Beda Antara Bunuh Diri dan Aksi Syahid
Para
politikus, juga media cetak dan elektonik, Barat memaksakan pelabelan
bagi aksi-aksi berani mati di Palestina (yang terjajah) sebagai aksi "bunuh
diri" (intihar).
Hal ini pun akhirnya diikuti oleh media Arab dan dunia ketiga,
termasuk di negeri kita sendiri, Indonesia, yang mayoritas penduduknya
muslim. Para ulama Islam, juga para aktivis perlawanan Palestina,
seperti Hamas dan Jihad Islam telah melakukan bantahan dan meminta
agar, media Arab khususnya, komitmen dengan menyebutnya sebagai aksi
syahid (amaliyah istisyhadiyah).
Orang-orang Barat yang memberikan label "bunuh diri" bagi aksi syahid
di Palestina, bukan lah semua orang Zionis, pengikut zionis atau
pengikut Israel, juga bukan mereka semua itu adalah pendukungnya (zionis
– Israel). Namun yang menjerumuskan mereka dalam pelabelan rendah ini
adalah ketidaktahuan mereka akan arti aksi syahid yang agung ini;
yaitu meminta mati syahid.
Aksi Syahid, bukan berarti seseorang menceburkan diri dalam perang
sambil melenggang membawa ruhnya dengan santai. Kalau itu yang
dilakukan maka di sini masih ada ruang kemungkinan dia menang atau
selamat.
Anda ingat kata-kata yang diungkapkan pejuang Islam Khalid bin Walid,
"Laisa fii jismi maudhi'u syibrin illa wa fiihi dhorbatu saifin aw
tha'natu rumhin, wa ha anadza amuutu 'ala firasyi kamaa yamuutul
ba'iiru, falaa naamat a'yunul jubana'u". Beliau mengatakan, "Pada
tubuhku tak ada tempat sejengkal pun kecuali ada bekas tebasan pedang
atau tusukan panah dan tombak. Duhai, inilah aku meninggal di atas
ranjangku seperti matinya seekor keledai. Maka, semoga tidak tidur
mata para pengecut." Betapa Khalid berharap dapat gugur dalam medan
laga, namun nyatanya taqdir membawanya meninggal di ranjang tidurnya.
Begitulah perang yang wajar, masih ada kemungkinan menang dan selamat
dari maut dan kematian.
Namun, aksi syahid memiliki makna yang berbeda
dengan perang yang wajar. Ia berarti seorang pejuang bertolak
sendirian berikat pinggang peledak yang dililitkan pada tubuhnya, atau
dengan mobil yang penuh dengan peledak, atau menenteng tas penuh bom,
sementara dia tahu dengan sangat yakin bahwa dirinya akan mati. Tak
ada kesempatan untuk lolos, tak ada harapan untuk meraih kemenangan
perang dan kembali dengan selamat.
Sebelum
masuk dalam diskusi haramnya intihar (bunuh diri) dan ancaman Nabi
saw.
bahwa orang yang bunuh diri akan masuk neraka, kita harus menjelaskan
kepada diri kita di mana letak persinggungan yang mendekatkan antara
bunuh diri dan aksi syahid, dan di mana kedua hal tersebut
berseberangan satu sama lain. Barang kali kita perlu juga menjelaskan
perbedaan ini kepada seluruh dunia, inilah kebenaran aksi syahid yang
kita yakini.
Pelaku
bunuh diri dan aksi syahid bertolak dari sikap dua kehidupan yang satu,
yaitu putus asa. Adapun yang pertama, biasanya putus asa karena faktor
emosional (strees), seperti orang yang kehilangan kekasihnya, orang
yang diperkosa, dipaksa nikah dengan orang yang tidak disukai. Atau
karena pekerjaan seperti orang yang stress karena bangkrut, gagal
mendapatkan pekerjaan dan lain sebagainya. Atau karena masalah studi
seperti orang yang gagal dalam ujian, gagal studi di tengah jalan dan
sebagainya. Atau karena masalah kesehatan seperti orang yang tahu
bahwa dirinya terkena penyakit yang tidak ada obatnya, atau karena
tekanan jiwa dan sebagainya sebagaimana dijelaskan oleh para psikolog.
Sedang
putus asa yang kedua, lebih didasarkan pada hal-hal yang selalu
berkaitan dengan persoalan umum,
yaitu masalah rakyat dan bangsa. Bahwa pelaku aksi syahid tidak merasa
putus asa sendirian secara mutlak "Janganlah kalian berputus asa dari
rahmat Allah", namun dia merasa putus asa dari berbagai sarana yang
digunakan setiap hari untuk meraih tujuan yang dicita-citakan bersama.
Setiap hari hanya melihat kelemahan, kemunduran, penyerahan dan
pembatalan tuntutan-tuntutan hak yang sudah diakui oleh dunia.
Sementara dia melihat musuh tidak menanggapi suara akal, rasio dan
logika yang waras sedangkan dirinya tidak memiliki perlengkapan dan
senjata untuk melakukan perlawanan terhadap musuh. Karenanya dia hanya
bisa bersandar kepada sarana yang paling akhir dan final; yaitu
merubah dirinya menjadi bom hidup.
Perbedaan
yang kedua,
adalah bahwa pelaku bunuh diri tidak mungkin dalam kondisi akal,
logika dan kesadaran penuh baik sebelum bunuh diri maupun sewaktu
melakukannya. Dan inilah yang ditegaskan oleh ilmu jiwa (psikologi).
Sedangkan pelaku aksi syahid (istisyhadi), dia melakukannya dengan
penuh kesadaran dan menulis surat wasiat mengenai tekadnya untuk
meminta syahid. Ini artinya dia tahu, sadar dan memahami apa yang
sedang dia lakukan.
Perbedaan
yang ketiga – dan ini yang paling utama dan urgen – adalah keimanan
yang kokoh dan mendalam yang dimiliki pelaku aksi syahid, dengan
aqidah yang luhur bahwa dirinya berjuang dan berjihad di jalan Allah.
Bahwa dengan melakukan itu dia yakin mendapatkan surga. Dan inilah
arti dan makna meminta mati syahid (istisyhad). Bahwa dia berperang
dengan menggunakan senjata yang berbeda dan demi persoalan yang agung,
bukan demi kekasih, ijasah, pangkat, jabatan dan sebagainya.
Sesungguhnya
iman terhadap hari kebangkitan dan akhirat lah faktor pendorong utama
di sini. Inilah yang membedakan antara mereka, para pelaku aksi syahid,
dengan pasukan berani mati (fedayen) yang sudah dikenal dunia
sepanjang masa seperti "kamikaze" Jepang dalam perang dunia kedua.
Tidak tahu, kenapa kita mengabaikan sisi agama yang amat penting ini.
Padahal Amerika sendiri selalu fokus dalam masalah (simbol) salib
sampai pada kegiatan olah raga sekalipun. (warsito)
Flash Al Quds. pls be patient !!
|