26/04
-- Kedatangan tamu istimewa dari Semarang, Slamat Sinambela.
Selama sekitar tiga jam, hanya ditemani air putih, ngobrol
ngalur-ngidul dari Pasar Senen sampai ke Bering Harjo (hehe,
loak, loak!). Sorenya,
rapat Komunitas Penjunan, merencanakan pertemuan bulan Mei,
mengundang salah satu penanggung jawab rubrik opini koran lokal (Kompas,
Kedaulatan Rakyat atau Bernas), untuk berbagi seputar
kiat menembus media massa.
22/04
-- Ke pantai, ke pantai.... Memanfaatkan liburan Maulud, kami
sekeluarga ikut tamasya ke Sundak bersama rombongan Sekolah Minggu
dan kelompok sel keluarga. Ini pertama kalinya Lesra dan Tirza
menginjak pasir pantai. Lesra ternyata belum bisa menikmati, dia
cuma mau main dengan truknya di pasir, di "zona
aman"-nya. Tirza semula juga bergidik, namun setelah dipangku,
kesampyuk ombak kecil, dan bermain-main pasir -- lama-kelamaan
nggak mau beranjak dari air! Denmas Marto sok jago meniru Fear
Factor dengan memanjat menara pengawas setinggi sekitar lima
meter. Ternyata keder juga merasakan tiupan angin di atas
sana.... Makan siangnya dengan ikan segar bakar yang dibeli di
Baron. Oleh-olehnya?
Sepucuk puisi.
16/04
-- Untuk rubrik "Film" Juni 2005, Bahana
memintaku mengulas empat film sekaligus dengan batasan maksimal
1.200 kata. Wah, latihan menahan diri, nih. Belajar untuk tidak ngoceh
ngalor-ngidul tentang apa yang kusukai -- atau tidak kusukai
-- dari sebuah film, namun memilahnya secara padat dan bernas.
Semoga....
10/04 -- Kejutan lagi! Gagal
Menjadi Garam ternyata juga dikoleksi oleh Universitas
Cornell.
09/04
-- Temanggung's connection membawaku menembus Sinar
Harapan. Melalui Mbak Ning (Mundhi Sabda Lesministyas), aku
diperkenalkan dengan Bung Palar, penanggung jawab rubrik kesaksian
iman pada edisi Sabtu koran sore itu. Oleh-oleh kesaksian dari
Semarang pun nongol pada edisi 9
April 2005. Thanks God!
04-05/04
-- Bersama Tommy, Shane dan Sam, ikut Sidang Majelis Daerah
Jateng-DIY GBI di kota lumpia, Semarang. Karena belum jadi pejabat
gereja, kami datang sebagai peninjau. Ada oleh-oleh kesaksian. Selain
itu, mumpung ada 21, kami nonton Kung
Fu Hustle di Citra 21, Simpang Lima. Sedaaapp! Juga,
ngicipi coto makassar yang rasanya Jowuu banget!
28-29/03
-- Memborong: Godlob-nya Danarto (wow, dia menyelesaikan masterpiece
ini pada awal 30-an usianya!), Tikus dan Manusia-nya John
Steinbeck (terjemahan Pramoedya Ananta Toer), Catatan Pinggir 5-nya
GM (yang sebaiknya dibaca secara comotan, bukannya berurutan),
lalu Keajaiban Kasih Karunia-nya Philip Yancey (lagi,
setelah yang dulu dipinjam entah siapa dan belum dikembalikan juga)
dan Berkomunikasi untuk Hidup-nya Quentin J. Schultze (dengan
subjudul yang panjang: "Penatalayanan Kristen dalam Komunitas
dan Media"). Lusi juga memberikan buku dari Kanisius, Yesus
Bukan Orang Kristen?, untuk diresensi. Membaca
"refleksi sinema"-nya GM dalam Caping (antara
lain untuk Crouching Tiger, Hidden Dragon, The Wind Will Carry
Us, Life is Beautiful), hm, bikin keder....
