C M C Online |
|
Satu abad yang lalu, di sebuah pulau besar yang jauh dari kepulauan Indonesia,
seorang anak perempuan kecil sedang menangis tersedu sedan. Pantas saja ia menangis!
Coba bayangkan: Si Upik baru saja diculik dari rumah orang tuanya. Ia ditangkap
oleh orang-orang kejam yang memperbudak manusia. ... .... ....... .........
Ketika pagi itu tiba, si Upik diberi sehelai jubah baru yang sederhana. Rambutnya
pun disisir rapi. Si penjual budak sudah pandai membuat barang dagangannya kelihatan
menarik di mata calon pembeli! Sekali-sekali ada orang yang menanyakan si Upik,
yang duduk di bawah naungan sebuah pohon besar dengan perasaan sedikit takut
dan sedikit mengharap-harap. Tetapi mereka selalu terus pergi setelah mendengar
harga yang ditawarkan itu, walau ada juga orang yang sempat berkomentar dengan
berbisik: "Cantik sekali! Mungkin ia akan laku juga semahal itu."
Sebelum sang surya naik tinggi di atas cakrawala, datanglah sebuah tandu yang
indah, diusung oleh empat budak laki-laki. Budak yang kelima memagang menaungi
seorang wanita muda yang berbaring di atas usungan itu; pakaiannya sangat mewah.
Wanita yang kaya-raya itu mengamat-amati setiap budak yang dipertontonkan kepadanya.
Kekuatiran dan kesedihan budak-budak itu tidak dihiraukannya. Rupa-rupanya ia
menganggap seorang budak itu sama seperti seekor anjing kesayangan saja. Hanya
ada satu budak yang kelihatan tidak sedih. Itulah si Upik. Ia begitu tertarik
akan penampilan wanita kaya itu sehingga ia memandangnya dengan penuh rasa ingin
tahu. Belum pernah ia melihat seorang wanita dengan pakaian sebagus itu!
"Gadis yang itu!" Sang penumpang tandu menunjuk kepada si Upik.
"Kelihatannya cerdik, lagi cantik. Suruh dia berdiri!"
Sebelum si Upik insaf apa yang terjadi, jual beli itu sudah selesai. Sekarang
ia telah menjadi milik wanita muda yang kaya-raya itu. Di tempatnya yang baru,
si Upik dengan cepat dan lancar dapat belajar cara-cara melayani majikannya.
Majikannya ternyata sangat baik hati. Perempuan kaya itu merasa senang, terutama
karena gadis cilik yang baru dibelinya itu tidak pernah menangis lagi, dan tidak
pernah bermuram durja.
Namun kadang-kadang si Upik merasa kesepian. Pada saat-saat demikian, bila tidak
ada tugas, ia suka pergi menyendiri dan duduk di bawah sebuah pohon yang besar
di taman. Dari dalam jubahnya ia mengambil sebuah buku yang selalu ia bawa serta.
Lama ia duduk sambil membaca buku kecil itu.
Buku kecil itu adalah buku yang kebetulan dibaca pada saat ia diculik. Tanpa
disadari ia tetap menggenggam buku itu ketika ia
ditangkap dan diseret oleh para perampok. Kini buku kecil itu menjadi harta
si Upik yang paling berharga: Isinya tak lain ialah
Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Malagasy (yang mirip sedikit dengan bahasa
Indonesia). Di dalam rumah tangga majikannya itu tidak ada seorang Kristen pun
kecuali si Upik. Juga tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat membaca,
sang majikan juga tidak. Namun budak-budak yang buta huruf itu senang mengintip
pada saat-saat si Upik pergi menyendiri. Dan mereka pun senang mendengar si
Upik membaca, karena ia selalu membaca dengan bersuara, sesuai dengan
kebiasaan pada zaman itu. Tidak lama kemudian, setiap pelayan di rumah tangga
itu mengetahui bahwa si Upik memiliki sebuah Buku kecil, dan bahwa ia pandai
membaca isinya.
Pada suatu hari yang panas, sang majikan berjalan-jalan di taman untuk menikmati
buaian angin sejuk. Sayup-sayup terdengar olehnya suara orang. Karena ingin
tahu, ia menghampiri tempat dari mana suara itu terdengar. Tampaklah si Upik
sedang duduk di bawah pohon, asyik membaca. "Ha! Sedang apa kau Upik?" tanya
majikannya. "Sedang menghafal cerita, ya?" Dengan hormat si Upik berdiri. Mula-mula
ia hendak menyembunyikan Buku kecil itu, tetapi kemudian diperlihatkannya. "Tidak,
nyonya besar. Aku sedang membaca Kitab Suci." "Membaca? Sungguh kau dapat?"
tanya sang majikan. "Sungguh, nyonya besar," jawab si Upik seraya menganggukkan
kepalanya. "Ayah yang mengajarku membaca."
Budak-budak yang lain sedang mengintip peristiwa itu dari jauh, dengan hati
yang berdebar-debar. Apakah majikan mereka akan marah? Ataukah merasa geli saja?
