WEJANGAN-WEJANGAN KI AGENG SURYOMENTARAM

  UKURAN KEEMPAT  

Hal. 6/7

Syarat dan rintangan perkembangan ukuran keempat

Syarat perkembangan ukuran keempat tidak lain ialah pengertian bahwa rasa enak dalam berhubungan dengan orang lain hanya didapat dengan jalan menghayati rasa orang lain. Serupa halnya rasa enak dalam hubungan dengan benda-benda hanyalah dengan jalan mengerti benda-benda itu. Pengertian di atas menimbulkan ikhtiar supaya bisa menghayati rasa orang lain. Ikhtiar yang timbul dari pengertian itu membuat orang tidak henti-hentinya berusaha sehingga mencapai tujuan itu.

Rintangan-rintangan yang menghalangi perkembangan ukuran keempat ialah rasa luka. Pengalaman tidak enak yang lampau, pedih di hati menjadi luka-hati. Pada waktu berhubungan dengan orang lain, luka itu merupakan rasa balas dendam. Maka luka itu menghalangi orang merasakan rasa orang lain, karena luka itu menjadi kacamata dalam mengamati orang lain. Jika seorang laki-laki pernah bercerai dalam perkawinan, ia menanggapi wanita lain hatinya sama jahat seperti istri yang diceraikannya dan sebagainya.

Obat luka itu ialah pengertian, bahwa hubungan yang tidak enak itu disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Pengakuan salah itu mendorong orang mencari kesalahan sendiri sampai bertemu. Bila si salah yang menyebabkan luka itu ia temukan, orang kemudian tidak lagi bersatu dengan si salah, dan bisa merasakan: "yang salah bukanlah aku".

Bila si salah itu diteliti, dapat diketahui bahwa dulu ketika orang itu melakukan hubungan, ia tidak menghayati serta bertentangan dengan rasa orang yang dihadapinya, dan itu disebabkan terhalang oleh kepentingan dirinya sendiri. Jadi jelaslah bahwa kebutuhan diri sendiri ialah sumber dari pertikaian dan hubungan tidak enak.

Bila diteliti lebih jauh, dapat diketahui bahwa kebutuhan diri sendiri yang menimbulkan sengketa itu, ialah kebutuhan yang telah terlepas keluar dari pokoknya. Seperti kebutuhan sandang yang melebihi orang lain, ini sudah keluar dari pokok kebutuhan. Jadi ingin berlebih-lebihan dalam hal sandang bukanlah kebutuhan pokok.

Rasa ingin berlebih-lebihan itu bila diteliti tentu sebagai berikut "bila terlaksana akan senang selamanya, dan bila tidak terlaksana akan susah selamanya". Padahal senang atau susah selamanya itu tidak pernah ada. Jadi dalam meneliti kebutuhan sendiri ini, akan diketahui rasa sendiri yang mencari senang selamanya.

Rasa mencari senang selamanya inilah sumber luka. Luka ini melahirkan sikap suka dan benci terhadap hubungannya. Maka suka dan benci ini menghalangi orang menghayati rasa orang lain dalam berhubungan.

Jadi mengobati luka ialah meneliti rasa lukanya sendiri sampai pada rasa yang menyebabkannya. Bila diteliti demikian, luka itu lenyap dan ini berarti orang merasa bahwa "luka itu bukanlah aku". Jadi berlangsungnya luka itu disebabkan pengertian bahwa yang luka itu aku.

Bila salah satu luka lenyap, akan muncul luka lain, dan bila luka ini pun diobati sehingga lenyap, pasti akan muncul lagi luka baru lain. Demikian seterusnya sampai semua luka sirna.

Bila luka lama lenyap, orang akan dapat melihat luka baru yang mudah diobati, sebelum melahirkan tindakan yang membuat luka berikutnya. Bila luka baru senantiasa diketahui dan diobati, maka orang dapat melihat proses perkembangan rasa ketika menimbulkan luka. Keterangannya sebagai berikut.

Marah merupakan salah satu rasa yang melukai. Padahal bila melukai orang lain, diri sendiri pun terkena luka. Jadi marah adalah rasa melukai pihak sana dan pihak sini.

Ketika si marah belum reda, luka baru belumlah terlihat. Tetapi bila si marah reda, maka luka baru jadi terlihatan belumuran darah, berwujud menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Bila kemudian luka itu dibalut dengan rasa "merasa salah" maka luka baru itu tidak nyeri lagi.

Di sini ada kesulitan demikian. Orang marah, sering tidak mengerti bahwa ia sedang marah. Sebaliknya, melihat orang lain marah adalah mudah. Maka tindakan pertama untuk mengetahui marahnya sendiri (yang menimbulkan luka), ialah menyamakan marah orang lain dengan marahnya sendiri, dan memisahkan rasa marah dari tindakan yang berasal dari rasa marah.

Bila rasa marah diketahui sebelum melahirkan tindakan, sehingga orang merasa "yang marah bukanlah aku", marah itu berubah sifatnya, karena berganti unsurnya. Sebelum diketahui, marah itu tercampur rasa merasa-benar; setelah diketahui, tercampur rasa merasa-salah. Maka berkelahilah rasa merasa-benar dengan rasa merasa-salah. Bila si merasa-salah menang, rasa marah lenyap dan tidak menimbulkan luka baru. Demikianlah bekerjanya rasa yang membuat luka. Jadi jiwa marah itu adalah si merasa-benar.

Kecuali dari diri sendiri, orang pun menerima marah dari lawannya. Tentu saja marah dari orang lain ini membangkitkan marah dalam diri sendiri. Sebagaimana dijelaskan di muka, lenyapnya marah mesti disebabkan oleh rasa merasa-salah.

Ikhtiar memusnahkan marah sering keliru, yaitu usaha supaya orang lain merasa salah. Ikhtiar semacam itu, bagaikan memadamkan rumah terbakar dengan menyiramkan bensin. Peristiwa semacam itu terjadi pada setiap perkelahian.

Seharusnya dimulai dari merasa salah diri sendiri. Bila kesalahan diri sendiri ditemukan, orang baru dapat menyatakan bahwa lawannya benar. Dengan jalan membenarkan orang lain, dapat diredakan rasa marah orang lain.

Demikianlah cara mengobati luka, meredakan luka dan menolak serangan yang melukai.


Hosted by www.Geocities.ws

1