02/03
-- Ketemu lagi dengan Remy Silado, kali ini via Kembang Jepun,
kisah Keke dari Minahasa yang menjadi Keiko, geisha di
Shinju, Surabaya. Bagiku, novel-novel semacam inilah yang page
turner -- cukup dua hari kelar sudah membacanya. Dan lagi-lagi,
ternganga mengendus riset di balik kisah yang terbentang mulai
dari zaman kolonial hingga masa Orde Baru, dengan setting
Surabaya, Blitar, Jepang dan Minahasa.
22/02
-- Eit, kok kejutan lagi! Kali ini dari Pak Xavier. Waktu dia
berangkat ke Ozzi dulu, aku pesan biografinya C.S. Lewis. Konon,
ia sampai menjelajahi tujuh toko buku di benua Kanguru itu. Di
toko buku terakhir, pemiliknya sudah bilang nggak ada, tapi waktu
dicek ulang, ternyata masih ada satu eksemplar C.S. Lewis: A
Biografy (Fully Revised & Expanded Edition, London:
HarperCollins Publishers, 2002) susunan Roger Lancelyn Green &
Walter Hooper, setebal xxiii + 456 halaman. Namun, bukan di situ
kejutannya. Saat aku menanyakan rupiah yang mesti kubayar, ia malah memberikan buku itu sebagai oleh-oleh (plus
topi dan tas lagi!). Walah, walah, matur nuwun, matur nuwun
-- kado tak terduga itu seperti doa dan dorongan semangat agar
buku C.S. Lewisku cepat kelar!
19/02
-- Kejutan dari internet. Saat searching di Google, kutemukan
buku Gagal Menjadi Garam
tercantum dalam daftar koleksi perpustakaan Universitas
Ohio. Call Number-nya: HN39.I5 W53 2002x (HN kode
untuk "Social history"). Weleh, weleh, sopo yo sing nggowo bukene cah
Jogja kuwi mrono?
18/02
-- Dapat kejutan ganda dari PBMR ANDI:
11/02
-- Penyuntingan buku untuk korban tsunami sudah selesai Senin
(07/02), namun baru tadi bisa selesai "Kata
Pengantar"-nya. Senin aku juga sempat jalan-jalan ke Gramed
Mal, membuka-buka kumpulan puisinya Remy Silado yang setebal
bantal itu, dan juga antologi dwibahasanya Dorothea Rosa Herliany.
Sampai pagi ini, aku "kebanjiran" delapan puisi. Whoa! The
Master Puppeteer sudah kelar. Mungkin harus kuulang baca sebab
latar budayanya belum sepenuhnya terpahami. Sedangkan Kisah Pi,
setelah beberapa halaman, alamak, menyedot layaknya petualangan
Harry Potter saja: sekarang sudah lewat 25 halaman! Yang
kukagumi dari pengarang kedua buku itu adalah ketekunan menggali
ide, daya imajinasi dan kecakapan penceritaan yang penuh dengan
detil. Katherina Paterson menghabiskan waktu tiga bulan riset di
Jepang, selain menyusuri berbagai sumber pustaka. Yann Martel tak
kalah "gila" -- bisa dibaca dari bab pendahuluannya.
Kesimpulannya, ini dia kegigihan menulis itu! Di
Indonesia yang risetnya hebat masih bisa dihitung dengan jari,
seperti Pramoedya Ananta Toer dan Remy Silado. Ayu Utami bisa jadi.
Raudal Tanjung Banua, untuk cerpennya yang memenangkan hadiah
Horison, riset enam bulan di Pabrik Gula Madukismo. Hm, mestinya
fiksi memang tak cuma mengandalkan imajinasi.... Dan
lagi-lagi: Kapan, Mas Marto, novel pertamamu kelar? Piye
riset-e?
Eh, kemarin pas buntu ide, aku corat-coret ngalor
ngidul seperti ini (ojo digeguyu, lho!):
Kopong
Pernahkah kau suatu hari mengucur dengan empat puisi lantas hari berikutnya
"Blank!" kopong melompong? Kau resah, akankah nasibmu sebagai penulis hanya sampai di sini dan kau mesti segera pensiun dini, sedangkan kau tak tahu mesti berbuat apa kalau mesti mengucapkan selamat tinggal kepada
keyboard, mouse, CPU dan monitor. Kau bertanya-tanya, adakah ilham itu mesti ditunggu-tunggu seperti perawan tua menunggu lamaran yang tak kunjung-kunjung datang, atau dikejar-kejar seperti polisi menghadapi pelaku peledakan bom dari Bali sampai Kuningan. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, bercumbu pun
tak hendak.
