In the Name of Allah, most Compassionate, most Merciful
BAB XXII
EKSPEDISI MU'TA
Perhatian
Muhammad ke Syam
MUHAMMAD
belum merasa perlu: tergesa-gesa membebaskan Mekah. Dia mengetahui sekali,
bahwa soalnya hanya tinggal soal waktu saja. Perjanjian Hudaibiya baru
setahun berjalan. Juga bukan maksudnya akan mengadakan pelanggaran. Muhammad
orang yang sangat setia tiada sebuah kata yang pernah diucapkan atau perjanjian
yang pernah dibuat, akan dilanggarnya. Oleh karena itu tatkala ia kembali
ke Medinah selama beberapa bulan tidak terjadi bentrokkan-bentrokan, kecuali
kecil-kecilan saja, seperti pengiriman 50 orang kepada Banu Sulaim dengan
tugas dakwah mengajak mereka menganut Islam, yang kemudian dibunuh oleh
Banu Sulaim secara gelap dan dengan tidak semena-mena, sehingga pemimpinnya
yang berhasil lolos hanya karena kebetulan saja. Begitu juga Banu Laith
dan Zafar yang telah menyerang dan merampas mereka itu. Sama pula dengan
hukuman yang telah dijatuhkan kepada Banu Murra karena pengkhianatan mereka
itu tadinya. Demikian juga adanya limabelas orang yang telah dikirim ke
Dhat't-Talh di perbatasan Syam dengan tugas dakwah mengajak mereka mengikut
Islam, dibalas dengan pembunuhan juga, sehingga tak ada yang selamat kecuali
pemimpinnya.
Memang
perhatian Nabi tertuju ke wilayah Syam dan bagian-bagian utara ini, yaitu
setelah di bagian selatan diadakan perjanjian keamanan dengan pihak Quraisy
dan setelah penguasa di Yaman bersedia menerima seruannya. Jalur penyebaran
dakwah Islam yang pertama setelah keluar dari semenanjung Arab sudah dibayangkannya.
Dilihatnya bahwa Syam dan daerah-daerah di dekatnya itu merupakan pintu
pertama jalur dakwah itu. Oleh karena itu beberapa bulan kemudian sekembalinya
dari umrah ia telah mengerahkan tiga ribu orang yang kemudian di Mu'ta
berhadapan dengan seratus ribu orang pasukan lawan.
Ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat mengenai sebab-musabab terjadinya
ekspedisi Mu'ta itu. Sebagian mengatakan bahwa dibunuhnya sahabat Nabi
di Dhat't-Talh itulah yang menyebabkan adanya penyerbuan sebagai hukuman
atas mereka yang telah berkhianat itu, yang lain berpendapat bahwa ketika
Nabi mengirim seorang utusan kepada gubernur Heraklius di Bushra (Bostra),
utusan itu dibunuh oleh orang badwi, dari Ghassan, atas nama Heraklius.
Lalu Muhammad mengirimkan mereka yang sedang berperang di Mu'ta supaya
memberi hukuman kepada penguasa itu dan siapa saja yang membantunya.
Kalau
Perjanjian Hudaibiya merupakan pendahuluan 'umrat'l-qadza', lalu pembebasan
Mekah, maka ekspedisi Mu'ta ini juga merupakan pendahuluan Tabuk; dan
setelah Nabi wafat kemudian terjadi pembebasan Syam. Soalnya akan sama
saja; yang menimbulkan ekspedisi Mu'ta itu karena dibunuhnya utusan Nabi
kepada penguasa Bushra, atau karena lima belas orang sahabatnya
yang juga dibunuh di Dhat't-Talh.
Mengerahkan
3000 orang
Dalam
bulan Jumadilawal tahun kedelapan Hijrah [tahun 629 M.] Nabi 'a.s. memanggil
tiga ribu orang pilihan, dari sahabat-sahabatnya, dengan menyerahkan pimpinannya
kepada Zaid b. Haritha dengan mengatakan: "Kalau Zaid gugur, maka Ja'far
b. Abi Thalib yang memegang pimpinan, dan kalau Ja'far gugur, maka Abdullah
b. Rawaha yang memegang pimpinan.
Ketika
pasukan tentera ini berangkat Khalid bin'l-Walid secara sukarela juga
ikut menggabungkan diri. Dengan keikhlasan dan kesanggupannya dalam perang
hendak memperlihatkan itikad baiknya sebagai orang Islam. Masyarakat ramai
mengucapkan selamat jalan kepada komandan-komandan beserta pasukannya
itu, dan Muhammad juga turut mengantarkan mereka sampai ke luar kota,
dengan memberikan pesan kepada mereka: Jangan membunuh wanita, bayi, orang-orang
buta atau anak-anak, jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon-pohon.
