13/9 | Menjawab email Sidik. Kutulis antara lain:
"Tentang Patch Adams, aku udah nonton dua tahunan lalu. Ceritanya bagus (laughter is the best medicine), namun sebagai film: mediocre. Dalam memilih film, aku suka berada dalam ketegangan antara "isi yang bagus" (content) dan "karya film yang apik" (style). Ada film yang apik, namun isinya kurang sreg. Contoh yang baru saja kutonton, Once Upon a Time in America. Sebagai film, jempol. Plot zig-zagnya, ilustrasi musik, akting, dsb. Namun, kisahnya, seperti kutulis: Too elegiac, bloody, distressing. Terlalu condong ke sisi minor kehidupan. Sebaliknya, ada yang isinya bagus, namun sebagai karya film mediocre (suam-suam kuku, kelas dua). Selain Patch Adams, contoh lainnya adalah Joseph: King of Dream - prequel-nya Prince of Egypt. Soal cerita, siapa bisa menyanggah kebagusan kisah Yusuf. Sayangnya, film itu tidak berhasil mengadaptasi kisah bagus itu menjadi film yang memuaskan. Animasinya tanggung (beberapa tingkat di bawah PoE), penceritaannya 'tipis', lagu-lagunya kurang nges. Bagian yang agak lumayan adalah mimpi Yusuf yang digambarkan dalam gaya lukisan van Gogh itu. Contoh lain: The Miracle of the Card. Alasan ini pula yang membuatku kurang menyukai film-film tentang Yesus (belum ada satu pun yang masuk ke daftarku!) - jauh lebih enak dan lebih baik baca Alkitab, atau buku bagus tentang Yesus saja. Mungkin nanti The Passion-nya Mel Gibson tampil beda."
7/9 | Mulai Januari 2004, jatah topikku untuk Renungan Malam beralih dari "Dunia Pelayanan" ke "Dunia Diri." Penyegaran, dan ya, semoga kualitasnya pun kian membaik.
27/8
| Kami pindah ke Green. Wah, jadi master of this castle,
nih! 20/8 | Hendro
dan Nova ke Yogya. Hanya Hendro yang sempat singgah sebentar. Kami
dioleh-oleh New Living Translation dan CD Handel. Matur
nuwun!
19/8 |
Merombak situs ini, khususnya penampilan halaman tengah. Bukan
lagi berisi sekadar deretan judul, sekarang halaman-halaman itu
diimbuhi ilustrasi pemanis.
15/8 | Membalas email
Sasa. Kutulis antara lain:
"Minggu
ini saya berjumpa dengan Penafsir Kepedihan (Intepreter
of Maladies)-nya Jhumpa Lahiri, penulis cerpen India-Amerika
peraih Pulitzer 2000. Menakjubkan cerita-ceritanya, dan untung
pula terjemahannya apik. Kaya detil, atmosfirnya 'gulita yang
lembut' (pinjam frasa di salah satu cerpennya), mengalir tenang,
namun toh menyembulkan harapan. Seneng bisa baca cerpen kayak gini
karena biasanya dikerubuti cerpen-cerpen koran yang serba tanggung
itu. Selama ini, kalau pengin cerita yang agak 'lain', biasanya
aku berkunjung ke New Yorker, lalu download halaman
ramah-cetak Fiction. Ya, walaupun memahaminya lumayan grathul-grathul,
karena, tahulah, bahasanya 'kan nyastra. Di Indonesia jarang
ketemu cerpen yang intens begitu. Dulu ada Eyang Pram, Sri
Sumarah dan Bawuk-nya Pak Kayam, Orang-orang Bloomington-nya
Budi Darma. Sekarang beberapa penerbitan khusus (Kalam, Jurnal
Cerpen, Prosa) menawarkan cerpen yang agak lain – tapi,
nggak ada edisi online yang bisa di-download, hehe....
"
9/8 | Selesai menyusun
buku Alkitabingah Satu Setengah. Kalau buku pertama dulu
kumpulan artikel, buku ini kumpulan humor dan teka-teki, data dan
fakta, kisah dan ilustrasi serta komentar tokoh-tokoh terkenal
seputar Alkitab. Mudah-mudahan ada penerbit yang tertarik
menerbitkannya. 5/8 | Membalas email
Sidik. Kutulis antara lain:"... film paling favorit saya
adalah Beauty and the Beast. Selain kekayaan lapisan makna
seperti yang saya tulis dalam resensi,
this film speaks to me on a very personal level. Saya
mengidentifikasikan diri saya dengan Beast. Not in appearance,
of course, but I realize there is a Beast in the basement of my
heart. Dan, ya, seperti dikatakan sebuah lagu, 'It's Your
kindness that leads us to repentance o, Lord.' Ya, hanya oleh
kasih dan kebaikan Tuhanlah the Beast itu bisa berubah kembali
menjadi Prince Charming (our true identity in Christ). Aku
sadar, my personal Beast has not fully transformed yet. (Saya
sangat suka adegan yang memperlihatkan mata Beast tampak lembut,
nyaris berkaca-kaca, membiaskan rasa bersalah, ketika Belle
meratap karena tidak diizinkan berpamitan dengan ayahnya.) Tapi
aku bersyukur, 'Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang
memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya
sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.' Tuhan terus
mengerjakan perubahan itu, menembus kebebalan saya, menunjukkan
kasih-Nya, melalui Rina, anak-anak, orang-orang tercinta di
sekeliling saya. Dan juga, melalui talenta menulis. Setelah saya
renung-renungkan apa artinya menulis bagi saya, saya sampai pada
kesimpulan ini: 'Menulis adalah suatu bentuk terapi. Menulis
adalah sebuah tempat pembelajaran. Menulis bukanlah sebuah tujuan,
melainkan suatu perjalanan.' Ya, perjalanan menuju kedewasaan,
menuju 'kesempurnaan' yang dikatakan Firman Tuhan. Menulis,
meminjam sebuah puisi yang saya jadikan moto homepage saya,
adalah jejak perjalanan menuju 'pertemuan dengan darah percikan
dan luka-luka tubuhmu' – a journey of sanctification.
Semoga! Tentang 'Whoever saves one life, save the world entire' dalam Schindler's List itu – menurutmu sendiri bagaimana? Kalau menurut saya, perkataan ini berusaha menunjukkan nilai SATU orang, bahwa one man can make a difference. Betapa berharganya SATU orang ini juga diperlihatkan Yesus dalam perumpamaan tentang domba yang hilang. (Kalau perumpamaan dirham yang hilang, yang ditekankah adalah INTENSITAS misi penyelamatannya.)"
|
|
|
|
|
|