Ulasan terhadap Karya-Karya Ngarto Februana

Resensi Novel Menolak Panggilan Pulang

menolak.JPG (9181 bytes)
Kompas, Minggu, 22 Oktober 2000

"Malapetaka Akan Datang, As"

Menolak Panggilan Pulang, Penulis: Ngarto Februana , Penerbit: Media Pressindo, Cetakan: pertama, Juli 2000, Tebal: (xviii + 207) hlm, Harga: Rp 18.000

 

DATANGNYA pemikiran baru maupun teknologi baru ke dalam suatu wilayah, diyakini akan memberi nilai lebih terhadap suatu kebudayaan. Tetapi jika tak ada persiapan mental dan intelektual di wilayah yang menerimanya, hal itu akan membawa disorientasi dan diskontinuitas kebudayaan bagi mereka yang posisi tawarnya lebih lemah. Tampaknya, inilah plot yang dipilih Ngarto Februana bagi novelnya yang berjudul Menolak Panggilan Pulang.

Novel ini bercerita tentang kisah manusia di Loksado, suatu wilayah yang dihuni oleh suku Dayak Meratus (ini meminjam istilah Anna Tsing). Letak arkaisnya masyarakat yang menghuni digambarkan dengan daerah pedalaman yang kurang bersentuhan dengan budaya luar, penduduknya masih memeluk autocthonous religion, kepercayaan setempat, yang manifestasinya adalah penghormatan kepada roh-roh.

Setting inilah, menurut budayawan Bakdi Sumanto dalam kata pengantarnya, yang kemudian menjadi unsur pokok pencipta suasana, yang bergerak, berkembang secara dinamis dalam keseluruhan cerita. Bahkan dengan tidak sungkan Bakdi menilai karya Ngarto Februana sebagai karya yang kelak cukup menggetarkan. Karenanya, adalah haknya jika karya tersebut memperoleh kesempatan dipublikasikan dan ditanggapi (hal ii).

***

NOVEL dibuka dengan pemaparan mengenai sakitnya Utay, calon pengganti kepala suku, dan tatkala berhasil disembuhkan oleh penghulu toh penghulu tetap berduka. "Malapetaka akan datang, As," seru sang penghulu kepada Asui, salah seorang penghuni balai (hal 10).

Lalu datanglah masa ketika Utay menerobos halangan kultural karena dialah satu-satunya anak suku bukit-begitu orang luar menyebut mereka- yang bersekolah sampai SMA (sekolah menengah atas). Dan dialah satu-satunya anak suku bukit yang bersekolah hingga setinggi itu; di kota lagi. Bagaimana sang ayah tidak bangga melihat calon penggantinya pintar di atas rata-rata, ditambah lagi pandangan masyarakatnya yang melihatnya bagai seorang titisan dewa (hal 65).

Namun, di sinilah justru masalahnya timbul. Utay mengalami cultural shock, guncangan budaya. Ia yang semula hidup di balai yang tidak mengenal pemisahan ruangan bagi keluarga-keluarga, kini menempati privacy-nya dengan kamar yang dihuninya sendiri.

Budaya luar yang diperoleh di kota membekali Utay untuk menafsirkan pandangannya maupun mengekspresikan naluri alamiah kemudaannya yang semakin menggelora, lepas dari kungkungan hukum adat dan moral religius tempat dari mana ia berasal. Ia mulai diganggu oleh dorongan dari dalam, berdekatan, berciuman, meremas-remas buah dada.

Demikian pula sewaktu ia diajari ayahnya mantra-mantra penolak bala sebagai persiapan menjadi kepala suku, Utay sering berkata, "Emm, maaf, ulun (saya) lupa," kalimat yang menandakan rasa tidak respek.

Pamali dan tabu pun dilanggarnya. Ia bawa budaya kota dengan memperlakukan Aruni (protagonis kedua), bunga desa dan dewi cahaya bagi masyarakatnya, calon pendampingnya kelak saat menduduki kepala suku, ke dalam asyik-masyuknya gairah dan hasrat seksual, dari berciuman hingga lanjutannya, di sela-sela pepohonan, di antara gemericiknya Sungai Amandit, wilayah bersemayamnya para dewa yang siap menjatuhkan kutukan.