Nabi 'a.s. mendoakan dan kaum Muslimin juga turut mendoakan dengan berkata:
Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat.
Komandan
pasukan itu semua merencanakan hendak menyergap pihak Syam secara tiba-tiba,
seperti yang biasa dilakukan dalam ekspedisi-ekspedisi yang sudah-sudah.
Dengan demikian kemenangan akan diperoleh lebih cepat dan kembali dengan
membawa kemenangan. Mereka berangkat sampai di Ma'an di bilangan Syam
dengan tidak mereka ketahui apa yang akan mereka hadapi di sana.
Pasukan
Rumawi
Akan
tetapi berita keberangkatan mereka sudah lebih dulu sampai. Syurahbil
penguasa Heraklius di Syam sudah mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah
yang ada di sekitarnya. Pasukan tentara yang terdiri dari orang-orang
Yunani dan orang-orang Arab sebagai bantuan dari Heraklius didatangkan
pula. Beberapa keterangan menyebutkan, bahwa Heraklius sendirilah yang
tampil memimpin pasukannya itu sampai bermarkas di Ma'ab di bilangan Balqa',
terdiri dan seratus ribu orang Rumawi, ditambah dengan seratus ribu lagi
dari Lakhm, Judham, Qain, Bahra' dan Bali. Dikatakan juga bahwa Theodore
saudara Heraklius itulah yang memimpin pasukan, bukan Heraklius sendiri.
Ketika pihak Muslimin berada di Ma'an, adanya kelompok-kelompok itu mereka
ketahui. Dua malam mereka berada di tempat itu sambil melihat-lihat apa
yang harus mereka lakukan berhadapan dengan jumlah yang begitu besar.
Salah seorang dari mereka ada yang berkata: Kita menulis surat kepada
Rasulullah s.a.w. dengan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Kita bisa
diberi bala bantuan, atau kita mendapat perintah lain dan kita maju terus.
Saran ini hampir saja diterima oleh suara terbanyak kalau tidak Abdullah
ibn Rawaha, yang dikenal kesatria dan juga penyair, berkata: "Saudara-saudara,
apa yang tidak kita sukai, justeru itu yang kita cari sekarang ini, yaitu
mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan
karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita
memerangi mereka hanyalah karena agama juga, yang dengan itu Allah telah
memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh
satu dari dua pahala ini: menang atau mati syahid."
Rasa
bangga dari penyair pemberani ini segera pula menular kepada anggota-anggota
tentara yang lain. Mereka berkata: Ibn Rawaha memang benar!
Dua pasukan
bertemu
Mereka
lalu maju terus. Ketika sudah sampai di perbatasan Balqa', di sebuah desa
bernama Masyarif, mereka bertemu dengan pasukan Heraklius, yang terdiri
dari orang-orang Rumawi dan Arab. Bilamana posisi musuh sudah dekat pihak
Muslimin segera mengelak ke Mu'ta, yang dilihatnya sebagai kubu pertahanan
akan lebih baik daripada Masyarif. Di Mu'ta inilah pertempuran sengit
- antara seratus atau duaratus ribu tentara Heraklius dengan tiga ribu
tentara Muslimin - mulai berkobar.
Zaid b.
Haritha sebagai panglima
Alangkah
agungnya iman, alangkah kuatnya! Bendera Nabi dibawa oleh Zaid b. Haritha
dan dia terus maju ke tengah-tengah musuh. Ia yakin bahwa kematiannya
itu takkan dapat dielakkan. Tetapi mati disini berarti syahid di jalan
Allah. Selain kemenangan, hanya ada satu pilihan, yaitu mati syahid. Dan
disinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya hancur luluh ia
oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya disambut oleh Ja'far b. Abi
Thalib dari tangannya. Ketika itu usianya baru tigapuluh tiga tahun, sebagai
pemuda yang berwajah tampan dan berani, Ja'far terus bertempur dengan
membawa bendera itu. Bilamana kudanya oleh musuh dikepung, diterobosnya
kuda itu dan ditetaknya, dan dia sendiri terjun ke tengah-tengah musuh,
menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang kena.
Ja'far
b. Abi Talib
Bendera
waktu itu dipegang di tangan kanan Ja'far; ketika tangan ini terputus,
dipegangnya dengan tangan kirinya; dan bila tangan kiri ini pun terputus,
dipeluknya bendera itu dengan kedua pangkal lengannya sampai ia tewas.
