Menjadikan Gay lebih gaya


 
Home Cerita Erotis Jeritan Hati Links Panas Galeri Pria Galeri Model Tips Gay  


Cerita Erotis

Pertama Kali mengenal duniaku
Gairah Pramugara
Kolegaku ialah Kekasihku
Pemijat dadakan
Di Hotel
Jalan hidup baru bagi Denny
Nonton bersama
Petugas iuran TV

Virtual Photo Album-dokter
Di Toilet Terminal
Main bareng-bareng
Bertemu Bule
Aku simpanan OmKu
Om Vito yang kekar
Pengakuan seorang pemerkosa
Dikerjai di kantor satpam

Jalan Hidup Baru bagi Denny

dari: Gusti A.Y
- --
Denny merasa sangat malu dengan hidupnya atau lebih tepatnya merasa frustasi. Betapa tidak? Ada perasaan tertekan dan penuh sesal. Dia telah menikah lebih dari 15 tahun. Dia adalah seorang suami yang begitu dapat dipercaya, walaupun begitu banyak kesempatan yang muncul bagi Denny untuk melakukan penyimpangan atau perselingkuhan. Dia memiliki kebanggaan atas kemampuannya berkeras kepala menekan dan mengabaikan rasa rindu akan sesuatu yang begitu lama mencekamnya. Denny adalah seorang ayah yang baik!! Sungguh!! Dia mencurahkan perhatian begitu besar kepada kedua anak lelaki dan satu anak perempuannya. Sebesar-besarnya ! Kalau teman-temannya banyak pergi bermain golf dan minum-minum dengan para klien mereka, Denny justru berupaya keras untuk dapat makan malam bersama dengan anak-anak.... suatu yang selalu diinginkan oleh anak-anak. Dia usahakan main bola dengan mereka, berenang bersama, menyaksikan pertunjukan tari gadisnya di sekolah, dan semuaaaaa apapun agar dapat menyenangkan dan memuaskan hati ketiga anak-anaknya. Bahkan Denny mendengar dari teman-temannya, bagaimana semula istrinya, Tuti, begitu membanggakannya, dan selalu mengatakan kepada istri-istri tetangga bahwa dia adalah ayah yang berdedikasi besar pada keluarga dan sungguh seorang ayah yang sempurna. Namun, hal seperti itu belumlah cukup. Setelah menjalani hidup belasan tahun berumah tangga, istrinya rupanya telah mengalami kebosanan.

Memang, di depan teman-temannya, ia tampak cemerlang, periang, suka bicara, energetik, dan bahagia. Tapi kenyataannya sungguh lain. Tuti pada kenyataannya sangat melankolis, bersikap negatif hampir terhadap apaaaaa saja, bahkan terhadap tingkah laku anak-anaknya. Apa saja di matanya salah !!! Dia rupanya hidup dalam kesepian yang mencekam, entah kenapa. Tapi rupanya semua itu karena fikiran dan kejiwaan negatifnya yang sudah ada terpateri pada dirinya sejak muda, cuma selama beberapa saat berhasil dia tutupi. Sudah bertahun-tahun Denny berusaha menjadi sumber kegembiraan dan kebahagiaan bagi Tuti istrinya itu. Tapi kenyataannya, semua gagal dalam waktu yang singkat. Rencana-rencana yang dibuatnya sering tak mencukupi, atau terlalu mahal atau entah apa lagi. Hal satu-satunya yang menjadikan istrinya bahagia dan gembira dalam hidup nampaknya adalah kegemaran merokok dan menonton tv terus-menerus yang tak pernah dilarang oleh Denny. Bodi istrinya yang semula menarik itu makin lama makin meluruh dan kini memburuk dan terlalu gemuk di mata Denny, walaupun Denny masih berupaya memiliki ketertarikan padanya. Sayangnya perhatian Denny itu jelas-jelas makin hari makin tak mendapatkan tanggapan dari sang istri sendiri. Denny mengeringkan minumannya dan mengambil kaleng minum lainnya. Kini dengan karier kerjanya yang baik, kedudukan di kantor menjadi mapan, dan karenanya dia kini dapat memiliki waktu luang yang lebih banyak bagi keluarga.

