Home | Film

Kenapa Nonton Film

Gereja kami pernah mengadakan pemutaran film seminggu sekali. Jemaat didorong mengundang teman-teman atau simpatisan untuk menghadirinya. Seusai film, dilakukan pembahasan dan diskusi. Peminatnya ternyata lumayan.

Sebagai pengelola warta jemaat, saya menurunkan tulisan tentang latar belakang acara tersebut. Pada edisi 26 November 1995 saya menulis:

Beberapa tahun yang lalu, di mana-mana mendadak muncul duplikat Demi Moore. Belum lama berselang, giliran kaum remaja pria yang dilanda demam potongan rambut cepat ala Keanu Reeves seiring dengan larisnya film Speed. Denmas Marto (nama samaran saya - Pen.)sendiri sempat tergelak membaca stiker Artman Forever kreasi Wader Boros (plesetan dari Warner Bros.) + Cah ISI. Film, tak pelak lagi, semakin menancapkan kukunya sebagai pembentuk budaya massa. Bukan cuma mempopulerkan model rambut dan memamerkan sosok idola, hampir setiap film juga mencoba menyampaikan "sesuatu" kepada masyarakat, menawarkan nilai-nilai.

Dan, kita menyadari, tidak banyak film yang secara tegas menonjolkan nilai-nilai kebenaran firman Allah.

Menghadapi situasi ini, orang Kristen terpilah ke dalam beberapa pandangan. Franky Schaeffer tergolong kalangan yang geram dan setengah meratap. Ini waktu untuk marah, katanya dalam buku A Time for Anger, menanggapi ketimpangan yang melanda dunia media massa dan seni di Amerika serikat akibat terpaan mitos netralitas - pandangan yang menyatakan bahwa setiap pandangan patut mendapat kesempatan yang sama untuk didengarkan, namun pada kenyataannya ruang yang sama tidak disediakan bagi nilai-nilai Kristiani. Dalam geramnya, ia merindukan, para seniman Kristen akan bangkit, mengambil alih dan memberi pengaruh dalam area strategis ini. Sebuah kerinduan yang luhur, namun juga tidak dapat dipungkiri, untuk mewujudkannya, masih ada PR lumayan panjang yang mesti diselesaikan.

Golongan lain, yang diwakili antara lain oleh Tony Campolo dan Gordon Aeschliman, tampaknya lebih berlapang hati dan bersikap praktis. Mereka menantang kita untuk meregangkan garis batas dan keluar dari tempurung keagamawian - batasan kaku yang tidak jarang membuat kita menjadi orang yang ganjil dan asing bagi orang-orang dunia.

Kenapa kita tidak mencoba memantau film-film yang tengah beredar, khususnya yang banyak diulas oleh pers? Film-film ini biasanya menimbulkan "deburan gelombang budaya", mempengaruhi pendapat dan perilaku orang banyak. Dengan melakukannya secara teratur - tanpa menjadi kecanduan oleh film - kita dapat menjadi lebih dekat dengan orang-orang yang hendak kita jangkau dengan kasih Kristus. "Dunia" mereka tidak lagi asing bagi kita, sehingga pada waktunya kita dapat menyampaikan iman kita dengan "bahasa" yang dapat mereka pahami.

Itulah antara lain alasan yang melandasi pemutaran video layar lebar setiap Sabtu malam. Kita mau menjadi semakin serupa dengan gambar Yesus - seorang tukang kayu, yang dengan amat luwes memasuki dunia kaum nelayan, kaum petani, para pemungut cukai... dan kemudian dengan amat fasih menyampaikan kebenaran firman Allah melalui perumpamaan-perumpamaan yang mengena bagi tiap-tiap kelompok masyarakat tersebut.

Menonton film, dengan demikian, dimaknai sebagai salah satu bagian dari ziarah, bagian dari perjalanan rohani menuju keserupaan dengan Kristus. Wuih, mulia banget! Namun, landasan itulah yang memantapkan saya untuk menyimak film secara lebih serius, bukan sekadar sebagai hiburan yang bisa disikapi sambil lalu.

