WEJANGAN-WEJANGAN KI AGENG SURYOMENTARAM

  MAWAS DIRI  

Hal. 3/5

LATIHAN

Orang itu baru merasa ada bila berhubungan, baik berhubungan dengan benda, orang lain maupun dengan rasanya sendiri. Dalam berhubungan itulah orang baru dapat mengetahui diri sendiri. Maka berhubungan itu dapatlah dimisalkan sebagai cermin.

Tiap tindakan selangkah, ucapan sekata dan gerak hati sedetik, tentulah orang berhubungan. Tiap berhubungan selalu ada diri sendiri dan yang dihubungi. Jadi bila berhubungan dengan orang, berhubungan tersebut mengandung diri sendiri dan orang lain.

Maka dari itu tindakan selangkah, ucapan sekata dan gerak hati sedetik mengandung diri sendiri dan orang lain. Diri sendiri sangat sukar diketahui sebab diri sendiri bersembunyi atau disembunyikan. Diri sendiri disembunyikan karena diri sendiri itu jelek dan memalukan.

Meskipun bersembunyi, tetapi bila dengan tekun orang meneIiti, diri sendiri akan ketemu pada waktu berhubungan. Misalnya diri sendiri mengatakan demikian: "Isteriku cerewet." Dalam ucapan tersebut diri sendiri bersembunyi atau disembunyikan, yang terlihat di sini hanyalah cerewet isterinya.

Bila ucapan tersebut dirasakan tanpa rasa senang dan benci, tanpa usaha untuk mengubah, mulailah diri sendiri terlihat.

Yang mengatakan: "Isteriku cerewet" itu adalah diri sendiri. Jadi kalimat tersebut tidak lengkap dan kurang jelas. Lengkapnya kalimat tersebut demikian: "Aku mengatakan bahwa isteriku cerewet." Sekarang sudah jelas diri sendiri berhubungan dengan isterinya. Jadi diri sendiri yang mengucapkan dan isterinya yang diucapkan.

Selanjutnya orang dapat meneruskan meneliti diri sendiri yang sudah terlihat tersebut. Cerewet adalah suatu perbuatan tidak baik atau cacat. Jadi ucapan tersebut menunjukkan cacad isterinya.

Jadi bi]a diteliti ucapan tersebut lengkapnya demikian: "Aku mengatakan cacad isteriku dengan menunjukkan cerewetnya." Kalimat tersebut menunjukkan diri sendiri makin jelas. Bila kalimat tersebut dirasakan benar-benar dan diteliti tanpa senang dan benci dan tanpa usaha untuk mengubah, diri sendiri makin terlihat jelas. Mengatakan cacad orang lain itu namanya menjelekkan. Kalimat tersebut bisa diteliti tanpa rasa senang dan benci dan tanpa usaha untuk mengubah, agar diri sendiri makin terlihat lebih jeias lagi. Maka kalimat tersebut dapat dibuat lebih jelas lagi demikian: "Aku menjelekkan isteriku dengan mengatakan cacadnya yaitu cerewetnya."

Selanjutnya orang dapat meneruskan meneliti diri sendiri dengan bertanya, bagaimanakah rasa hatiku bila dijelekkan? Tentu saja diri sendiri akan menjawab: "Bila aku dijelekkan hatiku merasa sakit." Jadi menjelekkan itu menyakitkan hati.

Menyakitkan hati orang lain namanya bertindak sewenang-wenang. Kalau begitu, diri sendiri itu sewenang-wenang. Jadi kalimat tersebut lebih jelasnya demikian: "Aku bertindak sewenang-wenang menyakitkan hati isteriku dengan menjelekkan dan menunjukkan cacadnya yaitu cerewetnya."

Demikian orang dapat melihat diri sendiri yang bertindak sewenang-wenang. Di sini ada kesulitan yang berupa pertanyaan: "Apakah tindakan sewenang-wenang itu sudah menjadi sifat seseorang atau hanya kadang-kadang saja?" Kramadangsa itu sifatnya pribadi. Pribadi itu selalu mencari enak sendiri dan tidak mempedulikan orang lain. Maka Kramadangsa itu selalu mencari enak pribadi tidak mempedulikan orang lain, inilah yang menyebabkan sewenang-wenang. Demikian itu jelasnya.

