MAKTABAH ABU SALMA

 

 

KEISTIMEWAAN AQIDAH ISLAM

(AQIDAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH)[1]

Bagian I

 

Oleh : Fadhilatus Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd

 

Aqidah Islam yang tercermin di dalam aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh aqidah manapun. Hal itu tidak mengherankan, karena aqidah tersebut diambil dari wahyu yang tidak tersentuh kebatilan dari arah manapun datangnya.

 

Keistimewaan itu antara lain:

 

         1.             Sumber Pengambilannya adalah Murni

 

Hal itu karena aqidah Islam berpegang pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ Salafush shalih. Jadi, aqidah Islam diambil dari sumber yang jernih dan jauh dari kekeruhan hawa nafsu dan syahwat.

 

Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh berbagai madzhab, millah dan ideologi lainnya di luar aqidah Islam (aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah).

 

Orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.

 

Kaum sufi mengambil ajarannya dari kasyaf (terbukanya tabir antara makhluk dengan Tuhan), ilham, hadas (tebakan), dan mimpi.

 

Kaum Rafidlah mengambil ajarannya dari asumsi mereka di dalam al-jafr (tulisan tangan Ali bin Abi Thalib t) dan perkataan imam-imam mereka.[2]

 

Para Ahli kalam mengambil ajarannya dari akal (rasio).

 

Sementara itu para penganut madzhab-madzhab pemikiran dan aliran-aliran sesat lainnya, seperti Komunisme dan Sekularisme, mendasarkan pokok-pokok mereka pada sampah pikiran orang-orang sesat dan pola pikir orang-orang kafir dan atheis yang menjadikan hawa nafsu dan syahwat mereka sebagai sumber hukum bagi hamba-hamba Allah.[3]

 

Sedangkan aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah –alhamdulillah- selamat dan bersih dari kebohongan dan kepalsuan semacam itu.

 

         2.             Berdiri di atas Pondasi Penyerahan Diri kepada Allah dan Rasul-Nya

 

Hal itu karena aqidah bersifat ghaib, dan yang ghaib tersebut bertumpu pada penyerahan diri. Dus, kaki Islam tidak akan berdiri tegak melainkan di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan.

 

Jadi, iman kepada yang ghaib merupakan salah satu sifat terpenting bagi orang-orang mukmin yang dipuji oleh Allah Ta’ala. Firman-Nya,

 

“Alif laam miin. Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. Yaitu, mereka yang beriman kepada yang ghaib,  yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki  yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3)

 

Sebab, akal tidak mampu memahami yang ghaib dan tidak mampu secara mandiri mengetahui syariat secara rinci, karena kelemahan dan keterbatasannya. Sebagaimana pendengaran manusia yang terbatas penglihatannya yang terbatas, dan kekuatan yang terbatas, maka akalnya pun terbatas. Sehingga tidak ada pilihan lain selain beriman kepada yang ghaib dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla.

 

Sedangkan aqidah-aqidah lainnya tidak berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan tunduk kepada rasio, akal, dan hawa nafsu. Padahal, sumber kerusakan umat dan agama tidak lain adalah karena mendahulukan aqli daripada naqli, mendahulukan rasio daripada wahyu, dan mendahulukan hawa nafsu daripada petunjuk.[4]

 

         3.             Sesuai dengan Fitrah yang Lurus dan Akal yang Sehat

 

Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan fitrah yang sehat dan selaras dengan akal yang murni. Akal murni yang bebas dari pengaruh syahwat dan syubuhat tidak akan bertentangan dengan nash yang shahih dan bebas dari cacat.

 

Sedangkan aqidah-aqidah lainnya adalah halusinasi dan asumsi-asumsi yang membutakan fitrah dan membodohkan akal.

