-"sUgEnG rAwUh" tO mY wEbSiTe-

 

Home

Adventure

Palestine

Hacking

English

Sor Ringin

About Me

 

 

Dimana kan ku temukan, "sopo sejatine aku..?"

 

Setitik Kisah di Balik Pembantaian Jenin

Muslim Cleansing & Jihad Oleh : Admin 07 Apr 2003 - 9:39 pm


imageCOMES (04/04/2003): Kamis (03/04) kemarin ribuan warga Palestina di kota Jenin keluar dari desa-desa dan kamp-kamp di mana mereka tinggal. Bulan ini adalah setahun pembantaian sadis nazi Israel terhadap puluhan warga Kamp Pengungsi Jenin. Ketika itu ratusan tank tempur dan buldoser Israel dikerahkan untuk melumatkan perumahan warga Palestina di Kamp Pengungsi Jenin dan membantai penghuninya. Ratusan jiwa mengalami luka-luka dan ratusan lainnya digelandang serdad-serdadu Israel di bawah todongan senjata. Hari itu (5 dan 6 Maret) adalah saksi abadi kebiadaban imperialis Israel atas warga sipil Palestina. dan hari itu, telah menyisakan berbagai cerita dan kisah pilu di balik kepongahan dan jumawa para serdadu bengis Israel. Berikut setitik kisah pilu warga Jenin dalam pembantaian dua hari itu.

Namanya Hallah Abu Armelah (32), tak ada pilihan bagi wania Palestina ini kecuali mengulur pemakaman jenazah suaminya, Ateyah Abu Armelah (44) sampai 7 hari. Disamping untuk menenangkan situasi dan ketakutan anak-anaknya, dengan menjelaskan kepada mereka bahwa ayahnya sedang tidur dan tidak terjadi apa-apa pada dirinya, juga karena tidak ada bantuan medis yang datang, demikian tulis harian brbahasa Arab, el Ayyam (24/04/2002).

Waktu itu dia bersama suami dan ketiga anaknya yang masih kecil berada di rumah tinggalnya yang terletak di sebelah tenggara Kamp Pengungsi Jenin, ketika tiba-tiba pasukan Israel menggempur kamp dengan rudal-rudal pesawat, meriam tank dan peluru dari senjata buru sergap. Hari itu, Jum'at (5/04/2002) pukul 17.00 waktu setempat, keluarga Abu Armelah berlindung di dapur. Dengan prediksi bahwa ini merupakan tempat yang paling aman di dalam rumah yang sedang dibombardir militer imperialis Israel.

"Suami saya menanyakan sebesar apa kerusakan yang terjadi di ruangan tamu,” tutur Hallah. Dia katakan tidak tahu persis sebesar apa, tetapi dia melihat dua lobang besar menganga di tembok. Dia yakin itu akibat diterjang rudal atau dihantam meriam tank Israel. Sang suami, yang telah bertahun-tahun membangun rumah sederhana itu, tetap ingin melihat sejauh mana kerusakan yang menimpa ruangan tersebut. Dengan mengendap-endap, akhirnya tiba ke ruangan yang dituju. Namun, serdadu-serdadu Israel kembali menggempur dan memaksanya kembali lagi dapur yang yang disambut isteri dan anak-anaknya dengan penuh cemas.

Sekitar pukul 17: 45, setelah minum secangkir teh, Abu Armelah kembali ingin menyaksikan kondisi ruang tamu. Sang isteri pun menolak ide bahaya itu, namun Abu Armelah bersikeras dan mengatakan, "Apa yang harus kamu takutkan, wahai Hallah, saya bisa menjaga diri. Yang akan mati sudah dicatat oleh-Nya.” Hanya berselang beberapa saat setelah Abu Armelah menuju ruang tamu, sang isteri mendengar suara desingan peluru yang dilepaskan sniper Israel yang ada di atap-atap bangunan tinggi, kemudian disusul suara teriakan suaminya. Ketika Hallah tiba di ruang tamu bersama ketiga anaknya, darah mulai bercucuran keluar dari kepala, mulut dan hidung suaminya. Sedikit demi sedikit tubuh Abu Armelah lunglai merebah di tanah sambil melihat wajah satu per satu anak-anak kecilnya, yakin itu merupakan perpisahan terakhir dengan mereka. Tak lama kemudian sang bapak menghembuskan nafas terakhir setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, yang disusul dengan derai tangis istri dan anak-anaknya. Setelah itu, Hallah menutup kedua mata suaminya dan menyeretnya ke dapur yang menjadi tempat tidur keluarga ini. Ia diamkan jenazah suaminya di dapur sejak serdadu-serdadu Israel menyerbu Kamp Pengungsi Jenin.

Hallah berusaha memberitahu pihak Palang Merah Palestina, namun pihak palang merah menyampaikan permohonan maaf karena mobil mereka tidak bisa sampai ke rumahnya, dihadang oleh serdadu-serdadu Israel. Selama seminggu, sudah ratusan kali dia berharap ikut bersama suami yang syahid; dan selama itu pula anak-anaknya terus bertanya tentang kondisi bapaknya. Sungguh betapa teriris hati sang ibu oleh kepolosan anak-anaknya, sampai-sampai anaknya yang paling kecil, Rami, sering menggerak-gerakan tubuh bapaknya membangunkan dan minta dibelikan susu.

Setelah tujuh hari, sebuah mobil ambulans baru bisa datang ke rumahnya dan membawa jenazah suaminya ke Rumah Sakit, setelah itu dimakamkan dalam kuburan massal yang telah dipersiapkan oleh penduduk di bagian barat kamp tersebut.

