R U M A H
Cerpen: Ngarto Februana

"Rumah kita adalah istana kita, anak-anak. Karena itu kita harus merawat dengan sebaik-baiknya. Harus rajin membantu ibu menyapu dan ngepel lantai. Jangan sampai kaca jendela berdebu. Jangan ada genangan air, apalagi onggokan sampah. Rumah yang bersih adalah tempat yang nyaman, sehat, dan menyenangkan," kata Bu Guru Halimah di depan murid-murid kelas lima.

Firman menggaruk-garuk kepalanya, walau tidak gatal. Ia nampak gelisah. Bocah berkulit sawo matang dan tubuhnya kurus itu teringat pada rumahnya sendiri. Terbayang jelas dalam benaknya, sebuah rumah kecil yang dihimpit oleh rumah tetangga yang sama-sama kecil. Untuk menuju rumah itu mesti melewati gang-gang sempit dan becek, apalagi jika musim hujan. Di kanan kiri gang utama terdapat selokan dengan bau yang jauh dari sedap. Kadang bangkai tikus mengambang di selokan dan onggokan sampah paling betah tinggal di parit itu.

"Rumah yang kotor tentu menjadi sumber penyakit. Nyamuk, bangkai tikus, kecoa adalah sumber penyakit," tutur Bu Halimah sambil menyapu seisi kelas dengan pandangannya yang lembut dan keibuan.

Firman menjadi bosan dengan pelajaran yang disampaikan Bu Guru Halimah. Bu Halimah harusnya ngajar IPS, kok malah ngomong rumah, batin Firman.

"Kamar tidur harus juga bersih, agar kita bisa belajar dengan tenang," lanjut Bu Halimah. "Aduh!" Tiba-tiba Firman mengaduh karena kakinya diinjak oleh Budi, rekan sebangku.

"Ada apa Firman?" Bu Halimah menghampiri bangku Firman yang berada di pojok kiri belakang.

"Tidak apa-apa, Bu," kata Firman sambil meringis dan garuk-garuk kepala.

Bu Halimah kembali dengan pelajarannya. Firman kembali gelisah dan kian bosan. Ih, rumah Bu Halimah juga jelek, kata Firman dalam hati. Firman tahu persis keadaan rumah Bu Guru Halimah. Firman sering ke rumah Bu Guru yang cantik itu. Kebetulan rumah Firman dan rumah Bu Halimah berada dalam satu kampung. Bedanya rumah Bu Halimah kontrakan.

Firman merasa lega, ketika Bu Halimah tidak melanjutkan pelajarannya. Tiba-tiba saja Bu Guru Halimah merasa pusing dan hendak muntah-muntah. Ia pamit keluar kelas dan menghadap kepala sekolah untuk minta ijin pulang. Kelas pun jadi ribut. Murid-murid memukul-mukul meja dengan irama seadanya. Firman dan Budi kejar-kejaran di dalam kelas. Joni menggoda murid perempuan.

Esok harinya Bu Halimah tidak muncul di sekolah. Hari berikutnya Bu Halimah kembali absen mengajar. Demikian seterusnya sampai satu minggu. Di hari kedelapan beberapa murid kelas lima membezuk sang guru tercinta yang sangat dekat dengan murid-muridnya seperti ibu dan anak-anaknya.

Bu Halimah yang masih lajang itu terbaring sakit. Ia memaksakan diri menemui murid-muridnya yang memenuhi ruang tamu.

"Bu Halimah katanya sakit," ujar Rina.

"Ah, cuma flu," kata Bu Halimah berbohong. "Sekarang sudah baik, kok," lanjutnya. Wajahnya masih nampak pucat dan matanya sayu. Ia nampak kurus dan lesu.

"Nggak ke dokter?" tanya Dewi.

"Sudah," kembali Bu Halimah berbohong.

Di sudut ruangan Firman dan Budi berbisik-bisik. "Rumah Bu Halimah kotor. Mangkanya kena sakit," bisik Budi di telinga Firman.

"Mungkin nggak sempat bersihin, karena beliau sakit," balas Firman lirih.

"Kok nggak dirawat di rumah sakit saja, Bu?" tanya Dewi yang anak orang kaya itu.

"Sakitnya ringan, kok. Tak perlu opname." Bu Halimah beralasan. Dalam hati ia berkata, jangankan opname, rumah kontrakan saja belum lunas bayarnya. Gaji banyak dipotong lagi.

"Bu, maaf ya, boleh kami bersihkan rumah," celetuk Budi.

