serba neka
DUNIA DANGDUT


DAFTAR ISI
dangdut koplo
gelar diskusi Inul
goyang taklukan
bahasa tubuh
goyang masa ke masa
menggoyang rezeki
jangan jauh-jauh dari Inul
Forum Inulitas
Webmaster

http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0302/09/latar/121501.htm

Goyang dari Masa ke Masa
Minggu, 09 Februari 2003 

GOYANG penyanyi Inul yang meliuk-liuk itu hari-hari ini menjadi tontonan publik. Goyang semacam itu belum dikenal di zaman Ellya Kadham di awal 1960-an. Generasi Ellya Kadham masih bernyanyi dengan gaya tegak mematung. Lalu, goyang dangdut berevolusi dan kian hari kian berani.


SAAT beraksi dengan lagu Boneka India diiringi Orkes Melayu Kelana Ria, Ellya Kadham hanya sekadar menggerakkan badan sebagai bagian dari interpretasi isi lagu.

"Paling cuma goyang pundak sambil senyum-senyum dan goyang kepala. Sedikit gerak-gerak badan seperti yang di film India itu," kata Ellya Kadham yang mengaku banyak terinspirasi dari gaya bintang film India-termasuk saat menulis lagu Boneka India.

Jika Ellya Kadham dipatok sebagai penyanyi yang, katakanlah, berani, maka bisa dibayangkan bagaimana penampilan penyanyi lain seangkatan dia seperti Ida Laila yang dikenal lewat lagu Keagungan Tuhan atau Johana Satar. Ellya menilai dua koleganya tersebut sebagai penyanyi yang santun dan cenderung pemalu untuk tampil seronok.

Pada era Ellya Kadham, orkes Melayu belum menjadi komoditas massal seperti saat ini. Medium visual seperti televisi belum ada di negeri ini. Teknologi tata suara pun belum memungkinkan penyanyi mengumbar gerak sesuka perut. Bagaimana mereka bisa berkelok-kelok memutar tubuh sambil bernyanyi jika mulut tidak bisa beranjak jauh dari mikrofon. Penyanyi A Rafiq, yang sudah naik panggung di awal 1960-an itu harus pandai-pandai menyiasati keterbatasan perangkat panggung itu.

"Kami bernyanyi dengan mikrofon tegak dan itupun cuma satu untuk penyanyi. Jadi pada umumnya penyanyi saat itu bernyanyi seperti patung, atau paling ya semi joget. Paling hebat kami melakukan gerak tangan. Kaki belum ikut bermain. Yang penting kami dapat memaknakan syair dengan baik," kata Rafiq yang pada era 1960-an bergabung dengan Orkes Melayu Sinar Kemala pimpinan A Kadir .

Penonton pun saat itu menurut dua penyanyi Melayu kawakan itu memang belum menuntut adanya sensasi fisik. Menurut Ellya Kadham penonton sudah senang bisa melihat penyanyi bernyanyi langsung di depan mereka. Selain itu pentas orkes Melayu masih terbatas pada acara perkawinan atau sunatan.

Unsur dengaran masih menjadi konsentrasi utama para awak orkes, termasuk kualitas vokal yang harus prima. Salah seorang penggiat Orkes Melayu Kelana Ria, Munif Bahasuan, menceritakan, sampai akhir 1950-an para musisi masih dalam posisi duduk jika tampil di depan publik.

"Saat itu goyang belum populer. Asal mula goyang itu sehabis nonton film India," kata Munif yang dikenal sebagai pencipta lagu Bunga Nirwana.

ZAMAN mulai berganti ketika memasuki dekade 1970-an. Industri musik rekaman Indonesia mulai menggelinding. Koes Plus menjadi loko penarik yang diikuti puluhan grup. Seiring dengan itu panggung musik hidup mulai marak di berbagai kota. Kebanyakan memang konser musik pop atau rock dengan atraksi visual sensasional. Bersamaan dengan itu panggung orkes Melayu juga mendapatkan penonton tersendiri di berbagai kota. Tersebutlah penyanyi Melayu kondang saat itu seperti Oma Irama-yang belum mengubahnya menjadi Rhoma Irama. Kemudian Wiwiek Abidin, sampai Muchsin Al Atas .

Sampai awal 1970-an, ketika istilah dangdut belum menggantikan sebutan orkes Melayu, panggung hiburan sudah diramaikan dengan bunyi kendang yang secara onomatopis terdengar sebagai dang-dang-dut, mirip-mirip gaya perkusi tabla dari India.

