Ikhwanul Muslimin, Organisasi Pergerakan yang Ditakuti Kekuatan
Sekular
Hampir
setiap muncul tindak kekerasan di negara-negara Islam (Arab), orang
selalu mengaitkannya dengan Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi
pergerakan Islam yang lahir diMesir, sekitar tujuh dekade lalu. Lalu,
benarkah Al-Ikhwan mengajarkan tindak kekerasan? Dan apa hubungan
Hammas dan gerakan Hasan At-Turabi di Sudan dengan organisasi Al-Ikhwan?
Berikut sebuah tulisan yang membahas secara ringkas tentang Al-Ikhwan
sebagai sebuah organisasi pergerakan Islam.
Sewaktu kekhilafahan Islam jatuh ke tangan Bani Umaiyah pada 661 M,
dengan Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah pertama, minimal
muncul dua sikap umat dalam menghadapi kenyataan itu. Pertama,
sikap menolak. Kedua, sikap menerima dengan reserve.
Sikap pertama didasari pada kenyataan bahwa Muamiyah mendapat
kekuasaan dengan cara yang tidak sah. Di antara mereka, ada yang
menolaknya dengan vokal, yang disertai dengan perencanaan untuk
meluruskan jalannya. Dan ada yang menolaknya dengan sikap pelarian
diri kepada pengkajian masalah-masalah Islam dan menghindari hal-hal
yang membawa bentrokan dengan pemerintah.
Sikap kedua adalah menerima pemerintahan Muamiyah sebagai
kenyataan. Sekalipun tidak melambangkan citra Islam politik, minimal
ia telah mampu mempesatukan umat di bawah sebuah negara yang berdaulat.
Ia juga tidak melarang umat untuk meyakini rukun iman dan menjalankan
rukun Islam yang lima. Sikap kedua ini membentuk teologi Al-Murji'ah,
yang seterusnya menjadi teologi Ahl Sunnah wal Jamaah, untuk
membedakannya dengan teologi kaum Khawarij dan Syi'ah.
Perangkat-perangkatnya selama berabad-abad diisi oleh sayap kedua dari
sikap pertama, yaitu pihak yang menyibukkan diri untuk mengembangkan
warisan agama dan intelektual Islam dengan menjauhi konfrontasi
langsung dengan pemerintah yang berkuasa.
Aliran pertama yang bersifat vokal dan bahkan mengikutsertakan gerakan
di bawah tanah untuk menyusun kekuatan dalam rangka membentuk sebuah
pemerintahan yang lebih Islami, banyak mendapat kesulitan dari
pemerintah yang berkuasa. Tokoh -tokohnya diburu-buru dan ajarannya
ditolak. Inilah cikal bakal pergerakan Islam yang mempunyai pendukung
sepanjang sejarah Islam sampai ke abad modern. Organisasi Al-Ikhwanul
al-Muslimun -- yang biasa disingkat dengan Al-Ikhwan -- adalah sebuah
pewaris dari Islam pergerakan ini dengan bentuknya yang khas di zaman
modern.
Hay'ah Ikhwan Al-Muslimin (Organisasi Persaudaraan Umat Islam)
didirikan Shekh Hasan Al-Banna di kota Ismailiyah (sebuah kota di
pinggir Terusan Suez), Maret 1928, beberapa bulan setelah ia lulus
dari Darul Ulum. Darul Ulum adalah sebuah sekolah tinggi pendidikan
guru di Kairo, dan Ismailiyah adalah kota di mana ia ditempatkan oleh
Departemen Pendidikan Mesir untuk menjadi guru di sebuah SMP.
Setiap hari -- seusai mengajar, ia mengunjungi warung kopi untuk
berdialog dengan masyarakat. Malam harinya, ia salat berjamaah di
masjid terdekat, dan kemudian seringkali melanjutkan pembicaraannya di
warung kopi.
Pada masa-masa liburan panjang setiap musim panas, ia menghabiskan
waktu bepergian ke berbagai kota dan desa di Mesir, untuk mengajar
masyarakat di rumah, di atas kendaraan, di warung kopi, atau masjid.