Bu Halimah tersenyum tersipu. "Rumah ibu kotor. Maklum tak sempat bersih-bersih selama ibu sakit," kata Bu Halimah.

"Boleh khan, Bu?" tanya Budi lagi.

"Boleh. Terima kasih," ucap Bu Halimah terharu.

Anak-anak kerja bakti membersihkan rumah sang guru tercinta. Setelah beres semuanya, mereka mohon diri. Tapi begitu baru saja keluar rumah, seorang perempuan dengan gaya angkuh dan wajah sinis memasuki rumah Bu Halimah. Firman dan Budi menahan diri untuk tidak pulang lebih dulu. Sementara yang lainnya sudah berlarian menuju rumahnya masing-masing. Firman dan Budi memata-matai perempuan angkuh dan sinis itu tak jauh dari rumah gurunya.

"Bagaimana Jeng Halimah ini. Sudah saya kasih waktu satu bulan, belum juga dilunasi kontrakannya. Saya khan juga butuh uang." Perempuan angkuh dan sinis itu ngomel.

"Maaf, Bu Indri, saya sedang sakit. Lagi pula belum gajian," ujar Bu Halimah.

"Sakit. Belum gajian. Itu urusan Jeng Halimah. Saya tidak mau tahu. Pokoknya kalau satu minggu lagi belum dilunasi uang kontrak rumah, saya persilahkan Jeng Halimah cari rumah kontrakan lain. Titik," ancam perempuan angkuh dan sinis.

Bu Halimah hanya terdiam. Ia tak berdaya. Perempuan angkuh itu keluar rumah dengan wajah makin sinis. Firman dan Budi menatapnya dengan benci.

 

* * *

 

Bu Halimah belum bisa mengajar. Sakitnya kambuh lagi. Murid-murid kelas lima kembali membezuk sepulang dari sekolah. Kali ini Bu Halimah tak bisa menemui di ruang tamu. Ia nampak pucat sekali dan tubuhnya lemah. Firman, Rina, dan Dewi masuk ke kamarnya. Sementara yang lainnya menunggu di ruang tamu. Ketiga murid itu menatap sang guru tercinta dengan perasaan iba.

"Kalian anak-anak yang baik," ujar Bu Halimah pelan. "Terima kasih atas perhatian kalian."

Ketiga murid itu hanya terdiam. Kemudian Dewi mendekat. Duduk di tepi ranjang. "Bu, kami mohon, em," kata Dewi terputus.

"Ada apa Dewi. Katakan," pinta Bu Halimah.

"Ibu jangan tersinggung, ya," kata Dewi ragu-ragu.

"Tidak. Ibu tidak akan tersinggung. Memangnya ada apa?" "Ini dari kami. Pasti ibu membutuhkannya." Dewi mengulurkan sebuah amplop coklat berisi uang.

"Apa ini?" tanya Bu Halimah heran.

"Bukalah, Bu," ujar Dewi. Lalu ketiga murid itu menunduk.

"Uang?" Bu Halimah menatap ketiga muridnya.

Mereka mengangguk dan tetap menundukkan kepala.

"Dari mana kalian kumpulkan uang sebanyak ini?" selidik Bu Halimah.

"Itu uang kami sendiri, kok Bu. Kami kumpulkan dari tabungan kami," jawab Rina.

"Pakailah uang ini untuk keperluan sekolah kalian." Bu Halimah mengulurkan kembali amplop berisi uang itu.

Ketiga murid itu menggeleng.

Bu Halimah tertegun.

"Kami tidak akan pulang, jika ibu tidak menerimanya," ancam Dewi. "Ibu pasti sangat membutuhkannya. Kami ingin ibu segera kembali mengajar."

Bu Halimah terharu. Matanya berkaca-kaca menatap murid-muridnya. "Kalian anak-anak yang baik. Terima kasih. Sekali lagi terima kasih. Percayalah ibu akan segera kembali mengajar," ucap Bu Halimah dengan haru.

"Terima kasih kembali, Bu," ucap ketiga murid itu serempak.

Bu Halimah mengangguk dan tersenyum.

"Ibu mesti ke dokter," saran Rina.

"Iya." Bu Halimah mengangguk. Dalam hati ia bertekad, bila sudah sembuh nanti ia mesti cari kerja sambilan seusai mengajar, agar tidak merepotkan murid-muridnya. * * *

Pakem, November 1995

 

Hosted by www.Geocities.ws

1