MENGAPA AYAT IQRA'
YANG PALING PERTAMA TURUN KEPADA NABI SAW.?
Sumber: Mizan Online
Penulis: Hernowo
Pada
12 Oktober 2005, saya diminta oleh panitia Ramadhan
di Kampus 1426 H, yang diselenggarakan oleh Jama'ah
Shalahuddin UGM, Yogyakarta, untuk memeriahkan acara
seminar pendidikan. Panitia meminta saya untuk membahas
pendidikan sekuler versus pendidikan tauhid. Karena
saya tidak menguasai materi yang ditawarkan kepada
saya untuk saya bahas, saya kemudian mengusulkan untuk
membahas satu topik yang kemungkinan besar dapat dikaitkan
dengan mundurnya pendidikan tauhid dan merebaknya
pendidikan sekuler.
Topik
yang saya usulkan itu merupakan topik yang saya kuasai,
yaitu tentang membaca dan menulis. Saya kira, tak
ada pendidikan yang berlangsung di muka bumi ini yang
tidak mengunggulkan kegiatan membaca dan menulis.
Kebetulan, acara seminar itu diselenggarakan dalam
bulan suci Ramadhan. Dan di bulan suci Ramadhanlah
Al-Quran turun kepada Nabi Muhammad Saw. Ayat yang
turun kepada Nabi Muhammad Saw. berkaitan dengan membaca
dan menulis (iqra' dan qalam). Lewat tulisan ini,
saya ingin bertanya: Mengapa ayat iqra' yang paling
pertama turun?
Membaca
dan Menulis yang Terabaikan?
Keinginan
saya menulis tentang fiqih menulis didasari oleh keheranan
saya: Mengapa Tuhan menurunkan ayat iqra' (baca) dan
qalam (pena/tulisan) dalam satu paket dan kemudian
ayat-ayat tersebut diletakkan di paling awal dari
wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad
Saw.? Akal saya menduga bahwa tentu ada sesuatu yang
sangat penting yang menyebabkan wahyu, yang kemudian
dinamai Surah Al-`Alaq, itu turun di paling awal.
Keheranan
saya itu berlanjut setelah mengetahui bahwa pada masa
kejayaan Islam, ukuran tingginya peradaban Islam waktu
itu juga dapat dikontekskan dengan kegiatan-kegiatan
yang bertumpu pada, atau dikaitkan dengan, buku. (Apalagi
peradaban Barat sekarang yang menyebar secara dahsyat
ke seluruh pelosok dunia baik lewat buku maupun Internet.)
Artinya, para ulama zaman dahulu, tampaknya, sangat
mengandalkan buku atau produk dari kegiatan baca-tulis
untuk menyebarkan ilmu. Ilmu, saya kira, adalah salah
satu pilar peradaban yang sangat penting. Apabila
ilmu berkembang, tentulah sebuah peradaban akan berkembang
ke arah yang lebih baik.
Ambil
saja filosof cemerlang, Al-Farabi, dan seorang sufi
yang terus-menerus memberikan inspirasi, Al-Ghazali,
sebagai contoh. Kedua tokoh hebat dalam sejarah Islam
ini dikenang jasa-jasanya lantaran mampu merekam pikiran-pikiran
hebatnya dalam bentuk buku. Apakah mungkin nama Al-Ghazali
terus terpatri di benak para intelektual Islam apabila
beliau tidak membuat buku? Apakah mungkin pikiran-pikiran
keduanya dapat terus hidup dan tersebar ke seluruh
penjuru dunia tanpa buku? Mungkinkah sebuah peradaban
berkembang tanpa buku yang merekam perkembangan ilmu?
Ketika
saya membaca buku karya Annemarie Schimmel, Dan Muhammad
adalah Utusan Allah, saya mendapati, di buku Schimmel
itu, sebuah ulasan menarik tentang cendekiawan top
asal Pakistan, Muhammad Iqbal. Ketika Schimmel membahas
karya-karya Iqbal dalam bentuk puisi yang
berkaitan dengan penghormatannya kepada Nabi Muhammad
Saw., Schimmel sampai pada analisis yang mencengangkan
saya. Kata Schimmel, ada kemungkinan buku monumental
Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam, diilhami oleh Ihya' `Ulumiddin-nya Al-Ghazali.
