WEJANGAN-WEJANGAN KI AGENG SURYOMENTARAM

  UKURAN KEEMPAT  

Hal. 2/7

Perselisihan yang disebabkan orang keliru menghayati rasa orang lain

Dalam pergaulan banyak terjadi perselisihan yang disebabkan kekeliruan orang dalam menghayati rasa orang lain. Bahkan sering makin rapat pergaulannya makin hebat pula perselisihannya, seperti halnya dalam pergaulan antara suami-istri.

Bahkan pokok rasa yang dipakai untuk landasan berkeluarga saja sudah salah. Landasan rasa itu ialah: "Bila orang itu menjadi suami/istriku, pasti akan senang sekali." Rasa demikian itu pada hakekatnya tidak memperhatikan rasa calon suami/istrinya. Tidak dipertimbangkan apakah mereka akan senang atau tidak sebagai suami/istrinya. Ia semata-mata mengejar kenikmatannya sendiri.

Dalam pada itu calon suami/istrinya pun hanya mengejar kenikmatan sendiri. Sudah tentu suami-istri yang berbekal rasa mencari enaknya sendiri-sendiri merasa tidak aman dan kecewa. Bekal rasa inilah yang menyebabkan perceraian dan perpisahan sementara. Suami-istri tadi tidak dapat menghayati rasa pihak lain, karena tertutup oleh kepentingannya masing-masing, sehingga mengakibatkan perselisihan dan perpisahan. Hal inilah yang menimbulkan anggapan bahwa suami-istri adalah musuh sebantal.

Pokok rasa untuk landasan bersuami-istri yang enak, ialah keinginan untuk mengenakkan suami/istrinya. Perkembangan bekal rasa itu membangkitkan ikhtiar mencari keenakan calon jodohnya. Usaha tersebut cepat atau lambat akan ditemukannya, akan tetapi mungkin juga ia akan gagal.

Kramadangsa *) memiliki keistimewaan masing-masing, yang lain daripada yang lain. Perbedaan ciri-ciri Kramadangsa itu menyebabkan perbedaan dalam penilaian orang per orang atas benda dan keadaan. Yaitu dalam keadaan yang sama ada orang yang merasa susah dan celaka, dan ada pula yang merasa senang dan bahagia.

Misalnya, orang yang tidak rukun dalam perkawinannya, akan menganggap bahwa jika ia berganti suami/istri ia akan bahagia, walaupun hal itu baru dikhayalkan saja. Tetapi bagi seseorang yang jujur, berganti suami/istri itu ialah perbuatan yang tercela. Jadi langkah pertama untuk membahagiakan suami/istri ialah mengetahui keistimewaan Kramadangsanya (kepribadiannya). Jadi keenakan dalam hubungan yang rapat, harus terlebih dahulu mengetahui Kramadangsa (pribadi) pihak yang dihubungi. Berdasarkan inilah orang dapat bertindak untuk mengenakkan pihak yang dihubunginya, dan menghindari tindakan yang tidak mengenakkannya. Jadi hubungan yang tidak enak itu disebabkan karena tidak adanya penghayatan sifat khusus Kramadangsa pihak yang dihubunginya.

Kepentingan diri-sendiri yang menutupi rasa orang lain, berupa catatan-catatan lama yang senantiasa berpautan dengan diri-sendiri. Bila catatan lama itu dipelajari, sehingga dihayati sebagai "itu bukan aku", catatan lama itu mudah disisihkan dan tidak menutupi lagi. Jadi catatan yang menutupi ialah catatan yang diakui "inilah aku".

Wujud ukuran keempat itu ialah sebagai berikut. Walaupun tidak disengaja sering orang merasakan rasa orang lain atau rasa hewan, tanpa dirintangi oleh kepentingan sendiri. Seperti orang tidak sampai hati untuk menyaksikan ayam disembelih, meskipun ia suka makan dagingnya; tidak sampai hati karena ia dapat menghayati rasa ayam yang tidak mau disembelih.

Ada lagi suatu contoh tentang orang yang dapat menghayati rasa hewan, yakni bila orang merasa gembira ketika mendengar burung berkicau gembira. Kegembiraan burung itu menular kepada orang yang mendengarnya, dan ini menyebabkan orang senang memelihara burung.

Bila orang mengerti bahwa tanpa disengaja ia dapat menghayati rasa hewan, maka orang pun akan dapat mempelajarinya dengan sengaja. Oleh karena sederhana maka rasa hewan ini lebih mudah dipelajari, daripada rasa manusia yang sangat banyak seluk beluknya dan liku-likunya. Maka sebelum berlatih untuk menghayati rasa orang, terlebih dahulu berlatih untuk menghayati rasa hewan; dan setelah berhasil menghayati rasa seekor hewan, lebih mudahlah orang berusaha menghayati dan mempelajari rasa hewan lainnya. Misalnya menghayati rasa seekor "gangsir" (semacam cengkrik) yang sedang "nyentir" (berbunyi), gembira dan bangga. Hewan itu tengah membanggakan kesaktiannya. Demikian wujud ukuran keempat.