 

Oleh karena itu, jikalau diandaikan bahwa seseorang bisa melepaskan diri dari segala macam aqidah dan hatinya menjadi kosong dari kebenaran dan kebatilan, kemudian ia mengamati semua jenis aqidah –yang benar maupun yang salah- dengan adil, fair, dan pemahaman yang benar, niscaya ia akan melihat kebenaran dengan jelas dan mengetahui bahwasanya orang yang menganggap sama antara aqidah yang benar dan yang tidak benar adalah seperti orang yang menganggap sama antara malam dan siang.[5]

 

         4.             Sanadnya Bersambung kepada Rasulullah r, Para Tabi’in, dan Imam-Imam Agama, baik dalam Bentuk Ucapan, Perbuatan, maupun Keyakinan (I’tiqad)

 

Keistimewaan ini merupakan salah satu karakteristik Ahli Sunnah yang diakui oleh banyak seterunya, seperti Syi’ah dan lain-lain. Sehingga –alhamdulillah- tidak ada satu pun di antara pokok-pokok Ahli Sunnah wal Jama’ah yang tidak memiliki dasar atau landasan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau riwayat dari generasi Salafush shalih.

 

Berbeda dengan aqidah-aqidah lainnya yang bersifat bid’ah dan tidak memiliki landasan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun riwayat dari generasi Salafush shalih.

 

         5.             Jelas, Mudah dan Terang

 

Aqidah Islam adalah aqidah yang mudah dan jelas, sejelas matahari di tengah hari. Tidak ada kekaburan, kerumitan, kerancuan, maupun kebengkokan di dalamnya. Karena, lafazh-lafazhnya begitu jelas dan makna-maknanya demikian terang, sehingga bisa dipahami oleh orang berilmu maupun orang awam, anak kecil maupun orang tua. Karena Rasulullah r membawakannya dalam kondisi yang putih bersih, malam harinya seperti siang harinya. Tidak ada yang menyimpang darinya selain orang yang binasa.

 

Salah satu contoh kejelasannya adalah sebuah kitab yang sangat populer di dalam Hadis tentang Jibril.[6] Hadis ini memaparkan pokok-pokok ajaran Islam dengan sangat mudah, ringan, jelas dan terang.

 

Dalil-dalil lain seperti itu sangat banyak jumlahnya. Begitu pasti, nyata, dan jelas. Maknanya merasuk ke dalam pemahaman dengan penglihatan awal dan pandangan pertama. Semua orang bisa memahaminya. Karena dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah bagaikan makanan yang dimanfaatkan oleh setiap manusia, bahkan seperti air yang bermanfaat bagi anak-anak, bayi, orang yang kuat maupun orang yang lemah.

 

Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah demikian nikmat dan jelas, sehingga bisa memuaskan dan menenangkan jiwa, serta menanamkan keyakinan yang benar dan tegas di dalam hati.

 

Tidakkah anda memikirkan bahwa yang mampu memulai pasti lebih mampu untuk mengembalikan lagi. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan Dia-lah yang memulai penciptaan kemudian mengembalikannya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya.” (QS. Ar-Ruum: 27)

 

Manajemen di sebuah tempat saja tidak mungkin bisa berjalan dengan tertib bilamana ditangani oleh banyak manajer. Bagaimana pula dengan alam semesta? Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sekiranya di langit dan di bumi itu ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (QS. Al-Anbiya’: 22)

 

Yang hendak menciptakan pastilah mengetahui dahulu kemudian menciptakan. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui; sedangkan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al-Mulk: 14)

 

Dalil-dalil semacam itu bagaikan air yang digunakan oleh Allah untuk menciptakan segala sesuatu yang hidup.[7]

 

         6.             Bebas dari Kerancuan, Paradoks dan Kekaburan

 

Di dalam aqidah Islam sama sekali tidak ada tempat untuk hal-hal semacam itu. Bagaimana tidak? Aqidah Islam adalah wahyu yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan dari arah manapun datangnya.