Tubuhnya yang kekar (sekalipun dengan postur yang agak pendek
dibanding rata-rata orang Mesir), serta penampilannya yang menarik,
dan lidahnya yang fasih, memang mendukung Al-Banna untuk menjadi
seorang public figure.
Dalam pertumbuhan awalnya, Al-Ikhwan lebih memusatkan usaha untuk
pembentukan kepribadian masyarakat. Ini terlihat dari beberapa prinsip
yang diajarkan Al-Banna yang merupakan petunjuk harian Al-Ikhwan.
Prinsip-prinsip itu antara lain berbunyi: "Lakukanlah salat bila anda
mendengar azan, bagaimana pun kondisi anda pada waktu itu. Baca
Alquran, renungkan dan dengarkan, serta selalulah mengingat Allah.
Jangan anda membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tak berguna."
Selanjutnya, Al-Banna juga mengatakan: "Jangan banyak bersilat lidah
dalam masalah apa pun, karena itu tidak bermanfaat. Jangan banyak
berhura-hura dan bersantai, karena perjuangan bangsa perlu kesungguhan.
Jauhilah membicarakan keburukan orang di belakangnya. Jangan mengejek
organisasi-organisasi atau pergerakan-pergerakan dengan tidak adil.
Berusahalah untuk selalu ramah bila anda bertemu teman-teman Al-Ikhwan,
sekalipun ia tidak membuat inisiatif, karena idiologi kita berdiri di
atas tiang ilmu pengetahuan dan cinta kasih.
Bantulah orang lain semaksimal mungkin agar ia dapat memanfaatkan
waktunya, dan bila anda mempunyai proyek untuk diselesaikan, maka
selesaikanlah proyek itu."
Prinsip-prinsip tersebut tak lain adalah sebagian dari prinsip-prinsip
Islam, yang disimpulkan dalam bahasa sederhana agar dapat dilaksanakan
dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Intinya adalah bagaimana
seorang muslim dapat menjalankan ajaran Islam secara murni dan
konsekuen dalam kehidupan modern.
Prinsip-prinsip itu dijalankan melalui jalur organisasi dari ranting,
cabang, wilayah (yang tersebar di seluruh pelosok kota dan desa di
Mesir), dan sampai ke pusat, yang secara organisatoris selalu
dievaluasi dari waktu -waktu. Di sini kelihatan sekali ciri pergerakan
dari organisasi Al-Ikhwan.
Setelah pemantapan kepribadian, maka program Al-Ikhwan selanjutnya
adalah pembentukan masyarakat Islam yang menjalankan syariat Islam.
Bagi Al-Ikhwan, Islam adalah jalan hidup menyangkut individu,
masyarakat, negara, hubungan internasional dan seterusnya. Al-Banna
menegaskan, "Ia (Islam -- Red) adalah sikap moral, kekuatan, kasih
sayang dan keadilan. Ia adalah pengetahuan, hukum, ilmu dan pengadilan.
Ia adalah materi, kekayaan, usaha dan kebutuhan. Ia adalah jihad dan
dakwah atau antara dan gagasan. Ia juga akidah yang benar dan ibadah
yang betul, ibarat satu koin dengan dua wajah."
Seperti program pembentukan kepribadian, maka Al-Ikhwan juga bertekad
untuk melaksanakan program sosial politik secara bertahap. Dalam
Anggaran Dasar (Nizam Asasi) Al-Ikhwan, antara lain menyebutkan: Al-Ikhwan
senantiasa mengutamakan kemajuan bertahap dalam pembangunan, usaha
produktif, dan kerja sama dengan para pecinta kebaikan dan kebenaran.
Al-Ikhwan tak ingin melukai siapa pun, apa pun agama, ras dan
kebangsaannya.
Kegiatan Al-Ikhwan mulai menarik perhatian pemerintah dan dunia luar,
setelah mereka memindahkan pusat kegiatan dari Ismailiyah ke Kairo.
Apalagi setelah Al-Banna mengirim surat kepada raja Mesir, Faruq
(1936) dan sejumlah menteri kabinet, agar melaksanakan syariat Islam
dan meninggalkan cara hidup yang tidak Islami.