Selanjutnya melalui sosok Utay dan Aruni, Ngarto melanjutkan jalinan dan perbenturan antara budaya luar dan budaya suku bukit tersebut. Di satu pihak Utay merepresentasikan budaya kota, dan akhirnya menjadi pegawai perusahaan perkayuan, dus wakil bagi kepentingan perusahaan HTI (hutan tanaman industri) yang siap merambah dan memperluas industri perkayuan modernnya dengan alat-alat canggih. Kalaupun ada keinginan memajukan kaumnya, ia selalu memakai bahasa-bahasa yang sarkastis, seperti "primitif", "terbelakang", "tidak bisa diajak maju," serta istilah yang tidak dimengerti mereka.

"Ini menguntungkan kita, Ayah" (hal 131), katanya ketika ia memperkenalkan kayu sengon sebagai upaya mengganti ladang berpindah yang telah ratusan tahun menjadi ciri kehidupan ekonomi, ekologi yang dibalut oleh kosmogoni dan mitologi suku Dayak. Lain halnya Aruni, ia merepresentasikan seorang pendidik yang sabar untuk mentransformasikan adat-istiadat setempat.

Simaklah kata-kata Aruni yang cerdas-bernas-patriotik, "Saya putri penghulu. Saya sudah bertekad untuk mengabdi kepada suku Bukit dengan kemampuan saya yang terbatas ini. Demi kesejahteraan suku Bukit." (hal 62).

Atau dengan ungkapannya, "Saya mengakui bahwa perubahan pola hidup menuju yang lebih baik tanpa meninggalkan kearifan itu perlu sekali. Sekali lagi, tanpa menghilangkan kearifan. Maaf, sejauh yang saya tahu, dari pengetahuan saya yang terbatas ini, masuknya industri perkayuan, perusahaan HPH, HTI, dan industri penambangan di beberapa wilayah Kalimantan ini telah menghilangkan kearifan adat. Juga terkikisnya tatanan kehidupan asli sebagai pedoman hidup sejak ratusan tahun yang lalu." (hal 137).

Aruni memang lebih bisa menyatu dengan lingkungannya, dan ia pun mendapat kehormatan yang tinggi sebagai calon balian, balian perempuan untuk pengobatan tradisional yang kelak akan bisa berhubungan dengan alam petilarahan, alam roh.

Namun, Aruni juga sering goyah pendirian karena penentangnya adalah juga kekasih hatinya, dan juga tertempelnya sifat sebagaimana layaknya perempuan (ini menginterpretasikan teks-nya Ngarto) yang cenderung lemah, pasrah dan tak sanggup memikul beban yang dirasa berat. Sementara sang belahan jiwa, Utay, karena gelegak darah mudanya, terus terhanyut dalam kepribadian terbelah hingga ia melakukan tindakan-tindakan konyol.

***

BAGAIMANA ending-nya? Malapetaka yang diramalkan sang penghulu pun datanglah, persis seperti dilihat lewat pancaran mata batinnya di saat menyembuhkan si kecil Utay, putra sang kepala suku, beberapa tahun silam. Ngarto, penulis novel ini, rupanya tak memberi apresiasi yang njlimet dan canggih pada dua protagonisnya. Ia biarkan dua tokohnya jatuh di jurang yang teramat dalam. Utay memperoleh julukan "pengkhianat suku", dan Aruni melanggar tabu dengan "kehamilan" di luar restu adat.

Kenapa Utay dan Aruni tidak disempurnakan jadi sosok yang mampu keluar dari jerat kesalahannya, yang nantinya menjadi sosok pemimpin baru hasil dialektika teks suci dan konteks yang melingkupi ekstensi batin mereka? Dan kenapa pula sukunya yang masih melihat sosok pemimpin sebagai "titisan dewa" bisa begitu mudah menghukum kesalahan Utay?

Atau jangan-jangan Ngarto melihat, suku pedalaman yang ia amati sewaktu dalam pengalamannya di Kuliah Kerja Nyata (KKN), hingga ia bisa menulis novel ini, berada dalam kekalahan yang terus-menerus dalam melawan tekanan pihak luar (baca: modernisasi) sehingga kegetiran mereka ini ia tumpahkan dalam balada kekalahan sang protagonisnya.

Namun, lepas dari semua itu, Indonesia yang multikompleks, apalagi setelah diperkenalkannya wacana pemberdayaan masyarakat begitu lepas dari tirani sentralitas Orde Baru, memerlukan kajian serius terhadap suara-suara kaum terpinggir bagi bekal proses pengambilan kebijakan negara. Minoritas suku terasing, perjuangan kaum perempuan, kaum miskin kota, minoritas agama maupun minoritas representasi ekonomi dan politik (dari pihak mayoritas) jelas menunggu pengkajian. Tinjauan dari sisi sastra pun tak kalah pentingnya.