Dan waktu itu makin banyak karena ditambah dengan sikap Tuti yang mengabaikannya sehingga waktu untuk bermuka-muka di depan istrinya tak diperlukan lagi. Dengan hilangnya perhatian dari Tuti itulah, kini Denny menjadi seperti hidup membujang lagi, bebas seperti tak terikat lagi, bebas dari suasana terikat selama beberapa lama dalam hidup berkeluarga. Denny kini memang masih hidup secara formal dengan istrinya, tetapi kepedulian istrinya kepada suami dan anak-anak membuatnya seperti hidup membujang saja. Denny sekarang cuma merasa masih perlu hidup karena dia memiliki dan ditemani oleh anak-anak yang semua baik-baik dan dekat dengan Denny. Itulah, kini setiap pulang dari kantor jam 16:30, Denny tak segera pulang, tetapi mampir ke kolam renang atau sauna untuk merilekskan diri. Dari tempat kerja di Sunter, dia mudah sekali mampir ke Hotel Millenium di Kebon Sirih sebelum akhirnya pulang ke rumahnya di Tangerang menjelang jam 19:00. Itu dilakukannya hampir setiap hari sekarang ini. Tapi hari ini dia tidak ke Millenium. Dia seperti kehabisan tenaga.

Semalaman sebelumnya Tuti menghadiahinya bom sumpah-serapah tentang hal-hal kecil yang hampir tak ada harganya. Entah setan apa yang membuatnya semalaman nyinyir terus yang membuat Denny begitu bosan tinggal di rumah. Tapi Denny tetap setia mendengarkannya dan memandangi istrinya yang kini mirip orang lain sama sekali. Asap rokok yang selalu menyelimuti wajah istrinya yang tak henti merokok membuat wajah istrinya makin buram saja. Denny sadar ketiga anaknya ada di lantai atas dan pasti ikut mendengar tiap kata yang dikeluarkan oleh Tuti, dan mereka pasti merasakana betapa sang ayah direndahkan terus oleh Ibunya begitu dan begituuuu terus. Apakah ini menjadi impian jelek bawah sadar mereka dan kelak akan mengingat sang ayah dengan penuh kasih ketika mereka dewasa, wallahu 'alam ! Tapi Denny terus berdoa, semoga keteguhannya untuk tidak bersikap kasar di depan istri dan terutama di depan anak-anak kelak akan membuahkan sikap mesra semua anak-anak kepadanya, sekurang-kurangnya. Tapi bisa juga itu menjadi gambaran betapa lemah dirinya di depan sang istri. Entahlah, Denny tak ingin menganalisis apapun tentang itu... Muaaakk !!! Akhirnya tanpa dapat ditahan, di tengah berondongan kalimat Tuti, Denny beringsut dari sofa dan membanting pintu. Dia masuk ke studionya, dan di sana Denny terduduk dan akhirnya mengeringkan beberapa kaleng cola lagi sambil merenungkan gerangan dosa apa yang diperbuatnya sehingga dia harus ribuan kali menderita dimaki dan dikata-katai seperti itu oleh Tuti. Dia sendiri heran, kenapa dia tak pergi saja meninggalkan Tuti yang nyinyir terus.......

