Menjadikan Gay lebih gaya


 
Home Cerita Erotis Jeritan Hati Links Panas Galeri Pria Galeri Model Tips Gay  


Cerita Erotis

Pertama Kali mengenal duniaku
Gairah Pramugara
Kolegaku ialah Kekasihku
Pemijat dadakan
Di Hotel
Jalan hidup baru bagi Denny
Nonton bersama
Petugas iuran TV

Virtual Photo Album-dokter
Di Toilet Terminal
Main bareng-bareng
Bertemu Bule
Aku simpanan OmKu
Om Vito yang kekar
Pengakuan seorang pemerkosa
Dikerjai di kantor satpam

Kolegaku ialah Kekasihku
-   --
"Selamat ! Anda kami terima untuk bergabung bersama kami di perusahaan ini", Pak Haryadi tersenyum sambil menjabat tanganku erat-erat."Terima kasih, Pak. Saya akan bekerja keras untuk dapat menyumbangkan kemampuan saya demi kemajuan perusahaan ini", jawabku sambil membalas erat jabatan tangannya tersebut."Anda dapat mulai besok pagi. Temuilah saya, Anda akan saya perkenalkan dengan seluruh staff perusahaan kami", lanjut Pak Haryadi."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu. Sampai bertemu besok.

Selamat siang", kataku seraya berdiri dan mohon pamit. "Silakan.

Selamat siang, Aku sangat gembira dapat bergabung di perusahaan ini. Sebagai perusahaan yang berorientasi ekspor, perusahaan ini sedang berkembang pesat. Untuk itu perusahaan ini membuka kesempatan bagi kalangan profesional untuk bergabung sebagai tenaga inti yang akan memacu kinerja perusahaan. Aku sendiri berhasil diterima sebagai Manager Produksi. Aku yakin, dengan kemampuan yang kumiliki, aku akan dapat berbuat banyak demi kemajuan perusahaan.

Ini terbukti dari hasil wawancaraku dengan Pak Haryadi sebagai Direktur Utama, yang dengan terus terang menyatakan amat puas dengan kemampuanku. Beliau juga menyatakan keyakinannya bahwa aku akan dapat menyumbangkan banyak kepada perusahaan.Dalam perjalanan kembali ke rumah, aku terus menyusun rencana yang akan kujabarkan ke dalam kerangka kerjaku. Aku masih belum tahu apakah aku akan dibantu oleh seorang asisten atau tidak. Namun dari Pak Haryadi dapat kuambil kesimpulan bahwa aku akan membawahi 4 divisi, yaitu Logistik, Umum, Teknis dan Produksi sendiri, yang masing-masing telah dikepalai oleh kepala bagian. Malam itu aku tidur lebih cepat, dengan maksud agar besok pagi aku dapat bangun lebih pagi dengan perasaan lebih segar dan bugar untuk dapat mulai bekerja dengan penuh konsentrasi.

"Selamat pagi, Pak", sapaku begitu aku tiba di ruang Pak Haryadi. "Ah, selamat pagi, Anda sudah siap untuk mulai bertugas, Andre ?" "Ya, Pak.

Saya siap", sahutku mantap. "Baik. Kalau begitu mari ikut saya. Akan saya perkenalkan Anda pada seluruh staff di kantor ini. Setelah itu, nanti akan saya berikan briefing secara singkat tentang tugas-tugas pokok Anda. Selanjutnya, silakan Anda atur apakah mau langsung menuju pabrik atau mempelajari berkas-berkas sistem produksi", kata Pak Haryadi seraya mengajakku keluar ruangannya untuk berkenalan dengan seluruh staff. Acara perkenalan itu berlangsung dengan penuh keakraban. Dapat kulihat bahwa seluruh staff amat ramah dan mereka berharap agar kami dapat menjadi satu tim yang kompak dalam bekerja sama. Segera saja hilang rasa canggungku sebagai staff baru di sana. Dalam hati aku yakin dapat bekerja sama dengan mereka semua.

Kemudian Pak Haryadi kembali mengajakku ke ruang kerjanya untuk memberikan briefing tentang tugas-tugasku. "Nah, sekarang terserah Anda, apakah mau langsung ke pabrik atau tetap tinggal untuk mempelajari berkas dahulu", ujar Pak Haryadi menutup briefingnya.

"Saya rasa, saya akan membawa berkas-berkas itu dan langsung ke pabrik.

Saya akan mempelajari berkas itu di pabrik saja, sambil secara

langsung melihat keseluruhan proses produksi", sahutku "OK. Sebentar akan saya ambilkan berkas-berkasnya. Eh, Anda sudah tahu lokasi pabrik kita, bukan ?" "Ya, Pak""Sesampainya Anda di sana, carilah Surya. Ia adalah kepala bagian produksi,yang secara langsung di bawah pengawasan Anda. Jika ada yang kurang jelas,tanyakan saja padanya", pesan Pak Haryadi sambil menyerahkan berkas-berkasproduksi kepadaku. "Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu. Saya berangkat sekarang"

Aku berjalan menyusuri jalan di taman yang cukup asri yang menuju gedung tempat produksi dilakukan. Setiba disana, aku mencari yang mana yang bernama Surya seperti yang telah dipesankan oleh Pak Haryadi. Aku bertanya kepada salah satu pekerja yang kebetulan berlalu di dekatku. Ia menunjuk ke arah seorang pria yang sedang mengotak-katik sebuah panel di dekat mesin produksi. Kutaksir ia berusia sekitar 25 sampai 28. Aku segera menghampirinya dan memperkenalkan diriku padanya. Ia menyambut uluran tanganku dengan antusias."Syukurlah akhirnya ada yang menjadi penanggung jawab produksi di pabrik ini", katanya sambil menjabat erat tanganku."Mengapa ?", tanyaku tak mengerti."Selama ini, memang banyak yang telah mencoba untuk memimpin pabrik ini tapi tidak ada yang berhasil. Semuanya tidak tahan dengan tanggung jawab yang berat dan tidak sanggup untuk mempelajari seluruh proses produksi yang cukup rumit" "Benarkah itu ? Hm…kalau begitu, ini adalah suatu tantangan bagi saya. Sayaakan berusaha agar saya dapat menguasai teknologi dari mesin produksi disini. Tapi semuanya itu tidak akan berhasil tanpa bantuan serta dukungan dari seluruh staff di pabrik ini, terutama dari Pak Surya sendiri", sahutku sambil mengedarkan pandanganku ke arah mesin-mesin produksi yang tengah bekerja."Panggil saya Surya saja, Pak. Tentu kami akan dengan senang hati membantu dan mendukung Bapak dalam bertugas. Kami semua tentu berharap agar Bapak mampu memimpin kami dan kita semua dapat bekerja sebagai sebuah team yang tangguh", ujarnya penuh harap. "Saya juga berharap begitu. Eh, Surya. Dapatkah kamu mengajak saya untuk berkenalan dengan staff yang lainnya ?" "Oh, tentu Pak. Mari ikut saya".

Kami berjalan keluar dari ruang produksi menuju ke suatu ruangan di sebelah kiri gedung pabrik itu. Di dalam, aku melihat beberapa staff sedang sibuk dimeja kerja masing-masing."Eh, rekan-rekan semua.

Perkenalkan, ini Pak Andre, Manager Produksi kitayang baru", kata Surya kepada rekan-rekannya.Aku menghampiri mereka sambil memperkenalkan diri."Saya Chandra, kepala bagian Umum. Selamat bergabung bersama kami, Pak",seorang pria separuh baya menyambut uluran tanganku."Saya Primadi. Panggilan saya Adi. Saya bertanggung jawab sebagai kepala bagian Teknis", seorang pemuda berusia sekitar 24 memperkenalkan diri. Diacukup tampan, dengan tubuhnya yang tinggi semampai dan berkulit putihbersih, tentu tidak sukar baginya untuk menarik perhatian wanita manapun,termasuk juga pria sepertiku ini tentunya.Terakhir aku menghampiri seorang pria yang tampak sedang tekun membuatcatatan di buku. Ia tampaknya tidak terusik dengan kehadiranku di dekatnya. Tampaknya konsentrasinya sedang penuh tercurah pada pekerjaannya. "Eh, Bastian. Perkenalkan ini Pak Andre, Manager Produksi kita yang baru",kata Surya sambil menepuk pundaknya."Hah ? Oh, maaf.

Saya tidak memperhatikan. Siapa katamu tadi ? Manager Produksi yang baru ?", tanyanya gelagapan karena terkejut."Ya, Bas. Ini Pak Andre. Ayo perkenalkan dirimu", tersenyum Surya melihatwajah Bastian yang tampak lucu karena masih belum hilang dari rasa kagetnya."Perkenalkan. Saya Andre", kuulurkan tanganku ke arahnya."Oh, Pak Andre. Saya Bastian, kepala bagian Logistik. Maaf saya tidakmemperhatikan Bapak datang", katanya dengan tersipu malu. Senyumannya menggetarkan hatiku. Wajahnya tampan sekali. Usianya kutaksir hanya sekitar22 sampai 23 tahun.

Tubuhnya tegap dengan dada yang bidang. Genggamantangannya terasa

hangat di tanganku. Tak terasa aku terus menjabat tanganku sambil menatap wajah tampannya. Ia membalas menatap mataku dengan pandanganpenuh tanda tanya. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah Surya sepertiingin bertanya mengapa aku masih menjabat tangannya."Eh, maaf Pak Andre. Mari saya tunjukkan ruang kerja Bapak", suara Surya mengejutkanku. Secara otomatis aku melepaskan jabatan tanganku sambil tersenyum malu."Oh, maafkan saya.

Saya telah terlalu lama menjabat tanganmu", kataku terbata-bata menahan malu."Tidak apa-apa, Pak", jawabnya sambil kembali tersenyum manis, membuatku kembali terpana melihat wajahnya.

 Sebelum meninggalkan ruangan tersebut, aku masih sempat berpesan kepada mereka bahwa aku amat berharap bantuan serta dukungan mereka dalam menunaikan tugas. Mereka menyambutnya dengan antusias. Kutatap wajah mereka satu-per-satu. Mereka menampakkan rasa tulus dan syukur karena aku bergabung bersama mereka. Terkahir sempat kulirik Bastian. Ternyata ia sedang menatapku dengan senyuman yang meluluhkan hatiku. Aku membalas senyumannyadan berlalu bersama Surya.

"Ini ruang kerja Bapak", kata Surya sambil menunjuk ke sebuah ruang di depan ruang tempat staff lainya. "Oh, terima kasih. Saya akan mempelajari berkas-berkas produksi yang saya pinjam dari kantor. Jika ada yang kurang saya mengerti, saya harap kamu bersedia menjelaskan pada saya", kataku sambil masuk ke dalam ruang kerjaku."Baik, Pak", sahutnya sambil meninggalkanku sendiri di ruang kerjaku. Aku menjatuhkan diriku di kursi empuk di belakang meja kerjaku.

Oh, terasa nyaman sekali dapat menghilangkan pegal setelah diajak berkeliling pabrik ini. Masih terbayang di pelupuk mataku, wajah Bastian yang tampan dengan senyuman yang dapat mencairkan es yang paling beku sekalipun.

Lalu kubandingkan dengan Adi. Hm….menurutku Bastian masih lebih tampan.

Ya, malah ia tampan sekali. Rambutnya yang ikal, alisnya yang tebal, tatapan matanya yang tajam, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah merekah selalu tersenyum, kumis tipis menghiasi bawah hidungnya. Oh, ia memenuhi kriteria pria idamanku. Mungkinkah aku dapat menggaetnya ? Ah, tak mungkin, aku membathin. Aku tak ingin melakukan tindakan bodoh dengan resiko kehilangan pekerjaan ini.Di usiaku yang ke 2 ini, sebenarnya aku sudah pantas untuk berumah tangga. Banyak teman wanitaku yang terang-terangan naksir padaku dan menyatakan simpati padaku. Namun hatiku tidak pernah bergeming. Aku tidak pernah tergetar melihat wanita cantik dengan tubuh sexy seperti lazimnya pria. Aku hanya tergetar melihat pria gagah dengan tubuh yang tegap.

Banyak yang mengatakan bahwa aku tampan. Dengan tinggi tubuh 172 cm dan berat badan 65, tubuhku kunilai cukup proporsional. Dadaku cukup bidang karena kesukaan ku berenang di akhir pekan. Selain itu, seminggu 2 kali kusempatkan untuk latihan fitness di dekat rumahku. Namun sampai sekarang belum pernah aku berpacaran sekalipun, dengan wanita apalagi dengan pria.Aku menyembunyikan identitasku ini dengan rapat. Tidak ada yang mencurigai kelainanku ini. Kepada saudara atau teman yang menanyakan mengapa belum berumah tangga, aku hanya menjawab masih mengejar karierku yang sedang menanjak. Sementara itu untuk menghilangkan kecurigaan, aku kadang-kadang kencandengan seorang sahabat wanitaku. Ia benar-benar seorang sahabat sejati.