Ngarto, sosok generasi pasca-'66, penyaksi tumbangnya Orde Baru, telah memulainya, siapa menyusul?

* Wakhid Nur E, alumnus FS Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada

 

Tabloid Mingguan Semanggi, edisi 43, Th I, 14-20 September 2000

Penetrasi yang Menganyam Kehancuran

Judul : Menolak Panggilan Pulang
Penulis : Ngarto Februana
Penerbit : Media Pressindo, Yogyakarta, Juli 2000
Tebal : 207 Halaman

Tak semua perubahan dan kemajuan memetik buah yang manis. Ketika sebuah komunitas maupun individu diterjang datangnya perubahan baru yang tak terantisipasi, maka yang terjadi justru kegamangan. Dan nyatanya, tak ada yang lebih dahsyat dari kehancuran yang dianyam melalui meleburnya penetrasi sebuah kultur dalam sosok individu maupun komunitas.

Desa Malinau adalah bagian dari tiga belas desa di Kecamatan Loksado, Perbukitan Meratus, Kalimantan Selatan. Di dalamnya, hidup sekelompok warga Dayak Meratus yang sangat patuh pada tradisi nenek moyang yang turun-temurun. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, tak heran jika kemajuan pembangunan desa itu pun berjalan sangat lamban. Ketidakmengertian pada teknologi dan kegigihan untuk mempertahankan adat, akhirnya, menggiring masyarakat Malinau pada sebuah pemikiran yang selalu skeptis dan penuh curiga pada setiap orang yang datang dari luar Meratus.

Ketika Rohaimi, salah satu staf Dinas Sosial di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, datang ke desa itu pada tahun 1981 untuk menawarkan cara bercocok tanam dengan sistem pemupukan dan menggunakan cangkul, justru ditanggapi curiga oleh masyarakat Dayak Meratus. Penghulu Dingit, tetua adat Malinau, menolak tawaran itu. Lima tahun kemudian, saat Rohaimi datang kembali ke Malinau ketika berlangsung Aruh Ganal (pesta adat setelah panen padi), ia menawarkan diri menjadi orangtua asuh bagi Utay, anak tunggal penghulu Dingit, supaya bisa bersekolah di Kandangan. Meski semula curiga, akhirnya Dingit memperbolehkan anaknya bersekolah di kota. Utay pun pergi meninggalkan teman-teman sepermainannya, termasuk Aruni, anak gadis penghulu Balai Jalay yang telah menjadi jodohnya secara adat.

Tujuh tahun kemudian, Utay menamatkan SMA dan juga kursus bahasa Inggris. Atmosfer kota yang serba berkecukupan dan penuh kemudahan, rupanya, telah lekat dalam darah Utay. Mulailah banyak perdebatan dalam dirinya ketika kembali ke Desa Malinau, tanah kelahirannya. Sementara itu, Aruni pun sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang cerdas. Ia membantu mengajar keterampilan tangan di sebuah sekolah kecil di Malinau. Pemikiran Utay yang sudah lebih moderat bertemu dengan kekolotan adat di desanya. Utay pun gamang, apalagi ketika ayahnya menagih janjinya sebagai penerus tetua adat itu. Di satu sisi, ia pernah bersumpah untuk menjunjung tinggi adat leluhurnya. Tapi, pendidikan yang telah dikenyamnya melahirkan satu cita-cita baru: bekerja sebagai tenaga administrasi di PT Rimba Nusantara, sebuah perusahaan hutan tanaman industri di Banjarmasin. Ia juga ingin masyarakat Malinau menerima tawaran perusahaan itu untuk bekerja sama mengelola lahan mereka. Rasa sayang penghulu Dingit membuatnya mengabulkan keinginan anaknya untuk bekerja di kota, sembari menunggu saat yang tepat untuk kembali ke Malinau dan menjadi penerus sebagai penghulu Balai Bidukun.