 

Sebab, kebenaran itu tidak mungkin rancu, paradoks, maupun kabur, melainkan serupa satu sama lain dan saling menguatkan. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Andaikata Al-Qur'an itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka mendapat banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)

 

Sedangkan kebatilan justru sebaliknya. Anda menemukan bahwa bagian yang satu membatalkan bagian yang lain, dan para pendukungnya benar-benar paradoks. Bahkan anda bisa menemukan salah seorang dari mereka mengalami paradoks dengan dirinya sendiri, dan ucapan-ucapannya tampak serampangan.[8]

 

Jadi, aqidah Ahli Sunnah bebas dari semua itu. Sedangkan aqidah-aqidah lainnya, jangan ditanya kerancuan, paradoks, dan kekaburan yang ada di dalamnya. Kaum Rafidlah, misalnya, mereka mengatakan bahwa para imam mereka mengetahui apa-apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari mereka. Mereka tahu kapan mereka akan mati, dan mereka tidak akan mati kecuali dengan persetujuan mereka.[9]

 

Salah satu pokok agama mereka (kaum Syi’ah Rafidlah) adalah berlebih-lebihan terhadap para imam. Mereka menyebut para imam itu memiliki sifat-sifat yang bahkan tidak dimiliki oleh para Nabi. Tapi kita melihat pokok agama mereka yang lain ternyata bertolak belakang dengan klaim tersebut. Karena, salah satu prinsip agama mereka adalah “taqiyah” (menghindar).

 

Jika mereka ditanya, “Mengapa imam-imam anda bersembunyi? Mengapa mereka tidak menyuarakan kebenaran?” Maka mereka akan menjawab, “Taqiyah” (menghindar).” Jika mereka ditanya, “Taqiyah (menghindar) dari siapa?” Mereka menjawab, “Dari musuh-musuh.” Musuh yang mana? Bukankah anda mengklaim bahwa para imam itu tahu kapan mereka akan mati, dan mereka tidak akan mati kecuali dengan persetujuan mereka?!

 

Hal yang sama juga tentang kaum sufi. Betapa banyak paradoks (pertentangan) di dalam keyakinan mereka. Salah satu contohnya adalah bahwa sebagian dari mereka berkeyakinan bahwa Nabi r adalah makhluk pertama. Bahkan, menurut mereka, seluruh alam semesta ini diciptakan dari cahayanya (nuur Muhammad r).[10]

 

Kendati pun demikian, mereka terlihat selalu mengadakan perayaan maulid (hari kelahiran) Nabi r. Jika mereka ditanya, “Perayaan apa yang anda adakan?” Mereka menjawab, “Perayaan maulid Nabi r yang dilahirkan pada tahun gajah.” Lihatlah paradoks ini. Anda tidak perlu heran terlalu jauh, karena paradoks adalah perilaku dari setiap kebatilan dan pembuatnya.

 

Pun, tentang madzhab-madzhab pemikiran sesat lainnya. Komunisme –misalnya- yang dibangun berdasarkan atheisme dan pengingkaran terhadap semua agama. Mereka menyatakan bahwa tuhan tidak ada dan seluruh kehidupan adalah materi. Ternyata ketika penindasan Hitler terhadap Rusia semakin kuat pasca Perang Dunia Kedua, maka Stalin si durjana memerintahkan untuk membuka tempat-tempat ibadah dan menundukkan diri kepada Allah Ta’ala.

 

         7.             Aqidah Islam Terkadang Berisi Sesuatu yang Membuat Pusing, tetapi tidak Berisi Sesuatu yang Mustahil

 

Di dalam aqidah Islam terdapat hal-hal yang memusingkan akal dan sulit dipahami, seperti perkara-perkara ghaib: siksa kubur, nikmat kubur, shirath (jembatan), haudl (telaga), Surga, Neraka, dan bagaimana bentuk sifat-sifat Allah Ta’ala.