Ohhh rupanya kelebatan bayang-bayang anaknya yang menahannya tak bisa pergi bebas. Karma apa lagi ini ???? Akhirnya Denny memutuskan ke garase dan mengeluarkan mobil untuk berkeliling-keliling Jakarta membuang kesal. Dia memarkir mobilnya di sebuah kafe di bilangan Pancoran untuk mereguk suasana bebas sejenak dari kepengapan hidup berkeluarga dengan seorang istri yang indiferen (acuh-tak acuh) tapi menjengkelkan karena sering keluar kenyinyirannya. Sambil menunggu pesanan minuman, Denny merenung memandangi bayangan wajahnya di dalam cermin di dinding kafe di depannya. Tak terasa Denny mengagumi dirinya sendiri yang dikaruniai badan gempal kekar dan wajah yang tampan walaupun usia sudah di atas 40 tahun. Yang menjadi pelampiasan dirinya dari rada penasaran menghadapi suasana perkawinannya dengan Tuti adalah latihan tubuh di fitness center. Walaupun sudah berusia 45 tahun, orang bilang dia masih sesegar seperti orang-orang berusia 20an. Wow.......... !! Denny tak menyadari kehadiran seorang lelaki yang sudah beberapa saat duduk di sebelahnya di kafe itu. Tapi setelah beberapa kali mencoba menghela nafas panjang dan dalam, lirikan matanya akhirnya menyambar ke cermin tadi lagi dan di sana nampak wajah lelaki di sebelahnya yang lagi memperhatikan dirinya dan memandangi matanya dalam-dalam.

Denny tak kuasa menahan diri untuk tak menyapa: "Halo..." diiringi senyumnya yang terkenal manis dan menawan. "Namaku Dimas, " jawab lelaki sebelah itu. "Yaa?" Denny membalas. "Aku bilang, namaku Dimas. Kukira itu sudah kusampaikan dua kali, Anda baik-baik saja??" "Ohh.... maaf...." Denny mencoba tenang. "Saya pasti lagi bingung nihhh.... tentang hal lain sampai sulit berkonsentrasi..." kata Denny berkilah. "Senang bertemu dan berkenalan dengan kamu, Dimas. Namaku Denny." Denny meraih tangan Dimas dan mereka bersalaman. Dimas tersenyum pelan dan menerima raihan tangan Denny dengan penuh perasaan. Tapi saat Denny mencoba menarik tangannya dari remasan Dimas itu, Dimas tidak segera mau melepaskannya. Terasa sekali Dimas meremas tangan Denny, sementara matanya memandang tajam pada mata Denny. Denny tentu saja menjadi salah tingkah dan merasa jengah. Dia berusaha mengalihkan dirinya dari pandangan mata Dimas yang seperti memaksanya untuk membalas tapi Denny tak kuasa. Sejenak kemudian dia mengembangkan senyumnya yang lebih manis membalas tatapan mata tajam Dimas. "Nah, begitu... sekarang kamu lebih baikan deh... Kukira kamu orang dingin yang tak pedulian... Kamu tampak kuat dan tegar sekarang..... tapi membosankan..." kata Dimas sambil melepaskan tangan Denny dari genggamannya. "Oh, apa lagi itu ?? Yaa... maksudku... memang ada yang lagi kupikirkan..," Denny berusaha tenang. Yang membuat Denny heran adalah dia agak terangsang dengan pertukaran kata ini. Walaupun Denny bukan orang yang anti-homo, tapi yang jelas dia bukannya lelaki yang suka mencari lelaki lain. Ada perasaan tidak enak dan jengah dalam hatinya, tapi anehnya itu tak membuatnya menghindar dari Dimas. "Iya lahhh, kita masing-masing punya masalah seperti itu. Iya kan?? Aku juga, keluar rumah untuk lari dari pasangan kita yang bikin keki aja di rumah... Semua permintaan itu... yaaa... tanpa penghargaan pada kita. Semua sama, samaaaa deh... !"

