Home | Renungan

Mazmur 119

Minggu ini saya tidak beranjak dari pasal terpanjang yang terletak di tengah-tengah Alkitab itu. Dulu, terus terang, saya tidak betah membaca habis mazmur ini dalam sekali tempo. Terasa panjang, berulang-ulang, susah ditarik simpul maknanya. Namun kemarin-kemarin, ketika memutuskan untuk mencermatinya, seperti tersedot, saya jadi enggan melepaskannnya.

Ketika lahir baru dulu, salah satu ayat yang pertama saya hapalkan adalah "Dengan apakah seorang muda menjaga kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu" (ay. 9). Satu lagi ayat yang sangat terkenal, dan telah digubah menjadi lagu bagus oleh Amy Grant dan Michael W. Smith, "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku" (ay. 105). Namun kali ini saya mendapatkan hal-hal yang lebih dalam daripada itu.

Pokok bahasan Mazmur ini adalah perkataan Tuhan, yang di sini diungkapkan dalam berbagai sebutan, masing-masing dengan nuansa artinya: taurat, peringatan (dalam bahasa Inggris: testimony 'kesaksian'), jalan, titah, ketetapan, perintah, hukum, firman. J.P. Palanterius menamakannya, antara lain, sebagai "Firdaus dari Doktrin... tempat seluruh ajaran moral megenai segala kebaikan bersinar dengan cemerlang."

Mazmur 119 diawali dengan berkat ganda. Berbahagialah! Berbahagialah! Begitu penegasan dua ayat pembuka pasal ini mengenai orang-orang yang berpegang pada firman-Nya. Mereka inilah orang-orang yang menjalani hidup dengan tidak bercela, tidak tercemar, benar dan tulus. Dan inilah kehidupan yang berbahagia, yang beruntung dan yang patut didambakan - dengan istilah kita minggu lalu, kehidupan di gunung!

Untuk mencapai kehidupan yang lebih tinggi tersebut, diperlukan resolusi, suatu kebulatan hati. Jauh sebelum Jonathan Edwards menyusun resolusi pribadinya yang terkenal itu, pemuda Daud telah membulatkan hatinya untuk hidup menurut Taurat Tuhan. "Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau" (ay. 10). "Aku telah memilih jalan kebenaran, telah menempatkan hukum-hukum-Mu di hadapanku" (ay. 30). "... aku hendak memegangnya sampai saat terakhir" (ay. 33). "Aku bersegera dan tidak berlambat-lambat untuk berpegang pada perintah-perintah-Mu" (ay. 60). "Aku telah bersumpah dan aku akan menepatinya, untuk berpegang pada hukum-hukum-Mu yang adil" (ay. 106). Di bagian lain, hatinya berkobar oleh suatu amarah yng kudus. "Engkau menghardik orang-orang yang kurang ajar, terkutuklah orang yang menyimpang dari perintah-perintah-Mu" (ay. 21). "Aku menjadi gusar terhadap orang-orang fasik, yang meninggalkan Taurat-Mu" (ay. 53) "... aku benci segala jalan dusta" (ay. 104). "Orang yang bimbang hati kubenci" (ay. 113). Menantang!

Benar-benar suatu dataran tinggi yang mendorong kita untuk naik mendaki.

Mungkin pada mulanya kita sulit untuk mengidentifikasikan diri dengan resolusi-resolusi tadi ketika kita menyadari bahwa kita "belum memenuhi standar." Namun, pada bagian-bagian lain, Daud dengan jelas pula memaparkan, bagaimana ia bisa sampai pada keyaknian yang sekokoh itu.

Yang segera mencuat adalah kerendahan hatinya. Artinya, Daud menyadari bagaimana sebenarnya keadaan dirinya, dan ia jujur dengan keberadaannya tersebut. "Jiwaku melekat kepada debu" (ay. 25) itu, misalnya. Semula saya mengira, Daud sedang menggambarkan kesengsaraannya. Setelah membacanya beberapa kali dan merenungkannya, saya pun menyadari, "Yes! Betul, jiwaku melekat kepada debu. Jiwa ini, manusia duniawi itu, melekat pada hal-hal yang rendah, bergumul dengan hawa nafsu kedagingan. Dan ia akan tetap melekat di sana seperti cacing kalau bukan karena Engkau, ya Tuhan, menghidupkan aku sesuai dengan firman-Mu."

Kemudian ia mengungkapkan, "Aku menyatakan jalan-jalanku dan mencurahkan kepedihan hatiku kepada-Mu" (ay. 26, Amplified Version). Bahkan ia menutup mazmurnya dengan suatu kesimpulan yang mengejutkan, "Aku sesat seperti domba yang hilang, carilah hamba-Mu ini" (ay. 176). Ia tahu kepada siapa mesti berharap! "Lakukanlah kebajikan kepada hamba-Mu ini, supaya aku hidup, dan aku hendak berpegang pada firman-Mu" (ay. 17). Kehidupan yang penuh pengharapan kepada Tuhan inilah yang membuat ia berdiri kokoh. Tuhanlah yang menghidupkan dia, membuatnya mengerti, menyingkapkan keajaiban taurant-Nya, meneguhkan kehidupannya. Tuhan pula yang mendisiplinkannya. "Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu" (ay. 71).

Ia juga seorang yang mencintai kebenaran. Ia memegang firman itu sedemikian kuat - mendengarnya, menerimanya, mengasihinya dan menaatinya. Kecintaannya akan firman Tuhan - "Nyala cintaku menghabiskan aku" (ay. 139) - membuatnya memiliki hikmat yang tak terbantah. "Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana daripada musuh-musuhku, sebab selama-lamanya itu ada padaku. Aku lebih berakal budi daripada semua pengajarku, sebab peringatan-peringatan-Mu kurenungkan. Aku lebih mengerti daripada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titah-Mu" (ay. 98-100). Dan ia pun sampai pada kebenaran itu. "Keseluruhan firman-Mu, maksud titah-titah-Mu secara penuh, adalah kebenaran" (ay. 160, Amplified Version).

Ah, betapa masih banyaknya mutiara kebenaran yang bisa digali dari mazmur terpanjang ini! Catatan ini memang tidak berpretensi untuk menjadi tafsir yang komprehensif. Ruang kolom ini terlalu sempit! Cukuplah, bila sentuhan awal ini mendorong kita semakin giat mengejar hidup yang tidak bercela itu..... *** (22/09/1996)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1