Ia bersedia bersandiwara demiku. Ia sudah tahu keadaanku yang sebenarnya, tapi ia tidak merasa terganggu. Ia tetap bersedia bersahabat denganku.

Aku amat berterima kasih padanya. Hanya kepadanyalah aku dapat mencurahkan segala uneg-uneg yang ada di hatiku selama ini. Ia juga pendengar yang baik. Ia juga selalu memberikan nasihat yang amat berguna di saat aku tengah gundah memikirkan keadaanku yang tidak normal ini. Dia kerap menasihatkan aku agar tetap tegar dan berdoa kepada Tuhan agar aku dapat kembali normal.

Jika pada akhirnya tidak berhasil, ia berpesan agar aku dengan ikhlas menerimanya. Aku memang telah berusaha dengan berkonsultasi dengan para psikiater, namun hasilnya nihil. Aku juga tetap berdoa memohon penyembuhan. Tapi hingga kini belum juga menampakkan hasil. Akhirnya aku hanya bisa pasrah saja menerima keadaanku ini.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Segera aku membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjaku sebelum menyuruh masuk kepada yang mengetuk."Maaf mengganggu, Pak", kepala Bastian menyembul dari balik pintu. Seperti biasa, bibirnya tetap menyunggingkan senyuman manisnya."Ya, ada apa Bastian ?", tanyaku penuh tanda tanya."Eng…tidak apa-apa, Pak. Saya hanya ingin menyampaikan laporan stock awal bulan ini saja untuk Bapak pelajari", sahutnya sambil menyerahkan berkas laporannya."Oh, baiklah. Terima kasih. Saya amat berharap kita dapat bekerja sama dalammengemban tugas berat kita di pabrik ini. Bersediakah kamu membantu saya jika suatu saat saya membutuhkan pertolonganmu ?", sambil menerima berkas tersebut aku bertanya."Tentu saja, Pak. Kapan saja Bapak membutuhkan saya, saya akan selalu siap",sahutnya sambil berdiri tegap dan menghormat seperti layaknya militer.Aku tertawa geli melihat tingkahnya. "Sudahlah, Bas. Jangan begitu. Saya tohbukan seorang jendral, tidak perlu kamu memberi hormat seperti itu "Ia pun tertawa. "Yah, Pak. Sudah lama kami merindukan seorang pemimpin yang bijaksana dan dekat dengan bawahannya.Sebelumn ini, para manager sebelumnya terlalu terpaku pada tugasnya, tanpa berusaha membina hubungan kerja sama dengan staff lainnya. Akibatnya tidak ada staff yang berani bergaul dekat dengan mereka, hingga mereka merasa bekerja seorang diri. Karena tidak dapat beradaptasi, akhirnya merekamengundurkan diri. Saya lihat Bapak sejak awal sudah berusaha membina hubungan dekat dengan kami. Karena itulah saya memberanikan diri untuk bergaul lebih dekat dengan Bapak melalui gurauan tadi".Aku tertegun.

Sungguh tak kusangka para manager pendahuluku seluruhnya tidakada yang bersikap seorang pemimpin yang bijaksana. Bagaimana mereka bisa mengharapkan kerja sama yang baik dengan bawahannya jika mereka tidak bisa bergaul akrab dengan mereka ? Kutatap wajah Bastian untuk mencari kesungguhan di sana. Ia kembali dengan berani menantang mataku dengan tatapan mata elangnya. Kulihat kejujurandisana. Aku percaya padanya."Baiklah. Kau mau mengenal saya lebih jauh lagi ? Duduklah, dan tanyakan apasaja yang ingin kau ketahui tentang diri saya", kataku sambil mempersilakan dirinya duduk di hadapanku.Ia tersenyum lebar.

Sambil duduk ia berkata,"Terima kasih, Pak. Ini pertamakali saya bisa berdua duduk bersama dengan seorang Manager Produksi sambil mengobrol"Aku tersenyum mendengarnya. "Nah, apa yang ingin kau tanyakan ?" Ia berpikir sejenak, lalu menanyakan rencanaku untuk mengembangkan pabrik ini, serta tentang seputar pribadi diriku. Aku menjawab seluruh keingin>tahuannya dengan tuntas. Ia terlihat puas dengan jawabanku.

"Nah, agar kita bisa bekerja sama lebih baik, aku ingin mengenal dirimu lebih jauh. Sekarang ceritakan segalanya tentang dirimu", kataku setelah sesaat ia tidak mengajukan pertanyaan lagi padaku."Apa yang ingin Bapak ketahui ?", tantangnya sambil menatap matakulekat-lekat. Dengan hati tergetar hebat dan suara sedikit bergetar aku menyahut, "Segalanya yang menyangkut dirimu. Keluargamu, tempat tinggalmu, hobbymu, apa saja""Hm…baiklah. Saya mulai saja". Lalu ia mulai bercerita tentang dirinya. Iaadalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakaknya, keduanya wanita sudah menikah dan ikut suami masing-masing. Kakak pertama tinggal di Bekasi, sedang yang kedua tinggal di Malang. Kedua orang tuanya sendiri masih tinggal di kampung di Jawa Tengah. Ia tinggal sendiri di rumah kontrakan yang sederhana. Hobbynya olah raga, terutama sepak bola. Ia masih terdaftar di salah satu klub sepak bola di dekat tempat tinggalnya. Ia juga suka musik, terutama pop dan slow rock."Berapa usiamu ?", tanyaku padanya.

"23 tahun, Pak". Persis seperti dugaanku."Kau tinggal sendiri apa tidak merasa kesepian ?", tanyaku lagi.

"Ya, memang terasa sepi, Pak. Setiap malam pulang dari pabrik sudah lelah, masih harus mencuci pakaian, menyetrika pakaian yang telah kering dan mengepel lantai. Makan malampun terkadang jam 9. Pada saat sudah di tempat tidur terasa sekali sepi, tanpa ada yang diajak mengobrol", kulihat wajahnya sedikit muram pada saat mengatakan hal itu."Berapa kau bayar kontrakanmu itu ?", tanyaku ingin tahu."Rp. 250.000,- Pak. Cukup memberatkan karena saya harus menanggungnya sendiri", jawabnya memelas. "Mengapa tidak kau cari saja tempat lain, atau kau ajak teman yang lain agar tinggal bersama ?""Tidak ada yang mau, Pak. Lagipula, umumnya mereka sudah berkeluarga. Jadi tidak leluasa berbagi tempat dengan seorang bujangan seperti saya ini". "Kau sudah mempunyai kekasih ?", tanyaku lagi." Ya", ia tersenyum manis, matanya menerawang seolah membayangkan wajah kekasihnya itu. "Oh," aku sedikit kecewa mendengar jawabnnya. "apa ia ssalah satu karyawan di pabrik ini ?" "Bukan, Pak. Ia bekerja di tempat lain. Kami sedang menabung untuk merencanakan pernikahan kami, yang rencananya di akhir tahun ini"

"Oh, ya ? Wah kalau begitu selamat ya", kataku berusaha untuk tetap bersemangat, walaupun hatiku hancur mendengar ucapannya itu. Tak dapat kupungkiri. Aku amat tertarik padanya. Apalagi setelah mendengar kisah tentang dirinya. Dalam hati sebenarnya aku amat berharap dapat mendekati dirinya. Malah aku membayangkan dapat memilikinya. Tapi aku harus mengubur harapanku dalam-dalam, karena ia sudah dengan tegas bahwa ia sedang merencanakan pernikahannya.

Kupandang wajahnya yang berseri. Lalu aku berkata,"Bas, katamu tadi kau sedang mengumpulkan uang untuk pernikahanmu. Tapi dengan kau tinggal sendiri, tentu banyak yang terbuang hanya untuk membayar kontrakan saja" Ia kembali terlihat murung. "Memang benar, Pak. Tapi, apa lagi yang bisa saya perbuat ?" Aku tiba-tiba mendapat ide. "Hei, bagaimana jika kau tinggal bersamaku saja?", kataku. "Apa ? Tinggal bersama Bapak ? Bagaimana mungkin ?", katanya tidak percaya. "Mengapa tidak ? Saya tinggal sendiri. Rumahku memang tidak terlalu luas, tapi masih cukup untuk menampung satu orang lagi. Lagipula masih ada satu kamar tidur yang kosong. Coba kau pertimbangkan, dengan tinggal bersamaku, berarti kau sudah menghemat uang kontrakan juga kau bisa menghemat uang transpormu. Kita bisa berangkat bersama-sama dengan kendaraanku", kataku dengan antusias. Ia terlihat ragu-ragu dengan segala argumentasiku. "Tapi…apakah tidak apa-apa jika saya tinggal dengan Bapak ? Saya ‘kan hanya seorang kepala bagian, sedangkan Bapak seorang Manager. Apakah pantas saya Bapak ajak tinggal bersama ?" "Hei, Bastian. Dengarkan kataku ini.

Hubungan atasan bawahan antara kitahanya berlaku di tempat kerja saja. Saya tidak ingin hubungan itu kamu pakai di luar tempat kerja. Mengerti ? Saya ingin kau anggap teman jika sudah diluar tempat kerja", kataku lagi meyakinkannya. Kulihat matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Pak. Bapak amat baik. Tidak pernah saya diperlakukan seperti ini sebelumnya"

Aku tersenyum lalu bangkit menghampiri dirinya. Aku melingkarkan tanganku pada bahunya sambil berkata,"Sudahlah, jangan melankolis seperti itu.Bagaimana, kau setuju ?" Sambil menghapus air matanya ia tersenyum mengangguk."Nah, kalau begitu kapan kau akan pindah ?", tanyaku lagi.

"Bagaimana jika hari Minggu ini, Pak ?">"Boleh, saya akan ke rumahmu.

Tolong berikan alamat rumahmu. Pagi-pagi saya>pasti sudah tiba untuk

membantumu membereskan barang-barangmu"

"Terima kasih, Pak", katanya. Kali ini dengan senyumannya yang khas.

Pagi-pagi aku sudah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Bastian untuk membantunya mengangkut barang-barangnya. Tidak sukar untuk mencari alamatnya, sesuai dengan petunjuk yang telah ia berikan sebelumnya. Aku tibadi rumahnya sekitar pukul 9. Kuketuk pintu rumahnya. Sunyi keadaan di dalamrumahnya. Tidak ada suara menjawab ketukanku. Aku penasaran.

Kuintip disela-sela gordin jendela rumahnya. Agak sulit untuk melihat ke dalam karena gelap. Namun tak lama kemudian kudengar derapo langkah seseoorang mendekat dan terdengar suara gemerincing kunci di balik pintu. Ketika pintu terkuak, terpampang pemandangan yang indah di hadapanku.

Bastian yang rupanya baru saja selesai mandi hanya terlilit handuk saja untuk menutupi auratnya. Tubuh bagian atasnya yang telanjang amat menggairahkan. Dadanya yang bidang masih agak basah. Putingnya yang besar kehitaman itu mengeras karena sehabis mandi. Aku terpana menikmati pemandangan indah di depan mataku. Tak terasa ada yang mengeras di balik celanaku. "Oh, Bapak sudah datang. Maaf saya baru saja selesai mandi, jadi belum sempat berpakaian", katanya agak tersipu sambil berusaha menutupi tubuhnya sebisanya dengan kedua tangannya. Aku sendiri agak malu karena mungkin terlalu nyata telah menikmati tubuh telanjangnya dengan mataku.

Aku juga berusaha menutupi gundukan yang telah membesar di balik celanaku. "Nggak apa-apa, kok. Mungkin saya datang terlalu awal", sahutku. "Mari silakan masuk dulu, Pak. Silakan duduk, saya akan berpakaian dulu", katanya sambil meninggalkanku sendiri. Kupandangi bagian belakang tubuhnya. Handuk yang dipakainya tidak mampu menutupi bentuk bokongnya yang indah dan bulat itu. Aku semakin tidak keruan melihatnya. Senjataku yang tadi sudah mulai normal kini kembali mengeras. Begitu hebatnya rangsangan yang ditimbulkannya. Buru-buru aku mengalihkan perhatianku ke sekitar ruang tamu. Tak lama kemudian ia kembali dengan 2 gelas minuman. Diberikannya satu kepadaku. Kulihat ia telah berpakaian, T-shirt putih ketat yang dipadu dengan celana jeans yang telah pudar warnanya. "Silakan diminum dulu, Pak. Maaf tidak ada apa-apa yang bisa saya hidangkan", katanya sambil menyeruput minumannya. "Ah, tidak perlu repot begitu. Saya datang toh bukan untuk bertamu", aku juga ikut menikmati minuman yang ia sajikan tadi. "Bagaimana, apakah barang-barangmu telah kau siapkan ?" "Ya, semuanya telah beres.

