LIPUTAN UTAMA

JURUSAN PERPUSTAKAAN DAN PERPUSTAKAAN JURUSAN 

(Sebuah otokritik)

oleh: Ipung al Jawi (JIP'96)

Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Dalam perjalanannya, jurusan ini telah melahirkan para pustakawan yang entah sudah berapa jumlahnya. Pendidikan perpustakaan di Indonesia, mulai resmi berdiri pada tanggal 20 Oktober 1952. Tanggal ini pula yang menjadikan pendidikan perpustakaan tersebut sebagai embrio berdirinya JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN FSUI.
Tahun depan, tepatnya 20 Oktober 2002, adalah hari dimana JIP FSUI genap berumur 50 tahun. Dalam tradisi ulang tahun, umur tersebut dapat dikatakan sebagai ulang tahun emas. Dengan demikian, berarti, dengan keberadaannya kini JIP FSUI dinilai mampu menjaga, mempertahankan, bahkan mengembangkan eksistensi dirinya sebagai sebuah lembaga pendidikan dibidang kepustakawanan.

Para mahasiswa jurusan ini sangat beragam, baik kultur, etnik, maupun karakteristik pribadinya. Dengan demikian para lulusannyanya pun beragam aktivitasnya pasca berpendidikan dari JIP FSUI. Ada yang meneruskan perjuangan sebagai pendidik sampai ada pendidik yang mencapai gelar profesor; ada yang menjadi pustakawan untuk lembaga pemerintah, lembaga swasta, organisasi dunia--pada Bank Dunia atau Pusat Informasi PBB di Jakarta misalnya--bahkan ada yang memilih beraktivitas dijalur jurnalistik, yakni menjadi jurnalis ataupun web contant (reporter) bagi instansi yang bergerak dibidang teknologi informasi, semisal portal berita. Kendati demikian bukan berarti pihak penyelenggara pendidikan (JIP FSUI) sudah merasa mapan dalam pengajaran. Artinya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar para lulusannya mampu menyesuiakan diri bahkan bersaing dengan kondisi zamannya. Hal yang harus dibenahi, mungkin sudah disadari oleh para penyelenggaranya, antara lain persoalan kurikulum dan fasilitas, seperti perpustakaan sebagai laboratorium belajar misalnya. Dan, mungkin yang tak kalah menarik disini adalah seni mengajar dari pihak penyelenggaranya. Artinya untuk apa kurikulum yang canggih dan laboratorium yang memadai seperti perpustakaan dan laboraorium komputer bila si mahasiswa merasa tidak enjoy dalam belajar, dan bahkan apa yang diajarkan cenderung tidak masuk ke benak mahasiswa. 

Hasilnya, usai perkuliahan, apa yang telah diajarkan menjadi terlupakan oleh sebab seni mengajar yang tidak merangsang pertumbuhan otak dalam kerangka memahami seluk beluk ilmu perpustakaan dan kepustakawanan. Sampai disini, persoalan kurikulum sudah dibahas oleh kalangan penyelenggara JIP FSUI beberapa waktu lalu. Sedangkan persoalan seni mengajar, hal tersebut merupakan hak prerogatif sang pengajar sendiri. Tak baik memang bila langsung menunjuk hidung pengajar mana yang mesti memperbaiki seni pengajarannya. Tapi penulis tak kuasa untuk berkata bahwa pengajar tersebut tak terkecuali, bahkan terutama, adalah Bapak Karmidi (yang menjadikan penulis ingin seperti Ontoseno, ksatria yang pemberani) dan Ibu Irma (yang penulis ingat dan dapat diamalkan adalah kita harus selalu taat asas). Penunjukan ini memang terlampau subyektif dan terasa tidak sopan. Tapi justru disinilah seninya bahwa untuk mengatakan hal tersebut memerlukan keberanian tersendiri. Artinya seni pengajaran dari para pengajar selama ini mungkin hanya kita bicarakan dibelakang sebagai bahan gunjingan atau tertawaan. Sedang untuk mengatakan langsung masih ada keengganan pada diri pribadi. Dan hanya keberanian-lah yang mampu membawa kita untuk berkata jujur tentang keadaan tersebut. 
Kendati demikian bukan berarti berbicara jujur tentang hal diatas tanpa dilandasi rasa hornat. 