Penyanyi dan penonton sudah sama-sama bergoyang dengan tekanan gerak pada sekitar pinggul. Orang saat itu masih menyebutnya dengan istilah soul. Ini merupakan istilah peralihan, sebelum kemudian populer dengan goyang, joget, atau juga ajojing. Sebutan soul merupakan warisan yang dibawa dari masa populernya James Brown dengan I Got You (I Feel Good) atau Joe Tex yang membawa demam musik soul di awal 1970-an.

Gebrakan terjadi pada seputar tahun 1975 ketika Oma Irama bersama Orkes Melayu Soneta memopulerkan lagu Begadang. Penampilan Soneta di pentas tak kalah dahsyat dengan rock. Musisi Soneta sudah bergaya lazimnya band-band pop atau rock. Penonton dangdut pun merespons musik dengan goyang di arena pertunjukkan.


Dangdut plus goyangnya kemudian didefinisikan oleh Oma Irama lewat lagu berjudul Terajana. Sebagai musik, dangdut, kata Oma dalam lirik itu adalah Sulingnya suling bambu/ gendangnya kulit lembu.

Lebih lanjut, Oma mendeskripsikan bahwa lagu dari musik yang dimainkan di Taman Ria itu berasal dari India. Sang penyanyi bersuara merdu dan "serasi dengan indah gayanya." Tak dikatakan dalam lirik itu gaya "indah" itu seperti apa. Tapi yang jelas, akibat dari musik dan gaya penyanyi yang indah itu orang merespons dengan gerakan badan: Karena asyiknya aku hingga tak kusadari/ Pinggul bergoyang-goyang rasa ingin berdendang.

Boleh jadi itulah kredo dangdut yang diam-diam disepakati sebagai musik yang seakan harus disertai goyang. "Goyang lalu diidentikkan dengan dangdut. Ini kemudian jadi kebiasaan yang tidak disengaja," kata Munif Bahasuan.

Rafiq yang pada tahun 1965 bernyanyi seperti patung itu, pada satu dekade kemudian telah berubah penuh gaya. Televisi telah menjadi tontonan rumahan. A Rafiq menjadi bagian dari bintang-bintang dangdut yang populer lengkap dengan goyangnya. Elvie Sukaesih dinobatkan sebagai "Ratu Dangdut" dan dikenal dengan lagu Mawar Merah yang menjadi lagu abadi di pentas dangdut. Elvie yang akrab disapa Umi itu dikenal dengan kerlingan mata yang diberikan ke penonton sambil bergoyang mirip-mirip gaya India.

Ada juga Lis Saodah, dan tentu saja "Raja Dangdut," Oma Irama yang tengah jaya-jayanya. Asal tahu saja di pertengahan 1970-an itu, televisi-baca TVRI-telah menjadi media yang ampuh untuk menjual produk dengaran. Beberapa acara TVRI memberi kesempatan kepada penyanyi untuk menjual suara dan gaya. Dalam lagu, Pengalaman Pertama dan Pandangan Pertama, yang ditayangkan TVRI seputar 1977-an itu misalnya A Rafiq mulai bergoyang yang merupakan campuran gaya India dan Elvis Presley.

A Rafiq yang penyuka Elvis itu menggunakan gerakan pinggul yang mengingatkan pada gaya Elvis yang memang berjulukan "Elvis the Pelvis".

Jika Rafiq bergaya dengan menutupkan kedua telapak tangan di muka, kemudian pelan-pelan membuka sambil menggerakkan jari-jari, maka itu merupakan penghayatan dari lirik lagu.

"Itu namanya simbolis-filmis untuk mengungkapkan perasaan malu. Kadang saya juga menirukan gerak seperti dalam film silat," kata Rafiq.

Goyang dangdut kemudian menjadi kebutuhan publik dan menjadi bagian dari pertunjukkan. Pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an datanglah Camelia Malik bersama Orkes Tarantula pimpinan Reynold Panggabean yang menyuguhkan sebagai tontonan visual menarik. Musik Tarantula yang kaya perkusi seperti dalam lagu Colak-Colek atau Goyang Senggol, memberi peluang kepada Mia, panggilan Camelia Malik, untuk tampil dengan joget dengan memasukkan unsur gerakan tari Jaipong. Tari jaipongan juga diakomodasikan dalam aksi panggung oleh Itje Trisnawati. Mia keberatan jika penampilannya disebut sebagai goyang.