Tinggal mengangkutnya saja ke luar" "OK, kalau begitu kita mulai saja. Lebih cepat kita selesai lebih baik.

Karena kita bisa mempunyai waktu lebih banyak lagi untuk membongkar barang-barangmu di rumahku nanti", kataku lagi. "Baiklah", katanya

sambil mengajakku ke belakang untuk mengangkut barang-barangnya yang telah disiapkan. Tidak banyak barang-barangnya. Kuhitung hanya sekitar 6 kotak besar. Ia katakan bahwa rumah yang dikontraknya itu sudah termasuk aksesoris, seperti sofa dan tempat tidur walau sederhana sekali. Jadi barang-barang pribadinya hanya pakaian, alat-alat dapur, kebutuhan sehari-hari seperti sikat gigi, sabun, dan lain-lain serta alas kaki saja.Kami segera berangkat menuju rumahku. Di tengah perjalanan, ia menoleh ke arahku sambil bertanya,"Benar nih, Pak, tidak mengganggu kalau saya tinggal di tempat Bapak ?"Aku menoleh kepadanya sambil tersenyum," Tentu saja tidak. Mengapa masih kau tanyakan itu ?" Ia menunduk,"Tidak apa-apa. Cuma rasanya seperti mimpi saja ada yang menawarkan saya tempat tinggal secara cuma-cuma seperti ini"

Aku tertawa kecil,"Ah, sudahlah Bas. Saya senang kau mau tinggal bersamaku. Jujur saja, Saya juga merasa kesepian tinggal sendiri di rumahku" Ia kembali menoleh ke arahku,"Mengapa Bapak belum juga berumah tangga ?

Bukankah Bapak sudah mapan dan usia Bapak sudah cukup untuk beristri ?" Aku tersenyum pahit,"Hm…saya masih belum bertemu dengan yang cocok.

Memang saya sudah punya rumah, mobil dan karier yang boleh dikatakan cukup baik. Tapi kenyataannya, banyak yang mengejar saya cuma karena harta saja. Mereka tidak sungguh-sungguh mencintai saya apa adanya"

"Oh, begitu. Tapi…apa bukan standar yang Bapak berlakukan terlalu tinggi ?" "Apa maksudmu ?", tanyaku sambil memandangnya.

"Mungkin Bapak mencari wanita yang amat ideal, misalnya harus cantik, bertubuh indah, baik hati, berkarier baik…"Belum sempat diselesaikan ucapannya itu telah kupotong, "Sama sekali tidak, Bas. Saya tidak pernah menerapkan standar seperti itu. Saya cuma belum menemukan yang cocok saja". Aku berusaha menutupi keadaanku yang sebenarnya. Ia tersenyum manis. "Saya heran, masa pria segagah Bapak sulit mencari pasangan ?" Aku menghela nafas panjang,"Yah, seperti yang saya katakan tadi. Banyak yang mengejar, tapi hanya karena harta. Itu yang tidak saya sukai"

Ia kembali tersenyum,"Yah, saya doakan semoga Bapak segera menemukan pasangan yang cocok" Aku menoleh ke arahnya,"Hei, kalau saya cepat mendapat jodoh, berarti kamu juga mesti cepat-cepat keluar dari rumah saya, lho" Ia jadi tersenyum malu,"Iya, ya. Tapi nggak apa-apa deh. Saya ‘kan juga tidak mungkin selamanya menumpang di rumah Bapak. Cepat atau lambat toh saya harus keluar juga" Hatiku teriris mendengarnya. Andai saja kau tahu, Bas. Bahwa aku ingin kau tinggal selamanya bersamaku, aku membathin. Tak lama kemudian kami tiba di rumah. Kami segera membawa seluruh barang masuk ke dalam. Ia tampak takjub melihat rumahku yang walau kecil tapi kujaga keasriannya. "Wah, bagus sekali rumah ini, Pak. Saya serasa tinggal di vila saja" "Kamu bisa saja. Ayo, kutunjukkan kamarmu" Ia membelalakkan mata melihat kamar yang akan menjadi kamarnya. Luasnya kurang lebih 2x2½ m2.

"Wah, luas sekali kamar ini. Apa Bapak tidak salah ?" Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya. "Tidak, Bas. Ini memang kamar untukmu. Ayo, saya bantu membereskan barang-barangmu"

Akhirnya kami selesai membereskan barang-barangnya sekitar pukul 12.30.

Aku menyuruhnya beristirahat sementara aku akan menyiapkan makan siang.

Ia tampak heran mendengar aku akan menyiapkan makan siang. "Bapak bisa masak?"Aku tersenyum,"Saya bukan juru masak ternama. Tapi saya jamin masakan saya rasanya tidak mengecewakan" Ia tertawa renyah, "Wah, hebat sekali.

Rasanya Bapak ini orang yang sempurna sekali. Sudah gagah, kaya, baik hati, pintar masak pula"

Aku cuma menggelengkan kepala melihat tingkahnya itu sambil berjalan menuju dapur. Setengah jam kemudian aku memanggilnya untuk bersantap siang.

Meja makan telah kutata rapi. Minuman utuknya telah kusiapkan. Semuanya telah siap. Kembali ia menatapku tak percaya,"Bapak lakukan ini semua sendiri ?"

Aku tertawa mendengarnya,"Apa kau lihat ada yang membantu ?"

Ia menggelengkan kepala. "Hebat sekali. Ah, seandainya saya bisa sepandai Bapak" Kutepuk pundaknya,"Tentu kamu juga bisa. Nanti akan saya ajarkan" "Benar, Pak ?", matanya membesar menatapku penuh harap.

"Ya, tentu saja. Nah, sekarang kita makan" Kami bersantap sambil mengobrol tentang apa saja. Setelah selesai, ia segera membereskan perabot makan tersebut untuk dicuci. Aku berusaha membantunya tapi dengan tegas ia menolak. "Bapak sudah memasak, sekarang tugas saya untuk membereskannya. Bapak istirahat saja" Kupandangi tubuhnya dari belakang. Ah, Bastian. Aku mencintaimu. Aku ingin kau menjadi bagian dari hidupku untuk selamanya.

"Sekarang kita akan membahas tentang pembagian tugas sehari-hari di rumah ini. Saya tidak mau kita saling berkeras untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah", kataku setelah ia selesai mencuci perabotan. "Ya, saya juga ingin begitu. Saya tidak mau hanya berdiam diri saja melihat Bapak bekerja sendiri membereskan rumah ini"

"Nah, karena saya bisa memasak, saya akan mengambil tugas untuk menyiapkan makanan, baik itu sarapan pagi maupun makan malam. Saya juga akan mencuci serta menyetrika pakaian"

"Baik. Saya akan menyapu serta mengepel lantai. Saya juga akan membuang sampah dan menyiram kebun setiap hari", ia menyetujui saranku.

"Nah, untuk menyikat kamar mandi, bagaimana kalau kita bergilir ?

Setiap dua hari kita bergantian menyikat kamar mandi ?"

"Usul yang baik"Kulihat ia menguap panjang. "Bas, lebih baik sekarang kau beristirahat saja di kamarmu. Sepertinya kamu kurang tidur kemarin malam".

Ia tersenyum malu, "Ya, memang. Semalam saya tidur jam 2 pagi karena membereskan barang-barang" Aku menggelengkan kepala. "Ya sudah.

Tidurlah" Ia beranjak ke kamarnya. Sebelum ia masuk ke dalam, ia masih sempat menoleh ke arahku sambil tersenyum,"Terima kasih, Pak"

Aku menoleh kepadanya,"Untuk apa ?" "Untuk segalanya yang telah Bapak berikan kepada saya"Aku mengangguk, "Sama-sama" .

Tak terasa sudah 3 bulan ia tinggal bersamaku. Selama itu aku berhasil mengenalnya lebih jauh lagi. Ia sering bercerita tentang masa lalunya yang kelam. Ia dulu sering mabuk-mabukan dan berkelahi. Bahkan kepalanya pernah bocor karena terkena lemparan batu. Aku tak habis pikir. Anak semanisnya kok suka berkelahi.

Sebaliknya aku juga banyak bercerita tentang diriku, sehingga ia juga lebih mengenalku lebih mendalam. Hubungan kami menjadi lebih dekat sekarang.

Ia juga bercerita tentang kekasihnya yang bernama Yani. Selama ini hubungan asmara mereka mendapat tentangan dari pihak orang tua Yani. Alasannya sungguh klasik. Yani adalah anak tunggal dari seorang pengusaha sukses, sedangkan Bastian bukanlah dari kalangan berada. Namun Yani tetap berkeras mencintai Bastian. Bahkan mereka sudah melangkah terlalu jauh dengan melakukan hubungan yang seharusnya belum boleh mereka lakukan sebelum menikah. Yani berterus terang kepada orang tuanya bahwa ia sudah tidak perawan lagi. Mendengar hal itu, orang tuanya marah besar. Mereka berniat menuntut Bastian karena telah menodai putri mereka. Namun niat ini ditentang oleh Yani sendiri dengan alasan bahwa mereka melakukannya dengan berdasarkan suka sama suka, tanpa paksaan dari pihak manapun. Akhirnya orang tuanya pun luluh. Malah mereka yang mendesak agar Bastian segera melamar putri mereka. Bastian gembira mendengar hal ini, karena akhirnya orang tua Yani bersedia menerimanya. Seminggu sebelum bergabungnya aku di perusahaan ini, Bastian bertunangan dengan Yani. Dari Yani, Bastian mendapat cincin pertunangan yang mahal bertatahkan berlian.

Sedangkan Bastian hanya memberikan cincin pertunangan biasa. Mereka merencanakan akan menikah akhir tahun ini.

Aku mendengar seluruh kisah itu seperti menonton film seri drama di televisi saja. Rasanya begitu mirip dengan salah satu film yang pernah kulihat.

Yang membedakannya adalah, di film tersebut kedua pasangan itu akhirnya bubar karena merasa tidak cocok satu sama lainnya. Mereka sadar bahwa cintamereka hanya berdasarkan nafsu, bukan cinta murni. Akankah kisah Bastian berakhir seperti itu ? Aku berpikir penuh harap.

Di hari Minggu itu, aku sedang bersantai membaca surat kabar. Bastian sejak pagi sudah keluar. Aku tak tahu kemana ia pergi. Ia hanya mengatakan akan keluar sebentar.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Aku beranjak untuk membukanya.

Kiranya Bastian sudah kembali, tapi tidak sendiri. Disampingnya berdiri seorang gadis berkulit putih dengan malu memandang ke arahku.

"Pak, perkenalkan ini.... Yani", Bastian memperkenalkanku pada calon istrinya itu. "Andre", saya ulurkan tanganku ke arahnya.

"Yani", bisiknya hampir tak terdengar."Mari masuk. Anggaplah rumah sendiri", kataku menyilakan mereka masuk.

Kami lalu mengobrol di ruang tengah. Banyak yang kami bicarakan. Sempat juga kutanyakan pada Yani tentang rencana pernikahan mereka. Yani bercerita bahwa persiapan sudah hampir rampung. Gaun pengantin sudah dipesan. Begitu pula tempat pesta pernikahan. Nama-nama paraundangan juga sudah disusun. Yang masih mengganjal adalah, Bastian berkeras untuk melangsungkan pernikahan secara kristiani.  Ia ingin mendapat pemberkatan di gereja tempatnya biasa beribadat. Sedangkan pihak keluarga Yani keberatan karena mereka sekeluarga muslim yang taat.

Yani sendiri tidak keberatan untuk memeluk agama nasrani sesuai kepercayaan Bastian.

Bastian sudah berusaha meyakinkan orang tua Yani agar mengizinkan mereka mendapat pemberkatan digereja. Namun sampai saat itu belum berhasil juga.

Sekitar pukul 4 sore, mereka pamit. Bastian pergi untuk mengatar Yani pulang. Pukul 6 kudengar ia sudah kembali. Aku sedang di dapur untuk menyiapkan makan malam. Ia masuk ke dalam dapur. Kurasakan ia berdiri tepat di belakangku. Kurasakan wajahnya diletakkan di bahuku sambil bertanya padaku, "Hm..... harumnya. Masak apa nih, Pak ?"Aku menjadi tidak berkonsentrasi memasak karena wajahnya saat itu dekat sekali dengan wajahku. Dengan agak gugup aku menjawab, "Ayam goreng tepung kesukaanmu. Cobalah kau cicipi, apakah bumbunya sudah cukup ?"