Kuping Denny seperti ikut merah mendengar itu. Orang itu seperti tahu saja apa yang terjadi dengan dirinya. Ini membuat Denny ingin tahu lebih banyak, bukan karena ikut bergembira ada orang lain yang mengalami penderitaan yang sama dengan yang dia rasakan. Tapi yang jelas dia merasa punya teman dengan nasib sama di dunia ini, tak sendirian. Denny memperhatikan, Dimas lebih tua sedikit dari dirinya, mungkin dekat dengan usia 50an. Tapi Dimas tampak juga fit dan sehat saja, tampak muda pada umurnya itu. Rambut Dimas sudah memutih sebagian, terutama di atas kupingnya, walaupun bagian yang hitam masih cukup banyak di dekat dahinya. Di mata Denny, Dimas tampak pas dengan kedewasaannya dan memancarkan kharisma yang kuat. "Saya tahu, " Denny menjawab. "Istriku nyerocos saja sehari-hari sehingga aku sering berfikir untuk pergi saja darinya untuk hidup lebih bebas.... Tapi, anak-anakku... ohhh, mereka membuatku selalu saja pulang ke rumah." "Yeah, anak-anak memang luar biasa...," Dimas bersetuju. "Kamu beruntung memiliki anak, aku iri padamu dong..

" "Oh, kamu dan istrimu nggak punya anak ??" Denny bertanya. "Istri?" Dimas tergelak. "Yah, suatu hari nanti, mungkin aku akan menikah.... tapi dua lelaki yang menikah kan nggak bisa beranak, iya kan?" Denny tampak terhenyak dan kaget sekali. Tentu saja, dia mengira sebelumnya bahwa Dimas sudah menikah. Memang sih, dia menyebut "pasangan" saja, tidak dijelaskan pasangan itu wanita atau lelaki. Tak diduganya bahwa "pasangan" Dimas ternyata adalah lelaki. "Ohh maaf. Ku kira tak pantas aku menganggap bahwa orang seumur kita mesti sudah menikah.

Maafkan saya ....." ujarnya penuh permintaan maaf. "Ahh lupakan saja, Denny. Itu terjadi tiap saat terhadap siapa saja. Tapi kukira, aku nggak mungkin memintamu pergi denganku, iya kan, eh?" Dimas tertawa terpingkal lagi. Denny jengah dan tersinggung dengan perilaku Dimas yang sedikit urakan itu, tapi tak tahu kenapa dia tidak menjadi marah karenanya. Entah kenapa ?? "Nggak lah, saya tak pernah berfikir ke situ.. Uhhh, hemmh.. yang kumaksud, ehmmm maaf, kukira aku nggak bisa pergi denganmu.." Denny merasa darahnya memerahkan mukanya, dia merasa sangat malu. "Nggak apa-apa kok, Denny. Aku cuma bercanda dikit..." Denny ingin menunjukkan kepada Dimas bahwa dia bukan tipe religius yang menyumpahi para lelaki "gay" agar mereka masuk neraka saja atau semacamnya. Ujarnya: "Aku kenal beberapa teman "gay" ketika aku muda dulu. Kami berteman cukup akrab dan baik-baik saja. Sayang kita berpisah dan saling tak bertemu lagi kemudian.." "Saya tahu maksudmu, Denny. Aku dulu juga banyak punya teman yang "straight". Tetapi akhirnya mereka semua menikah dan punya anak. Tapi istri-istri mereka akan terperangah bila tahu bahwa sebagian besar dari mereka sering berhubungan badan denganku sebelum mereka menikahi istri masing-masing. Hahahahaha...... Sebagian dari mereka malah masih tega mencari sisi hidup lain tatkala malam pengantin mereka lagi dirayain..... Hehehehe.... Dan tahukah kamu, bahkan sebagian dari mereka kinipun masih sering jalan-jalan menjelajah Jakarta untuk menemuiku lagi, berpuluh tahun setelah mereka menikah... Hahahahaha.....

