In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful


TERORISME, STANDAR GANDA AS
DAN SIKAP ISLAM (3)

Oleh : Muhammad Badaruddin*

Sikap Kita
Deskripsi di atas telah menjelaskan kepada kita tentang konstalasi global berkait dengan terorisme. Ada beberapa poin yang saya rasa penting untuk menjadi sebagian dari sikap umat Islam Indonesia yang saat ini sedang dilanda tekanan yang berat berkait dengan tuduhan terorisme.

1. Tersebar luasnya dan dramatisasi tema tentang terorisme sehingga menjadi tema yang seolah-olah menjadi wajib disuarakan oleh setiap penduduk dunia adalah bentuk penipuan yang nyata terhadap realitas kemanuasiaan. Ini adalah upaya pengkaburan permasalahan yang sebenarnya sedang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini. Harus kita tegaskan bahwa permasalahan umat manusia yang terbesar dewasa ini bukanlah terorisme seperti yang didengung-dengungkan oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.

Permasalahan lebih besar yang mengancam sebagian besar komunitas manusia yang ada di dunia saat ini adalah masalah ketidak adilan yang melanda sebagian besar penduduk dunia. Sangat banyak penduduk dunia yang saat ini tidak mendapatkan haknya karena terampas oleh orang-orang atau negara-negara yang kuat secara politik dan ekonomi. Dunia saat ini hanya menjadi milik para penguasa politik dan ekonomi yang mampu membiayai dan mempersenjatai kepentingannya untuk menaklukkan dan mengeksploitasi belahan dunia yang lain yang menjadi hak orang lain.

Tema Globalisasi mereka gunakan sebagai kendaraan untuk melancarkan segala upaya untuk melanjutkan imperialisme gaya baru yang lebih mencengkeram dan eksploitatif kepada pihak-pihak yang dulu pernah menjadi bagian dari sasaran imperialismenya ketika masih secara konvensional. Dengan globalisasi mereka memaksa setiap bagian dari kehidupan global untuk menerima tata aturan baru yang menurut Amerika adalah standar yang harus diterima dan dipakai oleh seluruh umat manusia. Dan kemudian Amerika mendeklarasikan diri sebagai Globo cop, polisi yang paling menentukan bagi penataan seluruh kehidupan di dunia. Dengan predikat itu Amerika menisbatkan dirinya sebagai pihak yang seolah paling memiliki otoritas untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Menvonis siapapun yang dianggap melanggar aturan tata dunia baru (new world order).

Masalah yang terjadi terhadap negara-negara yang telah divonis oleh Amerika sebagai The Axes of Evil (poros kejahatan) semacam Irak, Iran, dan Korea Utara serta yang juga sering disorot seperti Libya, Sudan, Kuba dan sebagainya bukanlah bahwa mereka merupakan negara yang melakukan teror terhadap pihak lain karena pada dasarnya mereka suka menggunakan cara-cara kekerasan, tapi proses pendzaliman yang dilakukan oleh Amerika dan sekutu-sekutunyalah yang mendorong mereka untuk melakukan proses perlawanan untuk mempertahankan diri dari arogansi AS yang sangat agresif melakukan berbagai aksi teror berskala besar.

Demikian juga terhadap organisasi atau jaringan yang sering dituduh oleh Amerika dan sekutunya melakukan aksi teror semacam Al Qaidah atau Hamas di Palestina. Mereka menjalankan pilihan aksi dalam perjuangan mereka dengan cara kekerasan dengan maksud untuk sedikit mengimbangi teror Amerika yang dilakukan secara sistematis dan dalam skala yang sangat besar. Hamas melakukan aksi-aksi dengan menggunakan cara kekerasan adalah sebagai bentuk perlawanan yang harus dilakukan ketika tentara zionis Israel melakukan arogansi dengan menggunakan cara kekerasan yang sangat tidak bisa ditolerir lagi. Mereka membantai rakyat muslim Palestina dan atau mengusirnya dari tanah-tanah mereka untuk kemudian menguasai tanah tersebut sebagai miliknya. Di sisi lain lembaga-lembaga dunia yang menyatakan dirinya sebagai “mengurusi masalah-masalah kemanusiaan” tidak ada yang bergerak secara nyata sedikitpun untuk rakyat Palestina.