Situasi di Mesir pada 1930-1940-an, seperti kebobrokan moral,
penetrasi budaya asing, pemerintah yang tidak tegas, dominasi Inggris
yang begitu kuat dalam negeri, dominasi perusahaan -perusahaan asing,
dan lain-lain, telah bersaham dalam membentuk sikap militansi Al-Ikhwan.
Sebagai gerakan dan idiologi, sikap Al-Ikhwan ini berhubungan erat
dengan krisis intelektual, sosial, ekonomi dan politik yang melanda
Mesir sejak abad ke-19.
Krisis-krisis ini sebagiannya adalah hasil dari berbagai kebijakan
yang ditempuh oleh para penguasa Mesir sebelum ini, dalam bidang
pendidikan, hukum dan politik melalui suatu proses westernisasi.
Negara sejak abad 19 mengirim misi pendidikan ke luar negeri dan
mengundang perancang dan tenaga ahli Barat ke dalam negeri. Sistem
pendidikan Barat yang sekuler barangsur-angsur menggeser pendidikan
tradisional, dan hukum sekular Barat menggantikan hukum syariat yang
telah berlaku selama berabad-abad.
Politik pemerintah semakin cenderung untuk memelihara kepentingan
Barat. Terusan Suez sebagai jalan perhubungan penting antara Barat dan
Timur berada di tangan asing. Di Palestina kekuatan Zionis
internasional semakin mengkristal untuk mendirikan negara nasional
Yahudi yang mengancam eksistensi umat Islam dan bangsa Arab. Sementara
itu, para penguasa Arab lebih banyak membuat kebijakan yang dapat
mempertahankan kepentingan mereka daripada kepentingan rakyat. Di
pihak lain, Al-Azhar sebagai lembaga keagamaan tertua di dunia Islam
bersikap melempem dan sulit untuk dijadikan panutan bagi sebuah
pembaruan yang sejalan dengan semangat Islam.
Sebagai organisasi pergerakan, Al-Ikhwan tak mau membiarkan kondisi
yang tidak sejalan dengan tuntutan Islam itu berjalan terus. Melalui
media dan sarana yang dimilikinya (surat kabar, majalah, pamlet, surat
terbuka, pidato, khutbah, rapat umum dan lain-lain), organisasi ini
memberikan imbauannya kepada rakyat dan pemerintah agar mengambil
garis Islam dalam semua kebijakan.
Kalau kemudian pemerintah melihat Al-Ikhwan sebagai ancaman, bukan
semata karena imbauan kebaikan itu, tapi lebih karena sebagai
organiasasi massa, Al-Ikhwan dapat memaksakan kehendaknya. Usaha yang
dilakukannya bukan hanya bidang penerangan, pendidikan dan kebajikan
semata, tetapi juga mencakup usaha -usaha ekonomi yang menjadi urat
nadi organisasi, latihan bela diri dan bahkan pasukan para militer.
Dalam perang melawan sekutu Inggris-Israel pada tahun 1948, misalnya,
pasukan sukarelawan Al-Ikhwan terbukti tangguh dalam mematahkan
kekuatan musuh.
Sekitar Perang Dunia II, telah terjadi hubungan turun naik antara
pemerintah dan Al-Ikhwan. Situasi genting yang terjadi di Mesir akibat
perang, antara lain pembunuhan terhadap tokoh -tokoh politik (termasuk
pembunuhan Perdana Menteri An-Nuqrasyi), membuat keadaan semakin sulit
bagi Al-Ikhwan. Tokoh-tokoh Al-Ikhwan ditangkap, aset organisasi
disita, dan berbagai media massa mereka diberangus. Kejadian seperti
itu terjadi berulang kali. Dari tahun 1940 sampai Desember 1948,
pergerakan ini dilarang seutuhnya. Selanjutnya pada malam hari tanggal
12 Februari 1949, Al-Banna ditembak mati oleh orang yang tak dikenal
sewaktu ia sedang duduk di mobilnya di depan gedung Syubban Al-Muslimin
di Kairo.
