Tuhan Disaingi Manusia
Sumber:
Kenduri
Cinta
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kegelapan
sosial pada hakekatnya bersifat horisontal. Ada juga
yang bertikai soal kegelapan spiritual, kegelapan
teologis. Terlanjur bikin setting negara ber-Tuhan,
tapi wacana tentang Tuhan dan ajarannya hanya dispekulasikan.
Tuhan bahkan dikarang atau diciptakan sendiri.
Tuhan
harus 'ngikut' macam-macam pendapat manusia tentang
diri-Nya. Tuhan sendiri tidak pernah ditanyai. Seakan-akan
manusia menemukan Tuhan melalui riset akademis dan
investigasi ilmiah. Seakan-akan manusia sanggup mengenali
Tuhan, malaikat, sorga, neraka, konsep dosa dan pahala,
setan, jin, malaikat dan lain sebagainya, melalui
upaya prestatif manusia sendiri.
Di
ujung seluruh kenyataan itu, benturan yang dialami
manusia adalah soal 'kebahagiaan yang sejati'. 'Persyaratan'
untuk bahagia tidak secara mendasar dipenuhi. Tidak
berlangsung pendidikan sejarah yang mendorong dan
menolong manusia untuk menemukan dirinya dalam koordinat
kenyataan hidup di mana ia terletak.
Manusia
juga menjadi tidak memiliki peluang untuk memahami
dan mengadaptasikan dirinya pada 'syariat sosial',
sehingga ia temukan pula pola 'manajemen' dirinya
secara baik.
Istilah
'syariat sosial' sengaja dipakai untuk memudahkan
assosiasi pembedaan antara tata nilai horisontal dengan
tata nilai vertikal, serta komprehensi dan interdependensi
antara keduanya. Untuk mencapai kebahagiaan, umumnya
orang mengandalkan tiga-ta: harta, tahta, dan wanita.
Masalahnya
adalah ada perbedaan serius antara tolok ukur horisontal
mengenai tiga hal itu dengan tolok ukur vertikal.
Apa yang dalam syariat horisontal disebut menguntungkan,
menurut tolok ukur vertikal merugikan. Melakukan shalat
itu tidak produktif, wasting time dan ngoyoworo, menurut
mata pandang horisontal, kecuali kalau shalat merupakan
syarat agar tender kita menangkan.
Mendapatkan
uang banyak dan memasukkannya ke kantong, menurut
tolok ukur horisontal ada keuntungan, yang berakibat
kegembiraan. Tapi mengeluarkan uang dari kantong tanpa
disertai janji laba horisontal apa-apa, menurut syariat
vertikal, adalah sebuah keberuntungan, kelegaan dan
kegembiraan.
Itu
sekedar contoh sederhana. Manusia tampaknya cenderung
mempersaingkan dirinya dengan Tuhan dalam konsep,
wacana, dan manifestasi tentang kebahagiaan. Dan Tuhan
tampaknya cool-cool saja membiarkan diri-Nya disaingi.
Manusia
menempuh, mengejar, merampas, segala sesuatu yang
ia anggap sebagai 'onderdil' kebahagiaan, padahal
Tuhan berkata sebaliknya. Kelak manusia terjebak dan
frustrasi sendiri di masa tuanya, kemudian membungkuk-bungkuk
minta ampun, dan Tuhan menyediakan lima sifat pengampun
pula.
Hanya
Abu Nawas yang sanggup 'mengalahkan' Tuhan soal harta
dan kebahagiaan. Ia teriak-teriak bahwa ia lebih kaya
dari Tuhan. Setelah ditangkap polisi ia berargumentasi:
'Menurut Tuhan harta yang termahal adalah anak yang
saleh. Dan saya punya 12 anak yang saleh salehah,
sedangkan Tuhan tak punya satu pun'.
<<<---
kembali ke arsip artikel
|