2. Kita juga harus menolak upaya yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya untuk menggeneralisasi permasalahan terorisme sebagai masalah yang diidentikkan kepada agama, etnik, kepercayaan, bangsa tertentu. Hal inilah yang saat ini tengah terjadi pada umat Islam di beberapa negara. Mereka mendapatkan teror dari negara tempat mereka tinggal hanya karena mereka memiliki nama muslim, hanya karena mereka memakai identitas yang dianggap simbol-simbol Islam, hanya karena mengikuti kegiatan-kegiatan untuk mengkaji ajaran-ajaran Islam, dan sebagainya.

Inilah cara yang digunakan oleh pemerintah Australia yang melakukan tindak yang merendahkan martabat kemanusiaan atas nama hukum yang mereka klaim lebih beradab. Lihatlah apa yang dilakukan oleh pemerintah Australia melalui kesatuan intelejen khususnya, “ASIO” yang melakukan teror dengan menggerebekan dan perampasan berbagai hak milik muslim asal Indonesia yang tinggal berbagai kota di Australia. Lihatlah teror yang dilakukan oleh berbagai pemerintahan atau orang-orang yang paranoid dalam melihat orang di sekeliling mereka, terutama yang beragama Islam.

Sejak terjadinya teror terhadap menara kembar WTC di New York dan markas Departemen Pertahanan Pentagon. Banyak muslim yang ditangkap paksa atau diinterogasi secara kasar dan tidak mengenal norma-norma kemanusiaan, termasuk kasus yang pernah menimpa Timbalan Perdana Menteri Malaysia Datuk Abdullah Badawi ketika berada di Amerika. Ketika itu Pak Lah –panggilan akrab Abdullah Badawi—sampai dipaksa melepas sepatunya untuk diselidiki apakah membawa bahan peledak atau tidak. Padahal ketika itu dia sedang dalam tugas kenegaraan dan memiliki hak-hak diplomatik yang harus dihormati oleh pemerintah Amerika sebagai wujud penghormatan antar negara yang saling bersahabat.

Sudah teramat banyak kasus yang dapat kita inventarisir untuk menggambarkan betepa parahnya paranoid yang telah diderita oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, yang kini virusnya juga telah ditularkan secara paksa ke Indonesia melalui peristiwa peledakan bom di Manado dan Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang lalu. Dari kasus pemboman 12 Oktober ini, secara naif kita juga dapat melihat bahwa upaya penularan virus “paranoid terhadap terorisme” secara paksa ini juga dinikmati oleh beberapa gelintir elit pemerintahan dan militer di Indonesia. Mereka menikmati tekanan Amerika dan sekutunya dengan memanfaatakannya untuk menekan bangsa mereka sendiri, khususnya yang beragama Islam.
Celakanya, hal itu mereka lakukan terhadap mayoritas dari rakyat Indonesia yang memiliki saham terbesar bagi negeri ini, dan yang lebih menyedihkan, mereka juga mengaku beragama Islam.

Potret ini adalah gambaran betapa kuatnya pengaruh kampanye global yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk memojokkan Islam kedalam “kubangan teroris”, sehingga ketika orang berbicara tentang Islam tak akan pernah luput dari pembicaraan tentang terorisme.

Padahal pengkait-kaitan Islam dengan terorisme adalah hal yang sangat bias dan provokatif, seperti yang pernah diungkap oleh Nurcholish Madjid, bahwa sebetulnya aksi-aksi terorisme yang telah lebih lama misalnya ada di Irlandia Utara. Para pemeluk Protestan di Irlandia Utara meminta keadilan kepada pemerintah Inggris dan media yang mereka gunakan adalah juga kekerasan atau terorisme. Cak Nur menilai ada kerancuan semantik, karena bila dalam kasus yang dianggap melibatkan orang Islam mereka menyebut-nyebut adanya teroris Islam, tapi mengenai kasus di Irlandia Utara mereka tidak pernah menyebut-nyebut adanya teroris Protestan.