Ia mengambil satu potong kecil dan mencicipinya. "Wah, pas sekali dengan selera saya. Bapak memang tahu benar kesukaan saya". Wajahnya tetap berada di bahuku. Aku hanya tertawa. "Yah, sudah sekian lama kita tinggal bersama, rasanya saya sudah cukup mengenalmu" .

Tiba-tiba aku merasa kedua tangannya memelukku dari belakang. Ia berbisik di telingaku, "Terima kasih, Pak. Saya senang Bapak mengajak saya tinggal bersama. Selama ini saya merasa tidak ada seorangpun yang memperhatikan saya. Cuma Bapak saja yang mau. Saya tidak akan melupakan jasa Bapak.

Saya tidak dapat membalas kebaikan Bapak dengan materi, tapi saya akan selalu siap melakukan apa saja yang Bapak minta"

Aku terkesiap. Pelukannya yang hangat dan erat membuat aku panas dingin.

Tahu-tahu senjataku menegang tanpa dapat ditahan. Merasa tubuhku agak gemetar, ia melepaskan pelukannya sambil membalikkan tubuhku menghadap ke arahnya, "Ada apa, Pak ? Ada yang salah dengan ucapan saya ?"

Aku menggeleng sambil berusaha menutupi bagian bawah tubuhku yang walau terbalut celana tapi telihat menggunung."Tidak, Bas. Tidak ada yang salah dengan ucapanmu itu. Malah saya merasa tersanjung sekali. Kamu tidak perlu membalas jasa sedikitpun pada saya, karena semua saya lakukan dengan ikhlas, tanpa pamrih".

Kedua matanya tampak berkaca-kaca. "Bapak sungguh mulia. Sekali lagi terima kasih". Kembali ia memelukku erat. Tak tahu apa yang harus kulakukan, akhirnya akupun membalas pelukannya.

Kami berpelukan seperti itu selama beberapa saat. Akhirnya ia lepaskan pelukannya. Aku menghapus air mata yang mengalir di pipinya. "Jangan menangis, Bas. Saya amat menyayangimu. Saya tidak akan pernah membiarkan satu orangpun menyakiti dirimu".

Air matanya malah semakin deras mengalir diwajahnya.

Kuraih wajahnya dan kubenamkan ke dadaku. Kubiarkan ia menumpahkan seluruh air matanya di dadaku. Ia memeluk tubuhku dengan erat sambil terisak-isak. Aku berusaha menghiburnya sambil mengelus rambutnya, "Sudah, Bas.

Sudah. Kamu mandi dulu, ya. Saya tunggu kamu untuk makan malam bersama".

Ia mengangkat wajahnya dari dadaku dan memandangku, "Saya juga menyayangi Bapak. Saya akan selalu menjaga Bapak. Saya ingin Bapak menjadi sahabat, kakak dan pengganti orang tua sekaligus""Ya. Kau boleh menganggap saya sebagai sahabat, kakak juga pengganti orangtua"

Ia tersenyum di balik isak tangisnya yang masih tersisa. "Sekarang mandilah.

Sudah sore. Nanti makanannya sudah dingin, tidak enak lagi", kataku mengingatkannya. Ia mengangguk sambi beranjak menuju kamar mandi.

Di saat makan malam, aku merasakan sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kuperhatikan sering kali ia mencuri pandang ke arahku sambil tersenyum. Sekali aku memergokinya sedang memandang ke arahku. Aku menghentikan suapan nasiku sambil tersenyum padanya.

"Ada apa, Bas ? Mengapa kamu terus menerus memandang saya seperti itu ?"

"Ah, nggak apa-apa", sahutnya tersipu sambil menundukkan kepalanya.

"Ayolah, pasti ada sesuatu. Ada yang lucu diwajah saya ?", kejarku.

"Nggak, kok. Sungguh nggak ada apa-apa", ia masih juga berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menunduk."Hm .... baiklah jika memang kamu tidak mau memberitahu", aku pura-puramarah padanya dan meneruskan makan sambil cemberut.

"Aduh, Pak. Jangan marah, dong. Sungguh nggak ada apa-apa. Saya cuma senang karena mendapat orang yang dapat saya percaya seperti Bapak. Saatini, saya amat membutuhkan tempat curahan hati.

Saya temukan itu pada diriBapak", katanya ketakutan.

Aku tetap saja meneruskan makanku, seolah tidak perduli dengan ucapannya.

Ia terlihat makin panik melihat akumasih diam.

"Pak, jangan marah ya. Kalau memang Bapak tidak suka saya pandangi terus, ya saya tidak berani lagi memandang Bapak", terdengar suaranya gemetar.

Aku jadi kasihan juga mendengar suaranya yang gemetar ketakutan. Akhirnyaaku menoleh padanya sambil berkata, "Tidak, saya tidak marah padamu, Bas.Saya tidak akan pernah marah padamu karena saya amat menyayangi kamu. Sayacuma merasa jengah kamu pandangi terus seperti itu, seolah ada yang anehsaja di wajah saya"

Ia terlihat lega melihat aku tak marah lagi padanya.

"Syukurlah Bapak tidak marah. Saya takut Bapak benar-benar marah pada saya.

Terima kasih karena Bapak menyayangi saya. Saya juga sayang sama Bapak.

Bapak satu-satunya yang mengerti diri saya. "Aku tersenyum. "Nah, mari kita teruskan makan malam kita", kataku.

Malam itu aku masuk kamar lebih awal dari biasanya. Entah mengapa aku merasa sedikit lelah. Aku juga berpesan padanya agar beristirahat lebih awal saja agar besok pagi badan terasa lebih segar untuk segera mulai tugas baru di pabrik. Ia mengiyakan sambil tetap beradadi depan TV menonton acara kesayangannya.

Tengah malam aku dikejutkan oleh suara halilintar yang menyambar-sambar.

Keras sekali suaranya diiringi suara hujan turun yang amat deras. Heran, pikirku. Tidak biasanya hujan di bulan-bulan seperti ini. Tapi, ya tidakapalah. Toh suasana menjadi lebih sejuk dan enak untuk tidur. Belum sempat aku terlelap kembali, kudengar ada suara ketukan di pintu kamarku. Aku heran, mengapa Bastian mengetuk pintu kamarku di tengah malam seperti ini. Dengan setengah terpejam aku bangkit untuk membuka pintu.

"Ada apa, Bas ?", kataku sambil menggosok kedua mataku. Dia berdiri di depan kamarku, hanya mengenakan celana pendek saja."Eh, .....anu Pak. Bolehkah saya menumpang tidur di kamar

Bapak ?", kulihat ia agakgemetar. "Ada apa sebenarnya, Bas ? Mengapa tubuhmu gemetar seperti ini ?", sekarang rasa kantukku hilang sama sekali.

"Saya, ..... saya takut sekali mendengar suara halilintar tadi", suaranya masih bergetar.Aku segera meraih bahunya untuk kuajak masuk ke kamarku. "Mengapa kamutakut mendengar suara halilintar tadi ?"

Dengan terbata-bata ia ceritakan, bahwa pada saatia baru berusia 10 tahun dan masih tinggal di kampung, ia pernah mengalami peristiwa yang amat mengguncang bathinnya. Malam itu ketika ia sedang tidur, hujan turun dengan lebatnya disertai halilintar yang menggelegar. Tiba-tiba atap rumahnya tersambar oleh halilintar, yang mengakibatkan kebakaran hebat melanda rumahnya yang segera menyebar ke rumah-rumah di sekitarnya. Akibatnya banyak penduduk yang kehilangan tempat tinggalnya. Hal itulah yang membekas di hatinya sampai kini dan membuatnya trauma terhadap halilintar.

Aku memeluknya dan membesarkan hatinya. Akhirnya kuizinkannya untuk tidur bersamaku malam itu. Kebetulan ranjang tidurku berukuran besar, sehingga cukup untuk 2 orang. Aku merebahkan tubuhnya yang masih gemetar ke atas ranjang sambil terus berusaha membesarkan hatinya. Ia memandangku dengan matanya yang berkaca-kaca. Kugenggam erat tangannya sambil tersenyum, "Jangan takut, Bas. Saya akan menjagamu. Tidak akan ada yang mencelakakan kita".

Ia berusaha tersenyum, namun tetap tidak mampu menghapus rasa khawatir di wajahnya. Aku mengambil selimut dan menyelimuti tubuh telanjangnya.

"Sekarang tidurlah. Saya akan berada di sisimu". Lalu kubaringkan tubuhku di sampingnya sambil menyelimuti tubuhku dengan selimut yang sama.

"Selamat tidur, Bas", bisikku di telinganya. Lalu kubalikkan tubuhku membelakanginya. Aku berusaha untuk tidur kembali, walau rasa kantukku sudah hilang.

Tiba-tiba kurasakan tangannya memeluk pinggangku dengan erat dari belakang.

Wajahnya dibenamkan ke punggungku. Aku terkejut dibuatnya. Gerakanku membuatnya mengangkat wajahnya dari punggungku. Aku membalikkan tubuhku ke arahnya. Kini posisi tubuh kami saling berhadapan. Kupandangi wajahnya dengan pandangan penuh tanda tanya. Sambil tersipu malu ia berkata, "Maaf, Pak. Saya teringat akan ayah saya. Waktu saya masih kecil, setiap malam jika saya ingin tidur, pasti akan dikeloni oleh ayah. Ayah akan memeluk tubuh saya sambil mengelus-elus rambut saya. Saya merasa aman dalam pelukan ayah. Saya ingin menikmati lagi masa-masa seperti itu, Pak"

Aku tersenyum padanya, "Kau mau saya keloni ?"

Dengan malu-malu ia mengangguk, "Boleh tidak, Pak ?"

Tak mungkin aku bisa menolak permintaannya. Hatiku bergemuruh, dipenuhi berbagai perasaan, haru, gembira, dan entah apa lagi. Tanpa berkata lagi, meraih kepalanya dan kuletakkan ke atas dadaku. Kupeluk bahunya dengan tangan kananku, dan tangan kiriku berada di pinggangnya. Ia segera melingkarkan tangannya ke tubuhku. Kulit tubuhnya terasa halus sekali menyentuh tanganku. Nafasku mulai tak teratur dibuatnya. Berada sedekat itudengan pria yang amat kucintai membuatku begitu nikmat. Nafasnya terasahangat di dadaku. Aku berusaha agar gundukan di celanaku tidak terlalukentara. Namun ia menggeser-geserkan tubuhnya ke tubuhku, membuat senjataku semakin mengeras. Hampir gila aku dibuatnya. Namun aku tetap berusaha agartidak lepas kendali, walaupun saat itu aku ingin sekali menerkam tubuhnyadan melucuti celananya, serta langsung kutindih tubuhnya yang indah. Tetapi aku masih dapat berpikir jernih, bahwa ia adalah seorang pria normal yangtak lama lagi akan menikah. Tak mungkin ia mau meladeni seorang pria tidaknormal seperti aku ini.

Akhirnya aku hanya mengecup dahinya disertai ucapan selamat malam sekali lagi. Sampai pagi menjelang baru aku dapat terlelap kembali.

Selama ia tinggal bersamaku, kami benar-benar sudah seperti saudara saja.

Hubungan kami dekat sekali. Di hari Minggu atau libur, kami sering keluar bersama. Pokoknya kemana saja kami pasti pergi berdua. Tentu saja aku tidak ikut dengannya waktu ia mengunjungi Yani. Kami sudah saling mengenal pribadi masing-masing. Ia tahu kesukaanku dan begitu pula sebaliknya.

Suatu pagi, saat aku menhidangkan secangkir kopi dan dua tangkup roti yang diolesi selai kacang, ia memandangkudengan sendu.

Kukernyitkan keningku kepadanya, "Kenapa, Bas ? Kopinya tidak enak ?"

Ia menggeleng. "Bukan, Pak. Malah sebaliknya, kopi buatan Bapak enak sekali. Pas sekali dengan selera saya""Lalu kenapa ?", aku semakin penasaran dibuatnya. Ia menghela nafas panjang. "Saya cuma merasa sedih. Sesudah saya menikah nanti, setiap pagi saya tidak dapat menikmatilagi kopi buatan Bapak"

Aku tertawa, "Lho, apa kopi buatan Yanitidak enak ?"

Ia tersenyum pahit. "Pak, Yani tidak biasa di dapur. Sebagai putri tunggal dari keluarga mampu, ia sama sekali tidak dibiasakan bekerja di dapur.

Bahkan untuk membuat kopipun ia tidak bisa"Aku terhenyak. Ya, Tuhan. Aku bergumam dalam hati.

