In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful


TERORISME, STANDAR GANDA AS
DAN SIKAP ISLAM (2)

Oleh : Muhammad Badaruddin*

Perspektif tentang Terorisme
Dengan beragamnya pandangan orang tentang terorisme, menunjukkan kenyataan bahwa terorisme adalah sebuah diskursus yang dapat dipandang dari berbagai sudut disiplin ilmu pengetahuan. Ia dapat dijelaskan dari sudut pandang sosiologi, kriminologi, politik, psikiatri, hubungan internasional, hukum, bahkan ekonomi dan disiplin lainnya. Oleh karena itu sulit merumuskan suatu definisi yang mampu mencakup keseluruhan aspek dan dimensi berbagai disiplin ilmu itu.

Namun kita dapat menemukan beberapa ciri utama yang biasa terdapat dari tindak terorisme, yaitu,
a. pengeksploitasian rasa gentar/ngeri manusia/pihak lain;
b. penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan fisik;
c. adanya unsur pendadakan dan kejutan;
d. mempunyai tujuan dan sasaran.

Atas dasar ciri-ciri itu, terorisme diartikan sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan fisik yang direncanakan, dilakukan secara mendadak terhadap sasaran yang tidak siap (non-combatan) untuk mencapai tujuan politik.

Ragam Pelaku Terorisme
Dalam konteks pelaku, terorisme juga dilakukan oleh pihak-pihak yang secara besaran kekuatan kolektivitas sangat beragam. Sejauh yang dapat kita amati sampai saat ini, terorisme diartikulasikan oleh tiga bentuk pelaku, yakni :

Pertama, terorisme yang bersifat personal. Aksi-aksi terorisme dilakukan perorangan. Biasanya, dalam pengeboman bus seperti di Kairo merupakan sebuah aksi personal. Kita juga ingat terhadap peledakan truk berisi ratusan kilogram bom berbahan TNT yang berskala besar di Gedung Federal Alfred Murrah di Oklahoma oleh seorang warga negara Amerika Serikat, Timothy Mc Veigh yang frustasi terhadap pemerintahnya sendiri, juga merupakan aksi ‘solo karier’. Pengeboman di mal-mal dan pusat perbelanjaan juga dapat dikatagorikan sebagai terorisme yang dilakukan secara personal.

Kedua, terorisme yang bersifat kolektif. Para teroris melakukannya secara terencana. Biasanya, terorisme semacam ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi. Yang sering disebut-sebut sebagai gerakan terorisme dalam katagori ini adalah kelompok Aum Shin Ri-Kyu pimpinan Shoko Asahara yang melakukan teror dengan menyebarkan gas syaraf beracun Sarin di stasiun-stasiun kereta api bawah tanah di Jepang. Kelompok The Japanese Red Army (tentara Merah Jepang) yang memiliki dendam kepada Amerika Serikat dan sekutunya yang telah membom atom Nagasaki dan Hiroshima dan menaklukkan Jepang dalam Perang Dunia II. Kelompok perlawanan Irlandia Utara (IRA) yang mayoritas beragama Protestan melakukan teror dengan bom-bom mobil untuk menuntut keadilan kepada pemerintah kerajaan Inggris yang secara resmi beragama Katolik.

Demikian pula yang dilakukan oleh kelompok National People Army milik Communist Philipines Party (CPP-NPA) yang berbasis di sebelah utara Filipina yang juga intens menggunakan cara-cara kekerasan dan teror. Termasuk pula yang sering disebut-sebut belakangan ini, Jaringan al-Qaeda, yang dituduhbertanggung jawab terhadap peledakan menara kembar WTC di New York.. Sasaran terorisme dalam katagori ini adalah simbol-simbol kekuasaan dan pusat-pusat perekonomian.

Ketiga, terorisme yang dilakukan oleh negara. Istilah ini tergolong baru, yang biasa disebut dengan “terorisme negara” (state terorism). Istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh OKI. Menurutnya, terorisme yang dilakukan oleh negara, tidak kalah dahsyatnya dari terorisme personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk terdahulu dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terorisme yang dilakukan sebuah negara dapat dilihat secara kasat mata.

Bahkan dalam bentuknya yang ketiga, perilaku teror dapat dilakukan dengan menggunakan kekuatan paksa yang lebih menyeluruh. Yang melingkupi kekuatan diplomasi, penggalangan opini publik di media massa, tekanan organisasi internasional, pengusiran penduduk yang sah dari tanah airnya, embargo pangan dan obat-obatan, memaksa rakyat sipil untuk terlibat dalam perang dengan cara memasok persenjataan dalam jumlah ekstra kepada kelompok-kelompok yang sedang berperang, dan sebagainya.