Akal mengalami kebingunan dalam memahami hakikat dan bentuk perkara-perkara tersebut. Akan tetapi, akal tidak menilainya mustahil (impossible), melainkan pasrah, tunduk, dan patuh. Karena, perkara-perkara tersebut berasal dari wahyu yang diturunkan, yang tidak berbicara dari hawa nafsu dan tidak dimasuki kebatilan dari arah manapun datangnya.[11]

 

Sedangkan aqidah-aqidah lainnya berisi kemustahilan-kemustahilan yang secara aksioma dinyatakan mustahil oleh akal. Misalnya, aqidah-aqidah Yahudi yang sudah diubah. Orang-orang Yahudi  beranggapan bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah. Menurut mereka, Allah telah memilih mereka sebagai pilihan dan menjadikan bangsa-bangsa lainnya sebagai keledai-keledai yang bisa ditunggangi oleh bangsa Yahudi.

 

Lihatlah omong kosong di atas yang dinilai mustahil oleh akal. Sebab, bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Bijaksana menjadi rasialis, berpihak kepada salah satu etnis, dan menelantarkan etnis-etnis lainnya?!

 

Adapun umat Nashrani, mereka mengatakan bahwa Allah adalah oknum ketiga dari tiga oknum (trinitas). Menurut mereka, dengan nama bapa, anak dan ruhul qudus adalah tuhan yang satu. Bagaimana mungkin tiga oknum menjadi satu? Ini adalah kemustahilan yang tidak bisa digambarkan.

 

Termasuk keyakinan mereka tentang “Perjamuan Tuhan”, sertifikat pengampunan dosa, dan lain-lain yang dinilai mustahil oleh akal.[12]

 

 

Oleh sebab itu, sebagian cerdik pandai mengatakan bahwa semua ucapan manusia bisa dimengerti kecuali ucapan umat Nashrani. Hal itu karena orang yang membuatnya tidak bisa memahami apa yang mereka katakan. Mereka berbicara berdasarkan kebodohan. Mereka menggabungkan dua hal yang paradoks di dalam pembicaraan mereka. Karena itu, ada sebagian orang yang mengatakan, “Seandainya ada 10 orang Nashrani berkumpul, niscaya mereka akan terbagi menjadi 11 pendapat.” Dan ada pula yang mengatakan, “Seandainya anda bertanya kepada seorang pria Nashrani, istrinya dan anaknya tentang tauhid mereka, niscaya si pria akan mengatakan sesuatu, si wanita mengatakan sesuatu yang lain dan si anak mengatakan pendapat yang lain lagi.[13]

 

Jikalau kita mengamati dengan seksama aqidah-aqidah yang diyakini oleh aliran-aliran sesat, maka kita akan menemukan bahwa di dalamnya banyak terdapat kemustahilan. Kaum Rafidlah, misalnya, berpendapat bahwa Al-Qur’anul Karim yang ada di tangan umat Islam dan telah dijamin untuk dilindungi oleh Allah adalah Al-Qur’an yang tidak lengkap dan telah diubah. Menurut mereka, Al-Qur’an yang lengkap bersama dengan imam yang sedang ditunggu akan muncul di akhir zaman dari sebuah terowongan di Samura. Pertama-tama, lihatlah khurafat terowongan itu; kemudian, simaklah statemen mereka, bahwa Al-Qur’an yang lengkap bersama dengan imam yang sedang ditunggu akan muncul di akhir zaman.[14]

 

Lalu, apa gunanya Al-Qur’an yang tidak akan muncul kepada manusia kecuali di akhir zaman nanti? Kemudian, sesuaikah dengan kebijaksaan, kasih sayang dan keadilan Allah bilamana manusia hidup tanpa petunjuk dan wahyu hingga ketika akhir zaman tiba maka Allah akan menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi mereka?!

 

Sedangkan kaum Nushairiyah memiliki reputasi tertinggi dalam kebohongan ini. Semua firqah mereka menyembah Ali bin Abi Thalib t.

 

Kendati pun demikian mereka sangat menghormati pembunuhnya, Abdurrahman bin Muljam. Karena mereka beranggapan bahwa si pembunuh itu telah membebaskan lahut dari nasut.[15]

 

Mereka juga berangapan bahwa tempat tinggal Ali bin Abi Thalib t adalah awan. Jika ada awan yang melintasi mereka, maka mereka akan berkata, “Assalamu’alaika, ya Abal Hasan (Salam sejahtera untukmu, wahai Abul Hasan).” Mereka juga mengatakan bahwa petir adalah suaranya dan kilat adalah cemetinya.