Itu adalah satu di antara ratusan bahkan ribuan kisah pilu yang menimpa saudara-saudara kita di bumi para nabi, Palestina. Dan itu masih terus berlangsung hingga hari ini. Masihkah tersisa empati kita buat mereka; man laa yahtam biamril muslimin falaisa minhum, demikian kata Rasulullah, ”barang siapa yang tidak peduli dengan kaum muslimin, maka dia bukan termasuk golongan mereka.” (seto)
 



Kisah Hidup Kepahlawanan Perang Jenin

(1,2,3,4)

Laporan ini merupakan sebuah klarifikasi dari Al Markaz Al Falistini Lil I'lam (Palestinian Information Center) dengan seorang kader Kataib Al Qassam dan pejuang (muqatil) yang ikut serta dalam perang di Kamp Pengungsi Jenin. Peristiwa itu diungkapkan kepada PIC pada sebuah pertemuan yang diatur secara rahasia karena kondisi keamanan yang tidak memungkinkan bagi putra-putra pejuang Palestina, terutama mereka yang menjadi buruan dan buronan imperialis Israel. Peristiwa yang beliau kisahkan ini seputar apa yang terjadi dalam empat hari pertama Perang Jenin.

Sambil mengenang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, rasa bangga dan sedih bercampur menjadi satu secara bersamaan, pejuang Perang Jenin ini – selanjutnya disebut Muqatil (pejuang) – mengisahkan perang kepahlawanan di Kamp Pengungsi Jenin. Di sini seluruh kemampuan faksi-faksi perlawanan rakyat Palestina dikerahkan; meraka bahu membahu untuk memberikan pelajaran pahit kepada Imperialis Israel. Berikut penuturannya:

Hari Pertama

Sekitar jam sepuluh pagi, militer Israel berupaya menyerbu Kamp Pengungsi Jenin dari arah Jabiriyat. Dengan menggunakan bom asap, mereka mencoba masuk ke rumah Asy Asyahid Muhammad Abul Haija yang terdapat di daerah tersebut dan mendudukinya. Namun, mereka mendapatkan perlawanan sengit dari para pejuang Palestina dan berhasil memaksa militer Israel mundur; perlawanan sengit ini berhasil membuat mereka panik dan ketakutan sampai-sampai salah seorang serdadu Israel melemparkan senjatanya dan lari terbirit-birit.

Setelah berhasil menahan serbuan Israel, Asy Syahid Ziyad Amir, komandan Kataib Syuhada' Al Aqsha sayap militer gerakan Fatah, mengunjungi posko kami; pada Perang Jenin ini beliau bertugas melakukan kunjungan inspeksi ke posko-posko perlawanan dan memberikan para pejuang pembekalan, apa yang dirasakan kurang pada mereka. Pada saat kami di lorong Damj, beliau sampai di posko bersama empat pengawalnya, masing masing memanggul senjata yang mereka sebut "NATO". Kemudian, beliau memaksa mengambil beberapa pucuk senjata api yang ditinggalkan serdadu-serdadu Israel.

Sebelum peristiwa itu terjadi, Ikhwah menasehati beliau agar tidak melakukannya karena diperkirakan merupakan strategi para serdadu dan sniper Imperialis Israel untuk memancing para pejuang perlawanan Palestina. Namun beliau tetap memaksakan diri untuk mengambil senjata-senjata itu sebagai ghanimah. Tiga menit kemudian – waktu yang beliau janjikan untuk mendapatkan senjata-senjata itu – apa yang kita perkirakan menjadi kenyataan. Beliau gugur saat mendekati posko terkena tembakan dari pesawat tempur dan sniper Israel.

Peristiwa itu terjadi saat beliau dan anak buahnya mencoba melewati sebuah gang di kamp pengungsi tersebut. Ziyad Amir saat itu mendahului anak buahnya untuk membuka jalan buat mereka. Ketika sampai di tengah jalan, berondongan senjata Israel menerjang dan tak seorangpun berhasil menolongnya, akhirnya beliapun gugur syahid berlumuran darah. Sebelumnya pula, tepat jam lima pagi, seorang wanita Palestina dari Kamp Pengungsi Nur Syams gugur saat berkunjung dan berdiri di depan rumah saudaranya.

Hari Kedua

Pada hari kedua ini militer Israel masih mencoba menyerbu Kamp Pengungsi Jenin lewat lorong Damj. Mereka terus mendapatkan perlawanan tangguh dari para pejuang perlawanan rakyat Palestina dan memaksa mereka mundur. Saat itu kontak sengit terjadi di sekitar Masjid Umar bin Khathab yang memaksa warga sipil Palestina keluar ikut serta melakukan perlawanan mengusir serdadu-serdadu Israel. Mereka mundur hingga daerah yang disebut Khulah Shauhah. Dalam aksi ini para pejuang Palestina memperoleh rampasan beberapa pucuk senjata jenis P7. Kesatuan nasional Palestina ini terdiri dari berbagai faksi perlawanan Palestina; semuanya sangat merindukan syahadah (mati syahid) dan semangat ini memiliki efek yang luar biasa atas keberhasilan aksi perlawanan ini dan juga dapat menahan pasukan infantri Israel yang ingin masuk ke kamp pengungsi.

Hari Ketiga

Pada hari ketiga ini imperialis Israel mengerahkan pasukan infantri dalam jumlah besar untuk menyerbu Harah Damj melewati markas keamanan Otoritas Palestina di daerah itu. Di markas tersebut terdapat Asy Syahid Thaha Zubaidi dari Saroya Al Quds, sayap militer gerakan Jihad Islami, dan ikhwah lainnya yang tidak bisa saya sebutkan nama-nama mereka satu per satu karena Allah telah menganugerahkan mereka keselamatan. Para Ikhwah di markas keamanan Otoritas Palestina tersebut mencoba menahan gelombang serbuan pasukan infantri Israel, namun terpaksa mereka sedikit mundur karena gencarnya tembakan yang menerjang. Akhirnya para serdadu Israel berhasil menguasai halaman sebuah rumah yang di lantai atasnya ada sejumlah pejuang Palestina bersenjata di antaranya Asy Syahid Mahmud Thawaliba.

Setelah para mujahid tahu sudah terkepung, mereka memutuskan menyerang balik tentara Israel yang terdapat di dalam rumah tersebut; mereka akhirnya menyerang tentara kesatuan Israel dengan granat di tengah-tengah hujan tembakan. Serdadu-serdadu Israel tidak punya pilihan lain, selain mundur. Akhirnya para mujahid berhasil keluar dengan selamat.