Terorisme oleh Negara (State Terrorism)
Bila pelaku teror dalam bentuk yang pertama dan kedua sudah sering kali mendapat sorotan dalam berbagai media propaganda, maka sebagian dari contoh aksi pelaku teror dalam bentuk yang ketiga, yakni yang dilakukan oleh negara, disorot berikut ini. Selain yang dilakukan oleh tentara dan milisi-milisi Israel terhadap muslim Palestina –seperti telah disebut di atas— antara lain juga melalui tinjauan yang dilakukan oleh Noam Chomsky :

Disebutkan, bahwa Amerika sangat menyoroti ‘teroris-teroris’ Libya yang melangsungkan pembunuhan sejak 1980. Dimana pada tahun yang sama Presiden AS Jimmy Carter juga melancarkan perang terhadap pihak yang dituduhnya sebagai teroris di El Salvador.dalam menjalankan kepentingannya itu, Jimmy Carter mendikte Presiden El Salvador, Jose Napoleon Duarte agar menjaminkan dirinya untuk berperan sebagai pelindung guna menjamin persenjataan Amerika akan mengalir lancar ke tangan penduduk sipil yang akan dibenturkan dengan ‘kelompok teroris’ di El Salvador.

Memang, berdasarkan fakta, penguasa Libya telah membunuh sebanyak 14 orang penduduknya sendiri, sementara yang dilakukan oleh Amerika Serikat di El Salvador adalah melakukan pebantaian terhadap 50 ribu penduduk yang sebelumnya telah dituduh sebagai ‘kelompok teroris’, dalam operasi pembersihan penduduk sipil tak berdaya.

Chomsky mengomentari peristiwa ini bahwa pembantaian di El Salvador bukan sekedar bentuk terorisme oleh negara berukuran besar, melainkan “terorisme internasional”, mengingat pengorganisasiannya, persenjataan pasukan, pelatihan dan partisipasi langsung dari "Sang Penguasa Separuh Bumi (Amerika)". Kejadian yang sama dapat dianalogkan dalam pembunuhan 70 ribu rakyat sipil di Guatemala dengan pola yang sama terjadi di El Salvador, ketika persenjataan AS mengalir ke tangan para pembunuh dalam jumlah jauh lebih besar dari perkiraan orang. Namun terhadap perilaku bejat tersebut, Reagan melukiskannya sebagai “sama sekali bukan terorisme, melainkan sebagai pengabdian total terhadap demokrasi".

Chomsky menambahkan, bahwa dua contoh di atas mewakili hanya sebagian kejumawaan AS dalam tindak terorisme internasional selama 1980-an. Mengutip analis studi Amnesti Internasional, "Ciri yang menonjol dari kebiadaban Libya, mereka melakukan kebiadaban yang jumlahnya cukup kecil sehingga kasus-kasus individual dapat dihitung satu persatu. Sangat berbeda dengan di Argentina, Indonesia, atau negara Amerika Latin, tempat Sang Kaisar mengacau dunia”

Newspeak
Dalam melancarkan mega-terornya terhadap lawan-lawannya mereka juga menggunakan kedok untuk memanipulasi pandangan dan opini masyarakat. Kedok yang dipakai George W Bush saat ini, demikian juga bapaknya, Bush Sr. dan juga Reagan dalam mengkamuflase aksi-aksi terornya sama seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden Kennedy, yakni melancarkan kampanye tentang adanya "bahaya persekongkolan zalim dan monolitis" yang mau menaklukan dunia. Dengan meminjam istilah dari George Orwel, Chomsky menyebut kampanye ini dengan istilah newspeak (omongan gaya baru).

Salah satu metode penggunaan newspeak yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah dengan menggunaan istilah-istilah penting yang mengandung arti teknis untuki kemudian dipisahkan dari makna lazimnya. Contohnya adalah pemakaian istilah "perdamaian". Dalam pengertian teknis yang lazim ditemui, makna istilah ini adalah “komitmen pada kondisi damai”. Namun dalam konteks diplomasi AS hal ini mengandung makna lain.

Chomsky menyorot ulasan berita oleh Bernard Gwertzmann di New York Times (NYT), "Are the Palestinians Ready to Seek Peace?”. Terhadap pertanyaan ini, maka jawaban normalnya adalah "ya". Tetapi makna yang diinginkan oleh Amerika dari retorika ini sama sekali lain. Konotasinya seperti dalam kalimat Gwertzmann, "PLO selalu menolak setiap pembicaraan untuk merundingkan perdamaian dengan Israel".

Contoh lain istilah "ekstrimis" dan "moderat". Istilah kedua mengandung arti, mereka yang dikatakan moderat apabila menerima posisi AS.
Kemudian "terorisme" dan "pembalasan" (retaliation). Terorisme dalam newspeak merujuk aksi-aksi teroris oleh berbagai pembajak, terutama orang Arab. Aksi-aksi oleh Kaisar (Amerika) dan anak buahnya dikatakan sebagai "pembalasan" atau "serangan-serangan lebih dulu yang sah untuk menghindari terorisme" Istilah terorisme demikian mengandung konotasi rasis.

bersambung ke bagian 3

*Ketua Umum Badan Permusyawaratan KAMMI Pusat 2002-2004,
Ketua Umum PP KAMMI 2001-2002,
Peneliti bidang Sosial dan Politik pada Center for Indonesian Reform (CIR)

   
   
    "lebih baik mencegah seorang sahabat dari kejatuhan daripada mengangkatnya bangkit setelah ia jatuh."

(noname)
   
   
 
       
           

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1