WEJANGAN-WEJANGAN KI AGENG SURYOMENTARAM

  FILSAFAT RASA HIDUP  

Hal. 5/5

Pengetahuan Diri Sendiri

Orang baru dapat mengenal diri sendiri setelah berhubungan dengan benda-benda, orang lain dan gagasannya, atau dengan rasanya sendiri. Orang hidup tentu berhubungan dengan sesuatu, karena dalam hubungan itu ia baru merasa bahwa ia ada. Rasa ada ini senantiasa merasakan segala apa yang ada. Maka rasa ada itu boleh dikatakan sama dengan hubungan atau bergaul.

Pergaulan itu pasti mencakup diri sendiri dan apa yang bukan diri sendiri. Setiap tindakan, setiap kata dan setiap keinginan, tentu berhubungan dengan sesuatu; yang mencakup diri sendiri dan apa yang bukan diri sendiri. Dalam tindakan, ucapan dan keinginan sendiri inilah orang dapat mengetahui diri sendiri.

Mengenal diri sendiri itu sulit, karena orang tidak biasa berusaha mengenal diri sendiri. Orang hanya biasa merasakan diri orang lain. Bila orang bertengkar dengan istrinya, biasanya ia hanya menyalahkan istrinya, dan tidak berusaha untuk mawas diri. Dalam hatinya ia berkata, "Wah, istriku ini sebentar-sebentar berlaku begini, begitu, begini, begitu, sehingga malanglah nasibku." Tetapi bila orang itu ditanya kembali, "Memanglah istrimu itu begini, begitu, begini, begitu, tetapi bagaimanakah dengan kamu sendiri?" Orang tadi akan terperanjat dan mengaku bahwa dirinya sendiri tidak ditelitinya. Demikian pula dalam hubungan dengan anak dan tetangganya, orang itu tidak memeriksa atau meneliti dirinya sendiri. Ini menunjukkan bahwa orang tidak biasa meneliti diri sendiri.

Kedudukan diri sendiri dalam hubungan itu ialah, sebagai pihak yang menyambut atau menanggapi. Bila berhubungan dengan benda-benda, diri sendiri itu menanggapi benda-benda. Sedangkan kalau berhubungan dengan orang lain, gagasan, atau rasa sendiri, ia pun menanggapi orang lain, gagasan atau rasa sendiri itu. Tegasnya, diri sendiri merasa sesuatu dalam hubungan itu. Bila melihat atau mendengar sesuatu, diri sendiri tentu ikut merasakan sesuatu. Jadi yang merasakan sesuatu, ialah dirinya sendiri dalam menyambut sesuatu yang dilihatnya atau didengarnya.

Demikian pula apabila kita berjumpa dengan orang lain, maka dirinya sendirilah yang merasakan sesuatu. Yang merasakan sesuatu inilah diri sendiri dalam menanggapi orang lain. Demikianlah, diri sendiri dalam menanggapi dunia luar.

Yang lebih sukar, ialah untuk mengetahui rasa diri sendiri dalam menanggapi gagasan atau rasanya sendiri. Karena gagasan atau rasa hati itu tidak terlihat oleh mata dan tidak tertangkap oleh pancaindera. Maka gagasan atau rasa hati dianggap seolah-olah diri sendiri. Yang seharusnya dilihat, dianggap sebagai yang melihat atau yang berkuasa. Pada umumnya gagasan atau rasa hati sendiri itu dianggap sebagai yang berkuasa, sehingga sukar untuk dikuasai.

Agar mudah dipahami, di sini perlu diberi contoh secara terperinci, bagaimana orang menanggapi sesuatu yang dihadapinya. Yang menanggapi sesuatu itu, menanggapinya dengan rasa suka dan benci. Misalnya pada waktu orang hendak membaca buku, ia akan menanggapi lampu terang dengan rasa senang, karena lampu itu memenuhi kebutuhannya. Karena itu, lampu terang dianggap baik. Sebaliknya, pada waktu ia hendak tidur, ia menanggapi lampu terang itu dengan rasa benci. Karena lampu terang menyilaukan matanya dan tidak memenuhi kebutuhannya. Orang yang hendak tidur, tidak membutuhkan lampu yang terang. Demikianlah, orang dapat menanggapi sebuah lampu terang dengan rasa senang atau benci, sesuai dengan kebutuhannya sesaat.