"Yang saya lakukan itu menari dengan koregorafi dan perlu belajar. Saya belajar tari tradisional, jaipongan, modern dance dan balet. kalau goyang, siapa saja bisa," kata Mia yang terakhir mengeluarkan album Rekayasa Cinta.

DI luar jalur bisnis musik kelas "nasional" diam-diam dangdut berputar di daerah. Pada awal 1980-an dangdut dimainkan dari hajatan kelas kampung sampai tingkat pasar malam, termasuk Sekatenan di Yogyakarta, misalnya. Penyanyi lokal yang namanya tidak dikenal pedagang Jakarta menembus pasar lokal dengan gayanya sendiri.

Dibanding nama-nama sekelas Elvie Sukaesih ataupun Camelia Malik, goyang biduan lokal ini boleh dikatakan sangat berani. Mereka memutar pinggul dari posisi setengah jongkok sampai berdiri, atau sebaliknya. Asal tahu saja, mereka bisanya mengenakan pakaian minim, celana pendek, atau setidaknya baju ketat. Mikrofon pun diperlakukan secara istimewa dengan cara memegang gagang yang "khas".

Tontonan sejenis dangdut sekatenan menjadi hiburan rakyat yang benar-benar muncul dari kebutuhan rakyat. Penonton sampai harus membeli tiket terusan agar dapat menyaksikan goyang dangdut dalam dua pertunjukkan berturutan. Pasalnya, orang memang harus antre panjang sebelum masuk ke bilik konser yang terbuat dari gedhek, alias dinding anyaman bambu. Mayoritas penonton adalah pria dan bervariasi dari usia bapak-bapak sampai mahasiswa. Jangan heran jika dari atas pentas penyanyi suka mengumumkan adanya buku teks yang tertinggal di ruang pertunjukan.

Pada dangdut model sekatenan ini, atraksi visual yang bersifat ragawi menjadi lebih penting ketimbang musik dan suara sang penyanyi. Karena unsur visual itu dianggap "panas" maka dangdut sekatenan pernah dilarang pemerintah daerah. Toh, tontonan ini terus muncul dari tahun ke tahun.

Pada paruh kedua 1990-an, dangdut rasa berani model sekatenan itu menyebar di berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur sampai Sumatera Utara. Pola goyang mereka sudah sangat bebas dan kebanyakan mengeksploitasi wilayah sekitar pinggul

Lahirlah kemudian bintang-bintang sejenis Inul. Di awal tahun 2000-an ketika VCD dengan mudah dibuat dan disebarkan, goyang versi Inul itu sudah menjadi tontanan rumahan, termasuk acara dangdut di televisi.

Goyang Inul itu menurut Camelia Malik adalah jenis dangdut yang energetik. "Dibanding gerak dangdut yang gemulai, Inul itu beatnya tiga kali dari beat yang biasa karena goyangnya ekstrem."

Menilik ekspresi wajah yang polos, kata Mia, gerakan Inul itu tidak dimaksud untuk bergaya erotik. Hanya saja, kata Mia, orang banyak yang kaget karena goyang Inul yang jauh berbeda dengan gerak penyanyi dangdut yang selama ini muncul di permukaan.

"Goyangnya kayak ular jalan. Di badannya seperti ada pernya. Bagus. Siapa sih yang nggak suka? Ya gimana lagi, zaman sudah menuntut begitu" kata Ellya Kadham tentang Inul.

Goyang, termasuk yang berkelok-kelok seperti Inul itu, menurut Munif Bahasuan tidak harus dilakukan penyanyi dangdut. Penyanyi ternama seperti Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, Cici Paramida, atau juga Evie Tamala, mengaku terus terang tidak dapat bergoyang, toh lagu-lagu mereka dikenal luas.

IIs Dahlia berterus terang mengatakan tidak pintar menari dan tidak akan memaksakan diri untuk berjoget atau. "Buat saya sah-sah saja joget itu, tapi yang penting harmoni. Tanpa goyang seperti Evie Tamala ternyata juga bisa dan itu punya tempat dan penggemar tersendiri. Dari yang saya lihat dan saya jalani selama 18 tahun ini, orang suka saja melihat saya bernyanyi. Jadi goyang tidak jadi ukuran," kata Iis Dahlia. (LOK/XAR)

Forum Inulitas

Hosted by www.Geocities.ws

1