Secara bersamaan, terjadi pertempuran sengit antara pejuang perlawanan rakyat Palestina dengan serdadu pasukan musuh berhadap-hadapan tanpa dinding pemisah. Saat itu semangat para mujahid sudah pada puncaknya hingga salah seorang mujahid membawa tabung gas, melemparkan dan menembaknya ke arah tentara Israel; terjadi ledakan yang menyebabkan sejumlah serdadu Israel luka sementara dia sendiri selamat sampai akhir pertempuran.

Pada saat itulah buldoser-buldoser Israel mulai menggilas dan menghancurkan rumah-rumah beserta siapa saja yang ada di dalamnya. Buldoser-buldoser itu membelah jalan di antara puing-puing bangunan mulai dari lorong Damj di mana para pejuang Palestina melakukan perlawanan sengit. Tidak ada jalan lain bagi para mujahid kecuali mundur ke arah Masjid Al Anshar dan bertahan di sana walau digempur sengit dari empat pesawat tempur Israel dan puluhan tank. Namun semua itu tidak menyurutkan ma'nawiyah (semangat) para mujahid karena mereka sudah mengambil banyak pelajaran dari peristiwa-peristiwa sebelumnya.

Menghindari mujahid Palestina menjadi korban penembakan sniper serdadu Israel; kemudian, diumumkan ke seluruh anggota perlawanan rakyat Palestina agar tidak melalui jalan-jalan umum untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain kecuali untuk situasi yang sangat mendesak dan darurat. Akhirnya dibuatlah jalur yang menghubungkan satu rumah ke rumah lainnya. Jalur ini banyak membantu evakuasi para syuhada' dan korban luka-luka di antara para pejuang.

Hari Keempat

Pada hari keempat, berbagai pertempuran terjadi di lorong sebelah barat Kamp Pengungsi Jenin. Pertempuran yang terjadi di sini tidak kalah sengitnya dibandingkan dengan yang terjadi di lorong Damj. Pada malam keempat ketika rombongan mujahidin pulang dari pertempuran menuju rumah pos perbekalan di lorong El Hawasyin untuk shalat, mengisi baterai dan bekal makanan yang sudah disiapkan para wanita mujahidah. Pada saat itulah sekelompok mujahidin berhasil mengepung 12 serdadu Israel di sebuah rumah di sebelah barat Kamp Pengungsi Jenin.

Kedua belas serdadu Israel itu berhasil diisolasi dari serdadu lainnya dan tank-tank. Pada saat itulah para mujahid merapat dan mengepung seraya menghujani tembakan dan lemparan granat "Al Akwa'" ke arah mereka sampai-sampai para serdadu itu mulai berteriak memohon ampun, "Kami mohon…! Kami punya anak dan kami ingin bertemu kembali dengan mereka." Peristiwa ini pun berhasil direkam dengan handycam. Aksi pengepungan ini berlangsung selama beberapa jam dan serdadu-serdadu Imperialis Israel tidak berhasil menembus pertahanan mujahidin kecuali setelah campur tangan pesawat-pesawat tempur Israel yang melancarkan serangan rudal dan didukung serangan meriam dari tank-tank yang berada di garis depan.

Mendengar tewasnya kedua belas rekannya, serdadu Israel lainnya berupaya melakukan evakuasi. Pasukan bantuan Israel mengevakuasi pertama-tama sepuluh jasad dan meninggalkan dua jasad lainnya yang tewas berlumuran darah di dalam rumah penduduk tersebut. Untuk mengevakuasi dua jasad yang tersisa ini, pasukan Israel melakukan serangan rudal dari pesawat-pesawat tempur secara brutal, sementara para mujahidin mulai menarik mundur dari lokasi. Akhirnya, mereka berhasil mengevakuasinya. Belum selesai aksi evakuasi itu, sebuah helikopter Apache menggempur sebuah rumah dekat lokasi kejadian; di rumah itu terdapat sejumlah pejuang mujahidin. Karena serangan helikopter itu, syahid Musthafa Asy Syibli dan tiga anggota keamanan Palestina.

Setelah upaya-upaya penyerbuan ke dalam Kamp Pengungsi Jenin selalu gagal, mereka mendatangkan bala bantuan untuk mencoba masuk melewati lorong As Samran. Tapi para ikhwah tidak pernah lengah sedikitpun, terjadilah perlawanan yang dipimpin oleh Asy Syahid Mahmud Halwah, Asyraf Abul Haija dan Abdurahim Faraj dari Kataib Al Qassam. Pasukan Imperialis Israel pun tidak berhasil turun dan menguasai lorong tersebut kecuali setelah banyak korban berjatuhan di pihak Israel akibat aksi sniper-sniper pejuang mujahidin. Kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri, helikopter-helikopter Israel mengevakuasi korban terluka ke daerah Jabiriyat dan tank-tank membawa serdadu-serdadu yang tewas ke Ahrasy Sa'ada. Sementara itu, warga Palestina menyaksikan helikopter-helikopter militer Israel lainnya turun di Maraj Ibnu Amir untuk mengevakuasi serdadu-serdadu yang terluka ke Rumah Sakit El Afula.

