Home | Buku

Berjumpa dengan Jhumpa Lahiri

(dan catatan alit untuk cerpen Indonesia)

Jhumpa Lahiri. Penafsir Kepedihan (a.b. Suparno). Jakarta: akubaca, 2003. Tebal: 216 halaman.

Membaca cerpen-cerpen dalam kumpulan ini rasanya meneguk penawar kerinduan. Belakangan ini, kalau ingin mengelakkan kerubutan cerpen-cerpen koran, saya berkunjung ke The New Yorker, lalu men-download versi ramah-cetak halaman Fiction situs tersebut. Meskipun dengan pemahaman yang lumayan grathul-grathul, ada kenikmatan tersendiri menelisik cerpen-cerpen yang tampak digarap secara intensif itu. Dan sekaligus menyulut rasa kangen ingin menikmati cerpen serupa kreasi anak negeri -- yang belakangan ini tak kunjung ketemu-ketemu meskipun langit sastra Indonesia begitu marak dengan cerpen.

Dengan hadirnya terjemahan yang bagus ini, separuh kerinduan itu lumayan terobati.

Cerpen-cerpen Jhumpa Lahiri, mengutip Yusi Pareanom dalam "Pengantar Editor", menampilkan "keseharian yang mengalir tenang, kaya detil, tapi berliuk di bagian akhir." Sebagai warga Amerika Serikat keturunan Bengali, dalam sebagian besar cerpennya Lahiri melukiskan "keterombang-ambingan, keterasingan, kerinduan, pula frustasi" etnis India imigran di AS terhadap jazirah India. Pengakuannya yang dijadikan "Penutup" antologi ini lalu terasa penting dan berharga.

Sembilan cerpen dalam antologi ini memaparkan tokoh-tokohnya secara bulat dan unik, penuh detil, sehingga mudah dibedakan satu sama lain. Namun begitu, terlihat adanya benang merah yang sama: kegamangan dalam berkomunikasi. Atmosfirnya senada pula: "gulita yang lembut" (meminjam sebuah frasa dalam salah satu cerpennya). Kegulitaan yang toh, dengan akhir yang berliuk tadi, menyembulkan harapan. Kegamangan Shoba dan Shukumar diakhiri dengan tangis yang, bagi saya, membebaskan. Lilia menggumamkan doa-doanya bagi Tuan Pirzada dengan mengulum gula-gula. Tuan Kapasi mahir menafsirkan bahasa, namun gagap ketika mesti menafsirkan kemelut rumah tangga -- dan karenanya memutuskan untuk melepaskan fantasi sensualnya terhadap Nyonya Das. Tokoh "aku" dalam "Benua Ketiga dan Yang Terakhir" berupaya membangun jembatan hubungan baik dengan Ny. Croft, induk semangnya, maupun Mala, isterinya. Dalam pertemuan antara mereka bertiga, komentar Ny. Croft mengeratkan hubungan si aku dengan Mala. Bahkan "Durwan Sejati", yang tidak berakhir bahagia pun, tetap menyembulkan harapan. Saya yakin, dengan gaya dan wataknya yang khas itu, Boori Ma entah bagaimana akan mampu bertahan hidup.

Yang paling memikat bagi saya adalah cerpen "Seksi", memaparkan kisah perselingkuhan paralel. Perselingkuhan tentulah beratmosfir gulita, namun dengan kelembutan seorang juru cerita yang fasih Lahiri berhasil mengelak untuk berkhotbah. Dengan demikian, "pesan" kisah ini justru mampu menyodok secara lebih tajam.

Saya benar-benar terpesona dengan penyelesaiannya: pertemuan antara Miranda (kekasih gelap Devajit Mitra) dan Rohin (anak sepupu teman Miranda; ayahnya berselingkuh dengan perempuan yang ditemuinya di pesawat). Perhatikan bagaimana Lahiri menggarap prabayang yang meyakinkan: kesukaan Rohin menghapalkan ibukota negara-negara sedunia mengingatkan Miranda pada pesiarnya bersama Dev ke Mapparium. Kehadiran Rohin lalu terasa bukan sebagai sebuah kebetulan, melainkan suatu uluran anugerah: sebuah kesempatan kedua bagi Miranda untuk menggugat dirinya sendiri, merenungkan kembali nilai-nilai dan jalan hidupnya. Sangat menyentuh.

***

Di atas saya katakan bahwa kerinduan saya baru separuh terobati. Bagian yang sudah terobati adalah bisa menikmati cerpen bagus dalam bahasa yang enak dibaca. Untuk itu, pujian khusus harus diberikan untuk penerjemahan kumpulan cerpen ini, yang tergarap mulus dan apik.

Di sisi lain, penerjemahan bagus itu sekali lagi menunjukkan bahwa bahasa Indonesia lumayan kaya dan memadai untuk melukiskan detil-detil yang bernuansa. Tinggal bagaimana kegigihan para penulis untuk menggalinya.

Bagian kerinduan yang masih menganga adalah keinginan untuk melihat cerpen-cerpen serupa karya bangsa sendiri. Setelah membaca Penafsir Kepedihan, saya diingatkan pada Orang-orang Bloomington-nya Budi Darma. Di bagian pengantar, Budi Darma menggugat pemikiran keliru seputar cerpen yang menghinggapi baik penulis maupun pembaca cerpen kita: bahwa cerpen adalah karya sastra yang dapat digarap dalam waktu singkat dan kemudian dinikmati secara cepat pula sebagai pembunuh waktu luang. Dengan antologinya itu, ia menampik anggapan tersebut dan menyodorkan cerpen-cerpen dengan intensitas yang mengesankan.

Hal itu sekaligus menjadi nostalgia yang membuat ngungun: betapa cerpen-cerpen semacam itu sudah jarang dilahirkan di jagat sastra kita -- bahkan dari tangan Budi Darma sendiri (sebagaimana Umar Kayam tidak melahirkan Sri Sumarah dan Bawuk lagi). Kumpulan cerpen pilihan Kompas 2003, misalnya, disajikan dengan sinyalemen bahwa proses kreatif para penulis cerpen dalam kumpulan tersebut sudah berhenti, sekadar menjadi mesin atau tukang yang bekerja memenuhi target, akibatnya kata atau ungkapan tak lagi cerdas, tak lagi orisinal. Itu untuk cerpen-cerpen yang tergolong "pilihan"!

Karenanya, kegalauan Binhad Nurrohmat (Kompas, 16 Agustus 2003) patut digarisbawahi. Akankah para cerpenis kita terus "bandel" menempuh kerja kepenulisannya meski ada keteledoran di sana-sini serta tak ada upaya dan mungkin keberanian mengkritik diri sendiri? Adakah mereka sudah puas terninabobokan oleh gegap-gempita cerpen koran dan enggan belajar lagi? Kita tunggu! *** (19/8)

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1