Sungguh
saya kaget membaca analisis Schimmel. Namun, setelah
saya perhatikan secara cermat dua mahakarya Ihya'
`Ulumiddin dan The Reconstruction of Religious Thought
in Islam yang telah mempengaruhi banyak orang,
saya setuju dengan analisis Schimmel. Coba saja lihat
kemiripan judulnya. Judul itu menyiratkan semangat
zaman yang sama. Al-Ghazali dan Iqbal hidup dalam
abad yang berbeda. Mungkin saja, keduanya mengalami
persoalan yang sama. Kemudian, mereka didorong oleh
kehendak mulia untuk merumuskan secara tertulis agar
ilmu-ilmu Islam tetap bercahaya di setiap zaman. Zaman
Al-Ghazali memang berbeda dengan zaman Iqbal. Oleh
sebab itu diperlukan bahasa yang berbeda pula dalam
menyampaikan maksud, meskipun materi yang disampaikannya
hampir persis.
Inilah
kekuatan sebuah tulisan. Dan karena Iqbal lahir sekian
abad setelah Al-Ghazali, Iqbal diuntungkan dengan
terekamnya secara terstruktur pikiran-pikiran Al-Ghazali
berkaitan dengan upayanya menghidupkan ilmu-ilmu agama.
Lewat kegiatan membacalah kemudian Iqbal, saya duga,
mampu merumuskan kembali pikiran-pikiran cemerlang
Al-Ghazali sesuai konteks zamannya. Apakah Iqbal plagiat?
Sama sekali tidak menurut saya. Mungkin saja Iqbal
meniru. Namun, karakter Iqbal tidak kemudian hilang
ditimpa karakter Al-Ghazali gara-gara Iqbal, mungkin,
meniru Al-Ghazali dengan mengangkat tema yang sama.
Dan Iqbal mampu berdiri tegak di zamannya dengan ide-ide
orisinalnya yang lain yang tentu saja unik.
Al-Ghazali
dan Iqbal adalah contoh dua jenis cahaya yang menyinari
umat Islam hingga kini. Mereka merumuskan (dalam bahasa
saya, mengikat) ilmunya secara tertulis dan kemudian
mereka sebarkan lewat buku-buku karya mereka. Begitu
seseorang dapat merumuskan ilmunya secara tertulis,
lihatlah secara cermat bahwa mereka benar-benar menguasai
ilmu yang mereka miliki. Apakah mungkin seseorang
mengklaim dirinya berilmu atau menguasai sebuah ilmu
apabila orang tersebut tidak mampu menuliskannya?
Tentu, saya tidak akan menjawab pertanyaan ini. Saya
hanya ingin menegaskan di sini bahwa betapa seorang
Al-Ghazali dan Iqbal dapat hidup terus melampaui zamannya
gara-gara buku. Dan, tiba-tiba saja saya teringat
ucapan Ali bin Abi Thalib, Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.
Bagi
saya buku adalah wujud konkret kesuksesan pemaduan
kegiatan iqra' dan qalam. Manusia berkembang dan kemudian
mampu memperbaiki keadaannya lewat temuan canggih
teknologi dan sebangsanya dikarenakan buku. Atau,
dalam bahasa lain dapat dikatakan bahwa, manusia dan
peradabannya dapat terus meninggi lantaran manusia
mau dan mampu menyelenggarakan kegiatan membaca dan
menulis secara terpadu, konsisten, kontinu, dan terus
meningkat hari demi hari. Pertanyaannya kemudian adalah,
bagaimana supaya perintah Tuhan di Surah Al-`Alaq,
yang turun pertama kali kepada Nabi-Nya, itu dapat
diselenggarakan di dunia pendidikan Islam, secara
benar, sesuai kehendak-Nya?
Apakah
pendidikan tauhid pada saat ini menjadi kurang segar
dan bergairah gara-gara kegiatan membaca dan menulis
tidak menjadi basis-penting dalam pengembangannya?
Apakah pendidikan tauhid, seolah-olah, menjadi kalah
dan kurang glamour lantaran para penggiat pendidikan
tersebut tidak lagi mampu, secara sangat produktif,
menghasilkan karya-karya tulis yang berbobot dan menyinari
zaman? Apakah pendidikan tauhid tampak kurang menyala
terang gara-gara redupnya aspek literasi ini? Bagaimana
mengembalikan semangat literasi yang luar biasa hebat
pada zaman Al-Ghazali ke zaman kini?
