Denmas Marto | Forum Diskusi

Garis Batas Antara Agama dan Politik

05/06/2004
"Dukungan PDS terhadap Megawati-Hasyim tidak berarti umat Kristen semua mendukung pasangan tersebut. PDS hanya dua persen, sedang umat Kristen ada sekitar 12 persen dari jumlah penduduk. Janganlah terkecoh dengan kesamaan platform, tapi lihatlah apakah selama bekerja pemimpin itu berhasil atau tidak," tulis seorang pembaca di rubrik "Mimbar Demokrasi," Kompas (31/05).

Seiring dengan pesta demokrasi beruntun kali ini, kasak-kusuk seputar bagaimana mestinya hubungan agama dan politik pun lumayan marak. Hendro Nugroho (Provo, Utah) berkomentar:

"Kalau politik menggunakan agama dan agama menggunakan politik maka negara akan kacau. Belajar dari sejarah, ketika raja dilantik paus dan kekuatan agama yang tidak transparan dan penuh kegelapan, karena tidak ada 'Terang' di situ, hasilnya adalah kekacauan, belenggu, dan simbahan darah. Hal tersebut seharusnya menjadi peringatan, supaya manusia tidak menjadi keledai, dengan mengulang kesalahan yang sama.

Semestinya pemerintah cukup memfasilitasi dan mengawasi agama, tetapi tidak turut campur di dalamnya. Memfasilitasi dalam arti memberi kesempatan untuk pemeluk agama apa pun menjalankan ibadahnya tanpa terganggu. Mengawasi dalam arti menjaga agar antar agama tidak saling mencakar dan menindak agama yang mengganggu komunitas sosial.

Hasilnya adalah diversifikasi agama yang sangat hebat, dan memunculkan kejujuran hati manusia yang dipancarkan dari pilihannya dalam beragama. Tidak akan ada pemaksaan! Apakah itu menakutkan? Menurut saya tidak. Justru kemerdekaan akan pilihan masing-masing akan tercermin.

Salah satu teman saya berkomentar tentang kemerdekaan itu. Menurutnya kemerdekaan akan membuat orang yang ingin baik, melakukan sebaik-baiknya dan orang yang ingin jahat akan melakukan sejahat-jahatnya. Kemerdekaan itu akan menjadi cakrawala yang memisahkan terang dan gelap.

Orang akan menghormati dan saling tertarik akan keberbedaan. Sekali lagi tidak akan ada pemaksaan. Bukankah tidak ada yang bisa memaksa orang lain untuk mengikut Kristus? Bahkan Kristus sendiri tidak pernah memaksakan orang untuk mengikuti-Nya?

Sejak diciptakannya manusia, Allah telah memberikan pilihan bebas. Negara sebagai representasi Allah di dunia, semestinya memberikan pilihan yang sama. Dengan demikian kita akan melihat terang sebagai terang."

Dalam tataran lembaga, aku sepakat dengan pandangan Hendro di atas. Lembaga agama (baca: gereja) dan lembaga politik (baca: pemerintah) adalah dua lembaga yang memiliki yuridiksi masing-masing. Jangan lembaga agama ikut sibuk dalam politik praktis; jangan pula lembaga politik campur tangan terlalu jauh dalam urusan keagamaan (seperti UU Pendidikan Nasional yang ngawur dan RUU Kerukunan Antarumat Beragama yang malah berpotensi menyulut konflik itu).

Namun, kalau dalam tataran individual, aku setuju kalau orang Kristen tidak apolitik. (Baca juga: Wilayah Kerajaan Allah). Kalau memang terpanggil, silakan terjun ke bidang politik praktis, menerangi dan menggarami ranah itu dengan nilai-nilai dan kebajikan Kristiani.

Bagaimana tanggapan rekan-rekan lain?

Bisa juga kirim email ke [email protected].
Sebaiknya diketik dulu offline, baru diposkan.
Tanggapan akan diedit seperlunya untuk pemuatan. Trims!