Menghayati rasa dengan sengaja dapat menjadi pengetahuan (Bhs. Jawa: kawruh). Tetapi bila tidak disengaja, maka tidak akan menjadi pengetahuan. Pengalaman yang menjadi ilmu pengetahuan ini mudah dimanfaatkan oleh yang mengalami dan oleh orang lain.

Rasa orang lain yang dipelajari timbul dalam rasa orang yang mempelajari, pada awalnya seakan-akan adalah rasa orang yang mempelajari tersebut. Bila rasa tadi dipelajari sehingga yang mempelajari merasa "rasa ini bukan aku", ia akan dapat membedakan dan menyamakan rasa itu dengan rasanya sendiri, yang juga "bukan aku". Demikian cara merasakan rasa orang lain sehingga menjadi ilmu.

Bila ukuran keempat ini makin berkembang, orang dapat berusaha menghayati rasa kanak-kanak. Rasa kanak-kanak ini, karena lebih sederhana daripada rasa orang dewasa, juga lebih mudah dipelajarinya. Dengan mulai mempelajari rasa kanak-kanak, maka lebih mudahlah kita kemudian mempelajari rasa orang dewasa.

Kaum ibu dapat menghayati rasa anak kecilnya. Tetapi penghayatan ini sering tanpa disengaja, sehingga pengalaman itu tidak menjadi ilmu.

Bagi anak kecil, proses hidup yang wajar akan dialaminya, selalu menjadi idam-idaman. Misalnya, anak yang dapat merangkak dalam beberapa bulan, tentu mengidamkan akan dapat berdiri. Maka anak yang dapat berdiri pertama kali, merasa gembira dan bangga, bagaikan "gangsir nyentir" kedua-duanya bangga akan kepandaian masing-masing.

Bila ukuran keempat makin berkembang, maka orang dapat menghayati rasa anak yang telah dewasa, seperti jejaka atau gadis. Rasa jejaka yang mudah dipelajari ialah ketika habis mandi kemudian bercermin dan membuat belahan rambutnya dengan sisir. Ia pun merasa gembira dan bangga seperti "gangsir nyentir", kedua-duanya sama memperlihatkan kepandaiannya. Demikian pula rasa gadis yang mudah dipelajari, ialah pada waktu ia sedang bercermin sambil menggosok giginya, ia memandang bayangan cermin lebih dua puluh kali. Rasa gadis itu pun gembira dan bangga seperti "gangsir nyentir" itu.

Semakin ukuran keempatnya berkembang, orang dapat menghayati rasa mempelai baru, yang merasa gembira dan bangga karena memperoleh kepandaian baru, sama dengan "gangsir nyentir".

Bila ukuran keempat semakin maju lagi, orang dapat menghayati rasa yang lebih rumit, tanpa dirintangi oleh kepentingan sendiri. Misalnya kita mendengarkan seseorang berbicara, kita dapat menghayati rasa orang yang sedang berbicara, walaupun rasa itu tidak diungkapkan dengan kata-kata.

Sering dalam mendengarkan orang berbicara, kita bersitegang (ada desakan, merasa tidak sabar -- ed.) ingin segera mengutarakan tanggapan kita terhadap pembicaraan itu. Bila kita setuju dengan pembicaraan itu, kita bersitegang ingin mengutarakan ketidaksetujuan kita. Bila keinginan bersitegang itu berhenti/hilang dan perhatian kita tetap pada rasa orang yang berbicara, maka kita dapat menghayati rasa orang yang berbicara itu secara tenang.

Bila ukuran keempat semakin berkembang, pada waktu orang membaca buku atau karangan dalam surat kabar, ia dapat menghayati rasa pengarangnya tanpa dirintangi oleh kepentingan sendiri. Kepentingan sendiri yang merintangi itu adalah rasa suka atau benci terhadap pengarangnya. Bila rasa suka-benci berhenti/hilang, sedang perhatiannya tetap pada rasa si pengarang, ia dapat menghayati rasa pengarangnya.

Demikian ukuran keempat sebagai alat manusia untuk merasakan rasa orang lain. Alat ini jika tidak cukup terdidik, tidak akan mencapai perkembangan yang semestinya. Adapun cara pendidikannya ialah sebagai berikut ini.


*) "Kramadangsa" adalah istilah ciptaan Ki Ageng Suryomentaram, yang dipergunakan untuk mengistilahkan kepribadian seseorang dengan nama dan sifatnya yang khas.


Hosted by www.Geocities.ws

1