***

Saya sendiri suka nonton film sejak kecil, namun baru belakangan mencoba-coba menulis tentang film. Semula saya hanya menyinggung atau menggunakan film sebagai ilustrasi renungan atau artikel. Baru dua-tiga tahun terakhir saya mencoba mengulasnya lebih jauh. Mula-mula tulisan-tulisan ini hanya terpajang di situs pribadi, lalu saya lontarkan melalui sejumlah milis. Ketika Majalah Bahana membuka rubrik "Film", dan saya diminta mengisinya, tulisan saya mendapatkan publik yang lebih luas.

Menurut saya, film terutama adalah sebuah cerita, bukan khotbah atau pidato yang instruktif. Film, dengan demikian, membuka ruang untuk tafsir majemuk dan keleluasaan untuk berdialog. Ia, seperti halnya karya seni lain, layak digeluti secara intens, bukan hanya dimanfaatkan sebagai ilustrasi. Dalam Alkitab, Yesus juga kerap melontarkan perumpamaan-perumpamaan kepada para pendengar-Nya dan Ia tidak berusaha menafsirkannya dengan suatu penerapan praktis. Ia cukup mengatakan, "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!", dan kemudian biasanya membiarkan mereka menarik kesimpulan sendiri. (Bayangkan seandainya Yesus, setelah menuturkan perumpamaan anak yang hilang, menantang orang-orang Farisi itu untuk bertobat - duh!)

Film-film yang bagus bukan hanya menyajikan cerita yang menarik dengan teknik yang menawan, namun juga mengandung butir-butir kebenaran yang kerap tak terduga. Film-film itu tidak menyodorkan jawaban yang gampangan dan praktis, namun malah menantang dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong kita untuk memahami dunia, sesama, dan akhirnya Sang Pencipta, secara lebih dalam lagi.

Karenanya, sebagai penikmat film, saya mencoba merefleksikan lebih jauh kisah yang terpapar pada layar. Di sini saya ingin membagikan sebagian 'oleh-oleh' yang saya dapatkan dari keasyikan menonton film tersebut. Syukur-syukur tulisan saya bisa menyumbangkan cara pandang lain atas film bersangkutan, yang kiranya bisa memancing dialog dan refleksi lebih lanjut.

***

Dengan ancangan di atas, mulai akhir April 2005 saya membagi halaman FILM dalam situs ini menjadi sebagai berikut:

  • Ulasan -- Ajang latihan untuk mengulas film dengan pendekatan dari dalam (intrinsik), menimbang kelebihan dan kekurangan sebuah film berdasarkan unsur-unsurnya: penyutradaraan, skenario, sinematografi, editing, tata artistik, tata suara, tata musik dan pemerann -- dengan kata lain, latihan menerapkan Dasar-dasar Apresiasi Film seperti ditulis oleh Marselli Sumarno (1996).

  • Refleksi Sinema -- Ini pendekatan reflektif yang saya uraikan di atas: mengaitkan cerita atau gagasan (atau cuplikan gagasan) sebuah film dengan dunia dan pengalaman lain yang lebih luas. Di sini saya ingin berbagi sedikit "oleh-oleh" dari ziarah pribadi saya menonton film: film-film yang menggugah, menantang, menghibur, atau malah mengganggu saya, melalui esei, renungan atau puisi. Tulisan-tulisan di bagian ini akan tidak terlalu memusingkan unsur teknis sebuah film.

  • Pernik-pernik -- Aneka tulisan seputar film yang bukan ulasan dan juga bukan refleksi. ;-)

  • Rekam Jejak -- Tadinya merupakan daftar "Film Favorit". Sejak 2005 (Kelompok #8) dipakai untuk mencatat film-film yang telah saya tonton, namun belum sempat diulas -- cukup komentar-komentar singkat menurut aspek tertentu yang kebetulan menarik minat saya, atau malah kecaman terhadap film yang ternyata menyebalkan. Diharapkan nanti bisa menjadi batu loncatan untuk menuliskan ulasan atau refleksi.

Selamat menyimak, saya tunggu tanggapan dan masukan Anda! ***

© 2004-2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1