Prahara
Cerpen Ngarto Februana

Siatuasi makin kacau. Di Kota Pekalongan terjadi huru-hara: massa marah, mengamuk, toko-toko dibakar, dan perkantoran, hotel, dan sekolahan dirusak. Di Medan seorang dukun membunuh puluhan wanita. Di Kota Muntilan seorang ibu membunuh anaknya, gara-gara si anak kelewat bandel. Dan, koran hari itu memberitakan, seorang nenek membunuh cucunya, lalu memotong-motong tubuh sang cucu menjadi tujuh bagian. Tapi, bagi Kakek Suryo semua itu tak diacuhkannya. Setiap hari perhatiannya tercurah kepada bunga-bunga.

"Kakek ini gimana, to. Tiap hari ngurusin kembang melulu. Mbok ya baca koran, nonton televisi atau apa, kek. Seru, nih!" tegur Ben, salah seorang cucunya.

"Seru apanya?" tanya Kakek Suryo, sambil memotong ranting-ranting bunga mawar yang kering.

"Kemarin terjadi keributan. Huru-hara, Kek. Toko-toko dibakar!" lapor cucunya.

"Ah, biarlah. Kalau memang sudah zamannya begini, ya biar saja. Yang penting Kakek masih bisa menikmati sisa hidup ini dengan tenang dan damai," ujar Kakek Suryo, tanpa mengalihkan pandang dari bunga-bunga kesayangannya. "Kakek sudah terlalu tua untuk ikut ngurusi yang gitu-gitu itu."

"Bukan ikut ngurusi, Kek, tapi sekadar mengikuti berita," debat Ben, remaja berusia 16 tahun itu.

"Ngurusi bunga-bunga ini lebih menarik."

"Ah, Kakek," gerutu Ben sambil melangkah memasuki rumah.

Rumah Kakek Suryo tergolong besar, meski tidak mewah. Bentuk atapnya joglo; bentuk rumah Jawa. Dindingnya terbuat dari: separo tembok, bagian bawahnya, dan yang separo lagi, yakni bagian atas terbuat dari papan. Pintu depan terbuat dari kayu jati. Bentuknya pintu belah dan ukurannya lebar. Teras rumah pun cukup lebar. Ada bangku bambu yang biasa dipakai untuk bersantai sambil menikmati singkong rebus. Kakek Suryo paling senang duduk di sana sembari memandangi bunga-bunga kesayangannya.

Halaman rumah cukup luas. Dan, penuh dengan beraneka jenis bunga. Ada bunga mawar, kadiol, melati, bunga sepatu, kuping gajah, sri rezeki, bougenvile, dan berjenis-jenis bonsai. Suasana asri dan sejuk serta damai senantiasa terjaga di sana. Kakek menyukai suasana itu, dan memang itulah salah satu tujuan Kakek merawat bunga-bunga itu, selain karena memang hobi. Tidak hanya di halaman, tetapi juga di pekarangan yang letaknya di samping kiri rumah penuh dengan bermacam-macam kembang.

Tidak ada tujuan lain, kecuali untuk kesenangan dan hobi. Juga bukan untuk dijual. Hidup Kakek Suryo sudah ditanggung oleh anak sulungnya, Pratomo, yang bekerja sebagai peternak lele dan ayam. Setiap hari Kakek Suryo bangun sebelum matahari terbit. Setelah salat subuh, ia memulai aktivitasnya merawat taman bunga. Ia mengambil ember, lalu pergi ke sumur dan mengisi ember dengan air. Selanjutnya ia menyirami tanaman bunga. Ketika jam menunjukkan pukul delapan, Kakek Suryo duduk di bangku bambu, di teras rumah. Cara duduknya khas. Kaki kiri diangkat dan ditumpangkan di kaki kanannya. Di sampingnya telah terhidang singkong rebus dan secangkir kopi panas. Jika bukan singkong, dapat dipastikan pisang atau ubi goreng. Saat itulah Kakek betul-betul menikmati sisa hidupnya dengan penuh kedamaian.

Kembang mawar beraneka warna yang merekah, beragam anggrek, melati putih yang harum mewangi baunya, bonsai yang unik bentuknya, dan beraneka bunga lain, sungguh suatu pemandangan yang menjanjikan keasrian dan kesejukan serta kedamaian di hati sang kakek. Yah, dengan cara seperti itulah ia melupakan segala kepahitan hidupnya di masa lalu.

