Home | Renungan

Melepaskan Kulit Naga

Anda ingin berubah? Baiklah saya akan bercerita tentang Eustace.

C.S. Lewis (hehe, ini memang bukan cerita asli Denmas, melainkan karya sastrawan Kristen kelahiran Belfast, Irlandia, itu) menggambarkan Eustace sebagai anak laki-laki yang tidak punya teman. Dari keluarga yang sangat maju dan modern, vegetarian, tidak merokok, dan anti-minuman keras. Jauh di lubuh hatinya ia senang bila dapat marah-marah dan berlagak tuan besar.

Suatu ketika secara tak terduga ia tersedot ke Narnia, tercebur di lautnya dan bertemu dengan kapal Penjelajah Fajar yang sedang berlayar ke ujung dunia.

Di sebuah pulau, ia memisahkan diri, bermaksud lari dari rombongan. Ia berjumpa dengan seekor Naga yang tengah sekarat. Ketika turun hujan, ia berteduh di sarang Naga yang kini sudah mati itu. Ditemukannya harta karun berlimpah-limpah. Ia mencoba mengenakan sebuah gelang di lengannya. Menunggu hujan, tertidurlah ia. Ketika bangun, lengannya sakit sekali seperti tergigit. Apa yang terjadi? "Tidur di sarang Naga dengan pikiran serakus Naga, telah membuatnya menjelma menjadi Naga pula!" (Pelayaran Penjelajah Fajar, h. 85).

Semula ia senang karena menjadi makhluk yang kuat dan menakutkan, namun kemudian ia menyadari, hal itu tak diingininya. "Ia ingin berkawan. Ia ingin kembali berada di antara manusia, berbincang, tertawa, dan saling berbagi segalanya. Ia sadar bahwa kini ia adalah sejenis monster yang terpisah dari alam manusia" (ibid., h. 86).

Hati Eustace pun mulai berubah. Ia menampakkan diri kepada rombongan Penjelajah Fajar. Dalam bentuk Naga, ia suka menolong dan bermain dengan para awak kapal. Namun, ada satu hal yang selalu mengusik Eustace. "Dan Eustace yang malang segera menyadari bahwa semenjak hari pertama di kapal itu ia sudah menjadi bahan persoalan, dan kini pun demikian pula. Hal itu mencekam ke dalam benaknya, seperti gelang yang mencekam di lengannya" (ibid., h. 97).

Sampai suatu malam, ia didatangi Aslan sang Singa (lambang Yesus Kristus, Sang Singa Yehuda), yang menuntunnya ke sebuah sumur. "Airnya amat jernih dan aku merasa bila aku berenang di situ akan bisa menghilangkan rasa sakit di kakiku. Namun si Singa menyuruhku melepaskan pakaian dulu. Entah, ia ucapkan itu dengan keras atau lirih.

Aku cuma bisa menjawab bahwa aku tak bisa melepaskan pakaian karena memang tak mengenakannya, sampai tiba-tiba aku ingat bahwa mungkin saja naga seperti ular yang bisa mengganti kulit. Ah, aku ingat, itulah yang dimaksud oleh Singa itu. Maka, aku mulai menggurat tubuhku dan kulitku segera bertebaran di tempat itu. Lalu aku mulai menggurat lebih dalam lagi, dan ternyata seluruh kulitku jadi terkelupas dengan rapi. Rasanya seperti baru sembuh dari sakit, atau seperti pisang yang baru dikupas. Dalam satu menit aku sudah bisa keluar dari kulit itu. Tampak olehku kulit itu tergeletak di sebelahku, tampak menjijikkan. Rasanya nyaman sekali. Maka aku segera turun untuk mandi.

Namun begitu aku memasukkan kaki, kulihat dari pantulan air bahwa wujudku masih keras dan keriput dan kasar seperti sebelumnya. Oh, baiklah, kataku, artinya bahwa aku masih punya pakaian yang lebih kecil dari yang tadi, dan itu harus kukupas pula. Maka aku segera menggurat lagi sampai bisa keluar darinya dan kuletakkan kulitku itu di samping yang tadi, lalu kembali turun untuk mandi.

Ternyata hal itu terulang lagi, sampai terpikir olehku, berapa lapis pakaian sih yang harus kulepas? Aku semakin ingin mencuci kakiku. Maka aku segera kembali mengupas kulit untuk yang ketiga kalinya dan keluar dari dalamnya. Namun setelah hendak berenang, kembali aku merasa bahwa itu belum sempurna.

Lalu Singa itu berkata -- aku tak yakin apakah benar ia berbicara -- 'Biarlah kutolong kau membuka pakaian.' Aku takut melihat cakarnya, terus terang saja, namun rasanya aku sudah hampir putus asa. Maka aku cuma berbaring telentang dan pasrah.

Guratan pertama yang dia lakukan begitu dalam, serasa sampai ke jantungku. Dan ketika ia mulai menarik lepas kulitku, sakitnya bukan kepalang. Yang membuatku bisa menahan sakitnya hanyalah membayangkan kenikmatan setelah ia terlepas nantinya. Sakitnya bukan main, tapi betapa senangnya melihatnya terkupas.... Nah, dengan cepat ia mengulitiku -- tak jauh beda dengan yang kulakukan tiga kali sebelumnya, hanya yang kulakukan sendiri tanpa rasa sakit -- tahu-tahu kulitku sudah tergeletak di rumput, tebal sekali, dan lebih gelap, serta lebih buruk lagi dibandingkan yang terdahulu. Sedangkan aku sendiri sudah jadi licin dan halus bagaikan pepaya terkelupas, dan jauh lebih kecil daripada sebelumnya. Lalu ia memegangku -- aku tak suka karena sekarang tubuhku sudah jadi lunak sekali tanpa kulit -- dan melemparku ke air. Rasanya agak menggigit; entah seperti apa; tapi hanya sesaat. Setelah itu menjadi nikmat sekali dan segera setelah berenang dan bermain air terasa bahwa sakit sakit di lenganku sudah lenyap sama sekali. Dan lalu tahulah aku penyebabnya. Aku telah menjadi manusia lagi.... Setelah beberapa saat si Singa mengambilku dan membantuku berpakaian." (ibid., h. 100-102)

Seperti itulah pula keadaan kita. Kita tidak sanggup melepaskan "pakaian kulit naga" kita dengan tangan kita sendiri. Hati kita bebal (Markus 7:20-23). Kita tidak sanggup untuk berhenti berbuat dosa. "Aku manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita" (Roma 7:24-25). Yesus sanggup menjadikan segala-galanya baik (Markus 7:37). SEGALA-GALANYA -- termasuk hati kita yang jahat.

Kita hanya perlu datang kepada-Nya. Temuilah Dia. Biarlah singa Yehuda, dengan cakar-Nya yang kuat, melepaskan kulit Naga yang selama ini mencengkeram diri kita. *** (21/02/1999)

Catatan: Seluruh kutipan diambil dari edisi bahasa Indonesia, alih bahasa oleh Biro Penerjemah PP Jakarta, terbitan Dian Rakyat, Jakarta, 1993.

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1