Jadi Kramadangsa itu tiap berhubungan dengan orang lain tentu bertindak sewenang-wenang. Orang biasanya takut untuk melihat kesewenangannya sendiri, sebab sudah terkenal bahwa bertindak sewenang-wenang itu jelek. Malahan ada ajaran kuno yang mengatakan: "Cintailah sesamamu"

Bila orang berusaha untuk melihat kesewenangannya sendiri, orang akan menjumpai rasa bencinya sendiri terhadap perbuatannya itu. Rasa benci ini timbul karena mengerti bahwa tindakan sewenang-wenang itu hasilnya tidak enak. Maka orang lalu ingin mencapai kasih.

Cita-cita kasih itu bukanlah kasih. Cita-cita kasih itulah anak dari tindakan sewenang-wenang yang takut akan akibatnya. Maka cita-cita kasih itu, kesewenangannya masih sama saja dengan bapaknya. Bedanya hanyalah bila bapaknya itu bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain, tetapi anaknya bertindak sewenang-wenang terhadap dirinya sendiri. Bila diri sendiri marah, ditahannya atau diperanginya marahnya itu. Sering-sering orang memerangi kesewenangannya sendiri itu dengan jalan mencegah makan, mencegah tidur dan sebagainya.

Rasa sewenang-wenang itu berkelahi dengan cita-cita kasih dan saling bergantian kalah atau menang. Maka perkelahian tersebut sering dianggapnya ujian hidup, bila cita-cita kasih yang menang orang akan mendapat karunia dan bila kalah orang akan mendapat hukuman.

Demikianlah rasa bencinya sendiri menutupi untuk melihat kesewenangannya. Bila diketahui bahwa rasa bencinya sendiri itu menutupi, lenyaplah rasa benci tersebut. Selanjutnya orang dapat melihat kesewenangannya dan akan menjumpai rasa senang terhadap kesewenangannya sendiri.

Rasa senang tersebut menyebabkan ia membela terhadap kesewenangannya sendiri. Kata hatinya demikian: "Jika orang tidak bertindak sewenang-wenang, orang akan disewenang-wenangi oleh orang lain." Cara membela kesewenangannya sendiri tersebut bermacam-macam, ada yang berkedok undang-undang ada yang berkedok tata cara, ada yang berkedok filsafat, ada yang berkedok aliran dan ada yang berkedok ajaran. Oleh karena rasa senang itu sangat erat hubungannya dengan rintangan untuk melihat kesewenangannya sendiri, maka di sini cara membela kesewenangannya sendiri tersebut akan diterangkan secara terperinci.

Misalnya seorang laki-laki memarahi isterinya yang tidak mandi dan menyisir rambutnya pada sore hari, caranya demikian: "Wanita yang demikian itu tidak setia kepada suaminya." Demikian orang membela kesewenangannya dengan kedok ajaran-ajaran; misalnya orang kaya mengomeli orang miskin oleh karena pinjam baju tidak dikembalikan, caranya demikian: "Aturannya orang pinjam itu harus mengembalikan." Demikian pula orang membela kesewenangannya dengan kedok undang-undang. Misalnya orang mengadakan pesta mengawinkan anaknya, karena hanya mendapat sumbangan sedikit, mengomeli tetangga-tetangganya demikian: "Tetangga-tetanggaku itu memang keterlaluan, tidak punya rasa gotong-royong sama sekali." Demikian orang membela kesewenangannya sendiri dengan kedok tata cara.

Misalnya orang kaya, mulia dan berkuasa menyalahkan orang miskin, yang rendah derajatnya dan tidak berkuasa, caranya demikian: "Orang miskin, rendah derajatnya dan tidak berkuasa itu salahnya sendiri, karena tidak mengetahui aturan alam. Siapa yang kuat makan yang lemah." Demikian orang membela kesewenangannya sendiri dengan kedok filsafat. Misalnya orang menggedor orang kaya, hatinya mengatakan demikian: "Orang kaya itu merusak dunia dan harus dilenyapkan, sebab menimbulkan kemelaratan orang banyak." Demikian orang membela kesewenangannya sendiri dengan kedok aliran.