Mungkinkah
Ada FiqihMenulis?
Dalam
Tafsir Al-Mishbah, Ustad Quraish menunjukkan secara
jelas bahwa ayat-ayat Surah Al-`Alaq, terutama lima
ayat awalnya, mengandung kata iqra' dan qalam. Saya
ingin menegaskan di sini bahwa Surah Al-`Alaq tidak
hanya berkaitan dengan perintah membaca. Ada kemungkinan
besar, menurut pemaknaan saya yang masih perlu diuji
lebih jauh, kegiatan membaca itu perlu dikaitkan dengan
kegiatan menulis. Bahkan, kegiatan menulis itu menjadi
sangat penting diperhatikan karena, menurut Ustad
Quraish, setelah turun kelima ayat dari Surah Al-`Alaq,
turunlah kemudian ayat, Nun demi qalam dan apa yang
mereka tulis (QS Al-Qalam [68]: 1).
Mari
kita baca apa yang disampaikan oleh Ustad Quraish
tentang makna kata qalam: Kata qalam di sini dapat
berarti hasil dari penggunaan alat tersebut', yakni
tulisan. Ini karena bahasa sering kali menggunakan
kata yang berarti 'alat' atau penyebab untuk menunjuk
akibat' atau hasil' dari penyebab atau
penggunaan alat tersebut. Misalnya, jika seseorang
berkata, saya khawatir hujan', maka yang dimaksud
dengan kata 'hujan' adalah basah atau sakit, dan hujan
adalah penyebab semata.
Makna
di atas dikuatkan oleh firman Allah dalam Surah Al-Qalam
ayat 1, Nun demi qalam dan apa yang mereka tulis.
Apalagi disebutkan dalam sekian banyak riwayat bahwa
Surah Al-Qalam ini turun setelah akhir ayat kelima
Surah Al-`Alaq. Ini berarti, dari segi masa turunnya,
kedua kata qalam tersebut berkaitan erat, bahkan bersambung
walaupun urutan penulisannya dalam mushaf tidaklah
demikian.
Ustad
Quraish memang tidak mengaitkan kata iqra' dan qalam
secara eskplisit. Sayalah yang kemudian memaknai pengaitan
antara kegiatan membaca dan kegiatan menulis. Mengapa
saya berani mengaitkan antara iqra' dan qalam? Pertama,
saya hanya ingin menunjukkan bahwa di Surah Al-`Alaq
itu juga ada kata qalam. Jangan sampai kata qalam
itu tertutupi oleh pemunculan kata iqra' yang, mungkin
saja, terlalu mendominasi. Kedua, feeling saya mengatakan
bahwa kegiatan yang bertumpu pada makna kata iqra'
dan qalam itu saling melengkapi dan mendukung. Ini
saya buktikan ketika saya mempraktikkan kegiatan membaca
dan menulis yang kadang, saya rasakan, memang membosankan
dan membebani. Nah, apabila saya memadukan kedua kegiatan
tersebut, ajaib, kebosanan dan beban itu dapat saya
atasi. Dan ketiga, manfaat kegiatan baca dan tulis
benar-benar saya rasakan apabila keduanya berpadu,
bukan dijalankan sendiri-sendiri secara terpisah.
Memusatkan
pada perintah iqra' saja memang tidak apa-apa alias
tidak ada aturan syariat yang kemudian mengatakan
berdosa apabila hanya melaksanakan kegiatan membaca.
Perintah iqra' tetap sangat penting dan punya dampak
luar biasa apabila seseorang melakukannya dengan baik
dan benar. (Secara menarik, Ustad Quarish juga menunjukkan
bahwa akar kata iqra', yaitu qara'a, itu artinya bukan
sekadar membaca. Qara'a berarti meneliti, mendalami,
menghimpun, dan menemukan sesuatu yang bermakna.)
Namun, perintah qalam juga, menurut saya, penting.
Bahkan kegiatan yang bertumpu pada makna kata qalam-lah
yang kemudian dapat mengefektifkan kegiatan yang bertumpu
pada makna kata iqra`.