21/06 | Bayu Probo (Yogya):

saya setuju juga jika lembaga agama tidak ikut dalam kebijakan politik, walaupun bisa juga menyarankan sesuatu bagi kebaikan dalam suatu keputusan kebijakan publik. pasti ini juga berlaku bagi lembaga agama Kristen (gereja) walapun mungkin saat ini sering kata-kata gereja tidak didengar oleh arus besar mayoritas yang menguasai pemerintahan saat ini. seharusnya gereja menyampaikan suara kenabian dan menolong pemberdayaan masyarakat untuk lebih mandiri....

saya agak prihatin denga kotabh-kotbah para pemimpi agama Kristen yang masih terlalu menekankan kehidupan ajaib (mujizat dan hal-hal supranatural lainya - minyak urapan misalnya) tetapi sangat kurang dalam menolong jemaatnya untuk mengusahakan segala sesuatu yang baik selama menunggu di dunia yang merupakan tempat persinggahan sementara ini.

untuk para politikus baru yang bergelar pendea saat ini... saya kira hak mereka untuk terjun ke dalam politik ... hanya kalau mereka masih mempertahankan gelar kependetaannya... kok kelihatannya garing dan nggak tulus....

[ Kembali ke Atas ] [ Kirim Tanggapan ]


17/06 | Sidik Nugroho (Malang):

Berkali-kali terjadi dalam sejarah, saat agama mencampuri urusan politik, maka kekacauan terjadi. Perebutan tahta khalifah di Arab setelah Muhammad meninggal dan Perang Salib pada zaman kegelapan adalah contohnya. Tidak ada pemerintahan yang sempurna saat sebuah agama dijadikan sebagai patokan konstitusi atau dasar kenegaraan. Oleh karena itu, perlu ada garis batas yang jelas antara agama dan politik.

Pihak-pihak yang getol memperjuangkan agar syariat Islam ditegakkan di bangsa ini seharusnya berkaca dan bertanya pada dirinya: Apakah itu representatif? Apakah itu benar-benar mewakili suara rakyat Indonesia dengan kemajemukan yang tinggi? Dari kalangan Islam sendiripun masih banyak kontroversi seputar perjuangan ini. Meskipun Islam adalah mayoritas, namun penegakan syariat Islam masih merupakan suara minor dari kalangan Islam radikal.

Alkitab menawarkan solusi atas persoaln pelik ini. Mari kita melihat pada masa Yesus hidup di bumi. Ia, yang adalah Tuhan, tapi selama hidup-Nya tidak terlalu cawe-cawe soal politik. Saat ditanyai, apakah wajib membayar pajak atau tidak kepada Kaisar, Ia menjawab wajib. Dan, dari pernyataan ini jelas Ia membayar pajak saat Ia hidup. Bukankah ia berarti menghargai konstitusi pada saat itu?

Yesus juga tidak pernah mengajak untuk melakukan kudeta sekalipun pengikut-Nya banyak. Sebagian sarjana Alkitab berpendapat bahwa Yudas Iskariot gantung diri karena kecewa melihat Yesus akhirnya tidak memberontak saat Ia diserahkan. Yudas ingin Yesus menjadi pemimpin bangsanya, Yahudi.

Yesus menghargai perbedaan. Ia, Raja segala raja, tidak memaksakan agar "konstitusi-Nya" yang diterapkan. Mengapa demikian? Apakah Yesus tidak mau campur tangan atas persoalan politik? Bukan. Semata-mata, Ia tidak melakukannya karena itu bukan bagian dari misinya. Apakah misinya? Mengubah hati manusia! Lho kok cuman itu? Justru itulah yang sebenarnya sangat esensial.

DenMas Marto, dalam bukunya Gagal Menjadi Garam menyatakan bahwa manusia, terkait dengan politik, dari masa ke masa selalu berpikir bagaimana caranya mengubah konstitusi untuk mengubah manusia, sedangkan Yesus melakukannya dengan cara yang lain: Ia mengubah manusia untuk mengubah konstitusi. Dari hati yang diubahkan dan diterangi inilah kelak akan lahir pemimpin-pemimpin yang bermoral.

Kemajemukan di bangsa ini, mau tidak mau membutuhkan sistem hukum yang dapat diterima mengingat Indonesia adalah negara termajemuk di bawah kolong langit. Biarlah kemajemukan dan kerukunan antar umat beragama terus terjaga dengan adanya konstitusi yang representatif di bangsa ini. Dan untuk pengunjug situs ini, jikalau kita mau menjadi pemimpin dalam dunia politik suatu saat, jadilah seperti Daniel atau Yusuf. Kristenisasi bukan tujuan kita saat masuk ke dalam dunia politik. Tapi, ingatlah sebuah pesan sederhana: Jadilah garam dan terang dunia….

[ Kembali ke Atas ] [ Kirim Tanggapan ]


© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1