Konon katanya yang menghantamnya orang dari Rumawi dengan sekaligus hingga
ia terbelah dua.
Abdullah
b. Rawaha
Setelah
Ja'far tewas bendera diambil oleh Abdullah ibn Rawaha. Dia maju dengan
kudanya membawa bendera itu. Sementara itu terpikir olehnya akan turun
saja. Ia nmasih agak ragu-ragu. Kemudian katanya:
O diriku, bersumpah aku
Akan turun engkau, akan turun
Atau masih terpaksa juga
Jika orang sudah berperang dan genderang sudah berkumandang
Kenapa kulihat kau masih membenci surga?
Kemudian
diambilnya pedangnya dan dia maju terus bertempur sampai akhirnya dia
pun tewas juga.
Mereka
itulah Zaid, Ja'far dan Ibn Rawaha. Mereka bertiga telah mati syahid di
jalan Allah, dalam satu peristiwa. Tetapi setelah berita ini diketahui
oleh Nabi, ia sangat terharu sekali, terutama terhadap Zaid dan Ja'far.
Lalu katanya : Mereka telah diangkat kepadaku di surga - seperti mimpi
orang yang sedang tidur - diatas ranjang emas. Lalu saya lihat ranjang
Abdullah b. Rawaha agak miring daripada ranjang kedua temannya itu. Lalu
ditanya: Kenapa begitu? Dijawabnya: Yang dua orang terus maju, tapi Abdullah
agak ragu-ragu. Kemudian terus maju juga.
Orang
sudah melihat teladan dan nasehat yang baik ini! Tidak lain ini artinya,
bahwa seorang mukmin tidak boleh ragu-ragu atau takut mati di jalan Allah.
Bahkan sebaliknya, setiap ia menghadapi sesuatu persoalan ia harus yakin
bahwa itu untuk Tuhan dan tanah-air, ia harus menggenggam hidupnya di
tangan, siap dilemparkan ke muka siapa saja yang akan merintanginya dari
jalan itu. Salah satu: dia menang dan berhasil mencapai kebenaran Tuhan
dan tanah-air, seperti yang sudah menjadi keyakinannya, atau ia gugur
sebagai syahid. Ini adalah suatu teladan yang hidup bagi angkatan kemudian,
dan suatu kenangan abadi buat jiwa besar yang bisa mengerti, bahwa harga
hidup itu ialah hidup yang dikurbankan untuk tujuan cita-citanya; bahwa
mempertahankan hidup dalam hina seperti menyia-nyiakan hidup. Orang semacam
itu tidak perlu lagi nanti dikenang dalam hidup kita. Ada orang yang menerjunkan
diri ke dalam bahaya bila terasa hidupnya terancam demikian rupa sehingga
ia pun menjadi kurban tujuan yang tidak berharga. Begitu juga ia berarti
mengorbankan diri jika ia masih mempertahankan hidupnya padahal oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa ia diminta supaya hidupnya dilemparkan ke muka kebatilan,
supaya dapat menghancurkan kebatilan itu. Tetapi ia lalu bersembunyi di
balik tabir, ia sudah takut menghadapi maut, suatu perasaan takut yang
sebenarnya lebih celaka daripada maut.
Jadi
kalau sikap ragu-ragu yang hanya sedikit saja tampak pada Ibn Rawaha,
padahal sesudah itu, dengan keberanian yang luarbiasa ia pun bertempur
lagi sampai mati sebagai syahid masih ditempatkan tidak sama dengan Zaid
dan Ja'far yang menyerbu barisan maut dengan gembira menghadapi mati sebagai
syahid, apalagi buat orang yang lalu berbalik surut hanya karena mengharapkan
kedudukan atau harta atau sesuatu tujuan duniawi lainnya ! Kalau begitu
tidak lebih dia hanyalah serangga yang hina saja, meskipun kedudukannya
di muka orang banyak sudah tinggi dan hartanya sudah melampaui harta karun.
Benarlah jiwa manusia itu baru merasa gembira apabila ia sudah dapat berkurban
untuk sesuatu yang diyakininya bahwa itu benar, sampai akhirnya ia pun
gugur untuk.membela kebenaran itu, atau kebenaran itu dapat menguasai
hidupnya!