Selama
saya menekuni dunia baca-tulis, saya merasakan sekali
bahwa melakukan kegiatan membaca saja, dan tidak melanjutkan
dengan menuliskan apa-apa yang sudah saya baca, tampak
sia-sia. Apa yang saya sampaikan ini bukan lantas
mengartikan kegiatan membaca tidak penting. Saya hanya
ingin menunjukkan betapa kegiatan membaca (iqra')
itu baru akan menemukan bentuk terbaiknya apabila
didampingi kegiatan menulis (qalam). Sekali lagi,
merujuk ke ucapan Ali bin Abi Thalib, Ikatlah ilmu
dengan menuliskannya, kegiatan membaca yang membuahkan
ilmu adalah kegiatan membaca yang dilanjutkan dengan
kegiatan mengikat atau menuliskan (menstrukturkan
atau, lebih tepat, mengonstruksi) hasil-hasil kegiatan
membaca.
Saya
kemudian mengusulkan istilah mengikat makna. Inilah
aturan pertama yang perlu diperhatikan oleh siapa
saja yang ingin melaksanakan perintah ayat-ayat iqra'
(dan, tentu saja, qalam). Dampak menyelenggarakan
kegiatan mengikat makna (iqra'-qalam) memang luar
biasa. Al-Farabi, Al-Ghazali, dan juga Iqbal menjadi
tokoh-tokoh yang terus memancarkan cahaya ke seluruh
dunia lantaran mereka, saya duga, menjalankan perintah
Surah Al-`Alaq secara hampir sempurna. Dan perintah
itu saya coba rumuskan dalam fiqih atau aturan pertama
yang saya sebut mengikat makna.
Aturan
atau fiqih menulis nomor pertama ini juga menunjukkan
dengan jelas bahwa kegiatan menulis yang memberikan
makna adalah kegiatan menulis yang didahului oleh
kegiatan membaca. Artinya, seorang penulis yang tidak
suka membaca buku yang banyak dan beragam, tentu akan
mengalami kesulitan dalam menghasilkan tulisan yang
diksinya indah dan kaya. Atau, bahkan kesulitan dan
kerepotan menulis akan muncul secara sangat hebat
apabila seorang penulis tidak lebih dahulu memperkaya
kosakata lewat membaca buku yang banyak dan beragam.
Hanya dengan membaca bukulah seseorang dapat menyerap
dan memasukkan kata-kata bermakna ke dalam dirinya.
Dan hanya lewat membacalah kemudian kegiatan menulis
itu akan dimudahkan atau dilancarkan sekaligus diperkaya
kosakatanya.
Ketika
saya menyamakan atau mempersepsi buku sebagai makanan,
yaitu makanan untuk jiwa, saya juga menunjukkan bahwa
di dalam teks itu ada gizi (vitamin), sebagaimana
di dalam beberapa makanan juga ada gizi (vitamin)-nya.
Apabila vitamin A yang ada di sayuran wortel dapat
diserap oleh tubuh secara otomatis, maka vitamin yang
dikandung sederatan teks tidak dapat diserap otak
secara otomatis. Salah satu cara ampuh untuk mencerna
dan menyerap sederetan teks yang bergizi adalah dengan
menulis, yaitu mengikat (mengonstruksi) makna yang
ada di dalam teks itu. Dan jika vitamin A dapat diserap
tanpa sadar, vitamin yang ada di dalam sederetan teks
perlu diserap dan diolah secara sadar.
Nah,
apakah jika ada aturan nomor satu dalam menulis, nantinya
ada aturan nomor dua, tiga, dan seterusnya? Ya, tentu
saja. Saya akan mencoba melacak lebih jauh tentang
makna kata iqra' dan qalam ini lewat Tafsir Juz `Amma-nya
Syaikh Muhammad `Abduh dan juga tafsirnya Ustad Quraish.
Dalam tulisan ini, saya baru saja memulai dalam rencana
menyusun semacam fiqih menulis. Jadi, tentu saja,
saya tidak dapat secara detail membahas atau menurunkan
ayat-ayat iqra' dan qalam dalam bentuk yang elaboratif.
Semoga saja, lewat rintisan tulisan yang belum sempurna
ini, saya dapat didorong lebih jauh lagi untuk menunjukkan
hal-hal baru berkaitan dengan membaca dan menulis.
Semoga
bermanfaat.[]
<<<---
kembali ke arsip artikel
|