Dari banyak gambaran kasus di atas, nyatalah bahwa Amerika dan sekutunya menggunakan cara-cara teror untuk menghadapi bahaya yang sebenarnya mereka ciptakan dalam pikiran mereka sendiri, yang mereka tafsirkan sebagai teroris. Tapi keparanoidan Amerika sebetulnya tidak terlalu menjadi masalah ketika efeknya hanya untuk mereka sendiri. Yang parah adalah ketika mereka memaksakan hal ini sebagai virus yang harus menjangkiti seluruh manusia di dunia. Yang lebih berbahaya adalah ketika kendali atas pikiran dan mental dari seluruh penduduk dunia diarahkan untuk menjalankan agenda-agenda busuk mereka untuk menguasai dunia melalui teror secara sistematis dan komprehensif. Sehingga yang terjadi adalah “teroris teriak teroris”

3. Selain itu, sangat penting untuk kita yang berada di Indonesia dan juga di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya, adalah memperkuat kedaulatan politik negara kita dari intervensi, tekanan dan tarikan yang dilakukan oleh kekuatan asing yang memiliki banyak kepentingan dan agenda di tanah air kita. Kejadian yang terjadi dalam hari-hari terakhir ini adalah potret kenaifan bangsa kita, terutama pemerintah dan aparat –aparatnya. Mereka tampak lebih mau mendengar dan menuruti tuntutan asing daripada rakyatnya sendiri. Bahkan dengan penuh kesadaran memerangi rakyatnya sendiri. Potret naif ini harus segera mungkin diakhiri. Kita harus kembali secepat mungkin untuk mengembalikan kedaulatan kita yang telah tercoreng moreng, untuk kemudian berdiri di atas kaki sendiri. Kita tolak, bahkan kalau perlu kita lawan, intervensi dan tekanan asing yang tengah mencengkeram, dengan berbagai risikonya. Termasuk dengan terputusnya berbagai janji utang yang nyata-nyata hanya bentuk lain dari penciptaan ketergantungan yang terjadi secara terus-menerus.

Dalam hubungan dengan negara-negara yang sudah terkenal ingin menagnya sendiri seperti Amerika dan sekutunya, kita harus memiliki sikap yang jelas dan tegas. Serta harus memiliki keberanian untuk menunjukkan sikap dengan visi yang lebih menunjukkan keberadaan sebagai bangsa yang besar dan berdaulat.
Kita telah banyak tahu bahwa Amerika telah terlampau sering ingin menangnya sendiri ketika menghadapi masalah-masalah yang melibatkan kepentingan dirinya dan sekutu-sekutunya, terutama Israel.

Sangat banyak catatan sejarah yang dapat membuktikan arogansi Amerika yang “mau menang sendiri", seperti yang ditulis oleh Gert Krell dalam Die Rolle der USA in der Aktuellen Weltkrise 2002, bahwa “ingin menang sendiri” adalah sesuatu yang melekat pada negara adidaya itu. Tak mengherankan, jargon yang dipakai AS dalam memerangi terorisme pun sangat terkesan sombong. Ironisnya, dalam banyak hal, jargon itu mirip dengan jargon kelompok-kelompok atau negara-negara yang dituduh berada di balik aksi-aksi teror melawan AS. Misalnya, jargon “perang antara yang baik dan buruk”, “antara yang tak berdosa dan setan”, antara peradaban dan primitif”.

Kesan mau menang sendiri ini, menurut ahli ilmu politik liberal AS, Stanley Hoffman, tak hanya berkaitan dengan peran AS sebagai "polisi dunia", tapi berakar dalam sejarah dan budaya politiknya. Hoffman memprihatinkan kurangnya sensibilitas AS terhadap bangsa-bangsa lain, ketika berkata, "We have tended in the last ten years, towards a form of self-congratulation that can be grating for others: We are the 'indispensable nation', the carriers of a globalization that will bring peace, democracy, prosperity, etc., the champions of an economic system that will eventually lift all boats, the catalysts of world order. We have not been sufficiently sensitive to other people's fears for their cultures, and to others' sense of shock at the inequities that come with capitalism and globalization." (On the War, NY Review of Books, 1 November 2001).

Demikian beberapa poin yang sangat penting untuk kita jadikan sebagai bahan diskusi sebagai bekal untuk lebih menegakkan peran umat Islam dalam kancah peradaban global yang lebih adil ke depan. [SELESAI]


*Ketua Umum Badan Permusyawaratan KAMMI Pusat 2002-2004,
Ketua Umum PP KAMMI 2001-2002,
Peneliti bidang Sosial dan Politik pada Center for Indonesian Reform (CIR)

   
   
    "lebih baik mencegah seorang sahabat dari kejatuhan daripada mengangkatnya bangkit setelah ia jatuh."

(noname)
   
   
 
       
           

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1