Pada waktu yang bersamaan, pasukan Israel lainnya mencoba menyerbu Kamp Pengungsi Jenin dengan menguasai rumah Al Zubaidi; sebanyak 20 serdadu Israel memasuki rumah itu satu persatu sementara mereka tidak menyadari, sniper-sniper pejuang mujahidin yang berada di rumah seberangnya mengintai mereka. Mulailah para sniper pejuang mujahidin menghujani tambakan ke arah mereka dan merobohkan dua orang serdadu, sedangkan serdadu lainnya melarikan diri. Selama beberapa jam dua serdadu tersebut belum dapat dievakuasi dari kancah perang. Pada saat itu, Asy Syahid Asyraf Abul Haija berada sangat dekat dengan dua serdadu Israel yang tertembak tersebut, maka dia putuskan untuk turun dan menghabisi keduanya serta mengurangi pengepungan. Hanya saja sebuah tembakan sniper Israel menerjang tubuhnya, beliau akhirnya gugur syahid dan diangkat oleh rekan-rekannya ke rumah di sekitar lokasi kejadian. Bagi para pejuang mujahidin, waktu pada saat itu benar-benar sangat kritis. Begitu mereka berhasil memindahkan jasad Asy Syahid Asyraf Abul Haija ke salah satu rumah, salah seorang mujahid memutuskan keluar dari rumah untuk menghentikan serangan pasukan Israel yang langsung melakukan serangan baru di wilayah tersebut. Dengan bom yang sudah dinyalakan di tangan, dia maju hendak melempar ke serdadu-serdadu Israel, namun dia terlambat; bom meledak di tangan dan menewaskan dirinya.

Tinggal empat mujahid yang tersisa dan terkepung di dalam rumah tersebut. Mereka memutuskan tidak akan meninggalkan tempat yang dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Imperialis Israel. Pagi hari berikutnya, sebuah tembakan meriam menghantam rumah tersebut, dua mujahid Palestina gugur, yaitu Mahmud Thawaliba (komandan Saraya Al Quds) dan Abdurahim Faraj dari Kataib Al Qassam. Sebenarnya saat tekanan atas kami semakin sulit, tindakan yang harus kami lakukan adalah mundur dan menarik diri selama beberapa waktu, dan hal ini sudah kami perintahkan kepada para ikhwah di garis depan agar mereka mundur bersama kami karena posisi mereka di rumah tersebut sangat genting. Buldoser-buldoser Israel sudah mulai menggilas dan menghancurkan rumah-rumah di sekitar rumah tersebut. Tapi mereka memberi kabar untuk tidak mundur walaupun hanya satu centimeter saja, mereka telah bertekad untuk mendapatkan syahadah (mati syahid). Akhirnya, kami tinggalkan mereka dan keluar menjauhi rumah tersebut. Dan akhirnya di pagi hari berikutnya, kami tahu di antara mereka mati syahid dalam kondisi yang mengenaskan.

Saat malam tiba, kantuk menjalar dan menguasai para ikhwah, tiba-tiba sebuah rudal menghantam lantai atas rumah tersebut yang ditempati empat mujahid Palestina. Akibatnya, dua pejuang gugur dan dua lainnya selamat. Saat Mahmud Thawaliba gugur syahid, teman yang sedang tertidur di sampingnya tidak mengalami luka-luka sedikitpun; demikian pula, ketika Abdurahim Faraj gugur syahid, teman di dekatnya tidak terluka sedikitpun. Tapi saat api telah berkobar, salah seorang dari dua mujahid berhasil turun ke lantai dasar sementara satunya lagi syahid terbakar bersama dua rekannya yang sudah gugur syahid terlebih dahulu. Lima hari lamanya mujahid ini bertahan di rumah tersebut, Allah telah memberinya kemudahan dengan tersedianya cukup air bersih dan keju selama tertahan di rumah tersebut. Setelah beberapa hari tertahan di sana, sejumlah wanita Palestina menengok rumah-rumah mereka, dan ketika mujahid ini mendengar suara-suara wanita dia memberitahu mereka bahwa dia sedang terluka dan membutuhkan pengobatan. Akhirnya, dia dipindahkan ke rumah terdekat dan diobati dan bertahan di sana hingga tentara Israel menarik diri dari Kamp Pengungsi Jenin. Kemudian, ikhwah mujahid ini dipindahkan ke rumah sakit dan kondisinya sehat walafiat sampai sekarang.

Di antara Kisah Syahid

Di antara kenangan hari-hari sulit yang dialaminya, Muqatil Kataib Al Qassam ini mengisahkan mulai hari pertama yang dilewati Abdurahim Faraj dalam perang Jenin:

Hari itu, Rabu pagi Asy Syahid Abdurahim Faraj dari Kataib Al Qassam telah bersiap-siap bersama para aktivis perlawanan lainnya menghadang kedatangan pasukan Imperialis Israel dari daerah Jabiriyat. Mereka berpencar di antara pohon-pohon yang tumbuh di daerah tersebut. Saat itulah para pejuang mujahidin melepaskan tembakan dari jarak dekat ke arah pasukan Israel. Saat itu pula kami semua mendengar serdadu-serdadu Israel berteriak histeris sambil ngacir melarikan diri akibat serangan mendadak dan tiba-tiba yang dilakukan Asy Syahid Abdurahim Faraj bersama rekan-rekannya. Dengan begitu, seluruh warga Kamp Pengungsi Jenin segara mengetahui bahwa pasukan infantri imperialis Israel sudah sampai di pinggiran Kamp Pengungsi Jenin dari daerah Jabiriyat. Segera sejumlah mujahid perlawanan rakyat Palestina seperti Asy Syahid Asyraf Abul Haija, Mahmud Halwah dan lainnya menuju pinggiran kamp memberikan bantuan kepada Abdurahim Faraj dan rekan-rekannya sehingga pasukan imperialis Israel terpaksa mundur karena serangan gencar para mujahid Palestina.

Demikian pula pada hari keempat, pasukan infantri Imperialis Israel mencoba merangsek masuk ke dalam Kamp Pengungsi Jenin dari lorong As Samran. Mereka mendapatkan perlawanan sengit dari sejumlah pejuang mujahidin, saat itu matahari tepat di atas kepala, terik dan panas. Posisi para pejuang mujahidin teratur rapi sesuai dengan yang diharapkan dan mereka menempatkan pula sniper-sniper di tempat-tempat strategis. Terjadilah kontak senjata langsung dengan sengit antara pasukan pejuang mujahidin dan pasukan Imperialis Israel. Kontak senjata ini menewaskan dua orang serdadu Israel dan melukai 6 lainnya. Jumlah ini berdasakan pengakuan juru bicara militer Israel.