Nah, lalu kamu sendiri gimana, Denny? Apakah kamu juga punya sisi hidup lain yang tak pernah kau tampakkan pada orang lain?" Saat itu lah Denny merasa terperangkap. Dia merasakah derasnya aliran darah menuju ke selangkangannya dan penisnya seketika merasa terangsang dan menjadi kaku tegar karenanya. Dia merasa sangat terangsang dengan percakapan Dimas yang terakhir tadi. Sesuatu bergema di relung hatinya, ohhh... SISI HIDUPNYA YANG LAIN ???? ADAKAH ITU??? Dia memandangi Dimas tanpa berkedip. Kini Denny mampu dengan tegar melihat seperti apa diri Dimas...

lanjut ke samping >>

 

ohhh Dimas tampan dan sangat dewasa. Tiba-tiba saja muncul hasrat amat kuat yang mendorongnya ingin dekat-dekat dengan Dimas, ingin disentuh, ingin menyentuhnya, ingin merasakan kehangatan bibir Dimas diadu dengan bibirnya... seketika segenap libido seksual itu seperti tertumpah pada diri Dimas. "Terus terang saja, saya selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan teman-teman "gay"ku dulu itu.

 Saya masih selalu ingat suatu saat kami melakukan onani bareng-bareng sambil membaca cerita porno darii "playgirl" dan saat itu kami bebas mendiskusikan tentang seks antar lelaki. Jujur saja, diskusi itu sangat merangsangku dan saat ini itu semua merefleksi seketika karena kau ingatkan, Dimas..." Saat itulah, Denny berhasil mengatakan uneg-unegnya dengan jujur, dan dia dapat merasakan kenikmatan dapat melepas uneg-unegnya itu. Dimas tersenyum lagi. Sambil memandang langsung ke mata Denny, dia berkata, "Baiklah, adakah keinginanmu untuk melepaskan perasaan tertekan itu?" Denny seketika merasakan kembali panasnya muka karena darah membanjiri segenap serabut darah di mukanya. Jantungnya berdegup mendengar tawaran tersembunyi dari Dimas. Apa yang dapat dikatakannya sebagai jawaban adalah "ya" dan dia ingin sekali diajak ke dunia lain yang jauh dari kepengapan dunia keluarganya yang penuh dengan caci-maki Tuti. Tetapi.... adakah keberanian di hatinya untuk melakukan itu?? "Uh-huh," Denny berusaha untuk berkata-kata, tapi tak berhasil. "Ayo lah, pergi denganku...," ajak Dimas terus-terang.

Denny mengais kantungnya dan meninggalkan uang limapuluhribuan di atas meja, untuk dirinya dan Dimas minum-minum tadi. Dia sambar jaketnya dan dengan patuh membuntuti Dimas keluar dari kafe dan menuju mobil Dimas. Sebelumnya dia meminta keyakinan bahwa mobilnya boleh diparkir sampai esok siang. Pak Satpam menjaminnya, sehingga tanpa ragu Denny menaiki mobil Dimas. Denny merapatkan leher jaketnya untuk menahan dinginnya angin malam di bulan Juli karena mobil Dimas memang jenis terbuka, sebuah jip CJ7. Selama perjalanan itu, Denny dan Dimas saling berdiam diri, sementara mobil kap terbuka itu terus melaju ke arah tol Merak. Mata Denny sedikit keluar air mata karena hembusan angin malam yang menggigit dan dia hampir tak dapat menduga apa yang akan terjadi dengan dirinya yang mau diajak ke rumah Dimas. Hanya satu yang tak dapat dilawannya ketika diajak tadi, yaitu karena dia merasa "jatuh cinta" pada Dimas yang ramah dan dewasa serta teduh dalam berkata-kata. Sementara ketika dia melirik ke kanan, di sampingnya Dimas tampak begitu yakin diri, menyetir kencang dengan tenang. "Kemana kita ini? " tanya Denny. "Ahhh enggak jauh lagi kok, Denny. Kamu kedinginan ya??" jawab Dimas. Denny mengangguk. Tak ada yang dapat ditanyakan lagi, dia merasa nervous, tapi ada sebersit rasa bahadia berduaan dengan Dimas. Dan terlebih lagi, ada perasaan aneh karena merasa dapat hidup bebas (dari istrinya). "Akhh, enggak lah ya...." "Kalau gitu, omong donggg!"