 

Sebagian dari mereka beranggapan bahwa Ali tinggal di bulan. Golongan ini disebut Firqah Qomariyah. Mereka berpendapat bahwa Ali tinggal di bulan, pada bagian kehitaman di bulan tersebut. Oleh karena itu, mereka mengkultuskan bulan dan menyembah Ali yang berada di sana.

 

Subhanallah! Lalu, apa gerangan bagian kehitaman yang ada di bulan itu sebelum Ali diciptakan?!

 

Sebagian lainnya beranggapan bahwa Ali berada di matahari. Oleh karena itu, mereka menghadap ke arah matahari sewaktu beribadah. Golongan mereka disebut dengan Firqah Syamsiyah.[16]

 

Jika kita mengamati aqidah kaum Baha’iyah, maka kita akan melihatnya penuh dengan keanehan, dan setiap orang yang berakal tidak punya pilihan lain selain memvonisnya sebagai aqidah yang sesat dan mustahil.

 

Ambillah contoh tentang kiblat kaum Baha’iyah. Ketika mengerjakan shalat, mereka menghadap ke arah pemimpin mereka, Al-Baha’ Al-Mazandarani. Hal itu ditegaskan sendiri oleh sang pemimpin. Kiblat itu berubah-ubah seiring dengan perpindahan dan pergerakan sang pemimpin. Ketika ia berada di Teheran, maka penjara Teheran adalah kiblat mereka. Dan ketika ia berada di Baghdad, maka kiblat mereka adalah Baghdad. Pun ketika ia di Akka, maka kiblat mereka di Akka. Begitulah seterusnya…

 

Adakah seseorang yang pernah melihat permainan seperti ini? Kemudian, bagaimana cara kaum Baha’iyah mengetahui kiblat mereka sewaktu Al-Baha’ –sang pemimpin- berada di perjalanan pada waktu alat komunikasi nirkabel dan televisi belum ada?[17]

 

Jadi, alhamdulillah, aqidah Ahli Sunnah bebas dari itu semua.

 

         8.             Umum, Universal dan Berlaku untuk Segala Zaman, Tempat, Umat dan Keadaan

 

Aqidah Islam bersifat umum, universal, dan berlaku untuk segala zaman, tempat, umat, dan keadaan. Ia berlaku bagi generasi awal maupun belakangan, bangsa Arab maupun non Arab. Bahkan, segala urusan tidak bisa berjalan tanpa aqidah Islam.

 

         9.             Kokoh, Stabil dan Kekal

 

Aqidah Islam adalah aqidah yang kokoh, stabil, dan kekal. Aqidah Islam sangat kokoh ketika menghadapi bertubi-tubi pukulan yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi, Nashrani, Majusi, dan lain-lain.

 

Setiap kali mereka menganggap bahwa tulangnya sudah rapuh, baranya sudah redup, dan apinya sudah padam, ternyata ia kembali muda, terang, dan jernih.

 

Aqidah Islam akan tetap kokoh sampai hari Kiamat dan senantiasa dilindungi oleh Allah. Ia ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya dan dari satu angkatan ke angkatan berikutnya tanpa mengalami perubahan, penggantian, penambahan, maupun pengurangan.[18]

 

Bagaimana tidak, sedangkan Allah lah yang langsung menangani pemeliharaan dan eksistensinya, dan tidak menyerahkan hal itu kepada salah satu makhluk-Nya?

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguh-nya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)

 

Dia juga berfirman,

 

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8)

 

Salah satu contoh yang menunjukkan kekokohan dan keberlanjutan aqidah Islam adalah bahwa pendapat-pendapat Ahli Sunnah tentang sifat-sifat Allah, takdir, syafaat, dan lain-lain, semuanya masih terpelihara, sebagaimana diriwayatkan dari generasi Salaf.