Pada pertempuran ini, pihak Israel juga mengerahkan pesawat heli tempur dan mulai menyerang apa saja di depan pasukan mereka untuk memuluskan gerak maju pasukan infantri mereka. Sebuah rudal menghantam sebuah ruangan flat dan melukai salah seorang dari tiga pejuang Palestina yang saat itu berada di dalamnya. Diperkirakan saat rudal jatuh dan menyemburkan asap dan debu tebal mengenai mata ikhwah ini sehingga dia tidak dapat melihat dan pahanya terasa patah dan tidak bisa digerakkan. Akhirnya dia berteriak memanggil Mahmud Abu Halwah yang berada beberapa meter darinya, "Tolong…! Tolong aku…! Keluarkan aku dari reruntuhan ini!

Abu Halwah segera datang dan menarik tangan korban dan membawanya keluar rumah tersebut. Beberapa menit kemudian, mereka keluar dari rumah, sebuah rudal lain menghantam rumah tersebut. Atas karunia Allah, tak seorangpun terluka. Pada saat itu, di sebelah rumah tersebut terdapat sejumlah pejuang mujahidin yang sedang membendung serangan pasukan infantri Israel. Terang saja serangan rudal tadi sangat mempengaruhi kosentrasi para pejuang menghadapi pasukan infantri di tengah-tengah situasi kacau dan kritis semacam itu. Dan pada saat itu pula, sebuah pesawat Israel melepaskan sebuah rudal ke arah mereka dan melukai salah seorang pejuang di bagian kakinya.

Pada saat lainnya, sejumlah ikhwah pejuang mujahidin sedang melakukan pengawasan (muraqabah) di sebuah rumah penduduk, tiba-tiba seekor anjing besar menyerang seorang pemuda. Segera mereka melepaskan tembakan ke arah anjing itu hingga mati. Pihak Israel juga diketahui memasang alat penyadap di lehernya. Salah seorang pejuang mujahidin mengambil dan menghancurkan alat penyadap, dan selanjutnya dicelupkan ke air dan menyiramkan ke arah serdadu-serdadu Israel.

Pada hari yang sama, mujahid Thaha Zubaidi dari Saraya Al Quds menemui tiga orang ikhwah dan mengajaknya pindah dari tengah kamp menuju lorong Damj untuk memberikan bantuan kepada para pejuang mujahidin yang berada di sana. Mereka berhasil melewati gang pertama dengan selamat, sebelum mereka sampai di gang kedua tiba-tiba mujahid Thaha Zubaidi limbung. Ternyata, sebuah peluru sniper Yahudi menerjangnya dan jatuh gugur syahid. Perlu diketahui, peluru yang digunakan sniper Yahudi memiliki daya ledak luar biasa hingga membakar seluruh tubuh Asy Syahid.

Sedangkan Asy Syahid Mahmud Abu Halwah, dari Kataib Al Qassam, beliau syahid pada hari keenam saat memcoba berpindah posisi dari area tengah Kamp ke arah timur; dadanya ditembus peluru sniper Israel dan gugur saat itu juga.

Sementara Syaikh Rayadh Bair dari Saraya Al Quds, asal kota Tulkarm, kami sempat menyertai beliau hingga hari Rabu; belau aktif melakukan shalat wajib dan sunah meskipun terluka kakinya sampai akhirnya pada hari Kamis kami kehilangan beliau. Saat itu kami selalu berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain. Setelah pasukan Imperialis Israel menarik diri dari Kamp Pengungsi Jenin, kami mencarinya dan menemukan beliau sedang duduk dengan lutut diangkat menempel perut sambil mendekap senjatanya sementara di tangannya menggenggam mushaf Al Quranul Karim. Beliau enggan menyerahkan diri kepada pasukan Imperialis Israel dan memilih mati syahid dan menemui Rabbnya dalam kondisi terhormat dan diberkahi Allah. Karena tujuan beliau datang dari Tulkarm tidak lain kecuali untuk berjumpa dengan Rabbnya sebagai syahid melawan musuh bukan ngacir sebagai pengecut.

Adapun kisah syahidnya Abu Jandal, terjadi pada hari Jumat atau hari kesepuluh Perang Jenin. Saat itu beliau sedang berlindung di sebuah rumah bersama seorang anak buahnya, tiba-tiba buldoser-buldoser Imperialis Israel datang mendekat melibas dan menghancurkan rumah tersebut. Keduanya memutuskan untuk keluar rumah berapapun harga yang harus dibayar, memilih mati oleh peluru daripada mati di bawah reruntuhan. Keduanya pun keluar dari rumah tersebut menuju masjid Al Anshar, pada saat itulah peluru-peluru sniper Israel memburu keduanya. Sebuah peluru menerjang kepala Abu Jandal; akhirnya, beliau ditangkap pasukan Israel dan dieksekusi mati seperti yang disaksikan para pemirsa di layar kaca televisi.

Sangat mudah bagi pihak Israel mendeteksi Abu Jandal. Dia adalah satu satunya perwira dari Dinas Keamanan Palestina yang ikut serta di Perang Jenin. Israel dapat mengenalinya dari pangkat dan kedudukan beliau serta luka tembus di dadanya yang menjadi ciri khas beliau.

Perlu disebutkan di sini, keberhasilah para pejuang mujahidin bertahan hingga hari terakhir disebabkan oleh aksi-aksi bom yang dilakukan kebanyakan mujahidin; mereka harus bisa mencari cara mendapatkan syahadah (mati syahid) daripada menyerah di depan terjangan buldoser-buldoser Imperialis Israel.