Justru sebaliknya, hal tersebut perlu diutarakan dengan maksud untuk memperbaiki fenomena belajar mengajar termasuk citra para pengajar kita, baik dihadapan mahasiswanya maupun pihak luar JIP FSUI; yang terutama mengenal pengajar JIP FSUI melalui cerita para mahasiswa JIP FSUI. Bahkan cerita para mahasiswa--yang dalam hal ini bercerita apa adanya perihal pengajarnya--seringkali memberi imej pada pihak luar bahwa para pengajar di JIP FSUI adalah killer (sebutan untuk pengajar yang galak dan suka menjatuhkan nilai mahasiswa secara subyektif). Untuk persoalan "perpustakaan jurusan" merupakan hal mendesak yang harus dibicarakan. Sebab selama ini perpustakaan jurusan di JIP FSUI seringkali tidak dapat menjangkau "peningkatan kebutuhan" mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Dan mungkin dilain hari harus ada penelitian yang seksama perihal tersebut.

Perpustakaan Jurusan : sebuah paradoks

Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menegakkan panji-panji kepustakawanan dimanapu kita berada. Perpustakaan sebagai suatu wadah yang mengoleksi pengetahuan memang lebih diperuntukkan bagi yang membutuhkan informasi, komunikasi, bahkan untuk rekreasi sekalipun dalam berbagai format, semisal buku, jurnal ataupun mikrofilm.
Tapi ibarat pepatah lama yang mengatakan: "semut diseberang lautan terlihat, gajah didepan pelupuk mata tak tampak", agaknya memang selalu terjadi dimanapun, kapanpun dan dalam kesempatan apapun. Dan, disini, di JIP FSUI, hal tersebut jelas tampak dalam pandangan kita persoalannya.

Adalah sebuah paradoks bahwa yang selama ini kita mendengungkan bahwa perpustakaan sangat perlu ditumbuhkembangkan disetiap kehidupan masyarakat, tapi justru di JIP FSUI perpustakaan jurusannya seakan terbengkalai walau ada yang mengelolanya. Hal yang sederhana saja, dalam perkuliahan kita belajar database untuk katalog online (baca: OPAC) dengan Inmagic dan CDS/ISIS. Sedangkan apa yang terpampang diperpustakaan jurusan menggunakan program NCIbookman yang jelas tampilannya lebih buruk dari CDS/ISIS bahkan Inmagic sekalipun. Memang disatu sisi penggunaan software buatan ITB tersebut, minimal, membukakan mata kita bahwa Indonesia mampu membuat database katalog sendiri. Dan, minimal kita menjadi tahu bahwa program untuk katalog online (baca: OPAC) tak hanya Inmagic, CDS/ISIS, atau menggunakan Ms. Access saja, tapi ada yang lain bahkan produk dalam negeri. Tapi apa yang terjadi di perpustakaan tersebut fenomenanya menjadi lain. Artinya sebagaian mahasiswa, menurut pengamatan penulis, menjadi tidak user friendly dalam menggunakan NCIbookman. Bahkan cenderung melelahkan dalam membaca hasil telusur atas suatu informasi yang dibutuhkan.

Pemecahan sederhana untuk persoalan ini adalah Katalog yang menggunakan program NCIbookman tetap dibiarkan online dan digunakan bagi yang mau menggunakan tapi hanya dipasang pada satu unit komputer saja (tidak dipasang LAN seperti saat ini, yang menggunakan dua unit komputer). Kemudian harus dipasang OPAC yang menggunakan program CDS/ISIS. Manfaat yang dapat dipetik juga sederhana. Di satu sisi mahasiswa dapat membandingkan keunggulan dan kelemahan kedua pragram tersebut, disisi yang lain mahasiswa dapat praktek langsung tentang CDS/ISIS, baik untuk data entri maupun sekedar telusur. Hal lain yang dapat diutarakan perihal buruknya pengelolaan perpustakaan kita antara lain : Pertama, Dokumen lama. Memang dalam tradisi perpustakaan yang memiliki ruang tidak luas ada kebijakan untuk "membuang" dokumen lama yang sudah tak terpakai oleh sebab sudah ada terbitan terbaru atas subyek yang sejenis. Kendati demikian agaknya perlu diberi pengertian pada staf perpustakaan yang ada kini tentang dokumen mana yang dapat dibuang dan mana yang layak dipertahankan. 