 

Ini sangat berbeda dengan millah-millah yang lain, golongan-golongan yang sesat, dan paham-paham yang destruktif. Kaum Yahudi dan Nashrani telah melakukan penggantian, pengubahan, dan manipulasi terhadap kitab suci mereka. Sedangkan firqah-firqah lainnya jarang sekali mampu bertahan dengan memegang teguh sebuah pokok.

 

Aqidah-aqidah tersbut tidak mempunyai sifat kekal dan berkelanjutan. Betapapun besar dan bagusnya aqidah-aqidah tersebut ternyata tidak mampu bertahan dalam waktu yang lama setelah melewati banyak perubahan dan berbagai macam perkembangan. Tidak lama setelah batangnya mengeras dan durinya menguat, tiba-tiba ia mulai hilang dan lenyap. Karena, aqidah-aqidah atau paham-paham tersebut adalah produk manusia yang memiliki keterbatasan dalam hal pengetahuan dan kebijaksanaan.

 

Tidak ada bukti yang menunjukkan hal itu dengan lebih jelas ketimbang fakta komunisme yang pernah menggemparkan dan menghebohkan dunia. Tidak lama setelah komunisme mencapai puncak kejayaannya, tiba-tiba ikatannya terlepas dan susunannya berguguran di tangan para penganutnya sendiri.

 

      10.           Mengangkat Derajat Para Penganutnya

 

Barangsiapa menganut aqidah Islam lalu pengetahuannya tentang aqidah itu meningkat, pengamalannya terhadap konsekuensi aqidah pun meningkat, dan aktifitasnya untuk mengajak manusia ke dalamnya juga meningkat, maka Allah akan mengangkat derajatnya, menaikkan pamornya, dan menyebarluaskan kemuliaannya di tengah khalayak, baik dalam skala individu maupun kelompok.

 

Hal itu karena aqidah yang benar merupakan hal terbaik yang didapatkan oleh hati dan dipahami oleh akal. Aqidah yang benar akan membuahkan pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang luhur. Orang yang memilikinya akan mencapai puncak keutamaannya, sempurna kemuliaannya, dan tinggi derajatnya di tengah-tengah manusia.

 

Keutamaan sejati yang tidak tertandingi oleh keutamaan manapun dan kemuliaan tertinggi yang tidak bisa dicapai oleh kemuliaan manapun, sesungguhnya wujudnya adalah upaya mencapai kesempurnaan dan komitmen untuk menghiasi diri dengan keutamaan dan membersihkan diri dari kenistaan.

 

Kemuliaan seperti itulah yang bisa mengangkat hati, menyucikan jiwa, menjernihkan pandangan mata, dan mengantarkan pemiliknya kepada tujuan tertinggi dan tempat terhormat. Dan kemuliaan itulah yang bisa mengangkat umat ke puncak kejayaan dan kemuliaan. Sehingga, kehidupan yang baik bisa diraih di dunia dan kebahagiaan yang kekal bisa dirasakan di Akhirat. Dasar dan pondasi kemuliaan itu adalah aqidah yang benar yang dibangun di atas pondasi iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk, berikut pekerjaan-pekerjaan hati yang berporos pada kembali kepada Allah dan tertariknya seluruh dorongan hati kepada-Nya, disertai pelaksanaan terhadap syariat-syariat yang lahir, serta pemenuhan hak-hak seluruh makhluk.[19]

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11)

 

 

(bersambung bagian II)

 

 

Dialihbahasakan dari Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah : Mafhumuha  Khashaishuha wa Khashaishu Ahliha karya Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd dan ditaqdim oleh al-Allamah Ibnu Bazz rahimahullahu

 

 

HOME >>>



[1] Lihat Dakwah At-Tauhid karya Al-Harras, hal. 252-257; Rasa’il fi Al-Aqidah karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, hal. 43-44; Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah, hal. 29-34; dan Wujub Luzum Al-Jama’ah wa Tarki At-Tafarruq, DR. Jamal bin Ahmad bin Basyir Badi, hal. 286-287