Ibn
Rawaha tewas setelah sebentar ragu-ragu lalu tampil lagi dengan keberanian
yang luarbiasa. Sekali ini bendera diambil oleh Thabit b. Arqam [Banu
'Ajlan], yang kemudian berkata:
"Saudara-saudara kaum Muslimin. Mari kita mencalonkan salah seorang dari
kita."
Mereka segera menjawab: "Engkau sajalah."
"Tidak, saya tidak akan mampu."
Pimpinan
di tangan Khalid bin'l-Walid
Kemudian
pilihan mereka jatuh kepada Khalid bin'l-Walid. Diambilnya bendera itu
oleh Khalid setelah dilihatnya barisan Muslimin mulai centang-perenang,
kekuatan moril mereka mulai kendor. Khalid sendiri seorang jenderal yang
cukup ulung, seorang penggerak militer yang tidak banyak bandingannya,
Dengan demikian ia mulai memberikan komando. Barisan Muslimin dapat diaturnya
kembali. Sekarang dalam menghadapi musuh itu sengaja ia membuat insiden-insiden
kecil yang diulur-ulur sampai petang hari. Malamnya kedua pasukan itu
tentu akan meletakkan senjata menunggu sampai pagi.
Siasat
Khalid
Pada
saat itulah Khalid mengambil kesempatan menyusun siasat perangnya. Anak
buahnya dipencar-pencar demikian rupa dengan jumlah yang tidak kecil,
dalam suatu garis memanjang, yang dikerahkan maju dari barisan belakang.
Pagi-pagi bila orang sudah bangun, dirasakannya ada kesibukan dan hiruk-pikuk
demikian rupa yang cukup menimbulkan perasaan gentar di kalangan musuh,
dengan anggapan bahwa bala bantuan telah didatangkan dari pihak Nabi.
Kalau jumlah tiga ribu orang itu pada hari pertama telah membuat peranan
begitu besar terhadap pasukan Rumawi dan tidak sedikit pula jumlah mereka
yang sudah terbunuh - meskipun tak dapat mereka pastikan - konon apa lagi
yang akan dapat mereka lakukan dengan adanya bala bantuan yang baru didatangkan
itu, dengan tiada orang yang mengetahui berapa besarnya!
Oleh
karena itu pihak Rumawi jadi menjauhkan diri dari serangan Khalid dan
senang sekali mereka kalau Khalid tidak sampai menyerang mereka. Tetapi
sebenarnya Khalid lebih senang lagi. Ia dapat menarik mundur pasukannya,
kembali ke Medinah, setelah mengalami suatu pertempuran yang tidak membawa
kemenangan buat pasukan Muslimin, dan yang juga sama tidak membawa kemenangan
buat lawan mereka itu.
Bilamana
Khalid dan pasukannya sudah hampir sampai di Medinah, Muhammad dan kaum
Muslimin yang lain sudah pula bersama-sama menyongsong mereka. Atas permintaan
Muhammad kemudian Abdullah b. Ja'far dibawa dan diangkatnya di depannya.
Orang ramai datang menaburkan tanah kepada pasukan tentara itu seraya
berkata: "He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!"
Tapi
Rasul segera berkata: "Mereka bukan pelarian. Tetapi mereka orang-orang
yang akan tampil kembali, insya Allah."
Sungguh
pun sudah begitu rupa Muhammad menghibur orang-orang yang baru kembali
dari Mu'ta itu, namun Muslimin belum mau juga memaafkan mereka karena
penarikan mundur dan mereka kembali itu; sampai-sampai Salama ibn Hisyam
tidak mau ikut sembahyang bersama-sama dengan Muslimin yang lain, kuatir
masih akan terdengar suara-suara orang bila melihatnya: "He orang-orang
pelarian! Kamu lari dari jalan Allah."
Kalau tidak karena adanya tindakan-tindakan yang berarti dari mereka yang
kembali dari Mu,ta itu, terutama tindakan Khalid sendiri, niscaya Mu'ta
masih akan dianggap suatu cemar karena pelarian yang telah dicontengkan
saudara saudara seagania di kening mereka itu.
Muhammad
menangisi para Syuhada
Begitu
pedih perasaan duka itu menusuk hati Muhammad setelah diketahuinya Zaid
dan Ja'far telah tewas. Begitu sedih ia menanggung dukacita karena mereka
itu.
Setelah
Ja'far mendapat malapetaka, Muhammad pergi sendiri ke rumahnya, dijumpainya
isterinya Asma bt. 'Umais yang pada waktu itu ia sudah membuat adonan
roti, anak-anaknya sudah dimandikan, sudah diminyaki dan dibersihkan.