Mengapa? Sebab dahulu pernah seorang mahasiswi JIP menemukan beberapa dokumen yang terbilang kuno tapi penting bahkan benilai historis bagi pendidikan kita yang dipersiapkan untuk dibuang oleh staf perpustakaan kita. Beberapa dokumen yang bernilai historis tersebut antara lain laporan penelitian A.G.W. Dunningham, konsultan Unesco, (1963&1969) dan laporan penelitian Harrison Bryan, dari Universitas Sidney (1972). Kemudian, mengetahui bahwa dokumen tersebut akan dibuang maka mahasiswi JIP'94 tersebut "menyelamatkannya". Di kemudian hari, ternyata naskah tersebut sangat berguna bagi kegiatan penyusunan skripsi beberapa mahasiswa JIP. Dan, sampai kini dokumen tersebut telah beberapa kali berpindah tangan dari mahasiswa satu ke mahasiswa lainnya, untuk keperluan skripsi tentunya. Apa yang dilakukan oleh staf perpustakaan kita, mengingat kejadian yang pernah terjadi, agaknya perlu perhatian serius. Artinya para staf tersebut perlu diberi pengertian tentang dokumen mana yang berhak untuk dipertahankan dan dokumen mana yang sudah tak diperlukan hingga dapat dibuang. 

Bila para staf tak dapat mengerti maka tindakan tegas perlu dilakukan. Artinya saat para staf mensortir buku yang akan dibuang maka sudah menjadi kewajiban bagi para pengambil keputusan atas perpustakaan tersebut untuk mendampingi mereka.
Kedua, Buku terbaru. Perpustakaan kita nyaris tak memiliki buku terbitan terbaru yang terkait dengan bidang kita yang diharapkan mampu menambah wawasan kepustakawanan kita. Bila ada terbitan terbaru itupun jumlahnya dapat dihitung dengan jari, dan itupun berupa sumbangan, dan itupun diletakkan di rak ruang staf perpustakaan, dan itupun hanya diperuntukkan untuk keperluan pengajar. Mengapa hanya untuk pengajar? Tidak ada penjelasan resmi dari pihak staf yang mengatakan demikian. Artinya dahulu pernah ditanyakan oleh seorang kawan: "bolehkah pinjam buku yang ada diruangan itu (ruang staf perpustakaan dan pengajar di lantai dua Gd. VIII, terpisah dengan ruang koleksi untuk belajar-mengajar, pen.)", kata seorang teman. 

Jawaban yang diberikan cukup aneh bahwa buku yang berada diruang tersebut hanya diperlukan bagi pengajar bukan mahasiswa. Dan, sampai kini tiada penjelasan mengapa mahasiswa tidak boleh meminjam buku yang lebih berarti bagi pendidikannya. 
Literatur yang terkait erat dengan perkuliahan juga masih menggunakan literatur lama. Literatur perkuliahan Sarana Bibliografi dan Bahan Rujukan Umum misalnya. Padahal untuk buku rujukan sebagai bahan ajar seperti Encyclopedia Library and Information Science, karya Harrold, kini telah terbit edisi terbaru tahun 2000 (Perpustakaan FSUI memiliki bukunya). Sedangkan karya Harrold tersebut, yang dipakai sebagai bahan ajar masih terbitan terdahulu. Lagipula perkembangan teknologi informasi dan komunikasi lebih mampu menjembatani kebutuhan pengguna jasa informasi saat ini. Artinya, mereka lebih banyak menggunakan internet sebagai rujukan, bahkan lebih banyak yang mengunjungi digital library daripada perpustakaan secara fisik. Memang ada sisi baik bila kita masih menggunakan bahan ajar edisi tempo dulu, minimal kita dapat mengetahui latar perkembangan suatu pengetahuan. 