Bila timbulnya semua rasa senang terhadap kesewenangannya sendiri sudah diketahui, maka rasa senang tersebut yang merintangi untuk melihat kesewenangannya sendiri akan diketahui. Bila dapat diketahui maka lenyaplah rintangan itu.

Bila orang akan melanjutkan untuk mengetahui kesewenangannya sendiri, tentu akan berjumpa dengan rasa sendiri yang akan mengubah kesewenangannya sendiri. Tiap ada maksud untuk mengubah, orang tidak dapat melihat rasanya sendiri. Jadi niat mengubah itu merupakan rintangan untuk mengetahui kesewenangannya sendiri.

Bila diketahui rintangan tersebut akan lenyap. Demikian banyak sekali rintangan yang menutupi pandangan untuk melihat kesewenangannya sendiri. Jika semua rintangan yang menutupi tersebut diketahui dengan teliti, maka lenyaplah rintangan tersebut, sehingga orang melihat diri sendiri, kesewenangannya sendiri tanpa tirai, yaitu: "Aku Kramadangsa bertindak sewenang-wenang."

Bila rasa kesewenangannya sendiri ketahuan sebelum terjadi perbuatan sewenang-wenang itu, maka rasa sewenang-wenang tersebut tidak lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang. Sebab bila orang melihat rasa sewenang-wenangnya sendiri tanpa maksud untuk mengubah, artinya Kramadangsa diam atau mati.

Bila Kramadangsa mati, kesewenangannya ikut mati pula. Jika Kramadangsa mati, timbullah rasa kasih tanpa syarat. Kasih tanpa batas itu berarti terhadap siapa saja kasih dan terhadap apa saja juga kasih, malahan kepada kesewenangannya sendiri pun kasih. Tanpa syarat artinya, biarpun dibenci atau dikasihi akan tetap kasih. Kasih tanpa batas dan tanpa syarat bukanlah Kramadangsa, Kramadangsa tidak pernah kasih dan Kramadangsa selalu bersifat sewenang-wenang. Maka lahirnya kasih itu bila Kramadangsa mati.

Kasih itu rasanya enak atau bahagia. Bukan rasa enak karena kehendaknya tercapai, bukan karena mendapat harta benda banyak, bukan karena mendapat kekuasaan, bukan karena mengalahkan musuh dan sebagainya. Rasa yang lahir tersebut akan dicatat oleh Kramadangsa. Jika sudah mencatat rasa kasih tersebut Kramadangsa hidup lagi.

Catatan rasa kasih itu bukanlah kasih. Dari catatan rasa kasih tersebut Kramadangsa akan mengejar kasih, setiap mengejar rasa kasih, Kramadangsa tidak dapat berhasil sebab selama hidupnya Kramadangsa tidak dapat kasih. Agar supaya rasa kasih itu lahir, Kramadangsa haruslah mati dahulu.

Padahal matinya Kramadangsa itu bila diketahui kesewenangannya tanpa maksud untuk merubah. Bila ada maksud untuk merubah berarti Kramadangsa maslh hidup, sebab yang bermaksud untuk merubah adalah Kramadangsa.

Bila sudah mencatat rasa kasih, Kramadangsa lalu hidup lagi. Demikian seterusnya. Jadi lahirnya rasa kasih itu tidak terus menerus, tetapi terputus-putus pada tiap kali perbuatan.

Meskipun kasih itu barang kuno dan abadi tetapi kasih tersebut bagi Kramadangsa seperti barang baru. Sebab kasih itu memperbarui Kramadangsa. Maka kasih itu dapat disebut barang abadi baru.

Faedah kelahiran rasa kasih itu adalah penting di dalam pergaulan sehari-hari. Padahal rasa kasih itu lahir biia orang melihat kesewenangannya sendiri. Maka melihat kesewenangannya sendiri itu penting di dalam pergaulan sehari-hari.