Sudahlah. Tak perlu berlebihan. Tak perlu berkeringat dingin. Kau berada di jalur yang benar.
Orang yang betah ngomong terus tanpa henti adalah penyebar kabar burung alias tukang gosip. Ia bisa berceloteh lima jam tanpa putus tentang jerawat yang mendadak muncul di punuk Cornelia Agatha, yang konon dicupliknya dari sebuah milis yang paling banyak anggotanya di Indonesia sehingga sehari berlangganan
inbox-mu langsung bouncing dan kau mesti bersusah payah men-delete satu per satu kabar-kabar dari berbagai macam orang dengan berbagai macam sesinglon yang belum tentu kaukenal kalau kebetulan berpapasan di Maliboro. Ya kan? Orang seperti kamu jelas tidak tahu diuntung kalau berandai-andai menjadi Pramoedya (apakah nama itu muncul dalam daftar nama seleb yang tersimpan rapi di laci otakmu?) berikutnya; tapi aku akan cekikikan kalau kamu berhasil mengikuti jejak Si Mulut Menor. Profisiat!
Seorang penulis -- dan penyair jelas termasuk di dalamnya -- konon justru memerlukan saat-saat kopong itu, hampa, hening,
suwung. Seperti lembu memamah-biak -- mengunyah, menelan dan mencerna kembali jatah makanannya -- seorang penulis pun mestinya memiliki lambung ganda -- dan kau jelas langsung tahu bahwa ini hanyalah sebuah metafora. Ia tidak asal menelan berita. Ia tidak mencerna satu kali saja sebuah wacana. Ia memanfaatkan waktu-waktu kopong untuk mencerna kembali, merenungkan lagi, membongkar dan menggali bahan, mengejar narasumber, cek dan cek ulang, tulis dan tulis ulang, jajal dan jajal lagi -- kalaupun tidak, ia menikmati waktu kopong itu sebagai masa rehat yang mewah dan mulai menyetel kartun Winnie
the Pooh kesukaannya (ia paling jatuh cinta pada Eeyore!). Pokoknya, ia tidak menyerah terhadap waktu kopong. Ia tidak membiarkan kekopongan itu benar-benar melompong. Ia berpegang teguh pada sebuah slogan yang gigih: Kekopongan adalah bagian dari proses kreatif! Kekopongan adalah penciptaan yang tertunda!
Itu kalau kau ingin menghasilkan tulisan sesegar dan sepenuh gizi susu murni, senikmat daging yang tidak terjangkit antraks. Kalaupun ada buangannya, tahi-tahi itu -- bukankah itu rabuk yang dicari-cari oleh mereka yang kepengin menyuburkan ladang sayuran organik dan kebun buah-buahan organik demi pengharapan akan sebuah kehidupan yang lebih sehat sentosa di tengah zaman serba polusi karbondioksida, pestisida, dll. ini? Produk utama dan produk sampingannya sama-sama bernilai ekonomis.
Nah, bagaimana? Apakah kau sudah terhibur? Apakah kau sudah siap lagi mencoret-coretkan sepucuk puisi yang dengan rendah hati menyadari bahwa "kerja belum selesai, belum apa-apa"; menggubah selarik esei yang bersinar-sinar laksana mutiara sebab merupakan paduan setitik pasir penderitaan dan bertahun-tahun air matamu; menyusun novel alit yang layak dibacakan di tepi ranjang seorang tercinta yang tengah sekarat? Kau merasa dadamu menyimpan segenap semesta. Kau merasa siap untuk bercerita kepada sejuta massa. Kau bergetar membayangkan tanganmu akan pegal mesti menandatangani buku-bukumu yang laris manis tanjung kimpul. Sekarang kau adalah narasumber. Sekarang kau tempat penulis-penulis pemula mengorek-ngorek kutipan gagah.