[2] Lihat Ar-Rad Al-Kafi ‘Ala Mughalathati Ad-Duktur Ali Abdul Wahid Wafi karya Ihsan Ilahi Zhahir, hal. 211-216; Ushul Madzhab Asy-Syi’ah Al-Imamiyah Al-Itsnay ‘Asyariyah karya DR. Nashir Al-Qifari, 2/586, 588-609; dan Mas’alah At-Taqrib Baina Ahli Sunnah wa Asy-Syi’ah karya DR. Nashir Al-Qifari, 1/247

[3] Tentang komunisme lihat Madzahib Fikriyah Mu’ashirah, Muhammad Quthub, hal. 409; Al-Kaid Al-Ahmar, Abdurrahman Habankah Al-Maidani; Asy-Syuyu’iyah fi Mawazin Al-Islam, Labib As-Sa’id; dan Naqd Ushul Asy-Syuyu’iyah, Syaikh Shalih bin Sa’ad Al-Luhaidan. Tentang sekularisme lihat Al-Ilmaniyah DR. Safar bin Abdurrahman Al-Hawali, hal. 21-24, 132-134; dan Al-Ilmaniyah wa Tsimariha Al-Khabitsah, Syaikh Muhammad Syakir Asy-Syarif

[4] Lihat Al-Mahdi Haqiqah La Khurafah, Syaikh Muhammad bin Isma’il, hal. 14

[5] Lihat Al-Adillah wa Al-Qawathi’ wa Al-Barahin fi Ibthali Ushul Al-Mulhidin, Syaikh Ibnu Sa’di, hal. 309

[6] Lihat Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, 1/36-38, no. 8

[7] Lihat Tarjih Asalib Al-Qur’an ‘Ala Asalib Al-Yunan, Ibnul Wazir, hal. 21-22

[8] Lihat Al-Adillah wa Al-Qawathi’ wa Al-Barahin, hal. 348

[9] Al-Mujaz fi Al-Madzhib wa Al-Adyan Al-Mu’ashirah, DR. Nashir Al-Aql, Dr. Nashir Al-Qifari, hal. 124; Aqidah Al-Imamiyah Inda Asy-Syi’ah Al-Itsnay Asyariyah, DR. Ali As-Salus, hal. 80-85; Aqidah Al-Imamah Inda Al-Ja’fariyah fi Dlau’I As-Sunnah, As-Salus, Badzlu Al-Majhud fi Musyabahati Ar-Rafidlah li Al-Yahud, Abdullah Al-Jumaili, 2/456-467. Dan lihat Al-Khuthuth Al-Aridlah, Muhibbuddin Al-Khathib, tahqiq: Muhammad Malullah, hal. 69, Asy-Syi’ah wa As-Sunnah, Ihsan Ilahi Dzahir, hal. 66, Asy-Syi’ah Al-Imamiyah Al-Itsnay Asyariyah fi Mizan Al-Islam, Rabi’ bin Muhammad As-Su’udi, hal. 190-193, dan Al-Khumaini wa Tafdlilu Al-A’immah ‘Ala Al-Anbiya’, Muhammad Malullah

[10] Lihat Hadzihi Hiya Ash-Shufiyah, Syaikh Abdurrahman Al-Wakil, hal. 74-75; dan Al-Fikr Ash-Shufi fi Dlau’I Al-Kitab wa As-Sunnah, Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq, hal. 38

[11] Lihat Dar’u Ta’arudli Al-Aqli wa An-Naqli, 3/147, Al-Firaq Baina Auliya’ Ar-Rahman wa Auliya’ Asy-Syaithon, hal. 89; dan Ad-Durroh Al-Mukhtahsarah fi Mahasin Ad-Diin Al-Islami, Ibnu Sa’di, hal. 40