Bayangan kemapanan, sedikit demi sedikit, memperbesar semangat pemberontakan dalam diri Utay. Anak penghulu yang disegani di Desa Malinau itu pun telah berubah: dari anak kampung yang terbelakang, menjadi pemuda terpelajar yang angkuh. Adat-istiadat tak lagi dihiraukannya. Iming-iming sepeda motor, kegemerlapan kota, dan niatnya menikahi Aruni, membuat Utay akhirnya nekat. Ia menipu perusahaannya dengan memberikan laporan palsu bahwa warga Desa Malinau setuju bekerja sama dengan PT Rimba Nusantara untuk menanam pohon tanaman industri. Malinau pun geger dan pertikaian tak terhindarkan. Utay ditangkap dan dihukum secara adat. Penyesalan dan keterpurukannya semakin menjadi, apalagi setelah tahu Aruni hamil. Di tengah penyesalannya, gemerlapan kota timbul lagi mendesak batinnya. Dan dendamnya pun berkobar, menyulut keinginannya lari dari Malinau.

Membaca novel ini seperti menjelajah ke suatu tempat asing yang tak terpikirkan sebelumnya. Cekaman adat Dayak Meratus yang mistis dan kolot sangat terasa dari paparan berbagai bentuk ritual yang dilakukan warga Malinau. Jalinan cinta Utay dan Aruni dijadikan penulisnya sebagai jembatan untuk mengilustrasikan ruwetnya pertemuan budaya yang saling berlawanan. Sederhana, tapi mengena. Novel ini tampaknya lebih mengedepankan aspek science melalui pendekatan budaya. Itulah sebabnya, banyak konflik yang mestinya bisa digarap lebih detail dan menarik, justru hanya ditampilkan secara ilustratif. Padahal, pertemuan antara adat Malinau yang kolot dengan kehidupan kota yang begitu kompromistis bisa menjadi picu sebuah konflik yang tajam dan dramatis. Proses penetrasi budaya yang melebur dalam diri Utay itulah yang agaknya tak digarap penulisnya dengan saksama. Meski begitu, dari sisi paparan data tentang sebuah komunitas, tampak jelas penguasaan penulis tentang "rimba" yang dimasukinya. Dan bagaimanapun, itu juga suatu kelebihan. Lily Bertha Kartika

Ulasan tentang Cerpen Ngarto Februana

Bakdi Sumanto dalam pengantar buku kumpulan cerpen Maling (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Agustus 1994, halaman x-xi dan xiv) mengomentari cerpen "Imajinasi" karya Ngarto Februana. Bakdi Sumanto menulis, "Imajinasi" karangan cerpenis Ngarto Februana, bagi penulis catatan kaki ini, adalah cerita pendek yang cerdas. Kisahnya juga tentang invisible man, yakni ayah si Eduwardo, yang dibunuh oleh seregu pasukan pendudukan yang, "kubayangkan para pembantai itu tidak berambut pirang. Tidak berkulit putih, tidak datang dari negeri yang jauh. Tetapi tidak juga kubayangkan pembantai itu berasal dari gerilyawan. Tidak mungkin mereka itu gerilyawan, sebab rambut mereka tidak keriting, dan kulit mereka tidak hitam." Untuk membuat si invisible man menjadi visible, Eduwardo harus membayangkannya. Sebab, cara lain tidak mungkin. Bahkan, membayangkan pun dianggap membahayakan lingkungan, bisa menimbulkan pencemaran … politik! …..

Penulis-penulis cerita pendek dalam kumpulan ini menunjukkan suatu gejala sebagai pengamat-pengamat masyarakat yang baik, teliti, dan akurat. Untuk mengambil beberapa contoh saja, cerita pendek Ngarto Februana adalah fenomen literer yang mungkin memancing dipelajari lebih jauh. Ngarto pastilah tak sekadar berimajinasi dalam "Imajinasi"-nya, tetapi setidaknya ia mewawancarai teman atau orang dari daerah tertentu yang mengalami seperti peristiwa yang diceritakannya. Ia menggunakan istilah-istilah khas daerah itu, yang bukan saja mampu menciptakan warna lokal, tetapi menghidupkannya….

Suryanto Sastroatmojo, dalam kata pengantar buku kumpulan cerpen pilihan Bernas, Guru Tarno (Bigraf, Yogyakarta, Desember 1994) mengatakan bahwa Ngarto Februana yang mulai aktif menulis sekitar satu dasawarsa silam, pada gilirannya tampil sebagai cerpenis berbakat. Maka apabila kami abadikan karya mereka dalam antologi ini, tiada lain harapan kami, agar tebaran biji-biji yang unggul ini tumbuh subur di ladang hijau. (halaman xiii).

[home] [puisi] [cerpen]  [novel]  [sinetron]  [skripsi]  [profil]
[surat-surat] [proses kreatif] [artikel] [order] [guestbook] [bahasa]

 

Hosted by www.Geocities.ws

1