C M C Online |
|
Penodong pertama itu kelihatan bingung. Ia menurunkan pistolnya. "Siapa namamu?
Tadinya kami bermaksud membunuhmu."
"Sam Johnson, Tuan", seolah-olah maksud jahatnya itu sudah berubah? Dan pistolnya
itu tidak lagi diarahkan ke kepala Sam.
Penodong pertama itu terus berbicara: "Yah, Sam, tadinya kami akan membunuhmu. Tahu,
yah, kami baru lolos sehabis yah, sehabis beraksi dan kami mau melarikan diri
ke negara bagian Florida. Kami perlu mobil. Kami melihat kamu duduk-duduk santai
dibawah pohon, jadi kami bermaksud membunuhmu, mengambil mobilmu, dan terus
amblas."
Penodong kedua itu memandang temannya dengan heran. "Kok . . . kenapa sih ngomong
terus? Ayo kita berangkat 'aja!"
"Nanti dulu, nanti dulu," kata pemimpin kedua penodong itu. Ia mendekati mobil
Sam dan menggapai sebuah Alkitab. "Yah . . . aneh, kamu penjual Alkitab. Bertahun-tahun
aku tidak melihat Alkitab."
Ia membuka-buka Alkitab itu. "Ibuku dulu sangat baik, . . ." katanya, seolah-olah
sedang melamun. "Ibuku dulu suka membacakan Alkitab kepadaku. Sejak ibuku
meninggal, sedikit sekali kupikirkan tentang hal itu."
Penodong kedua itu duduk pada batang pohon yang sedang roboh. Rupaya ia kurang
mengerti apa yang sedang terjadi. Tetapi tidak mengapa, perannya dalam "aksi"
yang baru saja mereka laksanakan itu sepele saja; sebenarnya ia tidak begitu
pusing, apakah mereka berhasil melarikan diri ke tempat yang jauh atau tidak.
Pemimpin kedua penodong itu menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil. Sekali lagi
ia membolak-balikkan halaman Alkitab. "Yah, aku masih ingat . . .," katanya
hampir berbisik.
Hening sejenak . . . . Berkas-berkas matahari yang menembus dahan-dahan pohon
pines itu menyinari tempat terbuka bekas halaman rumah petani. Cahaya matahari
itu menyentuh Sam yang sedang mengawasi keadaan, . . . menyentuh sebuah pistol
yang diletakkan di atas kap mobil, . . . menyentuh seorang penodong yang asyik
mengenang kembali cerita-cerita yang pernah digemarinya dulu semasa kecil.
Sam memperhatikan tangan penodong itu mengusap matanya. Ternyata kenangan lama
itu telah menitikkan air mata.
Sam berlutut di atas rerumputan. Bila berdoa ia sudah biasa berlutut, dan sekarang
ia merasa sudah saatnya untuk berdoa. Dalam hati ia mendoakan orang itu, yang
sedang mengenang masa ia menjalani kehidupan yang benar. Siapa tahu, mungkin
orang ini masih sempat meninggalkan kejahatannya serta kembali ke jalan yang
benar.
Tempat terbuka di tengah-tengah hutan belukar itu menjadi sangat tenang. Lalu
pemimpin kedua penodong itu memperhatikan bibir Sam yang sedang bergerak-gerak,
mata Sam yang sedang tertutup, lutut Sam yang sedang bertekuk.
"Yah, doakan aku Sam," katanya. Suaranya hampir menjadi halus, lain sekali dengan
suaranya semula yang sangat bengis itu. "Aku sungguh perlu didoakan. Dan
sesudah kamu mendoakan diriku, ayo masuklah ke dalam mobilmu dan pergilah."
Orang yang kedua itu seolah-olah mau menyela, tetapi pemimpin penodong memberi
isyarat supaya ia diam. "Gara-gara kami beraksi tadi, mungkin sekali orang yang
berhasil menangkap kami berdua akan mendapat hadiah yang cukup besar," katanya.
Ia menelan ludah, seakan-akan belum pasti apa yang harus dikatakan selanjutnya.
"Tetapi orang yang berhasil mengikuti pesan Alkitab akan mendapat hadiah lebih
besar lagi."
Pemimpin kedua penodong itu tersenyum ke arah Sam Johnson. "Jangan khawatir,
Sam," katanya. "Kamu tidak akan melihat aku menodong lagi. Lihat!" Ia melemparkan
pistolnya ke dalam lubang besar yang dulu bekas ruang di bawah tanah dari rumah
petani. "Sebaiknya kamu pergi sekarang, Sam. Dan jangan lupa, terus berdoa untuk
kami. Siapa tahu, mungkin kami berdua akan kembali menjadi orang yang berguna!"
Sam segera mendekati mobilnya dan duduk di belakang setir. Ia menghidupkan mesin.
Pelan-pelan ia menyetir mobilnya sehingga kembali menghadap ke jalan raya.
Tetapi sebelum memasukkan persneling, ia pun menoleh ke belakang, ke arah
kedua penodong tadi.
Kini kedua-duanya duduk di atas batang pohon yang sudah roboh. Pemimpin kedua
penodong itu sedang membacakan Alkitab kepada teman-temannya. Suaranya jelas
terdengar melalui udara siang yang panas itu; ia sedang membaca Kitab Yesaya,
pasal 55:
"Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang
yang tidak mempunyai uang, marilah! . . .
Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; Dengarkanlah, maka kamu akan
hidup!"
Sam Johnson menganggukkan kepalanya pada saat mobilnya mulai bergerak meluncur
di lorong yang sepi itu. "Mereka akan kembali ke jalan yang benar. Mereka akan
menjadi orang-orang yang berguna." Entah mengapa, . . . Sam merasa yakin betul
atas firasatnya itu.
Dengan lemah lembut Sam Johnson menyanyikan sebuah lagu rohani kuno pada saat
ia kembali ke jalan raya untuk meneruskan perjalanannya.