Indonesiaku
Sumber:
Kompas
Minggu, 14 Mei 2006
Oleh: Mohamad Sobary
Aku
berharap Indonesiaku juga Indonesiamu. Memang belum
sangat jelas apakah Indonesiaku sama dengan Indonesia
yang diteriakkan penyair Taufiq Ismail di dalam puisinya
"Kembalikan Indonesia Kepadaku". Juga belum
jelas apakah Indonesiaku sama dengan Indonesia yang
dimaksud Bung Karno dalam "Indonesia Menggugat".
Banyak hal, ternyata, yang belum cukup jelas di dalamnya.
Indonesiaku hasil sebuah dialog dan negosiasi politik
yang lama, melelahkan, dan menyita kesabaran, dan
membutuhkan toleransi terhadap semua kemungkinan aspirasi
yang bermunculan dari sana sini. Tiap aspirasi harus
diakomodasi dengan baik di dalam dan oleh semangat
multikulturalisme yang tak henti-hentinya kita bangun.
Indonesiaku bukan hanya milikku, melainkan juga Indonesiamu,
milikmu. Indonesiaku pelan-pelan kita dirikan di atas
impian-impian dan aspirasi kultural yang sangat beragam,
penuh variasi, penuh nuansa, dan membuat kita kaya,
bagaikan taman bunga yang semarak dan harum dalam
benak dan alam ideal kita.
Indonesiaku, pendeknya bukan sebutir kelereng, yang
padat dan jelas sosoknya.
Dengan akal pikiran aku bisa membayangkan bagaimana
kira-kira rumusan politiknya. Tapi, aku belum bisa
merasakannya dengan hati dan jiwaku karena rumusan-rumusan
akal boleh jadi hanya bersifat teknis politis, dan
itu pun di dalamnya bukan mustahil ada unsur "akal-akalan".
Selebihnya, konsensus politik sering tidak tulus mengabdi
kepentingan bersama. Dalam tradisi kenegaraan kita,
yang masih muda usianya, politik sering hanya berarti
"tipu muslihat" untuk meraih kemenangan
jangka pendek, dan tak peduli akan pentingnya membangun
keadilan semesta alam bagi segenap warga negara dan
manusia-manusia yang hidup di dalamnya.
Kerja politik sering agak sedikit dungu karena merasa
sudah puas melihat "hasil" berupa terciptanya
sosok besar sebuah "struktur" yang bagus
wujudnya, tapi kering dan kosong, tanpa jiwa. Padahal,
yang kita rindukan, dan hendak kita wujudkan, ialah
"jiwa" ke-Indonesia-an, untuk memberi makna
lebih riil pengertian "adil dan beradab"
bagi semua kalangan. Juga, dan terutama, bagi mereka
yang selama ini tertindas sepatu tentara, polisi,
birokrat, pedagang, dan para politisi keparat yang
telah menggadaikan jiwa mereka kepada semua setan
yang membunuh kemanusiaan.
Indonesiaku hasil sebuah kerja kreatif, hasil imajinasi
tentang apa yang luhur dan mulia, dalam ukuranku dan
ukuran-ukuranmu semua, yang bukan hanya berbeda, melainkan
juga berkebalikan satu sama lain. Tapi, tak berarti
aku boleh, dengan barisan massa milikku, mengusirmu
pergi dari bumi milik Tuhan ini.
Kau pun tak akan bisa mengusirku dari tiap jengkal
tanah di mana aku berpijak, karena di mana pun aku
berada, aku tak menjejak di atas tanah warisan Engkong
dan Kakek moyangmu, melainkan di atas bumi milik Tuhan
kita, yang ramah dan serba akomodatif terhadap semua
makhluk-Nya. Adaku di bumi ini merupakan wujud "Titah-Nya",
"Kehendak-Nya" dan "Tanggung Jawab-Nya".
Jadi, bagaimana mungkin di antara kita, sama-sama
umat beragama, sama-sama makhluk beriman, bahkan satu
agama dan satu iman, tapi hendak singkang-menyingkang
dan usir-mengusir? Bukankah dialog dan negosiasi kita
tentang Indonesiaku, dan Indonesiamu, belum lagi selesai?
Aku tidak tahu adakah generasi demi generasi di atas
kita sudah gagal merumuskan ke-Indonesia-an yang teduh,
enak, dan membawa rasa nyaman bagi kita semua? Aku
hanya tahu mereka sudah berusaha dengan segenap cinta,
tanggung jawab dan kesediaan berkorban. Dan, generasi
kita, yang mungkin lembek dan kurang wawasan, akan
bersedia gagal mewujudkan Indonesiaku, dan Indonesiamu,
yang kita inginkan bersama, dan kita lalu memilih
baku bunuh seperti binatang di rimba raya?
Indonesiaku memang bukan sorgaloka, dan seharusnya
juga bukan rimba raya. Maka, siapa bilang ia tak mungkin
diubah menjadi sejenis sorgaloka yang bersedia memberi
tempat bagi kita semua untuk bisa merasa aman dan
nyaman di dalamnya.
Indonesiaku, sekeping negeri yang diciptakan Tuhan
dengan kasih sayang dan tanggung jawab. Dengan kasih
sayang dan tanggung jawab-Nya, diciptakan kita dalam
corak yang berbeda warna kulit, etnisitas, tradisi,
dan bahasanya, cara pandang dan sikap-sikapnya terhadap
hidup. Dan, Tuhan memelihara semua jenis perbedaan
itu.
Lalu apa hak kita, yang bukan nabi, bukan wali, dan
bukan orang suci, untuk bersikap seolah kita nabi
dan orang suci, atau wali, hingga di mata kita perbedaan
menjadi musuh dan barang terkutuk serta harus dimusnahkan
dari muka bumi? Siapa yang memberi kita hak, bersikap
seolah kita Tuhan?
Kita tahu urusan "halal-haram" dengan baik,
tapi mengapa yang "haram" hanya mereka,
sedang bagi kita segala kebejatan yang paling haram
kita bungkus dengan jubah putih agar tampak seperti
halal? Adakah kau kira Tuhan terpesona melihat kelicikan
seperti itu?
Politik memang bisa, dan selalu, menipu. Orang banyak,
yang lemah status sosial-politiknya, mudah pula ditipu.
Dan, kita puas melakukan penipuan demi penipuan selama
Indonesiaku berdiri. Tapi, mengapa Tuhan pun kita
tipu?
Di mana nafsu muthmainah, kecenderungan mulia, dan
agung dalam hidup kita? Mengapa kebudayaan tak memberinya
tempat? Mengapa politik membunuhnya?
Apa yang terbayang dalam benakmu ketika kita bicara
Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita mempreteli Ketuhanan,
yang universal dan agung, menjadi kecil-kecil sesuai
konsep Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu
Cu, Kejawen, Sunda Wiwitan, Islam dan mengklaim yang
lain salah, dan hanya tafsir kita yang benar. Kemudian,
yang dianggap salah harus dibikin mati.
Adakah arti Ketuhanan di situ? Jangan nodai Indonesiaku
karena ia juga Indonesiamu. Indonesiaku ini, aku tahu,
Indonesia kita semua.
<<<---
kembali ke arsip artikel
|