[12] Perjamuan Tuhan termasuk salah satu keyakinan umat Nashrani yang sesat. Hakikatnya, mereka beranggapan bahwa Yesus pernah mengumpulkan murid-muridnya pada malam hari sebelum penyalibannya. Konon, ketika itu Yesus membagikan khamr (minuman keras) dan roti kepada mereka. Yesus memotong-motong roti itu dan membagikannya kepada mereka untuk dimakan. Karena –menurut mereka- khamr mengisyaratkan darah Yesus dan roti mengisyaratkan jasadnya. Sehingga, barangsiapa memakan roti dan meminum khamr di gereja pada hari Paskah, maka makanan dan minuman itu akan berubah wujud di dalam dirinya. Jadi, seolah-olah ia memasukkan daging dan darah Yesus ke dalam perutnya, dan dengan demikian ia telah larut di dalam ajaran-ajarannya.

 

Keyakinan ini merupakan suatu perkara yang pasti ditolak oleh akal. Karena, mana mungkin bisa digambarkan bahwa roti dan khamr berubah wujud menjadi daging dan darah, sementara orang-orang yang makan itu merasakan cita rasa roti dan khamr pada umumnya?!

 

Dikatakan bahwa jasad Yesus itu satu, sedangkan Perjamuan Tuhan berjumlah ribuan setiap tahunnya dan tersebar di mana-mana. Lantas, mana mungkin jasad dan darahnya bisa dibagikan kepada semua orang?!

 

Sedangkan sertifikat pengampunan dosa merupakan salah satu lelucon gereja dan ketololan yang tidak akan sudi dilakukan oleh orang yang sedikit berakal sehat.

 

Hal itu semacam pembagian Surga dan memperjualbelikannya secara terbuka dengan menulis sertifikat untuk para pembeli, yang berisi perjanjian bahwa pihak gereja menjamin pihak pembeli akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang, dan dibebaskan dari segala bentuk kejahatan dan kesalahan yang lalu maupun yang akan datang.

 

Kemudian, apabila pihak pembeli sudah menerima sertifikat pengampunan dosa dan memasukkannya ke dalam tasnya, maka sejak saat itu yang bersangkutan telah bebas melakukan apa saja yang dilarang, dan dihalalkan baginya apa saja yang semula diharamkan.

 

Lihat Al-Ilmaniyah, hal. 99, 110-111, dan Muhadlarat fi An-Nashraniyah, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, hal. 114-115

 

[13] Al-Jawab Ash-Shahih li Man Baddala Diin Al-Masih, Ibnu Taimiyah, 2/155. Dan lihat Al-Hayara fi Ajwibati Al-Yahud wa An-Nashara, Ibnul Qayyim, hal. 321

[14] Lihat Ar-Radd ‘Ala Ar-Rafidlah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 31-32; dan At-Tasyayyu’ wa Asy-Syi’ah, Ahmad Al-Kasrawi, hal. 87

[15] Lihat Al-Harakat Al-Bathiniyah fi Al-Alam Al-Islami, DR. Muhammad bin Ahmad Al-Khathib, hal. 365

[16] Lihat An-Nushairiyah, DR. Suhair Al-Fiil, 2/93-103

[17] Lihat Al-Baha’iyah Naqd wa Tahlil, Ihsan Ilahi Zhahir, hal. 150; Aqidah Khatmi An-Nubuwwah, DR. Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan, hal. 223; Al-Baha’iyah, Abdullah Al-Hamawi, hal. 31-38; Haqiqat Al-Babiyah wa Al-Baha’iyah, DR. Muhsin Abdul Hamid; dan Al-Baha’iyah, Muhibbuddin Al-Khathib, hal. 14-15

[18] Lihat Tsabat Al-Aqidah Al-Islamiyah Amama At-Tahaddiyat, Syaikh Abdullah Al-Ghunaiman

[19] Lihat Tanzih Ad-Diin wa Hamalatihi wa Rijalihi, Ibnu Sa’di, hal. 444; Al-Adillah wa Al-Barahin, hal. 303; dan Al-Adhomah, Muhammad Al-Khadlir Husain, hal. 24

Hosted by www.Geocities.ws

1