Kita menanggapi orang lain juga dengan rasa senang atau benci. Kalau ia seorang sahabat, kita akan menanggapinya dengan rasa senang. Tetapi kalau ia seorang musuh, kita menanggapinya dengan rasa benci. Bahkan orang yang sama, sering kita tanggapi, dengan senang dan benci, sesuai dengan kebutuhan kita sesaat. Hal inilah yang menyebabkan orang cekcok dengan suami atau istrinya. Terhadap suami atau istri, orang terkadang merasa senang, terkadang benci. Maka suami-istri itu selain menjadi kawan dalam hal-hal tertentu, juga dapat menjadi kawan bercekcok.

Lebih sukar lagi untuk mengetahui rasa senang dan benci, yang menanggapi gagasan atau rasa sendiri, karena gagasan atau rasa itu sering menjadi satu dengan senang dan benci. Sehingga sukar memisahkan gagasan dengan rasa suka dan benci.

Misalnya gagasan tentang permainan "jaelangkung", yakni sebuah keranjang yang dimasuki sukma orang mati. Rasa senang atau benci yang menanggapi "jaelangkung" itu berubah rupa menjadi percaya atau tidak percaya. Bila perubahan itu tidak disadari, orang tidak mengerti bahwa percaya atau tidak percaya itu berasal dari rasa senang atau bencinya.

Demikian pula kesukaran untuk mengetahui rasa senang atau benci yang menanggapi rasanya sendiri. Misalnya dalam menanggapi rasa marahnya sendiri; rasa senang atau benci itu akan berganti rupa, menjadi rasa membela marah atau menahan marah.

Jadi mengetahui dirinya sendiri dalam pergaulan, berarti mengetahui rasanya sendiri yang senang atau benci dalam menanggapi sesuatu yang digauli. Tetapi kalau hal ini tidak disadari, maka kita akan menemui kesukaran berupa perselisihan dalam hubungan kita dengan orang lain.

Misalnya kita mendengar gamelan, kemudian mendengar musik. Kalau kita mendengarkan gamelan dengan rasa senang, dan mendengarkan musik dengan rasa benci, dan tanggapan kita ini tidak kita ketahui, berarti kita tidak menikmati lagu gamelan dan musik, melainkan menikmati hafalan dari lagunya. Kenikmatan semacam itu ialah kenikmatan seorang pemain gamelan atau musik, dan bukan kenikmatan seorang seniman yang dapat menyatukan dirinya dengan lagu.

Kalau hal ini tidak disadari maka ia akan hanyut dalam rasa senang atau bencinya, sehingga yang senang gamelan berselisih dengan yang senang musik. Bahkan ada kalanya, ia mengajak orang-orang lain untuk berselisih beramai-ramai.

Untuk mengetahui rasa senang kita terhadap gamelan, maka kita harus menelitinya sebagai berikut, "Aku ingin menikmati lagu, akan tetapi mengapa aku senang gamelan, sehingga tidak dapat menikmati lagu?" Bila diketahui demikian, rasa senang itu akan lenyap, yang berarti rasa senang itu tidak lagi menghalangi untuk menikmati lagu. Orang akan mengerti bahwa kenikmatan lagu tidak terbatas oleh gamelan atau musik.

Demikian pula untuk mengetahui rasa benci kita, kita dapat menelitinya sebagai berikut, "Aku benci akan musik itu, hanyalah karena aku tidak hafal sehingga tidak dapat mengikuti lagunya." Jadi sebenarnya aku tidak hendak menikmati lagu, tetapi hanya ingin mengikuti lagu. Bila diketahui demikian, benci itu sirna, yang berarti rasa benci itu tidak menghalangi keinginan menikmati lagu. Jadi senang atau benci terhadap musik atau gamelan, bergantung pada kegemaran kita.

