. Bahkan disetiap negara Islam. Sesutu
hal yang tidak bisa didapati dan dinikmati oleh ulama-ulama terdahulu.
DiTambah Lagi... sudah terkodifikasinya semua pendapat dan kitab-kitab para
ulama-ulama mazhab.Mengomentari
ungkapan al-Maraghi tersebut, DR Abdul Aziz Hariz, dosen Fakultas Syariah,
Universitas Yordania mengatakan:”Kalaulah al-Maraghi hidup sampai sekarang.
Maka dia akan menyaksikan kitab-kitab yang terdapat dalam perpustakaan
pribadi dan pemerintah semuanya, sudah terkumpul dalam satu disket dan CD
yang dapat digunakan pemiliknya dirumahnya melalui computer? Melihat
alat-alat canggih dengan fasilitas amat memadai itu, maka al-Maraghi akan
lebih semangat mengobarkan ruh ijtihad dalam tubuh umat Islam.
Meskipun, dengan segala fasilitas yang amat memadai tersebut dan mudahnya
mengakses kitab-kitab. Umat Islam tetap mendapat kesulitan dalam berijtihad
sebagaimana para pendahulunya. Disebabkan beberapa faktor diantaranya:
Pertama, masih mengakarnya sikap taklid. Kedua,
keputus asaan semakin mengokoh dalam hati umat Islam. Ketiga,
kejumudan atau statis dalam berpikir dan menutup diri dari segala yang baru.
Anehnya, penyakit diatas tadi, selalu menyerang orang atau kalangan yang
bergumul akrab dengan disiplin ilmu-ilmu agama Islam.
Disamping mengembangkan wacana diatas, pembaruan juga dapat dilakukan dengan
usaha-usaha pentahqiqan.
Dengan usaha pentahqiqan ini, akan terlihat keaslian dan kemurnian ajaran
Islam. Cara ini lebih mudah, dibandingkan dengan ijtihad. Meskipun cara ini,
barangkali termasuk dalam wilayah ijtihad. Dikatakan lebih mudah, karena
hanya mengoreksi sebuah pendapat. Akan lebih mudah lagi bila kita memiliki
fasilitas diatas.
Atau dengan cara menikmati, mengamalkan dan sosialisasi pendapat. Atau
kitab-kitab sudah ditahqiq. Dengan demikian kata pembaruan yang sering
terdengar tidak akan menjadi sekedar ucapan atau gerakan yang bersifat
temporal.
Kesimpulan dan Penutup
Dari ucapan yang sederhana
diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan;
Pertama, pembaruan adalah sebuah keniscayaan dalam ajaran islam. Pembaruan
memerlukan usaha yang gigih.
Kedua, dalam usaha pembaruan umat Islam tetap dituntut untuk tidak keluar
dari batasan-batasan yang telah digariskan oleh ajaran-ajaran Islam.
Ketiga, pembaruan bukanlah sekedar ucapan, slogan atau gerakan yang bersifat
temporal.
Penulis amat menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Apalagi untuk
dijadikan sebagai acuan. Makalah ini tidak lebih hanya sebagai
wacana:”Saling berwasiat dalam hal kebenaran dan kesabaran? Menyadari hal
diatas tadi, penulis sangat mengharap bantuan dan sumbangan pemikiran dan
peserta diskusi budiman. Atas segala kekurangannya, mohon maaf. Wallahu
a’lam bis-showab.
*Dipresentasikan
dalam acara kajian mingguan, Keluarga Mahasiswa Jambi (KMJ) Mesir, ahad, 28
September 2003 di rumah Jambi, Rabea al-Adawea.
**Mahasiswa
tingkat akhir, Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas al-Azhar, Cairo,
Mesir.
|
|