LIPUTAN UTAMA

KUIS TELEVISI BENTUK GLADIATOR MODERN: Penanaman Sikap Persaingan dan Ajang Unjuk Kesombongan
 Oleh : Ilham Prisgunanto/Redaksi AP

Pada dasarnya kehidupan di dunia ini dipenuhi oleh rasa persaingan dan perlombaan hidup. Faktor gengsi, enggan menjadi 'pecundang' dan heroisme dianggap sebagai dasar mengapa manusia ingin selalu menang. Sebenarnya usia sikap mau menang dan menonjol ini sangat tua, setua Adam dan Hawa turun ke bumi. Terhitung semenjak menggodanya Iblis supaya manusia ingkar. Lambat laun diketahui bahwa keinginan nafsu untuk menang dalam persaingan inilah dimanipulir oleh para pelaku bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Keadaan ini berlangsung dari waktu ke waktu, mulai dari zaman Romawi, sampai dengan masyarakat urban modern sekarang ini.  Dahulu mungkin kita mengenal pertandingan kelompok, seperti gladiator zaman Romawi. Kegandrungan orang akan gladiator saat itu sangat ditunjang oleh situasi dan kondisi negara Romawi yang berciri militeristik dan suka berperang. 

Coba bandingkan situasinya saat ini dengan bumi Indonesia. Kita disuguhkan dan dipaksa untuk mengkonsumsi kuis televisi. Di pagi hari dimana saat akan berangkat kerja, sekolah dan aktivitas lain, kita sudah disuguhkan sarapan model persaingan hidup kuis-kuis televisi. Sedangkan di siang hari, saat istirahat dan pulang sekolah anak-anak mereka disuguhkan lagi bentuk kuis televisi. Pada petang dan malam hari, malah lebih marak dan ramai keberadaan kuis semacam ini. Entah itu yang sifatnya spontanitas, berkelanjutan bahkan bertahap. Parahnya lagi hampir semua acara televisi selalu menghadirkan kuis, mulai dari acara masak-masak ibu-ibu, diskusi dan dialog televisi, sampai dengan pemutaran film. Sepertinya keranjingan virus kuis itu sudah mendarah daging bagi manusia Indonesia saat ini. Ciri bangsa Indonesia yang materialistis dan konsumerisme maka kehadiran kuis ini sangat diminati dengan hadiah yang menggiurkan yakni berharga nominal jutaan, milyaran bahkan trilyunan Rupiah. Tak jarang juga dihadirkan 'iming-iming' hadiah berupa benda, seperti mobil, motor, rumah, dan lain sebagainya yang menarik. 

Sebenarnya kalau dibandingkan kegandrungan masyarakat Indonesia saat ini akan kuis televisi tak jauh berbeda dengan kegandrungan masyarakat Romawi terhadap gladiator. Di sini dapat dikatakan bahwa kuis televisi sama dengan gladiator bentuk modern. Bila dahulu si gladiator menggunakan kemampuan otot dan kecerdikan untuk berduel, sedang saat ini peserta kuis televisi harus mengandalkan otak, keahlian tertentu dan 'sedikit' kelicikan tindakan. Hal ini ditunjang dengan kondisi saat ini, dimana seseorang dalam persaingan hidup diukur dengan otak, bukan otot. Ironis sekali.ternyata terulang kembali kegandrungan manusia kegiatan tertentu yang berimbas pada penurunan moral dan nilai manusia itu sendiri untuk kehidupan. Gladiator dan kuis televisi memiliki kesamaan efek negatif bagi moral manusia, yakni meninggikan rasa persaingan, primordialisme dan kesombongan diri. Benar juga apa yang ditakutkan oleh penguasa bangsa Romawi dahulu, bahwa kehadiran gladiator bukan malah menunjukkan kebesaran kaisar, malah sebaliknya. Bagaimana dengan kuis televisi? Semakin terbuai pemirsa televisi pada kuis, semakin timbul 'keengganan' mereka untuk hidup berusaha. Hanya duduk, menonton, berusaha menjawab dan bahkan berupaya ikut serta dalam kuis. Makin hari semakin 'bobroklah' etos kerja masyarakat urban. Di lain pihak muncullah sikap dengan segala sesuatu diukur dengan uang dan harta benda (materialistik), hedonis yang semakin kentara dan kental dalam kehidupan kita. 

Di lain sisi tak jarang pula kuis televisi secara tidak sengaja menonjolkan dan berupaya mengkatalis munculnya 'percikan' terciptanya gesekan primordial kesukuan bangsa Indonesia. Coba bayangkan, ada beberapa kuis televisi yang secara terbuka membuat beberapa kelompok dalam suku tertentu (suku bangsa Indonesia) dan kemudian mengadunya (dalam bentuk otak tentunya). Malah tak jarang diperbolehkan bagi mereka untuk menggunakan 'yel-yel', layaknya pasukan suku tersebut akan berperang. Bukankah ini malah membuka jurang pemisah akan persatuan Indonesia. Mungkin ini terlalu naif, namun pada kenyataannya tendensi primodial kesukuan inilah yang akan meletupkan gesekan-gesekan yang ada di masyarakat Indonesia saat ini. Terbukti di sini kuis televisi sedikit banyaknya bertanggungjawab atas pecahbelahnya kesatuan dan persatuan negara Indonesia. Di sini jelas semangat rekonsiliasi manusia Indonesia untuk bersatu semakin mengendur, bagi mereka rekonsiliasi tak ubahnya seperti kuis yang selalu diukur dengan uang. 

Akhirnya ketakutan yang dikhawatirkan Bung Karno terjadi juga saat ini. Produk budaya kapitalis mampu mengoyak-oyak persatuan dan kesatuan Indonesia dengan senjatanya manipulasi uang dan keserakahan. Dominasi penetrasinya yang kuat inilah akhirnya melupakan jiwa patriotik persatuan dan kesatuan Pancasila sebagai wujud kepribadian bangsa yang luhur. Rasa kekeluargaan, 'tepo seliro' dan kasih sayang sesamanya semakin dikesampingkan dan ditinggalkan. Sayang sekali, padahal penanaman sikap luhur dan 'adi luhung' ini mestinya dijunjung tinggi dan ditumbuhkembangkan dengan serius. Penetrasi budaya asing hendaknya ditanggapi dengan serius dan hati-hati, karena penerapannya sangat halus dan pergerakannya sangat tidak kentara. Apakah sinyalemen-sinyalemen ini dirasakan oleh pengelola kuis?Ataukah bagi mengisi dan menambah 'kocek' adalah utama, tak peduli dengan ekses apa yang terjadi di kemudian hari?AP/IP/30-5-2001

BACK TO MAIN

  • PUSTAKAWAN PROFESI AMAN...Kesalahan Siapa?...(Lengkap)
  • TERNYATA JIP-FSUI BELUM MEMILIKI AKREDITASI ASOSIASI PERPUSTAKAAN LUAR NEGERI...Lalu bagaimana kalau lulusan JIP-FSUI akan melamar keluar negeri..Itu tidak akan mungkin terjadi...(Lengkap)
  • HEBOH 2 WEBSITE MEMILIKI BERITA YANG SAMA...Kesalahan Siapa?...(Lengkap)

 

 

Hosted by www.Geocities.ws

1