Memang di usianya yang menjelang tujuh puluh lima tahun itu adalah masa ia melupakan masa lalu yang getir dan menikmati hidup yang indah. Ia telah menutup telinga terhadap hingar-bingar kehidupan. Ia telah menutup mata terhadap kegetiran, penindasan, kejahatan, ketidakadilan, penderitaan orang lain, dan segala kepahitan di sekelilingnya. Kakek Suryo tidak mau membaca koran, walau matanya masih bisa dipergunakan untuk membaca--tentu dengan menggunakan kacamata. Jika dari sebuah radio atau televisi di rumahnya terdengar berita tentang perampokan, pemerkosaan, pembantaian, dan sejenisnya, ia segera mematikannya. Apabila kebetulan ia telanjur mendengarnya, ia akan menganggap bahwa berita itu bohong belaka. Kakek selalu mengingkari bahwa di sekelilingnya banyak kejahatan, kegetiran, dan kepahitan hidup.

Anak-anaknya, yang berjumlah empat orang, hidup tanpa kekurangan dalam hal materi. Pratomo, si sulung, berusia 45 tahun, dikenal sebagai peternak yang berhasil di desanya. Dari hasil peternakannya Pratomo mampu menyekolahkan anak sulungnya ke Yogya. Kuliah di Universitas Gadjah Mada. Anaknya yang kedua bekerja sebagai pedagang dan cukup sukses. Pratini, anaknya yang ketiga, diperistri oleh pengusaha batako di kota L. Dan, si sulung, Sumito menjadi sopir bus antarkota.

Kehidupan keluarga anak-anaknya senantiasa rukun dan harmonis. Cucu-cucunya tumbuh sebagai anak-anak yang baik, rajin sekolah, dan rajin beribadah. Tidak ada yang bandel. Dan, Eko, cucu sulung yang kuliah di Yogya patut dibanggakan. Waktu di SMA, beberapa kali ia meraih peringkat pertama. Bakatnya sebagai pemimpin pun sudah muncul waktu itu. Ia terpilih sebagai Ketua OSIS. Tidak mengherankan jika ia berhasil diterima di Fakultas Pertanian UGM.

Masa lalu harus dikubur dalam-dalam, begitu pendirian Kakek Suryo. Tak perlu diingat kembali. Yang penting adalah menikmati sisa hidupnya. Kepahitan dan kegetiran hidupnya cukup di masa lalu; tidak perlu dan jangan sampai terulang. Tinggal sebagai lembar hitam dalam sejarah hidupnya.

Bagaimana dengan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di berbagai kota? Kekek Suryo tak peduli. Yang penting tidak terjadi di desa tempat ia tinggal. Tidak melibatkan dan menimpa keluarganya. Itu saja. Dan, Kakek Suryo pantas bersyukur, segenap keluarganya terhindar dari segala malapetaka dan bencana, baik disebabkan oleh alam maupun oleh ulah manusia sendiri.

Hidup Kekek Suryo kini benar-benar aman dan tenteram.

Suatu hari di bulan Juli, waktu itu matahari belum mengistirahkan diri, Ben membawa kabar penting. Kakek Suryo sedang duduk di teras rumah dan seperti biasanya ia memandangi beraneka bunga-bunga di halaman. Pratomo tampak bergegas memasuki halaman. Keringat mengucur di sekujur tubuhnya. Wajahnya pucat pasi. Di tangannya ada sebuah surat kabar.

"Kek!" seru Ben dengan gugup. Ia duduk di samping kakeknya. Napasnya masih terenggah-enggah.

Kakek menatap sang cucu dengan rasa heran.

"Kek, baca ini," kata Ben sambil menyodorkan koran.

"Ada apa?" tanya Kakek dengan suara bergetar.

"Ini, Kek, Mas Eko. Baca dulu, Kek." Ben tampak gugup sekali.

"Ambilkan kacamata," suruh sang kakek.

Ben lari masuk rumah dan tak lama kemudian ia keluar dengan membawa kacamata.

"Ini, Kek." Ben menyodorkan kacamata dan kembali masuk rumah. Ia mencari ayah dan ibunya. Sebentar kemudian mereka muncul di teras dengan penuh rasa penasaran dan hati berdebar-debar.

Kakek memberikan koran itu kepada Pratomo dan ia pun terdiam. Ayah Ben segera membaca sebuah berita di halaman pertama koran itu. Ibunya turut membaca.

"Aduh, bagaimana ini. Mengapa Eko sampai begini. Selama ini, yang kita tahu, dia tak pernah ikut kegiatan begituan," cetus Bu Pratomo panik.