Dalam bergaul dengan orang, tanggapan kita pun berupa rasa senang atau benci. Rasa ini bila tidak diketahui dapat menimbulkan perselisihan. Misalnya kalau kita mendengar kabar ada seorang laki-laki berpoligami. Kalau yang menanggapi kabar itu rasa benci kita, maka kita akan mencelanya, "Laki-laki yang kawin dengan lebih dari satu perempuan, tidak memberi kesempatan kepada orang lain." Tetapi bila rasa senang kita yang menanggapi kabar itu, maka kita membelanya, "Sedang yang memadu itu senang dan yang dimadu pun tidak berkeberatan, mengapa mereka dipersoalkan." Bila hal ini tidak kita pahami, maka kita akan mengajak orang lain untuk membenci atau menyetujui bersama, yang akhirnya akan menjadi kelompok-kelompok pembela dan penentang poligami yang saling bermusuhan. Perkembangan permusuhan semacam ini bisa berkembang menjadi saling tembak-menembak.

Bila tanggapan kita yang berupa rasa suka atau benci yang menghalangi itu diketahui, maka kita akan dapat mengetahui atau mengerti rasa orang berpoligami, yang serupa benar dengan rasa kita sendiri. Cara untuk mengetahuinya sebagai berikut, "Aku ingin mengetahui rasa orang berpoligami, tetapi karena senang atau benci poligami, maka aku tidak dapat mengetahuinya. Sebab dua macam rasa itu menghalangiku." Bila diketahui demikian, rasa senang atau benci akan lenyap. Artinya tidak lagi mengalaminya. Barulah kita mengetahui rasa orang berpoligami, yang serupa benar dengan rasa kita sendiri.

Adapun tindakan seseorang, tentu terdorong oleh rasanya. Mencari minuman terdorong oleh rasa haus, ingin tidur terdorong oleh rasa kantuk. Tindakan orang berpoligami ialah terdorong oleh rasanya, yang menghendaki wanita yang bukan istrinya. Setelah rasa orang berpoligami itu diketahui, maka kita dapat meneliti diri kita sendiri dengan pertanyaan berikut, "Apakah aku juga menginginkan wanita yang bukan istriku?" Untuk menjawab pertanyaan di atas, sering kita merasa malu. Sebab keinginan semacam itu kita anggap jelek, karena kita mengira bahwa yang memiliki keinginan semacam itu hanya kita sendiri atau beberapa orang saja. Maka penelitian terhadap diri sendiri dapat dimulai dengan berpikir seperti di bawah ini.

Laki-laki walaupun sudah amat tua, bila melihat wanita cantik tentu merasa senang. Rasa senang ini jika dikupas berisikan keinginan. Padahal wanita cantik itu bukan istrinya. Jadi orang tua itu pun menginginkan wanita yang bukan istrinya. Demikian pula wanita, walaupun sudah amat tua, bila melihat laki-laki yang tampan, tentu merasa senang. Rasa senang ini bila diteliti berisikan keinginan. Padahal laki-laki itu bukan suaminya. Jadi wanita itu pun menginginkan laki-laki yang bukan suaminya.

Teranglah bahwa diri sendiri dan semua orang, mempunyai rasa mengingini orang yang bukan suami atau istrinya. Jika keinginan itu tidak sampai terlaksana, hal itu disebabkan hanya karena keadaan, kemiskinan atau kekhawatiran terhadap anak-anaknya, dan sebagainya. Jadi rasa ingin berpoligami bagi semua orang sama.

Bila kita mengetahui bahwa rasa orang berpoligami ialah serupa benar dengan rasa kita sendiri, maka kita akan damai dengan orang lain tadi. Rasa damai ini berarti tidak menyetujui atau membenci, tidak memuji atau mencela, yaitu berselisihan. Rasa damai itu sama dengan damai terhadap kenyataan, bahwa matahari terbit di sebelah timur.

Orang menanggapi rasanya sendiri, juga dengan rasa senang atau bencinya. Misalnya, bila ia menanggapi amarahnya dengan rasa benci, maka rasa marah itu ditekannya, sehingga ia tidak mengerti makna amarahnya. Menahan amarah itu rasanya sebagai berikut, "Kalau amarahku ini menjadi perbuatan, maka tidak enaklah akibatnya." Menahan marah berarti mendambakan kesabaran. Kalau rasa benci ini tidak diketahui, ia akan menimbulkan perang batin, yaitu perang antara amarahnya dan angan-angannya untuk kesabaran.