Tapi persoalan menjadi lain ketika era teknologi tiba. Bukankah lebih baik lagi jika silabusnya dirubah. Seperti suatu web site dapat pula dijadikan sebagai bahan rujukan. Kemudian menjadikan CD ROM sebagai salah satu rujukan yang juga diajarkan bagaimana cara menggunakanya. Dan yang mungkin juga lebih penting bahwa bahan ajarnya menggunakan buku sejenis yang lebih current. Demikian dengan Kuliah Klasifikasi DDC. Pihak penyelenggara kuliah tersebut memegang DDC edisi 21. Tapi hingga kini yang diajarkan masih menggunakan DDC edisi 20. Padahal untuk beberapa instansi perpustakaan sudah ada yang menggunakan DDC edisi 20. Memang perbandingan isi DDC edisi 20 & 21 tiada yang prinsipil. Artinya hanya berupa penambahan saja disana sini. Kendati demikian untuk pengembangan wawasan mahasiswa perlu kiranya diperkenalkan tentang pengembangan DDC edisi 21. Memang DDC edisi 21 yang dimiliki penyelenggara JIP FSUI hanya satu. Tapi bukankah ada dana DPKP yang dapat dipergunakan untuk menggandakannya demi kepentingan pendidikan. Atau paling tidak kita bisa meminta sumbangan alumni untuk kepentingan almamaternya.

Ketiga, Koleksi majalah dan jurnal. Memang untuk pengadaan majalah, terlebih jurnal memerlukan dana yang tidak sedikit untuk melanggannya. Kendati demikian, untuk hal tersebut, minimal, kita tidak berkecil hati. Sebab perpustakaan kita mendapat sumbangan beberapa judul majalah dari para alumninya walaupun majalah yang terkait langsung dengan bidang kita tidak ada. Sebut saja jurnal budaya Aikon, majalah Gatra, majalah Hidayatullah, majalah Contact, dan beberapa judul lain. Namun, hal yang amat disayangkan adalah penataan majalah yang semrawut di rak koleksinya. Tidak seperti di UPT Perpustakaan Pusat UI. Di sana koleksi majalah dan jurnalnya diletakan ditempatnya sesuai dengan abjad judul majalah atau jurnal tersebut hingga terlihat rapi dan mudah mencarinya karena antara edisi sebelumnya dengan edisi berikut terkumpul tidak terpisah. Di Perpustakaan FSUI saja, koleksi majalah dan jurnalnya diletakkan disatu tempat khusus untuk satu judul bahkan diberi penanda khusus berupa tulisan judul majalahnya di atas majalah bersangkutan diletakkan. Berbeda dengan koleksi majalah kita. Untuk membaca atau sekedar melihat Contact Magazine saja tak semudah yang kita bayangkan. Misalnya Contact edisi satu dengan lainnya terpisah-pisah letaknya. Bahkan terkadang edisi sebelumnya ada di rak display sedang edisi terbarunya ada dimeja staf perpustakaan, demikian sebaliknya. Intinya susunan koleksi majalah berantakan, tidak terawat, dan tidak terorganisir. 

Pernah penulis dan beberapa kawan, suatu kali melihat majalah American Libraries (terbitan 1998 dalam beberapa edisi), dan majalah Computer Libraries (terbitan 1995 dan 1997 dalam beberapa edisi) dalam kondisi terikat tali rapia. Beberapa waktu kemudian ketika penulis hendak mencarinya sebagai bahan literatur perkuliahan kedua judul majalah tersebut sudah tidak ada diperpustakaan kita. Ketika dikonfirmasi penulis hanya diminta untuk mencari sendiri majalah tersebut diantara majalah lain dirak koleksi oleh staf perpustakaan. Hasilnya nihil, tetap saja bahan yang bersangkutan tidak diketemukan. Lalu kemana majalah yang sudah diikat tersebut berada? Bukankah informasinya masih terbilang current untuk terbitan majalah diatas tahun 1995 dimana waktu itu kita baru memasuki pertengahan tahun 1999?