Begitu parahkah Yanisampai membuat kopi saja tidak bisa ? "Lalu, siapa yang akan menyiapkan makan untukmu nanti ?", tanyaku."Yah, saya yakin ia pasti akan menyuruh pembantu.

Aku menggelengkan kepala. "Bas, saya ikut prihatin. Saya sarankan agar kau mau menghimbau Yani agar mulai belajar memasak sejak sekarang"

"Sudah sering saya katakan padanya, Pak. Tapi dasar ia anak yang manja.

Sama sekali tidak mau mendengar nasihat saya itu"

Kami terdiam beberapa saat. Lalu kuberanikan untuk bertanya, "Bas, maafkan saya bila saya lancang. Menurutmu, apakah Yani adalah wanita yang cocok untuk menjadi istrimu ?"Ia terkejut mendengar pertanyaanku. Dengan  ragu-ragu ia menjawab, "Entahlah, Pak. Yang pasti selama ini saya berusaha sabar menghadapiseluruh tingkah lakunya yang kekanakan dan tidak pernah mau kalah". Ia menghela nafas panjang sebelum meneruskan,

"Sebenarnya, beberapa kali pernah saya coba untuk meninggalkannya. Namun nurani saya mencegahnya, karena saya merasa harus bertanggung jawab atas perbuatan saya terhadap dirinya" Kupandangi wajahnya lekat-lekat. "Lalu, rencana pernikahan kalian akan tetap dilaksanakan sesuai jadwal semula ?"

"Ya. Walau sampai sekarang orang tuanya masih tidak mengizinkan diadakan pemberkatan di gereja" Aku menganggukkan kepala. "Baiklah, semoga kau diberi kekuatan dalam menghadapi semua cobaan ini".

Aku tengah beranjak menuju ruang tengah ketika ia mencegahku dengan menarik lenganku. Aku berpaling ke arahnya dengan pandangan bertanya."Maafkan saya, Pak. Saya tahu bahwa Bapak tidak setuju saya menikahi Yani.Tanpa Bapak katakan, saya sudah tahu. Namun saya mohon pengertian Bapak, karena saya harus bertanggung jawab", dengan tersendat ia berkata.Aku menghela nafas panjang. "Bas, memang saya tidak setuju dengan pernikahan kalian. Namun, ingat Bas. Saya ini hanya seorang sahabat. Saya tidak berhak turut mencampuri kehidupan pribadimu.

Saya hanya dapat memberi pendapat saja, tidak lebih". Ia mengangguk sedih.

"Ya, saya mengerti. Namun ada satu permintaan saya. Mohon Bapak bersedia mengabulkannya "Aku menatap wajahnya yang kini tampak sendu.

"Katakanlah, Bas. Apa saja permintaanmu, asalkan saya mampu pasti akan saya berikan" Ia menatap wajahku dengan pandangan memohon. "Bersediakah Bapak menjadi pendamping saya di pesta pernikahan nanti ?"

Aku sedikit terkejut mendengar permintaannya itu. Namun aku mengangguk menyetujuinya. "Tentu saja, Bas. Kau adalah sahabatku yang telah kuanggap sebagai adikku sendiri. Tak akan kulewatkan begitu saja kesempatan yang kauberikan itu"Ia tersenyum lega mendapat persetujuanku.

"Terima kasih, Pak"

Lanjut ke samping >>

 

"Pantaskah saya mengenakan jas ini, Pak ?", ia meminta pendapatku ketika aku menemaninya untuk mengepas setelan jas untuk pernikahannya.Aku memandangnya dari atas ke bawah. "Hm ..... kau gagah sekali, Bas. Kau pantas sekali mengenakannya. Aku dapat memastikan bahwa banyak yang akan menjadi iri pada Yani karena mendapat suami segagahmu", kataku. Aku juga termasuk yang akan menjadi cemburu pada Yani, pikirku dalam hati dalam hati.Ia tersenyum lebar, "Ah, Bapak bisa saja. Sekarang coba Bapak jas yang akan Bapak kenakan nanti"

Aku mencoba jas yang disiapkan untukku. Sambil memutar-mutar tubuhku dihadapannya aku bertanya, "Bagaimana ?"Ia bertepuk tangan, "Yah, inilah peragawan kita yang akan membawakan setelan jas hasil rancangan..."

Belum sempat ia selesaikan kalimatnya sudah kutinju lengannya. Ia tertawa terbahak-bahak. Aku jadi sedikit kesal dibuatnya. Segera kulepaskan setelan jas tersebut. Namun buru-buru ia berkata, "Lho, kok dilepas lagi ?

Bapak gagah sekali mengenakan jas itu"

"Ah, jangan mengejek kau", aku menyergah."Tidak, Pak. Saya serius. Bapak gagah sekali.

Malah, nanti orang akan mengira Bapak yang menjadi pengantin prianya", ia mencoba melucu.Mau tak mau aku jadi tersenyum. Ia memang paling pintar mengambil hatiku."Sudahlah, saya tidak mau bersaing denganmu. Lebih baik saya memakai jas yang lain saja"Segera ia menukas, "Jangan. Jasnya ‘kan sudah dibayar"Aku tersenyum geli, "Saya tahu. Saya cuma bercanda kok". Sekarang giliran lenganku yang menjadi sasaran tinjunya. Aku tertawa melihat tingkahnya.

Setiba di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Aku merasa mengantuk sekali.

Mungkin karena akhir-akhir ini aku sering memikirkan rencana pernikahannya.

Hatiku tak relah ia menikahi Yani. Aku menginginkan dirinya hanya untukku.

Namun apa daya, ia adalah pria normal. Tak mungkin aku secara terus terang mengatakan padanya bahwa aku mencintainya. Tentu ia akan menganggap aku gila dan tidak sudi lagi tinggal bersamaku.

Baru saja kurebahkan tubuhku, ia masuk ke kamarkudan ikut membaringkan tubuhnya di samping tubuhku. Aku berpaling kearahnya sambil bertanya."Adaapa lagi, Bas ?"Ia tampak ragu-ragu untuk menjawab. Ia hanya memandangku dengan gelisah."Ayo, katakan ada apa Bas", tanyaku lagi."Bapak tidak marah jika saya tanyakan sesuatu yang agak pribadi ?"

"Mengapa harus marah ? Saya sudah pernah berkata bahwa saya tidak akan pernah marah kepadamu karena saya sangat menyayangi kamu"

Kembali ia terlihat ragu sebelum akhirnya ia berkata."Maafkan saya Pak jika saya lancang. Saya ingin Bapak katakan sejujurnya kepada saya perasaan Bapak terhadap saya selama ini"Aku terkejut mendengar ucapannya yang tak pernah kusangka-sangka itu. "Apa maksudmu, Bas ?"Ia tersenyum kecil, "Pak, selama ini saya merasakan ada yang Bapak sembunyikan dari saya. Bapak selalu bersikap baik kepada saya, bahkan cenderung memanjakan saya seperti anak kecil. Terus terang, saya senang diperlakukan istimewa seperti itu karena seolah-olah saya mendapat perlakuan kasih secara khusus dari orang yang saya anggap sebagai pengganti orang tua.Tapi dibalik itu semua, saya merasakan sesuatu yang tidak dapat saya katakanapa itu. Saya hanya dapat menduga-duga saja.

Sekarang, saya mohon agar Bapak dapat menghapus penarasan saya dengan mengatakan kepada saya sejujurnya, bagaimana perasaan Bapak terhadap saya"Aku terdiam lama. Rasanya aku tidak siap untuk mendapat pertanyaan ini.Namun, cepat atau lambat toh ia akan mengetahui juga isi hatiku yangsebenarnya. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk mengatakan saja sejujurnya perasaanku padanya. Sambil menghela nafas panjang aku berkata,

"Bas, saya mengaku bahwa selama ini saya berusaha menyembunyikan sesuatu darimu. Semua ini saya lakukan karena saya takut kehilangan kamu. Saya amat menyayangi kamu,Bas"

Ia memandangku lekat-lekat, "Ya, tapi kenapa Bapak harus merasa takut kehilangan saya ? Apa karena saya akan menikah ?"

Aku menggelengkan kepalaku, "Bukan itu. Saya takut kau akan marah danmeninggalkan rumah ini jika saya katakan alasan yang sebenarnya" Ia memegang tanganku untuk menenangkanku. "Tidak, Pak. Saya tidak akan marah. Katakanlah "Aku mengangkat wajahku dan menatap kedua matanya yang indah. "Bas, saya mencintaimu. Saya amat mencintaimu, bukan sebagai sahabat, saudara atau orang tua. Tapi saya mencintaimu sebagai kekasih saya".

Ia tidak tampak terkejut mendengar pengakuanku. Ia malah mempererat genggamannya pada tanganku. "Saya sudah menduga hal itu. Pertama kali sayamenduga hal itu pada saat Bapak menjemput saya untuk pindahan. Sayaperhatikan saat itu Bapak terus memandangi tubuh saya yang telanjang. Dansaya juga perhatikan bahwa Bapak terangsang hebat saat itu". Merah wajahkumendengar ucapannya. Ya Tuhan. Ia sudah tahu sejak awal."Kedua kalinya, pada saat saya menumpang tidur di kamar Bapak. Bapak ingat waktu itu saya menggeserkan tubuh saya berkali-kali ke tubuh Bapak ? Saat itu sebenernya saya ingin mengetes dugaan saya. Ternyata saya merasakan bahwa Bapak juga terangsang hebat waktu itu. Puncaknya saat Bapak mengecup kening saya. Saat itu saya sudah tahu bahwa sebenarnya Bapak mencintai saya "Aku terdiam mendengar seluruh uraiannya. Aku tak berani lagi menatap wajahnya. Namun ia tetap saja menggenggam erat tanganku.

"Yang ingin saya tanyakan sekarang, mengapa saat itu Bapak tidak memperkosasaya ? Toh suasananya memungkinkan", tanyanya lagi.Aku menggeleng."Tidak Bas, saya tidak bisa melakukannya. Walaupun saya saatitu sudah amat terangsang dan suasananya mendukung, saya tidak bisa melakukannya""Kenapa, Pak ?""Karena saya mencintaimu, Bas. Cinta saya padamu bukan sekedar nafsu, tapicinta murni. Saya tahu kalau kau adalah pria normal dan saya tidak berharapkau akan mencintai saya. Namun saya sudah cukup bahagia dengan memberikan cinta saya pada dirimu"Matanya berkaca-kaca. "Begitu besarkah cinta Bapak terhadap saya ?"Aku mengangguk.Tiba-tiba ia melumat bibirku. Aku serasa tersengat aliran listrik mendapat ciuman darinya. Ia mencium bibirku dengan lembut dan penuh perasaan.Merasa tidak mendapat reaksi dariku, ia melepaskan ciumannya sambil memandangku. "Bapak tidak suka saya cium ?"

Aku masih tidak percaya ia menciumku. Namun aku masih mampu menggelengkan kepala. Ia semakin heran, "Benar Bapak tidak suka saya cium ?"

Sedikit gugup aku menjawab, "Bukan, Bas. Saya tidak menyangka kalau kau akan menciumku. Saya…""Bapak suka saya cium ?", tanyanya lagi."Ya, saya amat menyukainya", jawabku sambil menelan ludah.

"Lalu, mengapa Bapak tidak membalasnya ?"Kembali aku gelagapan dibuatnya, "Eh…seperti yang saya katakan tadi, sayatidak menyangka kalau kamu mau mencium saya" .

"Jika saya mencium Bapak lagi, apakah Bapak mau membalasnya ?", kejarnya lagi.Kutelan ludahku untuk kesekian kalinya. "Ya, saya akan membalasnya dengan sepenuh hati"Perlahan-lahan ia mendekatkan wajahnya kembali ke wajahku sampai kurasakan bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut. Kali ini aku menyambut bibirnya dengan penuh perasaan. Kulumat bibirnya dengan nikmat. Oh, sungguh tak kusangka aku dapat mencium bibirnya yang selama ini hanya dapat kupandangi saja.Tak lama kemudian pagutan bibir kami mulai liar dan lidahnya mulai menyerang ke dalam mulutku. Kami saling beradu lidah dengan ganas. Sementara itu tubuhnya kini menindih tubuhku. Aku segera memeluk tubuhnya agar lebih erat lagi merapat ke tubuhku sambil terusmelumat bibirnya.Akhirnya dengan nafas sedikit tersengal, ia lepaskan ciumanya dari bibirku.Ia memandang wajahku sambil tersenyum. "Bagaimana, Pak ? Bapak suka ?".Aku mengangguk sambil membalas senyumannya.