Al-Banna meninggal, tetapi gagasan dan karya organisasinya diteruskan
oleh generasi penerus. Tak lama setelah kepergian Al-Banna,
kepemimpinan Al-Ikhwan digantikan oleh Hasan Al-Hudhaibi, seorang
bekas jaksa. Menjelang Revolusi tahun 1952, sebagian kekayaan Al-Ikhwan
mulai dikembalikan dan kebebasan mereka dipulihkan.
Pada mulanya, Jamal Abd Nasir dan Anwar Sadat sendiri adalah termasuk
aktivis Al-Ikhwan. Namun kemesraan antara Al-Ikhwan dan Nasir serta
Sadat segera berakhir, tak lama setelah yang bertama menjadi presiden.
Di bawah pemerintahan Jamal Abdul Nasir, Al-Ikhwan mengalami
penderitaan kembali. Para pengikutnya dipenjarakan dan beberapa di
antaranya bahkan ada yang digantung. Buku-buku dan penerbitan mereka
dilarang terbit.
Akibat dari kondisi yang kurang menguntungkan itu, beberapa tokoh Al-Ikhwan
banyak yang terpaksa lari ke luar negeri. Ada yang ke negara-negara
Arab dan lainnya ke Eropa dan Amerika. Namun di mana pun mereka berada,
mereka tidak melupakan perjuangan organisasi dan selalu melakukan
kegiatan-kegiatan sesuai dengan kondisi yang ada.
Dari situ, meski di dalam negeri (Mesir) Al-Ikhwan banyak mengalami
hambatan, gagasan Al-Ikhwan tetap berkembang. Apalagi banyak di
kalangan idiolog-idiolog Al-Ikhwan yang berbakat menulis dalam
berbagai bidang. Sebut, misalnya 'Audah, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb,
Muhammad Al-Ghazali, Abdullah As-Samman, As-Siba'i, Mushthafa Ramadan,
Fathi Yakan dan lain-lain.
Kemudian muncul dialog generasi kedua yang lebih berbentuk akademis
semisal Al-Qardhawi, 'Isa 'Abduh, Al-Jerisyi, At-Turabi, Asy-Syalabi
dan seterusnya. Karya-karya mereka banyak yang sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia. Dengan demikian, Al-Ikhwan
telah memberikan sahamnya untuk sebuah pemahaman Islam pergerakan di
seluruh dunia.
Di beberapa negara Arab pada waktu ini, seperti Sudan, Yordania, dan
Palestina, kegiatan politis Islam Al-Ikhwan tampak menonjol. Di Sudan,
berkat jasa Dr Hasan At-Turabi, idiologi terkenal Al-Ikhwan, beberapa
program Islamisasi telah dapat dilaksanakan dalam negara, sekalipun
mendapat tekanan yang berat dari negara-negara Barat, dan bahkan Mesir
sendiri sebagai negara tetangga dan tanah kelahiran Al-Banna.
Di Yordania beberapa wakil Al-Ikhwan dapat duduk dalam parlemen dan
beberapa posisi penting dalam pemerintahan. Di Palestina, di balik
gerakan Al-Hammas yang menantang negara sekular yang ingin didirikan
oleh Arafat juga dikabarkan berdiri aktivis -aktivis Al-Ikhwan.
Hay'ah Ikhwan Al-Muslimin sebenarnya tidak lain dari sebuah organisasi
pergerakan Islam yang berusaha menerapkan cara-cara hidup yang Islami,
terutama kehidupan sosial-politik, melalui sebuah program yang selalu
direvisi dari waktu ke waktu. Karena dominasi kebudayaan sekular yang
begitu besar di dunia Islam, termasuk sekularisasi dalam pemerintahan,
organisasi ini sering berada dalam konflik dengan kjekuatan-kekuatan
sekular yang ada dalam masyarakat. Teologi mereka yang tidak
memisahkan antara ijtihad dan jihad, agama dan politik, membuat nama
mereka sering dihubungkan kepada aksi politik dan tindak kekerasan,
baik secara sah atau tidak. (RioL)
Rifyal Ka'bah MA, pengamat politik Islam
|