Namun, kedua dugaan itu meleset. Apa yang mereka dengar kemudian? "Dapatkah
kau mengajarku membaca, Upik?" tanya sang majikan. "Dapat, nyonya besar! Dengan
senang hati," jawab si Upik. Pelajaran membaca itu segera dimulai. Karena tidak
ada buku lain, Kitab Perjanjian Baru milik si Upik menjadi buku pelajaran. Si
Upik mulai dengan cerita-cerita yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, seperti misalnya
cerita domba yang hilang dan cerita orang Samaria yang murah hati. Kata demi
kata sang majikan belajar membaca perumpamaan-perumpamaan itu. "Sangat menarik!"
serunya. "Kisah Nyata!- cerita ini amat indah. Tetapi ... siapakah Tuhan Yesus itu?"
Maka pelajaran membaca yang berikutnya diambil dari Kitab Injil Lukas, pasal
2. Budak cilik itu menolong majikannya membaca tentang kelahiran Yesus pada
malam yang ditaburi bintang-bintang. Mereka membaca tentang para malaikat yang
menyanyi dan memuliakan Tuhan, tentang sinar surgawi yang turun menerangi palungan
Sang Bayi Kudus. Si Upik melanjutkan membaca tentang peristiwa-peristiwa yang
indah itu. Pasal demi pasal, pelajaran demi pelajaran, si Upik membacakan cerita
Tuhan Yesus, termasuk ajaran-ajaran-Nya, penyaliban-Nya, dan kebangkitan-Nya.
Si Upik pun meneruskan cerita itu dengan membacakan perbuatan-perbuatan para
pengikut Tuhan Yesus setelah Hari Pentakosta. Sang majikan, beserta semua budaknya
yang cukup dewasa, terus mendengarkan dengan penuh perhatian. Belum pernah mereka
mendengar cerita yang demikian! Bukan hanya itu saja: Wanita bangsawan itu mulai
mengundang teman-temannya untuk berkumpul di rumahnya pada waktu senja. "Aku
mempunyai seorang budak baru," katanya, "seorang gadis kecil. Anehnya, ia dapat
membaca. Buku miliknya sendiri memuat cerita-cerita yang sangat menarik, serta
ajaran-ajaran yang belum pernah kudengar. Ayo datang dan mendengar Upikku membaca!"
Lambat laun Kabar Baik itu mulai meresap ke dalam hatinya. Pada suatu hari wanita
yang kaya-raya itu berkata, "Upik, letakkan dulu Bukumu dan jelaskan kepadaku
bagaimana caranya aku dapat menjadi pengikut Tuhan Yesus." Hal ini tidak mengherankan
si Upik. Siapa yang tidak mau mengikut Tuhan Yesus, demikianlah pikirannya.
Siapa yang tidak mau berbakti kepada Allah Bapa, yang begitu mengasihi kita
sehingga Ia mengutus Tuhan Yesus untuk menjadi Juruselamat kita! Namun si Upik
jadi terheran-heran juga pada suatu hari semua budak dipanggil menghadap majikan
mereka. "Kalian sudah tahu,"
katanya dengan lambat, "bahwa aku telah menjadi pengikut Tuhan Yesus. Oleh karena
itu, aku tidak boleh lagi memperbudak sesamaku. Kalian semua merdeka." Merdeka!
Para budak itu hampir-hampir tidak mempercayai apa yang mereka dengar. Sungguh
suatu hari yang diliputi kebahagiaan! Beberapa di antara mereka segera pulang
ke kampung. Yang lainnya lebih suka tetap tinggal pada majikan mereka sebagai
pegawai bayaran.
Dengan sangat gembira si Upik pulang ke rumah orangtuanya. Kedatangannya kembali
itu membawa kebahagiaan yang tiada taranya bagi orangtuanya. Tetapi kemudian
secara sukarela si Upik kembali lagi kepada sang majikan yang sangat dikasihinya.
Mereka berdua, diiringi oleh bebarapa pembantu, pergi jauh ke suatu tempat di
mana ada utusan-utusan Injil. Di sana mereka memohon agar penginjil- spenginjil
dikirim ke kota mereka di pulau Malagasy, untuk mengajar dan membimbing orang-orang
Kristen yang baru. Utusan-utusan Injil yang datang dari negeri jauh itu merupakan
jawaban atas permohonan doa mereka. Tetapi iklim di pulau Malagasy itu asing
bagi para penginjil. Mereka dijangkiti penyakit, dan satu persatu meninggal.
Akhirnya keadaan kembali seperti semula: tidak ada yang memimpin dan mengajar
pengikut-pengikut Tuhan Yesus yang baru itu. Namun sang majikan tidak putus
asa. Dengan Alkitab di tangannya, ia mulai membaca dan berdoa serta mengharapkan
pimpinan Roh Kudus. Lalu dengan sikap yang tenang dan gigih, ia sendiri mengajar
setiap orang yang rela berguru kepadanya. Lambat laun di kota Malagasy itu tumbuhlah
suatu jemaat Kristen yang banyak sekali anggotanya.
Hingga kini orang-orang Kristen yang tinggal di kota Malagasy masih suka bercerita
dengan bangga: "Semuanya itu terjadi oleh karena seorang budak perempuan kecil
yang kesepian membaca Kitab Perjanjian Barunya dengan suara keras, dan oleh
karena seorang wanita muda yang kaya-raya terbuka hatinya untuk menerima ajaran
Firman Allah serta melaksanakannya dalam hidupnya sendiri!"
Diambil dari: www.tanpatembok.comSumber : "Stories of the Book of Books"
Alkitab di Seluruh Dunia: 48 Kisah Nyata
Grace W. McGavran