Wasiat Ibunda Rim Shaleh, Sebelum Melakukan Aksi
Bom Syahid
Rim
Shaleh Ar-Riyasyi (22), seorang ibu muda Palestina dengan dua orang
anak yang masih balita dan ditinggalkan oleh suaminya, tidak pernah
putus asa meski hidupnya tak henti diliputi kesusahan dan kegelisahan.
Bahkan keputusannya untuk menjadi ibu pertama yang melakukan bom
syahid (istisyhad) bukan karena harapannya sudah hilang.
Justru keyakinannya yang kuat akan kemenangan yang membuat dia
merelakan tubuhnya hancur berkeping dengan bom yang dibawanya sendiri.
Beberapa hari lalu (pertengahan Januari 2004) Rim telah membuktikan
keberanian yang harus dicontoh oleh wanita Islam di seluruh dunia. Bom
yang dibawanya meledak dalam pos pemeriksaan Israel dan membunuh 4
orang serdadu Israel dan melukai puluhan lainnya.
Tidak banyak wanita perkasa seperti Rim. Untuk mengetahui keperkasaan
jiwanya, di bawah ini adalah potongan wasiat terakhirnya sebelum dia
melakukan aksi sucinya. Tulisannya ia beri judul "al-farh al-majjaani"
(pernikahan cuma-cuma). Bacalah dan renungkan, bagaimana jika kita
berada pada posisinya?
Berikut kutipan wasiat itu yang saya ambil dari Mingguan Al-Usbu'
Mesir edisi 359, 19 Januari 2004:
"Setelah setahun pernikahanku dengan Ziad, dia
seorang suami yang sangat baik, aku melewati hari-hari terindah
dalam hidupku bersamanya hingga Allah menyempurnakan kebahagiaanku
dengan anak pertama kami, Ubaid. Betapa besarnya kebahagiaan kami
ketika pertama kali tangan kami memangkunya... dan ketika dua
matanya yang indah terbuka melihat dunia barunya... akan tetapi
kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Beberapa hari setelah kelahiran Ubaid, Intifadoh al-Aqsa meletus.
Luka dan impian berkumpul satu dalam hatiku dan rasa aman terenggut
dari mata si kecil. Hari-hari berlalu satu-satu. Seiring dengan itu,
para syuhada pun pergi satu-satu. Kupeluk buah hatiku dalam dadaku
lalu berdoa agar Allah menjaganya dari moncong senapan-senapan
Zionis yang menantinya di belakang pintu. Serangan tentara israel
semakin menggila, tapi perlawanan pun semakin kuat.
Keyakinanku tentang perlawanan sama seperti keyakinan para istri dan
ibu lainnya, yaitu melahirkan sebanyak-banyaknya generasi untuk
melawan kekejaman musuh...akupun melahirkan anak kedua kami, bayi
perempuan yang cantik. Aku memberinya nama "Dhuha" dengan harapan
kelahirannya membawa pagi yang bercahaya dan hilanglah kegelapan
penjajahan.
Setiap hari berlalu membawa duka dan kesedihan yang semakin
bertambah, terutama setelah suamiku hilang, seperti ribuan orang
Palestina lainnya, dan adik kandungku, Muhammad, syahid. Dia adalah
komandan batalion Al-Quds, sayap militer Harokah Al-Jihad.
Hidup semakin bertambah suram dan menyesakkan. Kutatap dua buah
hatiku.
Aku bertanya dalam hati, "Akan datangkah suatu hari dimana aku
melihat Ubaid sebagai seorang dokter atau seorang guru yang mengabdi
kepada tanah airnya?!
Akan datangkah suatu hari dimana dia mencurahkan isi hatinya tentang
impian-impiannya atau tentang gadis yang dicintainya? Apakah aku
masih hidup hingga Dhuha memakai gaun pengantin dan aku meriasnya...
lalu tanganku menggenggam tangannya dan meletakannya di lengan
suaminya?"
Mungkin terlalu awal aku memimpikan semua ini. Kulihat sekitarku
semuanya dibawah kepungan yang semakin mencekik. Zionis laknat itu
terus mengawasi segalanya, hingga udara yang kami hirup sekalipun.
Sedang pembantaian tak pernah berhenti apalagi berakhir.
Seakan-akan tiang-tiang gantung terpancang disepanjang tempat dan
waktu di tanah kami. Para seniper mengincar di atap-atap dan
jendela-jendela rumah kami dan dengan senapannya menembaki keluarga
kami. Mereka membakar rumah-rumah kami dan kamar-kamar tidur kami,
bahkan mimpi anak-anak kami.
Semakin besarlah kegelisahanku tentang dua buah hatiku. Setiap saat
bertambah ketakutanku, tapi bertambah kuat pula perasaanku untuk
melawan ketakutan itu. Dan setiap kali pengepungan bertambah hebat,
bertambah pula keimanan dalam hatiku, bahwa pertolongan Allah
niscaya akan datang. Tanpa aku peduli bahwa di rumahku tidak ada
sepotong rotipun yang bisa kuberikan kepada dua anakku bahkan
setetes air pun tak ada. Rumah-rumah semuanya kosong selain dengan
teriakan anak-anak yang menyayat hati....(*)
... Jadilah engkau suamiku yang menyayagi kedua anakku, berusahalah
untuk menggantikan kasih sayangku yang tidak mereka rasakan setelah
kepergianku, jika malam tiba bangunlah dan selimuti mereka berdua
dengan kain agar mereka terhangatkan olehmu dari kedinginan dan
buruknya cuaca.
Kabarkan kepada mereka berdua dengan kebenaran Allah dan kebenaran
Rasulullah bahwa tidak ada makna yang lebih indah dari makna keibuan
selain kemerdekaan... dan tidak ada sesuatu yang lebih mahal dari
anak-anak selain tanah air...dan tidak ada yang lebih mulia dari
hidup selain menyatakan kalimat "Laa Ilaaha Illallah"...kabarkan
kepada keduanya janji Allah tentang kemenangan sudah sangat dekat..."
Ibunda Rim, Semoga darah syahidmu menyemai semangat perjuangan Islam
di jiwa seluruh umat Islam di seluruh dunia. Amin. Allahu Akbar
Walillahil Hamd!
(*) Sampai di sini, redaksi Al-Usbu' memotong Wasiat Rim dan
menyambungnya dengan tidak menjelaskan siapa orang keduanya yang
diajak bicara. Mungkin kitalah, para pembaca, yang dimintanya untuk
menjaga dan menyampaikan pesannya kepada dua anaknya yang
ditinggalkannya dan kepada anak-anak diseluruh dunia, anak-anak kita!
Wallahu alam. (eramuslim)
Kiriman:
Zamzam Muharamsyah Ma'mun
New Damietta- Egypt
|