Ia bangkit dari tubuhku dan sambil terus memandang wajahku ia tersenyum melepaskan pakaiannya. Aku terbelalak melihat satu per satu pakaian yang ada di tubuhnya telah tergeletak di lantai, hingga akhirnya ia tidak mengenakan sehelai benangpun di tubuhnya. Senjatanya telah menegang dengankeras. Indah sekali bentuknya. Kutaksir panjangnya tidak kurang dari 20cm, menjulang dengan gagah diantara semak hitam yang lebat di pangkalnya. Ia kembali membaringkan dirinya di samping tubuhku.

Dibelainya wajahku dengan lembut sambil berkata, "Pak, saya ingin Bapak melakukan apa yangselama ini Bapak ingin lakukan terhadap saya.

Namun saya minta, tolong jangan setubuhi saya. Saya tetap pria normal yang tidak akan menyetubuhi pria lain atau disetubuhi pria lain"Aku menikmati pemandangan indah yang terhampar di depan mataku. Perlahan-lahan ia lepaskan pakaianku satu per satu hingga akupun bugilseperti dirinya. Ia menciumku kembali dengan hangat. Kali ini kubalasdengan ganas. Kuciumi bibirnya sepuas hatiku, dan kulanjutkan denganmencium seluruh wajahnya. Dimulai dari dahinya, kedua matanya, hidungnya, pipinya, kembali ke bibirnya, dan daun telinganya.

Ia menggelinjang ketika kujilati daun telinganya. Ia melenguh dan mengerang penuh kenikmatan. Kulanjutkan dengan menciumi lehernya, yang membuatnya semakin menggelinjang liar. Kebawah, kuciumi dadanya yang bidang.

Kujilati kedua puting susunyayang merah secara bergantian. Kugigit perlahan ujung pentilnya hingga mengeras. Lalu kuisap-isap putingnya dengan nikmat.

Ia semakin meracau dantangannya kini menekan kepalaku semakin kuat ke arah dadanya. Kulepaskan isapanku pada putingnya. Kini kualihkan perhatianku pada ketiaknya yang ditumbuhi oleh bulu halus yang tidak lebat. Kuhirup aromajantan yang khas di ketiaknya itu. Aroma tubuhnya seolah menjadi perangsang bagiku, karena aku menjadi makin bernafsu menyerang ketiaknya. Kujilati seluruh permukaan ketiaknya bergantian kiri dan kanan.Puas dengan ketiaknya, aku beralih ke perutnya yang ramping dan berotot.Kuciumi perutnya, kujilati pusarnya dan terus ke bawah sampai lidahku mulai menyentuh bulu kemaluannya. Kulihat kemaluannya sudah amat keras danterdapat cairan bening diujung kepalanya. Segera kuraih kemaluannya dankuciumi seluruh permukaannya dengan sepenuh hati. Ia semakin menggelinjang tak keruan.Kujilati ujung kemaluannya yang terus mengeluarkan cairan bening itu dengan nikmat. Hm…rasanya lezat sekali. Tak tahan lagi, aku segera memasukkanbatang kemaluannya ke dalam mulutku. Kuisap-isap dengan penuh perasaan. Sesekali kujilati lubang kemaluannya untuk mendapatkan lagi cairan bening yang terus keluar. Setiap lidahku menyentuh bagian tersebut, iamenggelinjang dengan hebat. Aku terus merangsangnya.

Aku ingin ini menjadi pengalamannya yang tak terlupakan, walaupun ini yang pertama sekaligus mungkin yang terakhir baginya. Kuisap-isap kemaluannya dengan kuat sambil kubantu dengan tanganku yang meremas-remas batang kemaluannya turun naik.

Tangannya kini menekan kepalaku agar kemaluannya semakin dalam masuk ke dalam kerongkongaku. Kulemaskan kerongkonganku hingga akhirnya aku berhasil memasukkan seluruh batang kemaluannya ke dalam mulutku. Isapan pada kemaluannya kuperkuat. Kurasakan kemaluannya kini semakin mengeras dan terasa lebih besar.

Tiba-tiba saja disertai lenguhan kuat iamenjambak rambutku dan menekan kepalaku dengan kuat ke kemaluannya. Kurasakan semburan hangat memenuhi rongga mulutku dengan cepat dan banyak. Segera kutelan sebisaku cairan kenikmatan itu.

Namun sebagian tetap saja mengalir keluar dari sela-sela bibirku. Cukup lama ia mengeluarkan seluruh spermanya di dalam mulutku, sampai akhirnya tidak ada lagi sisa yang bisa dikeluarkan. Aku amat menikmasi rasa spermanya.

Hm…lezat sekali.Aku masih tetap mengisap-isap kemaluannya serta menjilati kepalanya untuk membersikan dari sisa-sisa sperma yang masih menempel di batang kemaluannya. Ia menarik keluar batang kemaluannya dari mulutku.

Ia memandangku denganpenuh rasa puas. Sementara aku menjilati sisa sperma yang ada di daguku, iameraih batang kemaluanku yang telah mengeras sejak tadi. Ia meremas-remas dan mengocok kemaluanku.

Aku segera mengerang menikmati kocokannya. Taklama kemudian akupun mengeluarkan sperma di tangannya yang segera dijilatinya hingga bersih.

Kucium bibirnya dengan lembut. Kupandangi wajahnya tampannya yang terlihat letih namun puas. "Terima kasih, Bas. Kau telah memberikan kesempatan pada saya untuk menikmati tubuhmu"

Ia membalas ciumanku. "Saya juga harus berterima kasih kepada Bapak karenatelah memberikan kenikmatan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya "Malam itu kami tidur bersama sambil berpelukan tanpa sehelai benangpun yangmelekat pada tubuh kami.

Usapan lembut di belahan bokongku membuatku terjaga. Aku mengerang menikmati usapan itu. Terasa dengus nafas hangat menyentuh telingaku membuatku menggelinjang geli. "Baru sekarang saya perhatikan, ternyata pantat Bapak mulus sekali danbegitu montok menggairahkan", bisik Bastian di telingaku. Aku tersenyum mendengarnya sambil kusorongkan pantatku ke belakang agar ialebih leluasa lagi meremas dan mengusapnya.

"Hm…coba pantat semulus ini milik seorang wanita.

Pasti sudah saya nikmati kehangatannya""Anggap saja itu milik seorang wanita, Bas", kucoba untuk menggodanya."Tidak, Pak. Saya tidak ingin menodai cinta saya pada Yani dengan berselingkuh dengan orang lain. Apalagi dengan seorang pria "Aku sedih mendengarnya. Kuhela nafas panjang untuk menghilangkan sesak dihatiku. Ia bangkit dari tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi, masih dalam keadaan tanpa busana. Pantatnya yang montok bergoyang-goyang dengan indah mengiringi langkahnya. Oh, begitu menggodanya pemandangan yang tersaji itu. Aku memejamkan mata dan menggelengkan kepala untuk membuang seluruh khayalanyang ada di kepalaku. Andre, seharusnya kau merasa bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk menikmati tubuhnya semalam, bathinku berkata. Akupun bangkit dan berpakaian. Segera kusiapkan sarapan pagi untuk kamiberdua. Kebetulan hari itu adalah hari libur hingga kami tidak perlu bergegas untuk bersiap-siap berangkat bekerja. Kudengar ia bersiul gembira di kamar mandi. Entah apa yang ia pikirkan sehingga bersiul seperti itu. Aku menyiapkan kopi manis kesukaannya dan sepiring nasi goreng. Baru saja kuletakkan sarapan untuknya di meja, iakeluar dengan hanya dibalut handuk saja. "Hm…harumnya. Wah, nasi goreng kesukaan saya. Bapak memang sangatmemanjakan saya", katanya sambil memelukku dari belakang. Aku melepaskan pelukannya dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Selesai mandi dan berganti pakaian, aku menuju meja makan. Kulihat sarapannya belum disentuhnya sama sekali. Ia tampak sedang termenung.Aku mengambil tempat duduk di hadapannya. Kupandangi wajahnya lekat-lekat. Ah, betapa tampannya ia. Seandainya ia menjadi milikku. Aku menyentuh tangannya, "Kenapa sarapannya belum dimakan, Bas ?"Ia sedikit tersentak. Sambil tersenyum ia menggenggam tanganku, "Saya menunggu Bapak"Aku merasa tersanjung mendengarnya. Kuremas tangannya sambil berkata, "Bas,tidak perlu kau tunggu saya. Makan saja dulu" "Saya tidak akan makan jika Bapak juga tidak makan", ia berkeras. Kutatap matanya. Ia serius sekali. "Baiklah, mari kita makan"

Selama kami bersantap, kami terus saling berpandangan sambil tersenyum.

Tidak ada sepatah kata yang terucap dari mulut kami, namun seolah mata kami

dapat saling mengerti apa yang ada di hati kami masing-masing.Selesai bersantap, ia segera membereskan seluruh perabotan dan mencucinya.Sementara itu aku sempatkan untuk menengok taman di halaman depan rumah yangtelah beberapa hari tak sempat kuurus. Ternyata baru beberapa hari sajasudah banyak rumput liar yang tumbuh. Aku segera mencabutinya. Sangking asyiknya mencabut rumput, tak kusadari ia telah berada disampingku. Dengan tissue di tangannya, ia menyeka peluh yang mengalir di dahi dan leherku. Aku memandangnya sambil mengucapkan terima kasih. Ia mengangguk sambil tersenyum."Pak, ini saya buatkan es jeruk. Istirahat dululah. Nanti baru diteruskan""Terima kasih, Bas. Saya memang sudah haus", kusambut gelas berisi es jerukyang disodorkannya."Hm…segaaaar. Wah, enak sekali es jeruk buatanmu ini", kataku setelah kuteguk minuman segar itu.Ia tertawa renyah, "Ah, biasa saja kok. Masih kalah enak dengan kopi buatan Bapak""Hei, mana bisa kopi disamakan dengan es jeruk ?" Ia terus tertawa. Aku beristirahat sejenak, sementara ia menggantikanku mencabuti rumput liar. Sebentar saja tubuhnya telah basah oleh peluh.

Kuambil tissue dan kuseka peluh yang membanjiri tubuhnya. Ia memandangku dengan pandangan yang tak bisa kumengerti. "Terima kasih, Pak", senyumnya merekah manis sekali. Akhirnya kami mencabuti rumput bersana-sama hingga sore hari.

Malam ini adalah malam terakhir masa lajangnya. Besok ia akan menikah dengan Yani. Keluarga Yani mengadakan pesta untuk kalangan dekatnya yang diadakan dirumahnya. Yani telah berpesan wanti-wanti kepada Bastian agar datang tepat waktunya karena ia akan diperkenalkan dengan seluruh undangan.

Maklumlah, sebagai suami Yani, ia nantinya akan mewarisi seluruh perusahaan milik ayah Yani. Hingga pukul 6 sore, ia masih belum bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Yani. Aku agak heran melihatnya sepanjang hari terlihat tidak bergairah.

Karena malam sudah semakin turun, aku segera mencarinya. Rupanya ia sedang berada di kamarnya. Kulihat ia termenung di pinggir tempat tidurnya. Masih belum berganti pakaian. Aku duduk disampingnya. Kurangkul bahunya dan berbisik, "Bas, kau sudah harus bersiap-siap untuk ke rumah Yani"Ia diam saja. Tak tahan lagi aku raih wajahnya dan kualihkan untuk melihatke arahku. "Ada apa, Bas ? Kau kelihatannya ada masalah"

Matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba ia merangkulku erat dan membenamkan wajah-nya ke dadaku. Air matanya tumpah. Aku semakin tak mengerti melihat kelakuannya itu. Namun kubiarkan saja ia meluapkan emosinya. Cukup lama ia menumpahkan air matanya di dadaku. Setelah agak reda, ia mengangkat wajahnya dan mengusap sisa air matanya.Ia menatap pakaianku yang basah oleh air matanya.

Dengan gemetar ia memandangku dan berkata, "Maafkan saya, Pak. Pakaian Bapak jadi basah"Kulihat ke arah bagian yang basah padapakaianku. Lalu kualihkan pandanganku ke wajahnya. Aku tersenyum berusaha menenangkannya, "Tidak mengapa, Bas. Toh saya bisa salin pakaiankembali. Malah saya amat mengkhawatirkanmu "Ia memandangku seolah tak percaya, "Bapak mengkhawatirkan saya ?"