"Mungkin bukan Eko anak kita," kata Pratomo menghibur diri, namun dengan nada suara bergetar.

"Tapi, Pak, namanya jelas dan ada gambarnya. Ini Eko anak kita. Perhatikan namanya, Pak. Eko Atmapratama. Baca bagian lain. Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM semester tujuh. Siapa lagi kalau bukan Eko anak kita. Lihat fotonya ini." Ibu Ben ngotot.

Sementara itu, Kakek Suryo terdiam. Pandangannya lurus ke depan. Pandangan mata yang kosong dan hambar. Bibirnya pucat bergetar. Ah, kini, kedamaian hidup Kakek Suryo terusik. Sejak kejadian sore itu, Kakek Suryo menjadi pendiam. Ia kerap terlihat sedang melamun. Suatu pagi ia tampak termenung di antara tanaman bonsainya. Pada sore hari ia melamun di samping rumah. Dan, malam hari ia mengurung diri di kamarnya. Nafsu makannya turun drastis. Lembar hitam hidupnya di masa lalu seakan membayang jelas di depan pelupuk matanya. Jeruji penjara seolah sedang mengungkung dirinya. Dan, Siksaan dan perlakuan kasar seperti terasakan kembali. Ah, sudah tidak adakah waktu untuk menikmati hidup dengan damai? tanya Kakek dalam hati.

Hari-hari berlalu tanpa kegairahan lagi. Semua tetangga mencemooh, sebuah perlakuan yang dulu acapkali ditimpakan kepadanya karena aktivitasnya dianggap mengkhianati bangsa dan negara. Dan, karena aktivitasnya itu, ia sempat terkurung selama sepuluh tahun di pulau pembuangan, padahal di masa penjajahan, ia turut berjuang melawan Belanda.

Ia tak menyangka sama sekali jika sang cucu melakukan sesuatu yang berakibat buruk bagi diri sendiri dan keluarga. Ternyata Eko tidak hanya kuliah, seperti yang selama ini ia ketahui. Eko tidak hanya tinggal di Yogya, tapi sering ke Jakarta untuk kegiatan yang tak ada hubungannya dengan perkuliahan: Eko mendirikan partai politik.

Pada suatu siang, beberapa petugas dari kepolisian di kecamatan datang guna menjemput Kakek Suryo. Ia dibawa ke kantor polisi dan selama 9 jam diperiksa. Apa kesalahannya?

"Kami hanya melaksanakan perintah dari pusat," kata komandan kepolisian. "Dalam pemeriksaan terhadap cucu Bapak, ditemukan bahwa cucu Bapak memiliki buku-buku terlarang. Buku-buku tersebut milik Bapak Suryo," sambungnya.

"Apa sesungguhnya kesalahan cucu saya dan apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Kekek Suryo tenang. Yah, ia menghadapi pemeriksaan itu dengan tenang; ia sudah cukup berpengalaman menghadapi masalah seperti itu, bahkan jauh lebih besar. Jadi, dapat dikatakan ia sudah kenyang dengan segala perlakuan.

"Bapak jangan pura-pura tidak tahu. Eko Atmapratama, cucu Bapak, terlibat dalam kerusuhan di Ibu Kota. Ia termasuk salah seorang tokohnya. Tempat kosnya di Yogya telah digerebek dan ditemukan sejumlah buku terlarang. Beberapa di antaranya adalah buku sampeyan. Dan, yang paling memberatkan adalah Eko dan teman-temannya mendirikan partai baru. Ini tindakan subversif!" tutur sang komandan.

Tidak ada lagi keasrian bunga-bunga di halaman rumah. Sudah tidak ada lagi harum mewangi kembang melati. Bonsai-bonsai itu siapa yang mengurus? pikir Kakek Suryo. Lembar hitam di masa lalu benar-benar kembali menyelimuti hidupnya kini. Kegiatan cucunya dihubung-hubungkan dengan dirinya. Dan, di pengujung perjalanan hidupnya, mesti ia lewati seperti dulu. Beberapa bulan kemudian sang cucu kebanggaan terpaksa mendekam dalam penjara. Dan, ia sendiri turut dipersalahkan dengan tuduhan memiliki buku dan menyebarkan ajaran terlarang. Bunga-bunga itu, siapa yang merawatnya jika aku mendekam di penjara?

 

* * *

Cikini, Jakarta, Mei 1997

 [puisi]  [novel]  [sinetron]  [skripsi]  [profil]
[surat-surat] [proses kreatif] [artikel] [respons] [guestbook] [bahasa]

Hosted by www.Geocities.ws

1