Keluar dari tol Serpong dan memasuki gerbang keluaran tol, hati Denny tercekat karena itu dekat dengan rumahnya di BSD. Hatinya makin berdegup tak menentu. Darahnya dengan deras seperti mengisi relung-relung kantung darah di sekitar selangkangannya dan Denny sadar dia merasakan ereksi luar biasa entah mengapa. Diliriknya wajah Dimas yang senantiasa menyajikan senyum kejantanan dengan kumis tebalnya itu. Ohhh... tak kuasa Denny menahan keluarnya air liur di rongga mulutnya karena munculnya nafsu ingin mengggeluti Dimas. "Denny, coba dengarkan." ujar Dimas ketika dia memarkir jipnya di sebuah pelataran parkir sebuah rumah inap (motel) beratap biru di dekat gerbang tol Serpong-Tangerang. Motel yang terpisah dari perumahan lain karena berpagarkan sejenis rumpun bambu yang rindang. "Kamu tunggu sebentar di sini, Den," kata Dimas yang segera melangkah tegap ke kantor resepsionais di bagian depan dari kompleks motel. Motel itu cukup besar tetapi lampu di luar dan di dalamnya terasa redup saja. "Den, kita ke kamar nomor 24 di sisi belakang." kata Dimas sekembali dari resepsionis. "Aku belajar dari pengalaman, bahwa lelaki seperti dirimu yang mungkin "straight" bisa menjadi nervous. Aku berjanji tidak akan bertingkah kasar padamu dan tak akan melakukan apapun yang kamu enggak suka", katanya dengan manis sambil tangannya mengelus dagu Denny yang terdiam kerena tak tahu apa yang harus dilakukannya. "Dengar Dimas. Kau tahu, aku sudah dewasa, cuma beberapa tahun di bawah umurmu. Aku sadar apa yang kupilih dan kulakukan. Terimakasih atas perhatianmu tapi janganlah terlalu khawatirkan diriku.." jawab Denny dengan sedikit bergetar. "OK. Tapi janjiku itu tak berubah. Aku akan sopan padamu.. dan kita segera masuk kamar kita". Dimas membuka pintu kamar sementara Denny masih termanggu di tempat duduknya penuh ragu. Dimas mendekati sisi pintu Denny dan berbisik di telinga Denny: "Kita segera bermesraan Den, tapi kita belum masuk ke kamar. Ayohlah... Tapi ini memang kesempatan terakhir bagimu, Denny untuk berfikir apakah jadi kencan denganku atau kamu seyogyanya pulang saja". Mengucapkan itu Dimas membuang senyum mautnya ke arah mata Denny yang terbengong. Dasar keras kepala, Denny menyahut: "Tutup mulutmu, Dimas. Siapa takut??" Segera saja, keduanya sudah masuk ke dalam kamar nomor 24 dan meninggalkan jip mereka tepat di depan kamar motel. Di dalam keremangan lampu ruang kamar, Denny dapat menyaksikan isi perabotan ruang sewaan itu, tidak mewah tetapi juga tak jelek. Cukup bersih. "Kufikir aku akan kau ajak ke rumahmu di mana... Oh ya di kebon jeruk sana... Kenapa enggak ?" tanya Denny. "Kan sudah kubilang... aku lagi marahan sama pasanganku... seperti kamu lagi marah pada istrimu. Apa aku akan tega kamu nanti dipukuli dia? Hahahaha.... Aman di sini saja, Den," jawab Dimas. Denny terdiam, tapi dia merasa senang diperhatikan oleh Dimas walaupun ada sedikit rasa tak percaya bahwa "istri" Dimas akan marah padanya. Dalam fantasinya... alangkah senangnya bila mereka bertiga dapat akur..... dan bertiga dalam satu kamar. Wowwww.... "Dengar, aku mau ke kamar mandi dulu, Denny. Kamu tahu itu kan?" kata Dimas sambil tersenyum penuh arti. "Kamu tunggu saja di sofa sini, RCTI masih siaran kok, tonton saja. Segera aku kembali ke sini. Di kulkas kukira ada minuman, silahkan.." Dengan itu, Dimas masuk ke kamar mandi dan menyalakan lampunya. Tapi dia entah sengaja atau tidak tak menutup pintu kamar mandinya.