Di sini perlu diberi contoh dalam kejadian pergaulan sehari-hari di mana orang dapat melihat kesewenangannya sendiri. Ada seorang yang mempelajari ilmu jiwa sedang naik kereta api dan duduknya membelakangi pintu kereta, oleh karena orang tersebut tidak tahan angin, ditutupnya pintu kereta. Kemudian ada orang lain lewat masuk melalui pintu tersebut, tetapi tidak menutupnya lagi. Orang yang tidak tahan dingin tersebut merasa marah, tetapi tidak lahir menjadi perbuatan marah. Orang tersebut mengetahui marahnya sendiri, dalam hatinya berkata demikian, "Lho, aku ini orang yang berbuat sewenang-wenang, mengapa aku marah kepada orang yang tidak mau menutup pintu, padahal yang butuh menutup pintu itu aku sendiri, tetapi ogah-ogahan. Aku lebih suka memarahi orang lain daripada menutup pintu. Demikian ini adalah perbuatan sewenang-wenang."

Hasil melihat kesewenangannya sendiri yang belum lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang, orang tersebut segera bertindak menutup pintu kereta api, dengan merasa damai dan bahagia. Rasa marah yang ketahuan demikian, tidak meninggalkan bekas atau dendam untuk dia, orang yang dimarahi tersebut sudah menjadi orang baru, artinya bukan orang yang dimarahi lagi.

Contoh lain lagi di mana orang dapat melihat kesewenangannya sendiri. Ada orang belajar ilmu jiwa. Pada suatu saat orang tersebut naik kereta api. Kemudian ada pedagang burung perkutut masuk dalam gerbong kereta api dan meletakkan sangkar burung di tengah jalan di dalam kereta api, sehingga sangkar tersebut menutupi orang yang akan lewat. Banyak orang-orang yang lewat terpaksa melompati sangkar itu. Orang yang belajar ilmu jiwa tersebut merasa marah, kata hatinya demikian: "Pedagang perkutut itu tidak mengerti peraturan kerata api, ia menaruh sangkar burung merintangi orang-orang yang akan lewat."

Orang yang belajar ilmu jiwa tersebut mengetahui marahnya sendiri, kesewenangannya sendiri, kata hatinya demikian: "Lho aku ini berbuat sewenang-wenang, yang menaruh sangkar mau dan yang melompati mau juga, mengapa aku marah?" Tidak berapa lama kondektur lewat dan juga melompati sangkar tersebut dan tidak meIarang kepada yang punya sangkar. Orang yang belajar ilmu jiwa tersebut menjadi lebih jelas dan mengetahui kesewenangannya sendiri dan kata hatinya demikian: "Lho, aku ini jelas berbuat sewenang-wenang, mengapa aku marah kepada pedagang perkutut, meskipun marahku tidak lahir menjadi perbuatan marah, sedangkan kondektur yang punya kereta api tidak marah."

Demikian orang melihat diri sendiri, kesewenangannya sendiri. Jika ketahuan sebelum lahir menjadi perbuatan, rasa sewenang-wenang tidak lahir menjadi perbuatan sewenang-wenang. Jikalau orang menjadi biasa melihat kesewenangannya sendiri yang kasar-kasar, kemajuannya orang akan dapat melihat kesewenangannya sendiri yang halus-halus, yang belum menjadi rasa marah.

Misalnya orang menyuruh membuat air minum kepada isterinya, tetapi isterinya tidak mau. Pada waktu menyuruh membuat air minum dan isterinya mau, orang yang menyuruh tersebut tidak tampak kesewenangannya, sebab kesewenangannya tidak lahir menjadi rasa marah. Bila isterinya disuruh tidak mau, rasa sewenang-wenangnya akan lahir menjadi marah.

Jadi apabila orang menyuruh kepada isterinya dan mengetahui kesewenangannya sendiri, dan isterinya tidak mau disuruh, orang tcrsebut tidak marah sebab rasa sewenang-wenang bila diketahui sebelum jadi rasa marah, rasa sewenang-wenang tersebut tidak lahir menjadi rasa marah. Jadi rasa marah itu adalah tindakan rasa sewenang-wenang.


Hosted by www.Geocities.ws

1