Surat
untuk Nenek
Catatan TS Pinang
Nenek sayang,
aku telah kehilangan masa kanak-kanakku.
Kini seperti
ditampar oleh badai Parang Tritis dini hari, aku terbangun
dalam dunia yang lain, dunia yang mestinya telah aku masuki
sejak dulu. Betapa waktu telah mengikat kemerdekaanku begitu
rupa. Begitu banyak telah aku lewatkan.
Aku pegal
dan ngilu. Belum lagi identitas kelelakianku sudah saatnya
menuntut perhatian lebih. Kebisingan mulai menggangguku: tangis
bunda diam-diam, doa bapa yang disembunyikan. Sedangkan aku
pelan-pelan mulai mengenakan baju baru, baju kedurhakaan.
Pengingkaranku atas kehendak. Kepercayaanku atas niat semesta.
Tetapi tak
semua orang mampu bersabar atas keinginan semesta. Mengalah
pada permainan kecil untuk memenangi permainan yang lebih
besar. Tetapi bercatur dengan nasib memang bukanlah pilihan
kebanyakan orang. Resikonya terlalu besar, probabilitasnya
terlalu absurd untuk diramalkan.
Aku, Nenek
sayang, telah menyumbat telingaku. Kebisingan itu kini aku
nikmati sebagai musik pengantar tidur. Tetapi mengapa ujian
begitu berat? Aku seperti ksatria pertapa berjuang mendapatkan
wahyu dewata, sementara kecantikan yang panas semakin menggoda
di sekeliling tikar samadiku. Lalu aku semakin lemah-rapuh,
seperti gerabah retak kembali debu.
Nenekku sayang.
Banyak kini
yang membaca diriku hangus bara. Seperti api yang kehangatannya
dirindukan, tetapi panasnya dibenci. Inikah jalan yang harus
kulewati, sedangkan malam demi malam selalu hangus bersama
setiap detik jam kamarku? Aku kehausan, Nenek. Dan para peri
seksi jelita itu masih menggodaku dengan tarian dan minuman
yang memabukkan. Aku masih bersila, meski sudut-sudut mataku
mulai bergerak-gerak mencuri cahaya.
Yogyakarta,
2002
>> Solilokui
|