CNN pun meluangkan waktu untuk mewawancaraimu akibat pengaruh tulisan-tulisanmu pada arah perkembangan demokrasi republik ini. Kau begitu sibuk. Waktumu begitu padat. Tak ada sepotong kopong pun bisa menyela.
Lantas, di sudut hatimu, sebuah kesuwungan mulai melebar, melebar, melebar…. ***
Jogja, 10022005
|
11-12/01
-- Ke Salatiga, sekeluarga bareng Ani, Esta, Isti dan Kemal.
Menengok Vava dan Mas Heru yang Desember lalu mendapatkan momongan
pertama, seorang putri cantik berambut tebal ikal (panggilannya
Ela). Dari sana, kami sekeluarga
diturunkan di Ambarawa, tempat Mas Bien-Mbak Anna. Kami menginap
semalam. Paginya sempat dolan ke
Monumen Palagan Ambarawa, naik andong pp. Lesra paling semangat
nonton dua truk kuno, Dodge dan Chevrolet, yang rodanya masih bisa
diputar. Ada juga lokomotif dan gerbangnya serta tank. Sayang
benda-benda itu terpajang tanpa naungan atap, dibiarkan kena panas
dan hujan. Hanya Cocor Merah yang beratap. Pesawat tempur jenis
Mustang P-51 inilah yang konon tertembak dalam pertempuran heroik
15 Desember 1945 itu. Bangkainya diperkirakan masih ada di Rawa
Pening. Sebelum pulang, mampir ke Museum Isdiman yang baru dibuka
(kami datang kepagian). Penerangannya redup dan ruangan terkesan
kotor, sehingga benda-benda pajangan (senjata, pakaian, dsb.)
tidak dapat dinikmati dengan jelas.
Sorenya, kami pulang diantar sopir, dengan
oleh-oleh antara lain: durian.... 06/01
-- Mengirimkan Menyerap Kejahatan (prosa),
Rumah dan
Slow Motion in the Rain (puisi) ke Gradiens, untuk buku
antologi yang hasilnya akan disumbangkan bagi korban bencana
tsunami. Semoga laik muat! (Eit, langsung dibalas Pak Khun,
menagih kesediaanku untuk menjadi editor. Wa!)
Bila berminat, Anda dapat mengirimkan naskah untuk projek ini:
NAMA PROJEK: Penerbitan buku yang royalti pengarangnya akan disumbangkan ke korban Tsunami. Royalti pengarang sebesar 11% (nett) dan penerbit akan menambah 1,5%, sehingga total royalti yang disumbangkan adalah 12,5% dari harga jual.
TOPIK BESAR: Nilai-nilai kemanusiaan yang universal, persaudaraan/solidaritas, keteguhan dan kekuatan dalam melewati penderitaan, dst.
JENIS BUKU: Umum, tidak membawa bendera agama.
JENIS TULISAN: Puisi dan prosa.
KONDISI PUISI: Tidak lebih dari 10
bait (jangan panjang-panjang, perhatikan Format).
KONDISI PROSA: Refleksi, perenungan, yang tak lebih dari 3.000 characters (with spaces).
FORMAT: 11 x 18 cm, maks. 120 halaman.
PENERBIT: Gradien Books, Yogyakarta.
JUMLAH CETAK: 3.000 - 5.000 eks.
TENGGAT NASKAH: 20 Januari 2005.
JADUAL TERBIT: 20 Februari 2005.
PENCATUMAN DI COVER BUKU: "Royalti sebesar 12,5% dari harga jual buku ini akan disumbangkan untuk korban Tsunami".
PENGIRIMAN NASKAH:
- Via email dengan subjek: [Tsunami] - (judul karangan)
- Alamat email: [email protected] |
03/01
-- Kegiatanku hari ini:
- Kirim Kauhadirkan Aku di Sini (kumpulan
puisi) ke IndonesiaTera (Pe-de banget. Kubilang
sama Onoy: Ini kalau ditolak nggak malu-maluin, kalau diterima,
wah....)