Aku mengangguk."Sepanjang hari kau terlihat tidak bergairah. Ada yang mengganggu pikiranmu ?"Ia menundukkan kepalanya. "Seharusnya kau bergembira karena besok kau akan menikah", lanjutku.Ia mengangkat wajahnya dan memandangku dengan matanya yang kembali berkaca-kaca. "Bagaimana mungkin saya bisa bergembira malam ini, sedangkan saya tahu perasaan Bapak hancur"Aku tersenyum pahit. "Jangan hiraukan saya, Bas. Ini memang sudah menjadisuratan hidup saya. Yang penting adalah kamu. Saya tidak mau melihat kaubersedih karena saya. Ayo, Bas. Kau sudahharus berangkat"

Ia menggeleng. "Saya akan menelpon Yani bahwa saya tidak dapat hadir. Saya lebih suka disini menemani Bapak"Aku terkejut. "Apa ? Jangan kau lakukan itu, Bas. Itu akan merusak segalanya""Tidak, Pak. Ini adalah malam kita yang terakhir.

Saya ingin menghabiskan bersama Bapak, orang yang amat istimewa bagi saya"Aku menggeleng, "Jangan, Bas. Pergilah, saya tidak apa-apa" Air matanya kembali menetes di pipinya, "Bapak tidak suka saya temani dimalam terakhir ini ?"Tak tahan aku melihat air matanya, aku juga ikut menitikkan air mata. "Bas,saya sangat senang kau mau menemani saya. Tapi, saya mohon Bas. Kau haruslebih memikirkan dirimu. Saya tidak mau hidupmu hancur karena saya "Kami berpelukan sambil bertangisan.

Agak lama baru ia melepaskanpelukannya. "Baiklah. Saya akan berangkat ke rumah Yani. Tapi saya mohonBapak bersedia menemani saya"

Aku memandangnya tak percaya, "Kau ingin saya temani ? Apa enak dengankeluarga Yani nanti ?"Ia berkeras, "Saya tidak perduli pendapat orang lain. Pokoknya jika Bapakktidak mau ikut, saya juga tidak akan pergi" Aku menghela nafas. Setelah mempertimbangkan sejenak, aku mengangguk setuju. Ia tersenyum sambil memelukku.

Rumah keluarga Yani telah dipenuhi oleh para undangan. Begitu kami tiba di sana, Yani segera berlari menyambut. Ia segera menggandeng mesra Bastiansambil bergayut manja di pundaknya. Ia mengajak kami untuk masuk danbergabung dengan para undangan.

Segera Yani menarik Bastian berkeliling untuk diajak berkenalan dengan seluruh rekanan bisnis dan kerabat dekat keluarga Yani. Sementara itu akududuk di teras rumah yang cukup nyaman danterhindar dari hiruk pikuknyasuara manusia bercampur dengan suara musik di dalam rumah.Aku duduk termenung sambil sesekali meneguk minuman yang sempat kuambil tadi. Kuperhatikan dari jauh Yani dengan wajah berseri terus mengajak Bastian untuk diperkenalkan dengan tamu lainnya. Namun kuperhatikan wajah Bastian tidak cerah. Ia malah terlihat sedikit geram dan senyumnya tampak sekali dipaksakan. Semakin kuperhatikan, semakin aku merasa ada sesuatuyang tidak beres. Sampai akhirnya kulihat Bastian menarik Yani ke sudut ruangan dan tampak mereka sedang beradu argumentasi. Aku tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan, namun dari mimik wajah mereka, dapat kuterka masalahnya serius sekali. Tiba-tiba kulihat Bastian berlari-lari ke arahku dan segera mengajakku untukpergi. Baru saja ingin kutanyakan alasannya, ia terus berlalu sambil menarik lenganku dengan paksa menuju mobil kami. Di dalam mobil ia masih belum mau membuka mulut. Ia hanya terdiam sajasambil sesekali ia menggeram dengan kesal. Ketika kutanyakan hendak kemana Ia dengan singkat mengatakan akan ke luar kota. Aku sangat terkejut mendengar permintaannya. Namun aku diam saja.

Ia memacu kendaraan menuju Puncak. Sepanjang perjalanan kami hanya berdiam diri. Hanya alunan musik saja yang terdengar dari stereo set di mobilku. Setiba di Puncak, ia langsung mencari sebuah villa untuk disewa. Setelah villa kami dapatkan, ia segera masuk ke dalam kamar dan membanting tubuhnya ke tempat tidur. Kususul dari belakang dan aku berbaring di sampingnya. Ku palingkan wajahku ke arahnya. Kulihat ia sedang menerawang ke arah langit-langit. "Nah,sekarang apakah kau akan bercerita apa yang terjadi ?"

Ia menghela nafas panjang seraya menoleh ke arahku. Matanya secara tajam menghunjam ke mataku. Aku tak sanggup menentang tatapan matanya yang tajam itu. Aku memalingkan wajahku ke arah langit-langit.

Kudengar suaranya mulai menceritakan apa yang telah terjadi. Rupanya selama di rumah Yani tadi, ia merasa menjadi bahan olok-olok saja. Yani terus menerus menyuruhnya untuk memperlihatkan cincin berlian pemberiannya kepada para undangan. Yani dengan nada bangga menceritakan tentang mahalnya cincin berlian itu sambil membandingkan cincin pertunangan yang diberikan Bastian kepadanya yang menurutnya tidak sepadan.

Demikian pula yang tnggapan daripara undangan. Mereka terus memuji-muji keindahan cincin itu dan mengatakan betapa beruntungnya Bastian mendapatkan Yani sebagai istri.

Mendapat perlakuan itu terus menerus, akhirnya Bastian tidak tahan lagi. Iamenarik Yani ke sudut ruangan untuk menanyakan maksud dan sikap Yani dengan ucapan-ucapannya yang menyakitkan hatinya itu.

Mereka bertengkar hebat karena Yani tetap merasa benar. Akhirnya Bastian  melepaskan cincin berlia pemberian Yani dan melemparkannya ke arah Yani. Ia  memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan asmara mereka karena kini terlihat dengan jelas perbedaan yang menyolok antara mereka.

Bastian berlari ke arahku tanpa mau mendengar lagi alasan Yani. Ia tidak perduli lagi cincin pemberiannya masih dikenakan oleh Yani. Yani terus memanggil-manggil Bastian, namun tidak diacuhkan sama sekali olehnya. Ia menarik lenganku untuk segera meninggalkan tempat itu.

Aku terdiam mendengar seluruh rangkaian peristiwa yang ia paparkan. Betapa tragisnya. Padahal besok adalah hari pernikahan mereka, namun siapa yang menyangka bahwa malam ini semuanya berakhir seperti ini.

Kulirik ke arahnya untuk mengetahui bagaimana perasaannya. Ia masih memandang ke arahku yang membuatku menjadi jengah.

Namun kupaksakan untuk membalas tatapannya. Kuraih tangannya dan kugenggam erat. "Bas, saya turut prihatin atas kejadian itu. Kau harus tetap kuat dan tabah menghadapi cobaan ini"Ia membalas genggamanku dan meremasnya, "Terima kasih, Pak. Saya merasakuat karena saya tahu Bapak pasti akan mendukung saya. Lagi pula, sayamerasa bersyukur karena justru di saat terakhir seperti tadi itu, Tuhantelah membuka mata saya. Tuhan telah menyadarkan saya bahwa Yani samasekali bukan jodoh saya "Aku tersenyum, "Lalu bagaimana rencanamu selanjutnya ?"Ia menatap mataku dengan pandangan yang memohon, "Bersediakah Bapak memaafkan saya ?"Aku mengerutkan kening, "Maaf ? Mengapa kau minta maaf ? Kau tidak pernah bersalah kepada saya""Tidak, Pak. Saya amat bersalah karena tidak mau mendengar nasihat Bapak.Bapak telah mengatakan berkali-kali pada saya bahwa Yani tidak baik untuk saya, namun saya titak percaya. Sekarang ucapan Bapak terbukti" Aku hanya terdiam sambil menundukkan wajah. Ia mengangkat wajahku untuk menatapnya, "Bersediakah Bapak memaafkan saya ?""Bas, sudah saya katakan bahwa saya tidak akan pernah marah padamu.

Oleh karena itu pula, kamu tidak perlu meminta maaf kepada saya. Kalaupun kamu tetap ingin tahu apakah saya memaafkanmu, kamu sudah tahu jawabannya""Saya ingin mendengarnya sekali lagi dari mulut Bapak", bisiknya hampir tak terdengar. Kusentuh wajahnya dengan lembut, "Bas, saya mencintaimu. Sudah tentu saya akan memaafkanmu" Diraihnya tanganku yang mengelus wajahnya itu dan diciumnya lembut. Iamenatapku dengan berkaca-kaca, "Pak, terima kasih.

Saya amat menghargai itu"Kami terdiam sesaat sebelum ia menyambung, "Satu hal yang perlu Bapak ketahui. Selama ini saya belum pernah mengatakan kepada Bapak saya selama kini membandingkan Bapak dengan Yani. Apa yangselama ini Bapak lakukan kepada saya, tidak pernah saya dapatkan dari Yani. Malah ia yang senantiasa menuntut perhatian lebih dari saya. Bersama Bapak saya merasa tentram, namun jika saya sedang bersamanya saya merasa was-was. Bapak tahu seleraserta kesukaan saya yang lain. Ia sama sekali tidak. Bahkan ulang tahun saya pun tidak pernah diingatnya. "Ia mulai terisak-isak. Kuraih kepalanya dan kusandarkan di dadaku. Kuelus lembut rambutnya dan kucium keningnya. "Sudah, Bas. Tumpahkan semuanya yang mengganjal di hatimu. Saya akan mendengarkan semuanya"

Ia tak kuasa meneruskan kata-katanya, hanya terus tersedu-sedu di dadaku.

Kupeluk erat tubuhnya untuk memberi rasa aman padanya. Kami berpelukan seperti itu beberapa saat lamanya. "Pak, sekarang saya mengetahui bahwa hanya Bapak yang paling mengenal saya dan mengeri saya. Saya tidak akan mendapatkan lagi dari orang lain perhatian seperti yang Bapak berikan kepada saya "Kini ia berada diatas tubuhku. Diturunkan wajahnya mendekat ke wajahku.

Nafasnya terasa hangat diwajahku. Kami saling bertatapan. "Pak, sayamencintai Bapak. Bersediakah Bapak menjadi kekasih saya ?"Aku tak percaya pada pendengaranku sendiri. Orang yang selama ini kucintai juga menyatakan cintanya padaku ? Padahal ia adalah pria yang normal.Aku terdiam, masih tak percaya atas pengakuannyaitu. "Pak ?

Kenapa Pak ? Bapak tidak senang mendengar pengakuan saya

?"Aku tersadar kembali, tergagap aku menjawabnya,Maaf,

Bas. Say…saya tidak yakin akan pendengaran saya"

Ia tersenyum, sambil mengelus wajahku ia ulangi lagi ucapannya tadi,

"Saya mencintai Bapak. Bersediakah Bapak menerima saya sebagai kekasih Bapak ?" Kutatap matanya yang teduh. Ada kesungguhan di sana. Aku begitu terharu mendengarnya hingga tak sadar aku menitikkan air mata.

Ia tampak khawatir melihat aku menangis. "Kenapa, Pak ? Ada yang salahdengan ucapan saya ?"

Aku menggeleng sambil terisak, "Tidak, Bas. Kamu tidak bersalah sedikitpun. Saya cuma terharu mendengar pengakuanmu itu"

Ia mengangkat wajahku, "Jadi, bagaimana jawaban Bapak ?"Aku mengangguk sambil tersenyum, "Tentu saya bersedia, Bas. Saya amatmencintaimu. Saya tidak dapat hidup tanpamu di sisiku" Ia tersenyum lega. Dikecupnya bibirku dengan lembut. Aku membalasnyadengan penuh gairah dan memelu erat tubuhnya yang tegap.

