Home | Puisi

Puisi-puisi 1995

LANGGAM SEDERHANA

ingin kutuliskan lirik keroncong, sederhana saja
rumput-rumput sudut kentungan sudah mahir menembangkannya
ciumlah, aromanya musim semi narnia

pertengkaran-pertengkaran dahulu sudah lewat
mendadak kita sampai ke pelabuhan tak terduga
bangkit dari mimpi ketika fajar menyemburat
ah, kita punya penerjemah nan luar biasa
kilas mata menjelma kata-kata

benua-benua, ajaib, dalam satu pagi menjadi begitu dekat
apa lagi yang bakal merintang
kalau napasnya mengembangkan layar kita?
kita akan menjelajah!
kita akan mencapai ujung timur dunia
tempat lili menghampar sepanjang cakrawala

Yogya, 1995

CATATAN PASKAH

("siapakah selain engkau yang telanjang, mati bagiku?"
aku terisak di depan video Kristus.)1

matahari gerhana. awan-awan berhenti berarak.
rumput-rumput terkesiap. bumi duka:
sekali ini darah persembahan begitu manis
dan begitu tajam
dari puncak langit menembus kedalaman
lorong-lorong hades dan gehenna2
yang sekian abad dinyalakan dalam magma.

patah, patahlah kunci-kunci. tirai tersibak:
ia mau menempatkan tabutnya di relung hati.
meterainya dalam testamen yang tak lekang,
tak terhapuskan: His tomb is empty.

(rembulan menyepuh langit dengan kebeningan,
dengan bisik angin: karena ia tidak berdiam diri,
ia mendengar ketika aku bernyanyi.)

Paskah, 1995

Catatan:
1 Diilhami kesaksian Bapak Eriel Siregar.
2 Dalam Wahyu diterjemahkan "maut dan kerajaan maut".

PELAYARAN

Angin Pencobaan memabukkan aku. Kuteguk cawan dosa dan aku terlempar dari kapal peperangan. Megap-megap di Lautan Rasa Bersalah, bergulung-gulung Ombak Penuduhan menerkamku. Tak kuperoleh jawaban dari Langit Ketakutan yang berwarna tembaga. Justru kian tenggelam saja.

Teriakku habis sudah. Gelap. Dalam ketakberdayaan, Gelombang Kasih Karunia menghempaskan diriku pada pasir Pantai Pertobatan. Ketika terbangun, kudengar kelepak Albatros. Di sisiku Danau Perak dengan Bunga-bunga Lili bermazmur di sekitarnya. Airnya bening dan dingin, manis dan memulihkan.

Aku berdiri. Kulihat padang rumput serba hijau dan seekor Anak Domba. Begitu putih bulunya. Tapi matanya! Matanya membuat aku tertunduk. Bening dan hitam, tajam dan menikam. Aku jatuh berlutut. Mataku panas, dadaku sesak. Tangisku pecah.

Mendadak atmosfir menjadi hangat dan harum. Aliran napas menghembusiku. Aku mendongak dan ternganga. Anak Domba itu... menjelma seekor Singa!*) Singa dengan surai dan bulu serba keemasan, berlatarkan langit biru cemerlang.

Dan, ajaib! Aumannya menyusupkan keberanian ke dalam pori-poriku, otot-ototku. Angin menafsirkan, bahwa ia di pihakku. Dalam hembusan napasnya, aku siap berlayar kembali. Bertempur kembali!

Ujung Pandang, 1995
*) Adegan dalam Pelayaran Penjelajah Fajar karya C.S. Lewis.

KAIROS
- ... and that history as we know it now began with Christ, and that Christ's Gospel is its foundation.
- Nikolai Nikolaievich dalam Doctor Zhivago

tik-tok jam di kamar - menghambur seperti konfeti
atau detak sendiri-sendiri - menikam: tidak, ia harus
dilepaskan dari belitan kronologi!

sejarah, almanak, dan usang. siapakah sebenarnya
membacanya? dimensi bukan sekadar detik ke detik.
kita rindukan: roh yang mendadak meledak
di tengah-tengahnya.

ya, sehingga kita mengerti arti kerja dan berjaga-jaga
mengerti butir-butir pasir di gelas waktu
bukanlah milik kita. dan saat kebosanan itu
diusung ke sebuah kawah yang jauh dan menggelegak
kita nikmati istirahat yang hidup dan bergairah.
(penyesalan ini, dirampungkan sejak awal sekali.)

Yogya, 1995

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1