Home | Renungan

Wilayah Kerajaan Allah

Jawab Yesus: "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepad orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini." - Yohanes 18:36

Demikianlah, Rabu (20/5), bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional, kita ikut dalam arus Pisowanan Agung sejuta kawula Ngayogyakarta, mahasiwa berbagai perguruan tinggu dan berbagai golongan masyarakat lainnya, yang sejak pagi berduyun-duyun menuju Pagelaran Keraton. Bukan untuk ikut berorasi menentang dan mencaci pemerintah. Kita ke sana untuk membawa roh yang berbeda. Kita menyampaikan firman Tuhan dengan membagi-bagikan selebaran mengenai lima prinsip reformasi: antikekerasan, persatuan, kasih, hikmat dan hukum.

Capek, namun puas. Orang-orang menerima dengan baik selebaran itu, bahkan sebagian mengejar-ngejar kita untuk memintanya. Meskipun secara kuantitas sangat kecil bila dibandingkan dengan massa yang memadati alun-alun utara dan sekitarnya, kita percaya firman Allah sanggup mengefek mereka seperti sedikit ragi mengkhamirkan seluruh adonan.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, "Perlukah orang Kristen terlibat dalam politik?"

"Ah! Politik itu 'kan kotor! Biar saja itu diurus oleh orang-orang duniaa. Urusan kita 'kan membangun Kerajaan Allah!" demikian dalih sebagian orang.

Apakah sebenarnya yang dimaksudkan Yesus ketika Ia mengatakan, "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini"? Apakah Ia sedang menyatakan aspek geografis, bahwa Kerajaan-Nya adalah kerajaan rohani, yang tidak bersentuhan dan tidak mengefek dunia sekuler? Kalau begitu, kenapa Ia mengajar kita untuk berdoa, "Datanglah Kerajaan-Mu... di bumi seperti di surga?"

Dikotomi "rohani" dan "sekuler" bukanlah pemikiran yang bersumber dari Alkitab, melainkan dari Platonisme, filasafat yang beranggapan, bahwa alam rohani itu lebih unggul daripada dunia fana. Firman Tuhan, sebaliknya, menyatakan bahwa Ia berkuasa atas "surga" dan "bumi", atas yang "rohani" dan yang "sekuler". Sebelum naik ke surga, Tuhan Yesus menegaskan, "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi" (Matius 28:18).

Pernyataan "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini" bukanlah mengacu pada wilayah Kerajaan-Nya, melainkan pada sumber kekuasaannya. Pemerintahan demokrasi, misalnya, menyatakan kedaulatan ada di tangan rakyat -- dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Nah, kedaulatan pemerintah Kerajaan Allah bukan dari dunia ini, melainkan dari Allah sendiri. "Sebab Tuhanlah yang empunya kerajaan-kerajaan, Dialah yang memerintah atas bangsa-bangsa" (Mazmur 22:29, versi terjemahan New King James).

Sejauh ini, pengaruh Platonisme telah melahirkan apa yang oleh John W. Whitehead disebut sebagai false pietism (kealiman yang palsu). Mazhab ini hanya menekankan pengalaman "keselamatan" pribadi. Meskipun mengakui, bahwa Alkitab adalah standar bagi segala aspek kehidupan, mereka hanya menerapkannya bagi diri mereka sendiri. Mereka beranggapan, agama atau ibadah adalah perkara pribadi -- "pribadi" dalam arti, seseorang boleh mengerjakannya di rumah atau di gereja, tapi lebih baik bungkam bila di muka umum. Akibatnya, orang Kristen cenderung meletakkan pelita iman mereka di bawah gantang, serta menjauhi dan kehilangan pengaruh dalam dunia politik, bisnis, pendidikan dan area-area penting lainnya.

Gary North mengingatkan, politik menjadi dunia yang kotor karena sudah sekian lama orang Kristen menghindari politik. Politik menjadi korup karena orang Kristen tidak tekun untuk menyelidiki firman Allah dan menemukan prinsip-prinsip politik yang telah ditetapkan Allah. Hal ini dapat diterapkan pula dalam area-area kehidupan masyarakat lainnya. Dunia menjadi gelap sewaktu orang Kristen gagal menjadi terang.

Kita harus menyadari, bahwa Kristus datang untuk menebus manusia seutuhnya. Dengan demikian, kita harus mengintegrasikan seluruh pengajaran Tuhan ke dalam setiap area kehidupan kita. Tidak ada perbedaan antara bidang "rohani" dan bidang "sekuler". Tidak ada satu bidang kehidupan pun yang berada di luar jangkauan Ketuhanan Yesus Kristus.

Sayang sekali, akibat dikotomi yang keliru tersebut, banyak orang yang cukup puas dengan pengharapan akan pengudusan pribadi belaka. Mereka mengesampingkan konsep pengudusan sosial.

Pengudusan pribadi menggambarkan proses perubahan kehidupan seseorang, sehingga secara progresif semakin sepadan dengan standar etis yang digariskan dalam Alkitab. Dengan kata lain, menjadi semakin serupa dengan Kristus. Pengudusan adalah proses dipisahkan dari dunia yang berdosa dan memberontak -- secara progresif dalam kehidupan sekarang dan di muka bumi. Orang-orang yang telah lahir baru itu pada akhirnya berubah menjadi pemakan makanan keras, dan bukannya terus menerus minum susu (1 Korintus 3:2).

Lalu, apakah pengudusan sosial itu? Konsep ini sejajar dengan pengudusan pribadi. Sewaktu orang-orang saleh mengubah tata perilaku mereka sesuai dengan tuntutan Alkitab, dunia sekitar mereka pun akan mulai berubah. Mereka mempengaruhi budaya sekitar mereka seperti ragi pada adonan roti. Semakin banyak orang yang mengubah kehidupannya sepadan dengan standar Alkitab, seluruh masyarakat pun secara progresif akan turut dikuduskan -- dipisahkan oleh Allah untuk kemuliaan-Nya.

Paulus mengatakan, "Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang kudus akan menghakimi dunia?" Implikasinya, sekali lagi, kita harus membuang konsep yang memisahkan kehidupan menjadi yang "rohani" dan yang "sekuler" tadi. Ya, bagaimana kita bisa menghakimi sesuatu kalau kita tidak menguasai pokok persoalannya? Kita perlu kompeten dalam kedua bidang tersebut. Kita perlu menekuni firman Tuhan dan menyelidiki prinsip-prinsip Allah untuk berbagai bidang kehidupan: keluarga, pendidikan, ekonomi, pemerintahan, kesenian, dan sebagainya. Dengan demikian, kita bisa berdiri untuk menyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah ke tengah-tengah masyarakat.

Menyadari Ketuhanan Yesus Kristus yang mutlak dan menyeluruh ini -- bukan saja atas kehidupan kita pribadi, namun juga atas seluruh area kehidupan -- seharusnya mendorong kita untuk memenuhi amanat-Nya untuk menjadikan ajaran-Nya dikenal dalam seluruh area kehidupan. *** (24/05/1998, diperluas)

Baca juga: Garis Batas Antara Agama dan Politik

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1