Keempat, Katalog yang up to date? Seringkali penulis dan beberapa kawan yang tidak menemukan literatur yang dicari. Artinya entri yang tercantum dalam katalog tak diketemukan fisik dokumennya di rak koleksi. Misalnya dokumen tentang laporan penelitian yang disusun oleh Selo Soemardjan sebagai persiapan pendirian Perpustakaan Nasional RI. Sudah dua semester terakhir penulis tak menemukan dokumennya, yang ada hanya entrinya dikatalog, dan ini tidak mengada-ada. Sebab beberapa teman juga seringkali mengalami hal yang sejenis dengan literatur berbeda tentunya.
Memang patut disayangkan bahwa literatur yang berguna bagi pendidikan hilang dicuri oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Walaupun kita tak boleh menyalahkan keteledoran staf perpustakaan hingga banyak literatur yang diambil oleh oknum mahasiswa tapi bukan berarti staf perpustakaan lepas tangan begitu saja. Menghadapi keadaan demikian paling tidak yang dapat dilakukan staf perpustakaan antara lain lebih mengawasi perpustakaan kita dari tangan-tangan jahil; kedua, memberi teguran keras pada mahasiswa yang belum mengembalikan buku yang dipinjam hingga berbulan-bulan bahkan ada yang sampai lulus pun tak terkembalikan; ketiga, meng-up date katalog. Semisal entri mana yang dokumennya sudah tidak ada alias hilang maka kartu katalognya dicabut atau entri yang ada dalam OPAC dihapus. Hal ini dimaksudkan agar tidak mengecoh user yang menelusur literatur yang dokumennya sudah tidak ada lagi.

Literatur-literatur terbaru (walaupun tahun terbitnya tidak terbilang baru lagi untuk tidak mengatakan hasil sumbangan) yang sudah diolah alangkah baiknya segera dibuatkan wakil entrinya dikatalog. Sebab sampai tulisan ini ditulis masih banyak buku yang sudah diolah tapi tidak dapat diketemukan di katalog (kartu maupun OPAC) oleh sebab belum dibuatkan entrinya dikatalog--bahkan bukunya pun masih belum terlihat dirak koleksi "umum", artinya masih terpampang diruang staf perpustakaan dan dosen di lantai II Gd. VIII, samping Lab. Komputer. Kelima, Staf. Perpustakaan kita dikelola oleh dua pihak. Pertama, pengelola harian, yang diawal tulisan ini biasa disebut staf perpustakaan, yakni ada dua orang tetap, dan satu orang--terkadang dua orang--musiman (baca : mahasiswa yang menjaga perpustakaan disiang hari dan orangnya selalu berganti ditiap tahun); kedua, adalah para pengambil keputusan, antara lain kepala perpustakaan dan pihak penyelenggara pendidikan di JIP FSUI.

Staf perpustakaan musiman (dari jam 13.30-16.30) mungkin tak perlu dirisaukan sebab mereka tahu apa yang dikerjakan untuk mengelola perpustakaan pasca staf perpustakaan tetap (dari jam 09.00-13.30). staf perpustakaan tetap inilah yang perlu diperhatikan. Staf yang satu itu seakan hanya bertugas dibagian sirkulasi saja. Datang jam 09.00, ngobrol, nonton TV, main game komputer, dan bertugas apabila ada yang meminjam literatur. Bahkan nyaris tak ada kegiatan lain layaknya staf perpustakaan yang benar-benar mengelola sebuah perpustakaan. Berbeda dengan staf perpustakaan yang satunya staf ini begitu rajin. Staf inilah yang mengolah dari buku datang sampai pencatatan, pelabelan buku, sampai buku tersebut samapai dirak. Staf ini juga rajin membenahi koleksi dirak, dan user friendly dengan mahasiswa, berbeda dengan staf yang satu itu.
Mungkin tiada hal baru mengenai staf tersebut. Tapi yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara JIP FSUI adalah upaya penyegaran kepada para staf agar lebih memperhatikan betul pengelolaan perpustakaan kita dan tidak saling iri antara tugas staf yang satu dengan tugas staf yang lain. Penyegaran itu bisa berupa pemberian pendidikan singkat tentang perpustakaan yang lebih mendalam (manajemen perpustakaan misalnya), bahkan sampai pemberian teguran.