Sebenarnya, buldoser-buldoser inilah yang menjadi musykilah (kesulitan) asasi yang dihadapi para pejuang mujahidin, mereka belum mendapatkan solusi yang tepat untuk menghadapinya. Itu pula yang menjadikan faktor utama pasukan Israel bisa masuk ke Kamp Pengungsi Jenin. Salah satu sebabnya adalah kuatnya sistem perlindungan yang dimiliki buldoser-buldoser ini. Konon sebagian buldoser-buldoser ini biasa saja sehingga untuk membunuh sopirnya tidak butuh lebih dari satu peluru? Hanya saja, sistem perlindungan yang dimiliki buldoser-buldoser ini sangat kuat. Sistem perlindungan yang dimiliki tank ini bila dibandingkan dengan buldoser-buldoser ini tidak ada apa-apanya. Untuk menghadang dan menghancurkan tank cukup dengan menggunakan bom RPJ, namun untuk menghadapi buldoser-buldoser tadi bom RPJ tidak ada artinya. Hal ini pernah dicoba oleh Asy Syahid Abu Jandal. Beliau hantam sebuah bolduser dengan bom RPJ ketika hendak menghancurkan salah satu rumah di Kamp Pengungsi Jenin, namun buldoser tersebut tetap seperti sedia kala seakan tidak terjadi apa-apa, terus menggilas rumah-rumah warga sipil Palestina.

Pembantaian Anak-anak

Disamping kisah kepahlawanan yang hidup, perang di Kamp Pengungsi Jenin juga telah menjadi saksi tindak kejahatan dan pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh imperialis Israel. Pada 19 Mei 2002, Komisi HAM Palestina melaporkan hasil investigasi tindak kejahtan Israel atas anak-anak Palestina, di antaranya yang terjadi di Kamp Pengungsi Jenin.

Laporan-laporan yang bersumber dari penduduk Kamp Pengungsi Jenin mengisyaratkan, bahwa sebagian besar ratusan korban pembantain yang terjadi di Kamp Pengungsi Jenin adalah anak-anak. Selain itu, pasukan Israel menghancurkan secara total rumah-rumah warga Palestina dan bangunan-bangunan bawah tanah. Sangat sulit menentukan secara pasti jumlah syuhada' dan korban luka akibat Imperialis Israel melakukan pengepungan dan pelarangan total atas warga Kamp Pengungsi Jenin; militer Israel juga terus mnerus menekan siapa saja yang hendak memberikan bantuan kemanusiaan ataupun melakukan investigasi tindak kejahatan Imperialis Israel di wilayah tersebut. Berkali-kali pihak Imperialis Israel melarang organisasi-organisasi kemanusian lokal dan internasional, termasuk PBB dan Palang Merah Internasional, memasuki wilayah tersebut. Sebagian organisasi berhasil masuk ke Kamp Pengungsi Jenin, namun perlakuan buruk dari serdadu-serdadu Israel telah memaksa organisasi-organisasi ini tidak mampu memberikan pertolongan kepada penduduk Kamp Pengungsi Jenin. Dari sejumlah laporan mengisyaratkan bahwa sekurang-kurangnya sepertiga bagian Kamp Pengungsi Jenin nampak seperti dihantam gempa bumi dahsyat.

Kamp Pengungsi Jenin dibangun pada 1953 dan sebanyak 15 ribu pengungsi Palestina menghuni kamp ini dan lebih dari 50 persen di antaranya adalah anak-anak. Seorang perwakilan resmi PBB untuk urusan pengungsi mengisyaratkan bahwa sekitar 3000 anak dan perempuan Palestina tinggal di tempat-tempat berlumpur di Kamp Pengungsi Jenin, mereka telah kehilangan rumah-rumahnya akibat berbagai serangan militer Imperialis Israel ke Kamp Pengungsi Jenin.

Sementara itu, laporan lain mengisyaratkan bahwa sekitar ratusan keluarga telah diusir oleh imperialis Israel dan sekitar 500 orang Palestina mengungsi ke desa Rumana yang bersebelahan dengan Kamp Pengungsi Jenin. Mulailah muncul berbagai kisah yang memilukan diriwayatkan oleh mereka yang selamat. Menurut para saksi mata, rumah-rumah telah dilumatkan beserta para penghuni yang masih berada di dalamnya. Seorang warga kamp yang selamat dan sempat ditemui oleh Komisi HAM Palestina di desa Rumana menjelaskan bahwa untuk menghilangkan jejak kejahatannya, pihak militer Israel mengubur korban yang tewas secara massal dan juga membuang korban-korban pembantaian ke luar dari wilayah itu.

Selama agresi militer Imperialis Israel ke Kamp Pengungsi Jenin, mereka juga mengacak-acak anggota-anggota keluarga Palestina sehingga banyak anak-anak yang terpisah dari keluarga mereka. Banyak keluarga Palestina tidak tahu nasib anggota keluarganya. Kemudian, salah seorang warga Palestina menceritakan bagaimana dia dan anaknya yang baru berumur 14 tahun diciduk militer Israel dan dijadikan sebagai tameng hidup. Mereka mengikat bom di pundak kedua korban warga Palestina dan dijadikan sebagai perisai serdadu-serdadu Israel untuk bergerak maju ke dalam Kamp Pengungsi Jenin. Setelah itu, para serdadu pergi meninggalkan kamp bersama kedua korban tersebut, sementara isteri dan anak-anak korban masih tertinggal di dalam Kamp Pengungsi Jenin tanpa mengetahui kabar masing-masing. Sementara itu, seorang saksi lainnya yang menyaksikan tindak kejahatan pasukan Imperialis Israel mengisahkan aksi penghancuran sebuah rumah warga sipil Palestina beserta penghuni yang masih berada di dalamnya. Bangunan rumah yang dimaksud terdiri dari tiga tingkat, para serdadu Imperialis Israel menyuruh penghuni rumah itu untuk turun ke lantai satu; kemudian, dia melihat buldoser-buldoser Israel meluluhlantakan rumah tersebut sementara para penghuninya masih berada di lantai satu rumah itu.

Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa agresi militer Imperialis Israel ke Kamp Pengungsi Jenin yang merupakan kebijakan pemerintah Israel, adalah suatu tindak kejahatan atas kemanusiaan.
 