Denny dapat melihat jelas punggung Dimas ketika dia lagi menghadap ke toilet dan melepas air seni yang tampaknya begitu banyak dan telah lama ditahannya. Denny memperhatikan terus dengan matanya pada punggung Dimas. Denny sabar menanti apa yang terjadi dengan Dimas di kamar mandi ketika akhirnya dia tak tampak lagi karena duduk di toilet untuk membuang hajat besar. Akhinrya Dimas selesai membersihkan tubuh dan kembali ke ruang tengah, hanya dengan berbalut handuk dari pinggang ke bawah. Dadanya yang kekar berbulu dan menyimpan tenaga sekaligus pesona dibiarkannya terpampang disantap oleh mata Denny yang memang seperti lapar untuk melahapnya. Dimas bersikap seolah tak tahu bahwa dadanya lagi dinikmati oleh mata Denny. Dia mengambil duduk di sebelah Denny di sofa panjang di depan tivi.

Dengan tangan kirinya Dimas meraba lutut Denny. Denny seketika tampak gemetar menerima sentuhan (yang lamaaaa dia dambakan dari Dimas) dan seketika itu pula merasakan derasnya darah mengumpul di selangkangan dan mukanya sekaligus. Sambil memandang mata Denny, Dimas mendekatkan bibirnya ke pipi Denny dan akhirnya menggesekkan bibirnya yang berhias kumis tebal itu ke pipi Denny. Dia lalu menghentikan aksinya itu sejenak untuk mengamati reaksi Denny. Bagi Denny, gesekan bibir dan kumis Dimas di pipinya seakan membawa aliran listrik luar biasa. Dia merasakannya itu penuh kenikmatan, dan rasa geli nikmat itu entah kenapa menyebar ke segenap titik di wajahnya yang memerah karena malu dan bahagia. Dan tanpa menyadari, justru Denny membiarkan mukanya makin menempel ke bibir Dimas yang akhirnya menyarangkan gesekan bibirnya ke bibir Denny. Dimas menengarai gerakgerik Denny itu sebagai isyarat mengizinkannya bertindak lanjut dan perjumpaan kedua pasang bibir itu menjadi bukti persetujuan mereka untuk menyatukan hati dan persaan (serta nafsu) mereka. Tubuh Denny seketika menegang dan dengan garangnya, kedua tangannya segera merangkul tubuh Dimas yang bertelanjang dada itu kepelukannya dan pagutan mulut keduanya menenggelamkan mereka dalam ekstasi perciuman yang tiada tara...

Mulut Denny yang haus akan pagutan semesra itu tak bisa menahan gejolak nafsunya yang membara dan Dimas yang berpengalaman dengan laki-laki memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Malam itu Denny tak kuasa menahan dirinya untuk tidak tenggelam dalam lautan kenikmatan dengan lelaki yang lamaaaa tidak lagi dia rasakan. Terlupakanlah Tuti, dan sementara juga anak-anaknya yang lagi tidur pulas. Tubuh Dimas yang dengan senang hati menerima masuknya barang milik Denny membuat Denny makin bersemangat untuk menghabiskan malam minggu ini dengan merealisasikan segenap fantasi yang senantiasa menghiasi mimpi-mimpi sepinya selama ini. Malam di Kebon Jeruk itu mengembalikan kesadaran Denny akan adanya dunia lain, dunia kedua yang menjadi miliknya, yang selama ini dia lupakan atau pura-pura dinafikkan.... Ya, Denny memiliki dua dunia, dunia hetero bersama keluarga dan anak-anaknya dan dunia homo yang dinikmatinya dengan Dimas dan kawan-kawan dewasanya...

 

 

Selesai

Hosted by www.Geocities.ws

1