Penutup

"Buku itu ibarat mesin waktu, bisa dinaiki kemana saja dan ke zaman apa saja, dan dengan buku pula saya bisa menghayati cita-cita dimasa datang," ujar seorang Goenawan Mohamad. Dengan demikian, perpustakaan jurusan kita, yang notabene merupakan laboratorium belajar kita, sudah saatnya diperhatikan secara serius.
Persoalan yang menghadang hanya dua, pertama manajemen; dan kedua, masalah klasik yakni dana. Pemecahannya, yang penulis anggap cukup sederhana asal ada kemauan dari pihak penyelenggara pendidikan di JIP FSUI antara lain : Pertama, diadakan suatu peninjauan ulang terhadap maju tidaknya perpustakaan kita bagi penunjang sistem belajar-mengajar kita selama ini. Peninjauan ini dapat berupa penelitian kecil perihal apa saja yang menyangkut perpustakaan kita.
Kedua, diadakan suatu "penataran" singkat bagi para staf tetap perpustakaan kita. Hal ini dimaksudkan agar manajemennya begitu baik hingga perpustakaan kita terkelola dengan baik.

Ketiga, harus ada kemauan dari para pengambil keputusan agar mencari cara untuk menghimpun dana bagi perpustakaan jurusan. Antara lain dapat membentuk konsorsium dana yang terdiri dari alumni atau pandai-pandai menebarkan proposal kepada funder (penyandang dana baik perorangan maupun instansi) dan biasanya funder internasional bersedia untuk menghibahkan dana untuk pengembangan perpustakaan: The Ford Foundation adalah contoh nyata yang concern terhadap masalah perpustakaan dan konservasi buku. Dengan demikian persoalan yang terungkapp semoga dikemudian hari tidak terulang kembali dan perpustakaan jurusan menjadi nyaman untuk dikunjungi setiap saat. Tapi ada pertanyaan yang menggugah: dapatkah staf tetap yang satu itu dapat berubah? Dapatkah kita turut merawat dan melestarikan perpustakaan kita itu? Wallahua'lam. 
(Kamis, 5 Juli 2001)./AP/IP/15-10-2001

BACK TO MAIN

    KNOWLEDGE MANAJEMEN DARI KACAMATA KEPUSTAKAWANAN...Sejak Dr. Karl Wiig menggunakannya dalam pidato di International Labor Organization (ILO) di tahun 1986, istilah Knowledge Management (KM) terus menjadi pusat perhatian banyak disiplin. Penerapan prinsip-prinsipnya oleh perusahaan besar multinasional semacam IBM dan Price Waterhouse (sekarang ditambahi Cooper), membawa KM secara spesifik ke bidang niaga......(Lengkap)

    TERBENTUKNYA KELOMPOK KAPITALIS BARU DI KELUARGA JIP APAKAH AKAN MENGANGGU HOMEOSTATIS IDEOLOGI MAHASISWA?...Entah apakah para kaum borjuisi baru ini mengerti akan konsep homeostatis akan ketidakseimbangan struktur akan pemaksaan evolusi? Atau malah memang mereka sengaja tidak seimbangkan, sehingga orientasi ideologi mahasiswa berubah menjadi lebih materialisme?....(Lengkap)

    APA SIH KATALOG DAN SISTEM PENGINDEKSAN PASCA LARAS ITU?...Dalam sistem pengindeksan pasca laras ini penggabungan istilah indeks dilakukan pada tahap penelusuran, sehingga dalam tahap pengindeksan atau masukkan istilah-istilah indeks dibiarkan berdiri sendiri-sendiri....(Lengkap)

  • ARSIP-ARSIP

 

 

1
Hosted by www.Geocities.ws

1