Mereka yang Selamat dari Maut Tidak Punya Harapan Hidup

Kemudian, dari laporan kantor berita Perancis, AFP, sebagaimama dilaporkan oleh al markaz al falistini lil i'lam pada awal Mei 2002, warga sipil Palestina di Kamp Pengungsi Jenin yang selamat dari pembantaian tidak lebih baik dari mereka yang menjadi korban-korban pembantaian. Laporan ini dapat memberikan gambaran sekilas tentang kondisi ini.

Lelaki itu, Ahmad Husain Faraj, tidak tahu dimana istrinya berada pagi itu. Dia juga tidak menemukan mayat anaknya, sedangkan menurut tuturan tetangga-tetangganya, anaknya telah syahid. Saking sedih dan labilnya jiwa, lelaki tua ini tidak mampu lagi mengenali di mana rumahnya yang berada dimana telah berubah menjadi gundukan batu dan bongkahan tanah di Kamp Pengungsi Jenin itu.

Lelaki tua yang berusia 70 tahun ini telah kehilangan kontak dengan kehidupan akibat kehilangan sesuatu yang paling berharga yang mengikat dirinya dengan jalan kehidupan ini. Dia hidup serasa seperti mayit, tidak punya semangat hidup. Dengan susah payah Ahmad Husain Faraj naik sepeda dan mengayuhnya ke Gang Bani Abu Ghutnah, sebuah kampung yang dapat dikatakan tidak mengalami penghancuran dahsyat Zionis Israel berupa gempuran tank-tank dan bulduser-buldoser Imperialis Israel seperti yang dialami kampung-kampung Palestina lainnya selama Perang Jenin. Dengan kopiah lusuh dan bertelanjang kaki dengan sebatang kayu sebagai tongkatnya untuk bertelekan dia merindu. Lelaki itu menceritakan apa yang terjadi selama dua minggu terakhir setelah tentara Imperialis Israel menyerbu Jenin, wilayah di utara Tepi Barat.

Lelaki yang memiliki rumah dua tingkat di tengah-tengah area Kamp Pengungsi Jenin ini bertutur bahwa di awal pertempuran, dia bersama istri dan tiga puteri dan empat puteranya bersembunyi di ruang tidur. Karena dia berkeyakinan bahwa ruang tersebut lebih aman dibandingkan ruang-ruang lainnya dari serangan rudal penjajah Israel. Tiga hari kemudian, Ahmad Husain Faraj, lelaki tua itu, menyuruh keluarganya pergi meninggalkan rumahnya. "Saya katakan pada mereka, 'Pergilah dari sini'. Yang ada dalam benak saya saat itu adalah menyelamatkan mereka semua. Untuk sementara saya tetap tinggal, memantau apa yang terjadi."

Anak-anak puterinya berangkat ke rumah pamannya, sementara isterinya berangkat pergi bersama dua puteranya yang masih kecil berusia di bawah 13 tahun tanpa membawa bekal sedikitpun. Sejak saat itu, dia tidak mendengar apa-apa lagi tentang mereka. Apakah mereka pergi bersama ratusan warga lainnya menuju kota Jenin?! Ataukah ke daerah pinggiran Kamp Pengungsi Jenin?!

"Saya tidak tahu"!!! Itulah yang paling bisa dia katakan.

Siang dan malam, lelaki itu terus menunggu, akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Katanya, "Saya melihat buldoser-buldoser penjajah Israel mendekati rumahku, lalu saya bergegas keluar. Sejak saat itu saya menginap di rumah tetangga." Menurut penuturan lelaki tua itu, serdadu-serdadu Israel tidak mengindahkan atau memberitahu sebelumnya sebelum meratakan rumah-rumah warga Palestina. Mereka tidak perduli apakah di dalam rumah yang akan diruntuhkan masih ada penghuninya atau tidak. Tidak seperti sebelumnya, lewat pengeras suara mereka menyuruh orang-orang mengosongkan rumah masing-masing. "Seandainya saya tidak waspada, mereka pasti sudah membunuhku," tandas lelaki tua tersebut. Setelah 13 serdadu penjajah Israel terbunuh, tentara-tentara Israel semakin kalap. Mereka menghancurkan pemukiman di tengah kamp pengungsi dan terjadilah pertempuran sengit antara warga Palestina yang ingin mempertahankan diri dengan penjajah Israel yang terus melakukan penghancuran, termasuk rumah Ahmad Husain Faraj yang dibulduser rata dengan tanah.

Sejak saat itu dia terus menunggu sampai akhirnya datang kabar, orang-orang bilang padanya seminggu lalu bahwa anaknya Abdurahman telah syahid. Mereka melihat mayatnya, tapi tidak tahu anak-anaknya yang lain.

Kata lelaki tua itu, anaknya yang paling besar pergi bersama para pejuang. Tapi dia menegaskan bahwa anaknya tidak bergabung dengan Hamas atau Jihad Islam yang banyak anggotanya dari Kamp Pengungsi Jenin. Hal ini menguatkan informasi Penjajah Israel bahwa aksi-aksi syahid berasal dari kamp pengungsi ini.

Setelah itu, salah seorang warga menceritakan kisah yang agak aneh tentang anak keduanya, Yahya, yang "muncul sehari kemudian keluar di antara puing-puing reruntuhan bangunan itu". "Itulah yang dikatakan orang-orang pada saya," kata lelaki itu. Ahmad Husain Faraj menunggu kendaraan berat Israel meninggalkan tempat tersebut untuk mencari isterinya. "Saya telah kehilangan segalanya," katanya serata berkata, "Saya seperti mayit, orang yang mati." Akan tetapi, dia menyadari, "Saya masih punya anak-anak puteri dan saya bertanggungjawab atas kehidupan mereka."

Dengan perlahan-lahan, seorang lelaki tua mendekat dari puing-puing. Dia satu-satunya yang terakhir. Yang terakhir kali melihat rumahnya dilumatkan buldoser-buldoser Israel. Yang terakhir kali dengan tergagap dia berujar, "Anak-anak Yahudi berangkat ke sekolah, bermain dan berenang. Sedang kami, inilah laut kami," sambil mengisyaratkan tangannya ke hamparan puing-puing reruntuhan bangunan. Dengan emosi dan marah dia menambahkah, "Setiap perselisihan ada solusinya, semuanya .. kecuali persoalan kami, rakyat Palestina?!!," teriak lelaki tua itu melampiaskan kepedihannya.