Apabila yang menanggapi amarahnya sendiri itu rasa senangnya, ia akan membela amarahnya demikian, "Kalau saya tidak marah, maka saya akan senantiasa dihina." Dengan demikian ia tidak akan mengetahui arti amarahnya. Kalau tanggapan rasa senang atau benci itu diketahui, maka orang akan mengetahui arti amarahnya sendiri.

Adapun penelitian rasa senang dan benci dapat dilakukan sebagai berikut,"Aku ingin tahu arti amarahku, tetapi karena aku benci atau senang akan amarah itu, maka aku tidak dapat mengetahui arti amarahku." Kalau hal ini disadari, maka rasa senang atau benci itu segera lenyap, yaitu tidak menutupi lagi. Barulah orang mengetahui arti amarahnya.

Marah itu berarti membela hal yang dianggap penting untuk diri sendiri. Jika kepentingannya sendiri diganggu orang, ia lantas marah. Wujud kepentingan manusia itu ada berbagai macam, seperti harta benda, kehormatan, kekuasaan, keluarga, kelompok, kebangsaan, jenis kelamin, ilmu kebatinan, kepandaian, ilmu, dan lain-lain. Setiap orang berbeda-beda dalam menilai kepentingannya sendiri. Salah satu kepentingannya dinilai lebih tinggi dari yang lain. Jadi kepentingan-kepentingan ini ada yang dinilai nomor satu, nomor dua dan seterusnya. Berat ringannya kemarahan tergantung pada tinggi rendahnya penilaian itu. Jika orang diganggu kepentingannya yang nomor satu, ia akan marah sekali.

Bila rasa senang atau benci dalam menanggapi rasa sendiri senantiasa diketahui, maka orang akan dapat mempelajari apa yang menjadi kepentingannya melalui pengetahuan tentang diri sendiri (pangawikan pribadi). Bila pengertian diri sendiri ini makin dalam dan luas, orang akan mengerti bahwa dasar landasan kepentingannya itu keliru. Landasan keliru inilah yang menimbulkan rasa tidak enak dalam pergaulan.

Apabila kepentingan harta benda itu landasannya keliru, maka ia akan merupakan keserakahan. Padahal kegunaan harta benda hanyalah sebagai alat untuk mencukupi kebutuhan hidup. Maka keserakahan berarti mempergunakan harta benda secara salah.

Apabila kepentingan kehormatan itu landasannya keliru, maka ia akan menjadi gila hormat. Padahal rasa hormat itu mengandung kenikmatan, baik bila diri sendiri menghormati orang lain, maupun bila orang lain menghormati dirinya. Jadi gila hormat (minta dihormati) berarti mempergunakan kehormatan secara salah.

Apabila kepentingan kekuasaan itu landasannya salah, maka ia akan merupakan hasrat menguasai orang lain. Padahal orang berkuasa atau dipercaya itu disebabkan karena ia mengenakkan orang lain. Jadi ingin menguasai orang lain tanpa mengenakkan orang lain, berarti mempergunakan kekuasaan secara salah.

Demikianlah seterusnya, untuk mengetahui kepentingan kita yang dipergunakan secara salah. Bila diketahui, maka landasan kepentingan yang salah itu akan menjadi benar. Demikian faedahnya mengetahui rasa senang dan benci kita dalam tanggapan kita terhadap rasa kita sendiri.

Bila rasa senang dan bencinya itu diketahui, orang lantas merasa enak dalam pergaulannya dengan benda-benda, dengan orang lain dan dengan rasanya sendiri.

Pengetahuan tentang senang dan bencinya sendiri ini, dinamakan pengetahuan diri sendiri (pangawikan pribadi). Jadi pengetahuan diri sendiri ialah syarat untuk membangkitkan rasa enak dalam pergaulan.


Hosted by www.Geocities.ws

1