Home | Renungan

Epiginosko

Ketika Rusty Russel (bagi yang belum kenal Rusty, sedikit perkenalan: dia hamba Tuhan yang diurapi dengan karunia kenabian. Ipar Bob Weiner ini, menurut rencana, akhir Oktober - awal November nanti akan melayani kita) mengajar berpraktik mendengarkan suara Tuhan, Denmas Marto mengajukan pertanyaan ini: "Tuhan, Kau tahu, aku suka sekali nonton film kartun. Kau juga suka?" Mau tahu apa jawaban Tuhan? "Beberapa Saya suka," kata-Nya. Wah, bisa saya bayangkan, kalau sayang menonton di Green Garden (berkat kemurahan Pak Eriel, tentu), Tuhan ikut kesengsem menyaksikan gambar-gambar megah mempesona kreasi Walt Disney!

Salah satu pelajaran yang saya peroleh dari situ adalah, kalau kita berjalan bersama Tuhan, kita tidak lagi hidup dalam ranah tidak boleh ini tidak boleh itu, jangan begini jangan begitu. Kita tidak lagi hidup di bawah hukum. Kita hidup dari mendengarkan dan menaati Dia. Tentang hal-hal yang tampaknya sepele sekalipun, Ia akan senang membicarakan dengan kita, anak-anak-Nya.

Dalam retret di Kaliurang kemarin dibagikan bahwa salah satu karakter kedewasaan adalah pengetahuan yang benar tentang Anak Allah. Pengetahuan ini ditumbuhkan melalui epiginosko. Epiginosko berarti mengetahui aatau mengenal dengan baik dan menyeluruh. Lebih jauh lagi, obyeknya (dalam hal ini Tuhan) terlibat dan mempengaruhi subyek (kita). Nah, epiginosko ini diintensifkan melalui pendengaran. Bisa juga dikatakan, modal dasar (seperti pembangunan saja!) epiginosko adalah pendengaran.

Waktu ditanyai tentang hukum yang terutama, Yesus tidak langsung mengumandangkan, "Kasihilah Tuhan, Allahmu!" Ia mengawalinya dengan, "Dengarlah..." (lihat Markus 12:29-30). Tuhan, secara tidak langsung, menegaskan pentingnya pendengaran. Dengan kata lain, Ia mengatakan, tanpa mendengarkan Dia, tidak mungkin kita dapat mengasihi-Nya.

Seberapa pentingkah pendengaran itu? "Betapa besar nilai pendengaran itu baru menjadi jelas bila orang tidak memilikinya. Bayi yang terlahir buta atau tak peka rasa sakit biasanya mengatasi rintangan ini. Sebaliknya, bayi yang terlahir tuna rungu mungkin akan kehilangan jalan yang memasuki dunia manusia. Langkah pertama perkembangan intelektualnya tidak dapat diraih....

'Saya tuli dan juga buta," demikian tulis Helen Keller. 'Masalah akibat ketulian lebih dalam dan lebih kompleks, kalau bukan lebih penting, daripada masalah kebutaan. Ketulian adalah nasib buruk yang jauh lebih jelek. Karena hal itu berarti hilangnya rangsangan yang paling penting - bunyi suara yang mengungkapkan bahasa, yang membuat pikiran menjadi sibuk, dan yang menempatkan kita dalam pergaulan intelektual di kalangan manusia'" (Bunyi dan Pendengaran, Pustaka Ilmu Life, h. 9 dan 145).

Nah, fungsi pendengaran rohani kita tentunya tidak jauh berbeda dengan kondisi di atas. Untuk itu, seperti hamba Tuhan dalam Yesaya 50, kita mesti membuka telinga dan tidak memberontak sewaktu Tuhan mempertajam pendengaran kita. *** (20/08/1995)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1