Kanvas Surealisme di Kamp Pengungsi Jenin

Pada laporan berita Reuters, sebagaimama dilaporkan oleh al markaz al falistini lil i'lam pada awal Mei 2002, diungkapkan pula nasib keluarga Yahya Shalih. Orang-orang Palestina tidak dapat memberikan apa-apa kecuali ucapan "Allah bersamamu" kepada Yahya Shalih yang bercucuran keringat dan bermandikan peluh saat kedua kakinya terperosok ke dalam lubang menganga di atas gundukan 'gunung puing-puing bangunan' dan reruntuhan di tengah-tengah Kamp Pengungsi Jenin, Tepi Barat. Dia berupaya membongkar puing-puing itu untuk melihat rumahnya yang hancur berkeping-keping.

"Rumahku di sini," kata Shalih sambil berdiri tegak terengah-engah di bawah sengatan matahari yang membakar. "Ini kamar tidur kami," sambil memegang ujung karet bunga karang salah satu ujung kasur yang terkubur di bawah reruntuhan itu. "Itu bantalku." Dia berkata sambil menunjuk barang yang berdebu yang diduduki oleh puteri kecilnya yang menyaksikan ayahnya dari ujung reruntuhan itu.

"Saya berusaha mencari dan, paling tidak, kertas-kertas identitas kami dan kalung istriku. Anak-anakku membutuhkan pakaian buat mereka," katanya beralasan.

Sekarang ini, satu-satunya barang yang dia miliki adalah mobil yang digunakan untuk menyelamatkan istri dan anak-anaknya. Dia duduk di tengah puing-puing beristirahat di samping anaknya Ahmad, anak berumur lima tahun ini mendekat dan mencium jenggot ayahnya yang berdebu. Medan Perang Jenin adalah kamp pengungsi yang sudah berumur 49 tahun yang terdiri dari rumah-rumah tembok dan padat penduduknya. Daerah pemukiman penduduk Palestina ini tidak dianggap ada setelah serdadu-serdadu tentara Imperialis Israel membumihanguskan dan memporak-porandakannya; dan menurut pendapat Israel, "pembumihangusan ini untuk mengubur tali sepatu jebakan yang menjerat atau membunuh kaum teroris yang menolak menyerahkan diri kepada mereka." Rumah-rumah di sekitar 'medan Perang Jenin' ini mengalami kehancuran dahsyat dan bahkan puluhan rumah lainnya tidak dapat digunakan lagi akibat tembakan meriam tank-tank, rudal-rudal dari pesawat dan helikopter tempur Israel. Sekali lagi, inilah kondisi rumah-rumah yang berada di di luar Kamp Pengungsi Jenin tempat Perang Jenin berlangsung sengit.

Membentang panjang melandai mulai dari medan Perang Jenin hingga Masjid Al Anshar, di tembok-tembok masjid dan tembok-tembok panti asuhan yang terdekat, tersebar lubang-lubang bekas peluru meriam. Kemudian, di belakang tangga masjid menuju ke atap, pasukan Israel meninggalkan lima tong air aluminium penuh dengan air seni mereka.

Menurut keterangan warga Palestina yang tinggal di dekat masjid itu, serdadu-serdadu Imperialis Israel menguasai masjid itu selama Perang Jenin. Mereka menunjuk ke arah tumpukan kotak-kotak mesiu yang bertuliskan bahasa Ibrani. Pasukan Zionis Israel juga meninggalkan selongsong-selongsong meriam tank.

Sementara itu, di medan perang burung-burung mayat bernyanyi di atas puing-puing reruntuhan. Para pejalan kaki membanjiri jalan-jalan sempit di antara rumah-rumah yang akan dihantam peluru-peluru meriam Imperialis Israel. Anak-anak memburu seekor kelinci, menangkap dan mencengkeram dua telinganya dengan kuat.

Pihak militer imperialis Israel mengatakan sekitar 70 orang Palestina terbunuh dalam perang di Kamp Pengungsi Jenin, sebagian besar di antara mereka para aktivis. Akan tetapi, orang-orang Palestina menuduh militer Imperialis Israel melakukan pembantaian dan menghancurkan kehidupan ratusan warga sipil Palestina. Dan kemungkinan pula, mengenai jumlah penduduk sipil yang dibantai Israel, menunggu hasil investigasi yang akan dilakukan di tengah-tengah reruntuhan puing-puing bangunan pada minggu-minggu atau bulan-bulan mendatang.

Kembali ke medan Perang Jenin yang telah berubah menjadi kanvas gunung puing-puing reruntuhan yang telah menutupi hamparan lapangan sepak bola, seseorang tidak akan mendapati kata yang dapat melukiskan kondisi penduduk Kamp Pengungsi Jenin yang membutuhkan berbagai sarana pokoknya untuk dapat bertahan hidup.

"Ambilah dua kentang ini," kata seorang lelaki dengan suara tinggi sambil berjalan dengan hati-hati di tingkat paling atas rumahnya yang tidak luput dari gempuran dahsyat pasukan Zionis Israel. Dan dia sekarang berdiri sambil sedikit menopang isterinya yang duka.

Seorang pemuda berteriak kepada orang-orang di sekitar untuk membawakan air minum. Orang-orang Palestina itu mengangkat dan menyelamatkan sebagian anggota tubuh korban dari reruntuhan, kemudian mereka menaburkan minyak wangi di liang penguburan.

Di rumah sakit pemerintah, dikuburkan 36 orang Palestina lainnya. Dipastikan mereka wafat di gudang belakang dan jalan menuju ke tempat itu kita dapat melewati jalan yang bernama "ailat sa'idah" (keluarga bahagia). (Seto)


 

 


 

 

Hosted by www.Geocities.ws

1