- Ikut "Natal Pejabat Gereja Bethel
Indonesia BPW DIY". (Kalau Lewis menyebut dirinya
most-reluctant convert, aku ini kayaknya most-reluctant
calon pejabat. Setelah gagal meraih SPd. dari IKIP, aku emoh
mengembel-embeli namaku dengan Pdp., Pdm., Pdt. atau gelar apa
saja.)
- Ambil honor di Bahana dan
menawarkan Tukang Becak di Bawah Langit Kota (kumpulan
cerpen bareng Sidik Nugroho) ke PBMR ANDI. What a timing!
Semula aku tak berharap banyak karena selama ini ANDI 'alergi'
dengan fiksi. Jebule ANDI sekarang lagi melirik pasar teen-lit yang
tengah gemuruh itu. Sudah ada empat naskah lain di samping naskah
kami ini. Semoga (3X) kali ini lolos. Soal laku apa tidak 'kan
urusan penerbit, hehe.... (Sidik belum kuberitahu. Rencananya
mau kuberi surprise kalau sudah di-OK. Hei, Mas
Wrekso, awas, lho,
sampeyan kalau baca jurnal ini -- kujitak!)
- Sewa Bandit Queen (pilem India,
tapi kayaknya nggak nehi-nehi), Leila (pilem Iran)
dan Malcom X (Amrik tentu). Lalu, beli Kisah Pi (Yann
Martel, pemenang The Man Booker Prize 2002, terjemahan Tanti
Lesmana) dan The Master Puppeteer (Katherine Paterson,
pemenang National Book Award 1977, terjemahan Sapardi Djoko
Damono). Penasaran, kayak apa sih buku-buku yang menang
penghargaan itu. Semoga novel pertamaku nanti.... (Novel? Kapan
sampeyan memaksa diri untuk menulis novel? KAPAN?!)
01/01
-- Selamat tahun baru!
Pagi ini cerah sekali. It's the brightest in these last few
days! Sepertinya alam ikut berbisik, "There is new hope for
this new year!" Bangsa
ini bersama-sama melewati akhir tahun yang berat.
Bencana nasional melanda Aceh-Sumut
hanya beberapa minggu ketika duka Alor dan Nabire belum mereda.
Presiden mencanangkan tahun 2005 sebagai tahun solidaritas dan
kebersamaan untuk membangun kembali Indonesia. Headline Kompas
edisi khusus mencatat: "Banda Aceh Menggeliat".
Aku sendiri menghabiskan liburan akhir tahun dengan menyusun
Refleksi Sinema: Merenung di Depan Film, kumpulan tulisan
tentang film sepanjang dua-tiga tahun terakhir ini. (Ini gara-gara
terpacu oleh kumpulan artikel dan kumpulan renungan yang telah
kelar lebih dulu.) Semoga ada penerbit yang berminat. Aku juga
akan mencoba mencari penerbit lain untuk kumpulan puisi dan
kumpulan cerpen yang telah ditolak oleh tiga penerbit (Baru juga
tiga kali. Sylvester Stallone konon pernah ditolak 1.500 kali
sebelum dapat peran.)
Tahun ini, aku punya "utang" pada
PBMR ANDI
untuk melanjutkan serial "Surat Seorang Sahabat". Judul pertamanya,
Diciptakan dalam Sebuah Tarian
sudah dalam proses cetak dan semoga awal tahun ini beredar di
pasar. Entah, aku akan dimampukan menyelesaikan berapa judul lagi
tahun ini (rencananya sih sampai 12 judul!). Ada lagi satu buku
yang bagiku cukup istimewa, yang bahan-bahannya terus kukumpulkan.
Semoga bisa rampung pada waktu yang tepat!
Yah, aku berharap tahun 2005 ini bisa lebih banyak bergerak dalam
penulisan, tidak seperti tahun 2004 yang masih "dikuasai" oleh
penerjemahan. Semoga!
Dan, FYI, untuk query puisi Aceh di Google, situs ini muncul teratas, dan hit-nya kini melewati 3.600....
|