"Bawa kemari anak-anak Ja'far itu," kata Muhammad kepadanya.
Setelah
mereka dibawa, diciuminya anak-anak itu, dengan airmata yang sudah berlinangan.
"Rasulullah," kata Asma' gelisah; ia sudah merasa apa yang terjadi. "Demi
ayah bundaku! Kenapa menangis, Rasulullah?! Ada hal-hal yang menimpa Ja'far
dan kawan-kawannya barangkali?"
"Ya," jawabnya. "Hari ini mereka tewas." Berkata begitu airmatanya sudah
makin tak dapat ditahan, deras berderai. Asma, juga lalu menangis keras-keras
sehingga banyak wanita-wanita yang datang berkumpul.
Bila
Muhammad pulang ia berkata kepada keluarganya: "Keluarga Ja'far jangan
dilupakan. Buatkan makanan buat mereka. Mereka sekarang dalam kesusahan."
Ketika dilihatnya puteri Zaid - bekas budaknya itu - datang, dibelai-belainya
bahunya sambil ia menangis. Ada sahabat-sahabat yang merasa terkejut melihat
Rasul menangisi orang yang mati syahid itu. Lalu katanya, yang maksudnya:
Tapi itu airmata seorang kawan yang kehilangan kawannya.
Ada sumber yang menyebutkan, bahwa jenazah Ja'far dibawa ke Medinah dan
dikebumikan di sana tiga hari kemudian setelah Khalid dan pasukannya sampai.
Sejak hari itu Rasul menyuruh orang supaya jangan lagi menangis. Kedua
tangan Ja'far yang terputus, oleh Tuhan telah diganti dengan sepasang
sayap yang menerbangkannya ke surga.
Ekspedisi
Dhat's-Salasil
Beberapa
minggu kemudian setelah Khalid kembali, Muhammad bermaksud hendak mengembalikan
pula kewibawaan Muslimin di bagian utara jazirah itu. Dalam hal ini ia
menugaskan 'Amr bin'l-'Ash supaya mengerahkan orang-orang Arab ke Syam.
Memang demikian, sebab ibn 'Amr ini berasal dari kabilah daerah itu. Tentu
akan lebih mudah ia bergaul dengan mereka. Tetapi setelah ia sampai di
sebuah pangkalan air di daerah kabilah Judham yang disebut Silsil, mulai
ia merasa kuatir. Segera ia mengirim kurir kepada Nabi 'alaihissalam meminta
bantuan. Dan Nabi pun segera mengirim Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah dari kalangan
Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Sebagai orang yang
masih baru dalam Islam, Muhammad kuatir 'Amr akan berselisih dengan Abu
'Ubaida sebagai anggota Muhajirin yang mula-mula, maka dipesannya kepada
Abu 'Ubaida ketika dilepaskan. Jangan berselisih.
***
"Engkau datang kemari sebagai pembantuku. Pimpinan tentara ditanganku,"
kata 'Amr kemudian kepada Abu 'Ubaida.
Abu
'Ubaida adalah orang yang sangat lemah-lembut, dan serba mudah dalam masalah-masalah
duniawi.
"Rasulullah
sudah berpesan," katanya kepada 'Amr "Kita jangan berselisih. Kalau engkau
tidak taat kepadaku, akulah yang taat kepadamu."
Dan dalam melakukan sembahyang jamaah juga 'Amr yang menjadi imam.
Sekarang
ia mulai bergerak maju memimpin pasukannya itu. Pihak Syam yang bermaksud
hendak menggempurnya telah diubrak-abrik. Dengan demikian kewibawaan Muslimin
di bilangan daerah itu telah dapat dipulihkan
Dalam
pada itu Muhammad masih teringat juga pada Mekah dan segala sesuatunya.
Akan tetapi, seperti sudah disebutkan, ia sangat memegang teguh isi Perjanjian
Hudaibiya. Ia harus menunggu sampai habis waktu dua tahun. Sementara itu
satuan-satuan tetap dikirimkan guna menjaga adanya pemberontakan kabilah-kabilah,
yang berjiwa memang suka berontak itu. Tetapi hal ini tidak banyak makan
tenaga. Utusan-utusan sudah berdatangan kepadanya dari segenap penjuru,
mereka sudah menyatakan ketaatan dan kesetiaan yang penuh kepadanya. Hal
inilah yang telah merupakan pengantar akan dibebaskannya Mekah serta akan
kedudukan Islam yang kukuh di tempat ini, sebagai tempat yang paling disucikan
untuk selama-lamanya.
|