LIPUTAN UTAMA

KESIMPANGSIURAN REGULASI HAKI MEMADAMKAN SEMANGAT KREATIVITAS PENCIPTA SENI: Lagi-Lagi Teknologi Mengecohkan HAKI oleh: Ilham Prisgunanto

Masih ingat dengan perseturuan Lars Urlich yang diikuti oleh sederetan artis dengan puhak Napster yang dianggap memperkosa dan merampok hasil jerih payah mereka akan karya seni? Bayangkan bagaimana perasaan musisi yang telah menghabiskan waktu-waktu malamnya di depan keyboard, atau alat musik yang mereka kuasai dengan mengeluarkan daya upaya guna mengeluarkan rasa dan ide yang ada dibenaknya. Selain itu coba rasakan perasaan seorang penulis yang harus menghabiskan waktu sekitar 10-15 jam di depan mesin ketiknya sehingga jari-jarinya menjadi kebas, kaku dan masih banyak lagi perasaan-perasaan mendalam bagaimana daya membuat suatu karya. Apakah hal ini bukan merupakan perhatian yang serius bagi dunia seni kita.

Bayangkan di saat yang serba sulit ini, apalagi harga melambung, daya jual menjadi sangat ketat, sesuatu yang dianggap. murah dan mudah menguasai pasar, begitu juga dengan benda seni. Bila kita berjalan di glodok maka dengan mudah ditemukan semua jenis media rekam bajakan, mulai dari vcd, cd sampai dengan mp3 dan perangkat software lain. Keadaan lumrah ini semakin dimaklumi, apalagi dengan adanya oknum yang menggantungkan hidupnya atas perbuatan yang melanggar hukum tersebut.

Kalau ditanya siapa yang salah? Pasti semua setuju adalah perangkat hukum Indonesia yang tidak dapat membarengi kemajuan teknologi yang ada. Anomali ini yang marak disebut orang sebagai dosa teknologi. Teknologi bagai dua sisi mata uang yang berlawanan, di satu sisi memberikan kemajuan kehidupan manusia, yang lainnya memotong garis hak asasi manusia dalam hal kepemilikan. Contohnya; dahulu ketika terjadi revolusi Gutenberg dimana terdapat penemuan mesin cetak pada tahun 1451 memberikan nuansa revolusi terbesar sendiri bagi dunia paedadogi, namun di lain sisi penggandaan suatu karya tidak terbendung, buktinya keberadaan mesin fotocopi di perguruan tinggi. Pernah dalam suatu seminar ada seorang peserta yang berasal dari pesantren menyayangkan adanya mesin fotocopi ini karena di satu sisi banyak buku panduan pesantren yang dianggap kramat dengan mudahnya digandakan dan difotocopi, Alhasil.peserta pesantren tersebut menjadi malas untuk mengadakan hubungan horizontal terutama dengan para sesepuh untuk mendengarkan wejangan dan penafsiran tentang kitab tersebut, malah penghuni pesantren asyik mengerjakan hal lain. Bukankah itu merupakan sesuatu yang melawan dari tradisi yang ada.

Di lain sisi ada juga yang beranggapan, bahwa penerapan HAKI yang setengah-setengah ini disebabkan karena adanya kebijakan tersendiri dalam transfer teknologi bangsa Indonesia. Indonesia adalah negara yang sangat miskin dengan hasil karya intelektual dan teknologi, maka dibuat seakan-akan kita dapat mentransfer sebanyak-bamyaknya teknologi ke Indoensia tanpa hambatan. Maka dari itu kita tidak perlu HAKI untuk mengadakan pencurian aplikasi teknologi. Akibatnya negara kita semakin melupakan penghormatan kepada hukum, bahkan yang parah lagi penghargaan terhadap nilai pembuatan suatu karya seni yang adi luhung. Lambat laun dirasakan muncul suatu sikap kebringasan karena lupa mereka pada aspek seni luhur Indonesia yang ada. Oleh sebab itu jangan salahkan bila warganya kerap melakukan aksi brutal terhadap hukum dalam kehidupan sehari-hari lewat penghakiman massa kepada pelaku pelanggaran hukum. Seperti pembunuhan terhadap maling ayam, copet dan lain-lain.

Kelesuan penciptaan karya intelektual di Indonesai sedikit banyaknya dipengaruhi oleh peraturan HAKI yang masih simpangsiur, keadaan ini semakin mendorong para pemusik kita lari dan menciptakan karyanya di luar negeri. Meskipun dalam beberapa alasan untuk go publik atau mendapatkan pernghargaan. Padahal banyak yang merasa bahwa mereka lebih nyaman dengan lingkup kekuatan hukum negara lain yang dianggap lebih memadai. Mungkinkah akan seperti itu? Percaya tidak negara Indonesia sudah kehilangan hak paten produk tempe dan motif Batik yang diklaim sebagai buatan teknologi Jepang. Apakah akan begitu juga nasib karya seni, seperti musik; yang akhirnya keroncong dan musik etnis kalimantan di klaim sebagai musik negara jiran Malaysia atau gending Jawa dipatenkan oleh negara Australia bukan ndonesia?/AP/IP/10-06-2001/Ilham Prisgunanto 

BACK TO MAIN

  • DILEMA OTONOMI PENDIDIKAN INDONESIA:Catatan Dari Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001, SMFSUI.....Otonomi Pendidikan Digaungkan oleh Otonomi daerah, Namun Mengapa Memberatkan Peserta Didik??...(Lengkap)
  • e-BOOK PENERBIT INDONESIA SUDAH SIAPKAH?Tanggapan Atas Seminar e-Book oleh IKAPI Tanggal 29 Mei 2001.....Electronic Book Dianggap Sebagai Terobosan Terakurat Masalah Keterbatasan Kertas, Namun Bagaimana Dampaknya Buruk Atau Baikkah??...(Lengkap)
  • KUIS TELEVISI BENTUK GLADIATOR MODERN: Penanaman Sikap Persaingan dan Ajang Unjuk Kesombongan Manusia...Virus Kuis Televisi Bukan Main-Main Lagi, Kapitalisme Merajalela...(Lengkap)

ARSIP-ARSIP

 

 

Hosted by www.Geocities.ws

1