Kami saling berpagutan sambil melepaskan pakaian masing-masing hingga tidak ada lagi sehelai benangppun yang melekat di tubuh kami. "Malam ini akan saya berikan apa yang selama ini Bapak inginkan dari saya.Saya persembahkan keperawanan saya pada Bapak. Saya ingin Bapak menjadi yang pertama dan terakhir yang berhak

merasakannya"Aku semakin erat memeluknya. Segera kubalikkan tubuhnya, sehinnga kini iayang berada di bawah. Kembali kami saling berpagutan dan kini serangankumenjadi buas. Aku sudah tak tahan lagi memendam rindu dendam yang selamaini menyesak di dada. Kunikmati seluruh bagian tubuhnya. Kucium, kujilati setiap jengkal bagian tubuhnya. Kuhirup dalam-dalam aroma kejantanan yang terpancar dari tubuhnya.Ia mengerang dan merintih penuh kenikmatan menikmati ciuman dan jilatanku. Kumulai dari lehernya, kuciumi dan kujilati seluruh bagian lehernya. Iaterus menggelinjang penuh nafsu. Jilatan kuteruskan ke bagian dadanya yangbidang. Kuisap-isap kedua putingnya yang besar secara bergantian. Kugigit kecil ujungnya yang mancung dan mengeras. Kujilatinya seluruh permukaannya dan penuh nikmat. Ia mendesis sambil menekan kepalaku agar lebih rapat kedadanya.Kuteruskan ke bagian bawah pusarnya yang dipenuhi bulu-bulu halus. Kuraih batang kemaluannya yang telah berdenyut-denyut, tanda ia telah amat bernafsu. Kujilati cairan bening yang keluar dari lubang kemaluannya itu.Hm…lezat sekali rasanya. Tak tahan lagi segera kumasukkan seluruh batangnya ke dalam mulutku sambil kuisap-isap. Ia semakin liar menggelinjang danerangan semakin keras terdengar. Semakin keras erangannya semakin kuat pulakuisap batang kemaluannya yang indah itu. Kujilati lubangnya menikmaticairan bening yang terus mengalir keluar.Tak lama kemudian kurasakan batangnya semakin membesar dan berdenyut-denyut.Ia semakin mendesah tak keruan. Ia menjerit,

"Oh…ah…, saya keluar, Pak".Kedua tangannya semakin kuat menekan kepalaku agar batang kemaluannyasemakin dalam masuk ke dalam tenggorokanku.

Tiba-tiba kurasakan cairanhangat daan kental menyembur ke dalam mulutku.

Kuteguk semuanya denganrakus. Banyak sekali cairan jantan yang ditumpahkan di dalam mulutku.Tidak ada yang tersisa, semuanya kutelan.

Akhirnya, batangnya mulai melemas setelahmengeluarkan begitu banyak sperma.Aku terus saja menjilati lubangnya yang sensitif, membuatnya meringis sambilberusaha menarik keluar kemaluannya dari mulutku. Aku berusaha menahannya,namun dengan nada memelas ia memohon agar melepaskannya. Kulepas juga akhirnya batang kemaluan yang telah mengecil itu. Namun tetapsaja indah bentuknya. Ia mendesah penuh kepuasan sambil menarik tubuhkuagar menindihnya. Ia ciumi bibirku habis-habisan.

Spermanya yang tersisa dibibirku pun dijilatnya. Agak lama kami berpagutan seperti itu sebelum iamembalikkan tubuhku, sehingga kini tubuhku yang berada di bawah.Ia memulai serangannya pada tubuhku. Ia meniru semua yang kulakukan padanya. Akupun merasa rangsangan yang ditimbulkannya mulai meninggi.

Apalagi saat ia mulai mengisap kemaluanku yang telah tegang sedari tadi.

Akupun turut aktif dengan memompa kemaluanku ke dalam mulutnya. Kugerakkanpinggulku ke atas dan ke bawah sehingga tampak kemaluanku keluar masuk mulutnya, seolah-olah aku sedang bersetubuh saja.

Sungguh tak kusangka ia bisa seganas ini. Padahal ia adalah seorang pria yang normal, namun kini iabegitu ganas mengisap kemaluanku seolah permen yang lezat. Cukup lama kupompa mulutnya sampai aku tak tahan lagi menumpahkan sari kejantananku ke dalam mulutnya. Semula ia tampak hendak memuntahkan cairan spermaku. Namun sejenak kemudian ia mengurungkan niatnya itu sambil menelanseluruh spermaku. Ia jilati lubang kemaluanku untuk memberishkan sisa-sisa cairan yang masih keluar.

Lalu ia menjatuhkan diri di atas tubuhku. Kembali kami saling berpagutan dan berangkulan. Kami berdua akhirnya berbaring kelelahan. Namun kami tetap saling berpelukan, seolah enggan melepaskan kesempatan yang indah ini.Tak lama kemudian ia menarik tanganku untuk diletakkan di atas selangkangannya.

Kurasakan perlahan tapi pasti kemaluannya mulai menegang kembali. Aku tersenyum melihat batangnya telah tegang dengan gagahnya, menjulang tinggi. Kupandangi wajahnya yang masih menampakkan kepuasan itu,"Bas, kamu luar biasa sekali. Jantan dan gagah sekali"Ia menciumku dan berucap, "Saya bisa tahan seperti ini hanya karena Bapak.

Saya tidak pernah sekuat ini dengan Yani"Aku lalu bangkit dan kembali mulai mengisap batang kemaluannya. Ia mulai mengerang-erang penuh kenikmatan. Kemudian kuisap pula telunjuknya. Setelah cukup basah dengan air liurku, kuarahkan telunjuknya ke arah lubanganusku. Ia mengerti apa mauku.

Dimasukkannya telunjuknya ke dalam anusku.Kuhembuskan nafas penuh nikmat. Tak cukup satu, akhirnya tiga jari dimasukkan ke dalam anusku. Setelah dirasanya aku telah siap, dibimbingnya tubuhku untuk duduk di atas kemaluannya. Kubuka kedua pahaku lebar-lebar sehingga lubang anusku terlihat denganjelas. Kudekatkan lubang anusku pada batangnya.

Setelah merasa tepat berada di atasnya, kutekan kuat-kuat pantatku sehingga kepalanya masuk ke dalam lubang anusku.

Aku merintih sedikit kesakitan karena lubangku yang kecil dimasuki oleh kepala kemaluannya yang besar. Setelah beberapa saat, kutekan lagiperlahan-lahan pantatku sehingga setengah batangnya telah masuk. Kembali kutahan sejenak untuk membiasakan terhadap besarnya

batang yang tertancapdalam lubang anusku. Akhirnya kutekan lagi untuk memasukkan sisa batangnya

ke dalam lubangku. Kini kurasakan rambut kemaluannya menggelitik pantat dan pelirku. Uh…geli sekali.Ia memegang pantaku dan menggerakkannya naik turun di atas batang kemaluannya. Oh…nikmat sekali. Aku mendesah, mengerang dan merintih keenakan. Tanganku meraih putingnya dan kupuntir-puntir keduanya. Ia punmendesah menikmati puntiran pada putingnya.

Gerakannya semakin cepat. Kurasakan batangnya menyentuh prostatku yang menyebabkan aku seolah tersengat listrik. Tak tahan aku sehingga segera memuntahkan cairan spermaku untuk kedua kalinya malam itu. Kutumpahkan cairan itu ke perut, dada dan sebagian lagi jatuh pada wajahnya. Karena kontraksi otot panggulku pada saat ejakulasi, ia juga tak tertahankan lagi memuntahkan lahar panas dari batang kemaluannya ke dalam anusku. Akusangat menikmati tumpahan cairan panas itu. Aku menjatuhkan diri di dadanya. Kujilati spermaku yang jatuh di wajahnya sambil kugeser-geserkan dada dan perutku pada dada dan perutnya, menyebabkan cairan spermaku yang jatuh di dada dan perutnya membasahi kedua tubuh kami. "Pak, tidak pernah saya merasakan kenikmatan seperti ini", katanya penuhkepuasan "Hm…apa kamu tidak merasakan nikmat pada saat kau lakukan bersama Yani ?",tanyaku penasaran. "Kenikatannya berbeda, Pak. Lubang Bapak lebih sempit daripada liangkemaluan Yani, sehingga menjepit punya saya dengan keras. Akibatnya saya merasa diremas-remas di sana"

Aku hanya tersenyum mendengarnya. "Saya tidak menyesal meninggalkan Yani, karena saya mendapatkan yang lebih hebat segalanya dibandingkannya"

Rasa lelah yang menyerang kami menyebabkan kami tak lama kemudian tertidur.

Aku masih berada di atas tubuhnya dan kemaluannya masih tertancap dalam lubang anusku. Kubaringkan wajahku di atas dadanya yang bidang. Oh…nikmat sekali rasanya tidur dipeluk oleh orang yang amat kucintai.

Selama beberapa hari lamanya kami tinggal di villa tersebut untuk menikmati hari-hari indah bersama. Aku merasa sedang berbulan madu saja dengannya, karena ternyata ia buas sekali. Hampir tiada hari kami lewati tanpabercinta. Tidak hanya di kamar tidur saja, ia juga mengajakku bercinta di ruang duduk, di dapur, di kamar mandi, bahkan pernah di halaman belakang.

Ia tidak pernah jauh dariku, selalu ingin bersama denganku.

Di hari ke tiga, aku mengatakan bahwa sudah saatnya kami kembali ke rumah karena sudah terlalu lama kami tidak masuk bekerja. Ia terlihat enggan untuk meninggalkan villa itu, namun akhirnya ia menyetujui.

Malam harinya di saat kami berada di kamar, ia bisikkan sesuatu padaku. "Pak, di malam terakhir bulan madu kita, saya ingin Bapak setubuhi saya. Saya tidak mau menang sendiri. Saya ingin kita berdua saling memberi dan menerima "Tentu saja aku tidak menolak permintaannya itu.

Setelah memulai denganpemanasan seperti biasa, segera aku meludahi jari tanganku untuk dimasukkanke dalam lubang anusnya yang ketat itu. Ia mengerang menahan sakit ketikatelunjukku mulai memasuki lubangnya. Namun ketika kugerakkan keluar masukdan kutemukan prostatnya, ia segera mendesis dan menggelinjang liar.

Ketika kumasukkan lagi jari kedua, ia kembali meringis kesakitan. Hingga akhirnya kumasukkan tiga jariku. Setelah beberapa saat, aku merasa ia sudahmulai terbiasa dengan ketiga jariku. Kini saatnya kumasukkan batang kemaluanku ke lubangnya. Perlahan-lahan kuarahkan kepala kemaluanku ke lubang anusnya. Cukup sulituntuk kumasukkan karena lubangnya sempit sekali dibandingkan kepala penisku.

Namun ketika kutekan agak keras, kepalanya berhasil masuk. Ia mengaduh kesakitan. Kutahan tusukan batangku untuk memberinya kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan ukuran batangku. Tak lama kemudian ia berbisik agar kuteruskan tusukanku. Kubenamkan lagi beberapa inci, hingga telahseparuh batangku yang tertancap. Kembali kutahan agar ia dapat membiasakan diri. Lalu perlahan-lahan kuteruskan tusukanku hingga seluruh batangku masuk. Kurasakan bulu kemaluanku menggelitik buah pelirnya.

Kuraih kedua tungkai kakinya dan kuletakkan di atas kedua bahuku, sementaraaku menindih tubuhnya yang kekar. Perlahan-lahan kugerakkan pantatku maju mundur seiring dengan keluar masuknya penisku dari lubang anusnya yang amatsempit. Ia mengerang-erang penuh kenikmatan, apalagi saat kepala peniskumenggesek-gesek prostatnya. Kurasakan penisnya mulai menegang lagi dan menggeser-geser perutku. Gesekan tersebut menambah nikmat baginya, sehingga ia memejamkan mata sambil terus mendesis dan mengerang.

Kupercepat gerakanku hingga secara otomatis gesekan penisnya pada perutkuyang berbulu cukup lebat semakin hebat pula. Ia semakin liar dan mencengkeram kedua lenganku dengan sangat erat. Kuperhatikan wajahnya yang diliputi sensasi luar biasa. Tak lama kemudian ia mendesis hebat, "Oh…oh…saya keluar Pak. Oh…ah…". Bersamaan dengan erangannya itu iamemuncratkan cairan jantannya yang hangat ke perut dan dadaku. Seiringdengan itu ia mengencangkan otot-otot tubuhnya termasuk anusnya, sehingga pegangannya pada penisku semakin kencang. Akupun tak tahan lagi ikut memuntahkan benihku ke dalam lubangnya.

Cukup banyak yang kutumpahkan,begitu pula dengannya.Aku menjatuhkan diri di dadanya dan kukecup bibirnya.

Ia membalasnya denganhangat. Kami saling berciuman dengan nikmat.Akhirnya ketika aku ingin bangkit, ia menahanku.

"Jangan dikeluarkan darilubang saya, Pak" "Lho, mengapa ? ‘Kan penis saya sudah mengerut ?""Biarkan saja ada di dalam, Pak. Mari kita tidur. Saya ingin merasakanlebih lama lagi bersatu-tubuh dengan Bapak"

Aku tersenyum padanya. Kukecup lembut bibirnya sambil kubisikkan ketelinganya, "Saya sangat mencintaimu, Bas"

Ia pun menjawab dengan membisikkan ke telingaku, "Sayapun demikian, Pak.

Saya juga amat mencintai Bapak"

Kamipun tertidur dalam posisi tetap aku di atas dengan tubuhnya penisku masih tertancap di dalam anusnya. Hari-hari selanjutnya seolah sudah tidak terpikirkan lagi.

 

Selesai

 
Hosted by www.Geocities.ws

1